Minggu Pra-Paskah ketiga. Lukas 13:1-9 [28 Februari 2016]
“Mungkin tahun depan ia berbuah (Luk 13:9)”
Inti dari perumpamaan tentang Pengurus kebun yang baik adalah kerahiman Allah. Tidak hanya Allah penuh dengan belas kasih, tetapi Dia adalah belas kasih itu sendiri. Paus Fransiskus dengan tepat menulis bahwa Nama Allah adalah Belas Kasih. Karena Ia adalah Sang Belas Kasih, tindakan pertama-Nya terhadap kita manusia adalah berbelas kasih. Walaupun kita seperti pohon ara yang tak membuahkan hasil dan tidak berguna, tetapi Allah memberi kita kesempatan kedua. Dan tidak hanya kesempatan baru, Yesus, sang pengurus kebun kita yang suci, bahkan memberikan upaya maksimal-Nya untuk merawat kita, memastikan bahwa anugerah Allah terus-menerus tercurahkan kepada kita.
Dalam pembelajaran saya tentang belas kasih, saya menemukan sebuah cerita tentang seorang prajurit Perancis muda yang melarikan diri dari tugasnya sebagai pasukan Napoleon, tapi ia segera tertangkap. Dia diadili di mahkamah militer, dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Mendengar hal ini, sang ibu memohon Napoleon untuk menyelamatkan nyawa anaknya. Napoleon mengatakan bahwa kejahatan yang dilakukan sang anak sungguh melampaui batas; keadilan menuntut hidupnya. Sang ibu menangis dan memohon belas kasihan. Napoleon menjawab bahwa anaknya tidak pantas mendapat belas kasihan. Dan sang ibu pun berkata, “Aku tahu bahwa ia tidak layak mendapat belas kasihan, tetapi jika ia layak mendapatkannya, ini bukanlah belas kasihan.”
Kerahiman Allah mengalir dari kasih-Nya. Namun, karena Allah begitu mengasihi kita, Dia juga memungkinkan kita tumbuh dalam kebebasan. Tuhan memberi kita kesempatan kedua, tapi terserah kita untuk meraih kesempatan ini atau menyia-nyiakannya. St. Agustinus pun pernah berkata, “Allah menciptakan kita tanpa kita, tetapi Dia tidak menyelamatkan kita tanpa kita.” Dengan demikian, musuh terbesar dari belas kasihan adalah hilangnya harapan akan belas kasih Allah. Kita berasumsi bahwa kita tidak lagi tidak lagi mampu berubah. Kita menolak kesempatan kedua dari Allah karena kita melihatnya sebagai sama sekali tidak berguna. Sungguh, untuk menabur benih keputusasaan adalah pekerjaan sang Jahat. Penulis, pengacara, ekonom, dan aktor Ben Stein mengatakan, “Jiwa manusia tidak pernah selesai ketika dikalahkan. Ia selesai ketika menyerah.” Kegagalan dan kelemahan kita mengkondisikan kita untuk percaya bahwa kita tidak berharga, dan saat kita meragukan belas kasihan Allah, sang jahat telah menang atas kita.
Inggris bisa saja kalah dari Jerman dalam Perang Dunia II, jika bukan karena Winston Churchill. Dia adalah perdana menteri Inggris selama masa tergelap Perang Dunia II. Dia pernah ditanya oleh seorang wartawan tentang senjata terbesar negaranya melawan rezim Nazi Hitler yang membombardir Inggris siang dan malam. Dengan lugas, ia berkata, “Senjata terbesar Inggris adalah selalu harapan.” Sungguh harapan adalah senjata terbesar kita melawan sang jahat.
Paus Fransiskus, melalui inisiatifnya menyatakan tahun ini sebagai Tahun Yubileum Kerahiman Ilahi, dan beliau membuka pintu-pintu kerahiman di berbagai penjuru dunia sehingga setiap orang dapat merasakan kasih dan kemurahan hati Allah. Namun, kita tidak akan pernah menerima anugerah ini, kecuali kita memutuskan melewati ambang pintu ini. Kita perlu percaya bahwa rahmat-Nya mengalahkan segalanya keterbatasan kita, dan Kasih-Nya menghapus banyak dosa. Ketika Paus Fransiskus mengunjungi AS pada bulan September 2015, ia bertemu dengan para tahanan di sana dan ia mengingatkan mereka untuk tidak kehilangan harapan akan belas kasih Allah, “Marilah kita melihat ke Yesus, yang mencuci kaki kita. Dia adalah ‘jalan, dan kebenaran, dan hidup.’ Dia datang untuk menyelamatkan kita dari kebohongan yang mengatakan bahwa kita tidak bisa beruhah. Dia membantu kita di dalam perjalanan sepanjang jalan kehidupan dan kepenuhan. Semoga kekuatan kasih dan kebangkitan-Nya selalu menjadi jalan yang kamu mencapai kehidupan baru.”
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
