Connect

22nd Sunday in Ordinary Time. August 28, 2016 [Luke 14:1, 7-14]

“Rather, when you hold a banquet, invite the poor, the crippled, the lame, the blind (Luk 14:13)”

jesus diningIn the time of Jesus, Jews had their own special way of dining. Instead of sitting or standing the Jews would recline on a low table where food and wine are served. Reclining was the sign of free man in Greco-Roman culture. The slaves stood and served the guests. Aside reclining posture, their place in the dining table indicated their importance to the host. The closer they were to the host, the more significant they were to the host. Thus, persons sitting beside the host were expected to be the most important guests.

Jesus noticed that some guests wanted to occupy the place of importance in the dining table. Certainly, situating oneself in the place of honor, gave a sense of prestige, but more significantly, the closer they were to the host, the better connection they had with the host who was a leading and influential Pharisee in town.

From ancient times to present days, to connect oneself to the figure of authority and power will give us a better position to improve our lives or advance our cause. With good connection, an unemployed can get a good job. With connection, an employee can have his desired promotion. With connection, a student can enjoy the trust of his teachers. John Maxwell, an inspirational teacher, told us how he was able to win the heart of his wife Margaret, despite many other handsome suitors. He made a good connection with her mother! I guess one of the reasons why I have more preaching opportunities is that I am connected with good friends who also are active in the Church.

Jesus did not intend to erase this kind of connection. In fact, He himself is our connection to the Father (cf. 1 Tim 2:5). In today’s Gospel, what he desire was to re-orient our understanding of our connection. We must not use our connection just to advance our individual and selfish plans, but rather we employ it for the empowerment of others. Jesus invited the hosts to invite the poor in their meals. This was not only about feeding the hungry, but the rich hosts are to make connection with the poor. With connection, the possibility of enabling the less fortunate is opened.

I was fortunate to meet a Columban lay missionary from Korea. Leaving behind her promising career in the US, Ms. Anna volunteers to do ministry in the Philippines. She shared to me what she is doing to help the poor. She gathered the poor mothers living near her place and created a livelihood project. She taught them how to make a candle and sell them at the nearby parishes. Most of the mothers were high school dropouts and at the mercy of their husbands. But, with this project, some are able to continue their study, support their family and more importantly, they now have financial independence and no longer dependent on their husbands. Ms. Anna made connection with these mothers and this connection empowers them.

Jesus calls us to be a good host. This means we who are endowed with blessings will connect with those who are not so fortunate in their lives. Let our connection empower others more tham simply enriching ourselves.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Koneksi

Hari Minggu Biasa ke-22 [28 Agustus 2016] Lukas 14:1, 7-14

 “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta (Luk:14:13).”

jesus dining 2Pada zaman Yesus, orang-orang Yahudi memiliki cara unik saat perjamuan makan. Alih-alih duduk seperti biasanya, orang-orang Yahudi akan merebahkan diri pada kursi panjang dan menyenderkan tubuh mereka pada meja yang cukup rendah di mana makanan dan anggur yang disajikan. Di dalam budaya Yunani-Romawi kuno, cara makan seperti ini adalah tanda orang yang bebas, sedangkan budak akan berdiri dan melayani para tamu. Selain merebahkan diri, posisi mereka di meja perjamuan akan menunjukkan seberapa pentingnya mereka bagi tuan rumah. Semakin dekat mereka dengan tuan rumah, semakin pentinglah dia bagi sang tuan rumah. Dengan demikian, orang yang duduk di samping tuan rumah adalah tamu yang paling penting.

Yesus melihat bahwa beberapa tamu ingin menduduki tempat penting di meja makan. Tentu saja, menempatkan diri di tempat terhormat, akan memberikan kebanggaan tersendiri, tapi lebih dari itu, semakin dekat mereka ke tuan rumah, semakin baik koneksi mereka dengan tuan rumah yang tidak lain adalah  Farisi yang terkemuka dan berpengaruh di kota tersebut.

Dari zaman dahulu hingga kini, membuat koneksi dengan seseorang yang memiliki otoritas dan kekuasaan akan memberi kita posisi yang lebih baik untuk memperbaiki kehidupan kita atau mencapai tujuan kita. Dengan koneksi yang baik, seorang pengangguran bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan koneksi, seorang karyawan bisa mendapatkan promosi yang diidamkannya. Dengan koneksi, siswa dapat menikmati kepercayaan dari guru-gurunya. John Maxwell, seorang pembicara kawakan, menceritakan bagaimana ia mampu memenangkan hati istrinya Margaret, meskipun banyak pelamar tampan lainnya. Caranya sederhana: dia berhasil membuat koneksi yang baik dengan ibunya Margaret! Saya kira salah satu alasan mengapa saya memiliki kesempatan berkhotbah lebih banyak dari frater-frater yang lain adalah bahwa saya terkoneksi dengan teman-teman baik yang juga aktif di Gereja.

Yesus tidak berniat untuk menghapus koneksi semacam ini. Bahkan, Dia sendiri adalah koneksi kita dengan Bapa (lih. 1 Tim 2: 5). Dalam Injil hari ini, apa yang Yesus inginkan adalah memberi pemahaman baru kita tentang koneksi ini. Kita tidak boleh menggunakan koneksi hanya untuk mencapai rencana individu dan egois kita, melainkan untuk pemberdayaan sesama. Yesus mengajak sang tuan rumah untuk mengundang orang miskin dalam perjamuan mereka. Ini bukan hanya tentang memberi makan orang yang lapar, tapi tuan rumah yang kaya diharapkan mau membuat koneksi dengan orang yang tidak mampu. Dengan koneksi seperti ini, terbuka juga peluang bagi sang tuan rumah untuk memberdayakan mereka yang lemah baik secara ekonomi, sosial maupun politik.

Saya sangat beruntung untuk bertemu dengan misionaris awam dari Korea bernama Anna. Meninggalkan karirnya yang menjanjikan di AS, Anna memutuskan untuk melayani di Filipina. Dia menceritakan kepada saya apa yang dia lakukan untuk membantu orang-orang miskin. Dia mengumpulkan ibu-ibu miskin yang tinggal di dekat rumahnya dan menciptakan proyek mata pencaharian. Dia mengajari mereka bagaimana membuat lilin dan menjualnya di paroki-paroki terdekat. Sebagian besar ibu-ibu ini putus sekolah dan berharap pada belas kasihan suami mereka. Tapi, dengan proyek ini, mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka, mendukung keluarga mereka dan yang lebih penting lagi, ibu-ibu itu sekarang memiliki kemandirian finansial dan tidak lagi tergantung pada suami mereka. Anna membangun koneksi dengan ibu-ibu ini dan koneksi memberdayakan mereka.

Yesus memanggil kita untuk menjadi tuan rumah yang baik. Ini berarti kita yang diberkahi dengan banyak talenta dan berkat diajak untuk membangun koneksi dengan orang-orang yang belum beruntung. Hendaknya koneksi kita memberdayakan orang lain, dan tidak sekedar menguntungkan diri kita sendiri.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Salvation: Gift and Choice

21st Sunday in Ordinary Time. Luke 13:22-30 [August 21, 2016]

 “Lord, will only a few people be saved? (Luk 13:23)”

jesus the gateSalvation is both a gift and a choice. It is free yet it is never cheap. It is a gift because it is freely given by God and no one earns it. Yet, it is a choice because we make all the efforts to receive it and make it ours. Through His death and resurrection, Jesus has made available the grace of salvation for everyone. But, we need to participate in His work of salvation by living out the gift of faith in our daily lives.

There is a story of a rabbi who visited a soap maker to buy a supply for his household. Suddenly, the soap maker asked, “What good is religion? Look at all the suffering and evil in the world! Still there, even after years and thousand years of teaching about goodness and peace. Still there, after all the prayers and preaching. If religion is good and true, why should we continue to suffer?” The rabbi said nothing. He then noticed a child playing in the gutter in front of the shop, and the rabbi said, “Look at that child. You say that soap makes people clean, but do you see the dirt on that kid. Of what good is soap? With all the soap in the world, over thousand years, the child is still dirty. I wonder how effective your soap is, after all?” The soup maker protested, “But, Rabbi, soap cannot do any good unless it is properly used.” The rabbi replied, “Exactly!”

To make the gift of salvation ours is not an easy job. Jesus Himself admitted, “Strive to enter through the narrow gate, for many, I tell you, will attempt to enter but will not be strong enough (Luk 22:24).” It is tough because it demands radical transformation of our hearts, or metanoia. All external forces, like rules, regulations and commands, will not last. The gift of salvation cannot be forced from the outside, but has to grow from within us so that it will be stable and permanent in us. Yes, we are saved, but we are also saved each day of our lives.

The call for living out our salvation is the call of the prophets of the Old Testament. The prophets reminded the Israelites that they indeed have been chosen by God as His own precious possessions, saved from Egypt and dwelt in the land of milk and honey. Yet, this wonderful gift will not last unless they also reform their hearts and truly become God’s people. God, through prophet Ezekiel, demanded this, “I will give you a new heart and place a new spirit within you, taking from your bodies your stony hearts and giving you natural hearts (Ezekiel 36:26).”

It is a radical choice to live up our salvation daily. We can be baptized as Catholics or Christians, yet we never go to the Church. We profess our belief in only one God, but we enjoy reading horoscopes, consulting fortunetellers and use religious items as mere protective amulets. We can easily shout, “God is good all the time,” but we have a lot of complaints in our lives. We are often instructed by Jesus Himself to love our enemies, yet we maintain hatred, remain vengeance-oriented and take pleasure when our enemies suffer misfortunes. We enjoy the worship and good preachings, yet we simply look for feeling-good experiences.

God shall remove our stony hearts and replace them with natural hearts if we make the way. We are saved if we shall make every gift of salvation counts. We shall enjoy the Kingdom, if together with Jesus, we enter our daily narrow gate.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Keselamatan: Rahmat dan Pilihan

Minggu dalam Pekan Biasa ke-21. Lukas 13: 22-30 [21 Agustus 2016]

 “Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan? (Luk 13:23)”

narrow gateKeselamatan adalah sebuah rahmat dan juga pilihan. Keselamatan adalah cuma-cuma, tetapi bukan berarti murahan. Keselamatan adalah rahmat karena diberikan oleh Allah secara cuma-cuma. Namun, ini juga adalah pilihan karena kita perlu membuat semua upaya untuk menerimanya dan menghidupinya. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus telah membuka pintu anugerah keselamatan bagi semua orang. Tapi, kita perlu berpartisipasi dalam karya keselamatan-Nya dengan menghidupi secara penuh karunia iman ini di dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ada sebuah kisah tentang seorang pastor mengunjungi pembuat sabun guna beli pasokan untuk parokinya. Tiba-tiba, pembuat sabun bertanya, “Apa baiknya agama? Lihatlah semua penderitaan dan kejahatan di dunia! Penderitaan tetap ada, bahkan setelah agama bertahun-tahun mengajar tentang kebaikan dan perdamaian. Kejahatan tetap ada, setelah semua doa dan khotbah. Jika agama yang baik dan benar, mengapa kita harus terus menderita?” Sang pastor diam saja. Kemudian dia melihat seorang anak bermain di selokan depan toko sabun, dan pastor berkata, “Lihatlah anak itu. Kamu mengatakan bahwa sabun membuat orang bersih, tetapi kamu melihat banyak kotoran pada anak itu. Apa baiknya sabun? Dengan semua sabun di dunia, anak itu masih kotor. Aku bertanya-tanya seberapa efektif sabun buatanmu sebenarnya?” Sang pembuat sabun pun protes, “Tapi, Pastor, sabun tidak berguna kecuali saat digunakan dengan benar.” Sang Pastor pun menjawab, “Tepat sekali!”

Untuk menjadikan rahmat keselamatan bagian hidup kita bukan pekerjaan mudah. Yesus sendiri bersabda, “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat (Luk 13:24).” Hal ini sulit karena menuntut transformasi radikal dari hati kita, atau metanoia. Setiap kekuatan eksternal yang dipaksakan kepada kita, seperti aturan, hukum dan perintah, tidak akan bertahan lama. Karunia keselamatan tidak bisa dipaksakan dari luar, tetapi harus tumbuh dari dalam diri kita sehingga efeknya akan stabil dan permanen dalam diri kita.

Panggilan untuk menghidupi karya keselamatan ini sebenarnya adalah panggilan sejak dari nabi-nabi Perjanjian Lama. Para nabi mengingatkan Israel bahwa mereka memang telah dipilih oleh Allah sebagai bangsa pilihan-Nya, diselamatkan dari Mesir dan tinggal di tanah terjanji. Namun, rahmat yang indah ini tidak akan bertahan kecuali mereka juga mereformasi hati mereka dan benar-benar menjadi umat Allah. Allah, melalui Nabi Yehezkiel, menuntut ini, “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat (Yehezkiel 36:26).”

Ini adalah pilihan yang radikal untuk menghidupi keselamatan kita sehari-hari. Ya, kita bisa dibaptis sebagai Katolik atau Kristen, namun kita tidak pernah pergi ke Gereja. Kita beriman kepada Allah yang Esa, tapi kita juga membaca horoskop, konsultasi peramal dan menggunakan jimat pelindung. Kita bisa dengan mudah berteriak, “God is good all the time!” tapi kita memiliki banyak keluhan dalam hidup kita. Kita diperintahkan oleh Yesus sendiri untuk mengasihi musuh kita, namun kita tetap benci dan dendam, bahkan senang ketika musuh kita tertimpa kemalangan.

 Allah akan menghapus hati berbatu dan menempatkan hati alami, jika kita membuka hati kita. Kita diselamatkan jika kita menghidupi rahmat keselamatan. Kita akan masuk ke Kerajaan-Nya, jika bersama-sama dengan Yesus, kita memasuki pintu yang sesak setiap harinya.

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Fire of Jesus

20th Sunday in Ordinary Time. August 14, 2016 [Luke 12:49-53]

“I have come to set the earth on fire, and how I wish it were already blazing! (Luk 12:49)”

pentecost 1In the midst of all super-advanced digital gadgets and nano technologies, making fire seems rather archaic and a bit useless. Why will we set a fire and cause pollution, if we have energy-saving LED lamp in our house? However, making fire is the earliest and one of the most significant human invention. Fire revolutionized the lives of our ancestors and gave us substantial advantages over other creatures. Fire brings warm and comfort in chilling and unforgiving weathers. Fire protects us from bigger and fiercer predators. Fire provides light that shed off the darkness. Fire also is needed to forge other inventions and technologies, like various tools and weapons.

Yet, fire also may cause us serious headaches. Almost every year, fire sets ablaze parts of Borneo rain forest and emits global-scale smoke. Fire also is a serious problem in densely populated cities like Manila. A firefighter once conducted a seminar in our seminary. He said that it just takes less than one minute for fire to burn an entire body of a little kid. Thus, fire has become the symbol of both powerful force of nature and human ingenuity. It may bring heavy destructions as fire burns and consumes almost everything. Yet, it also gives creativity, hope and future to humanity.

When Jesus said he brought fire to the world, Luke used the Greek word ‘phur’, meaning ‘wild fire’. Now, we may understand that Jesus came to the world to bring not a warming and delightful fire, but massive transformative energy and power. This fire can consume our past and wicked ways. Yet, more importantly, this fire energizes and empowers us to be creative in our preaching and in Christian life. On the day of Pentecost, the Holy Spirit came into the form of tongues of fire. This same fire emboldened the fearful disciples in the Upper room and moved them to preach the Good News with freshness. They made a creative breakthrough as they began to speak in the different languages of their hearers.

Saints are people who are blazed by Christ’ fire. Their lives exemplify the ever-fresh and transformative Spirit. When St. Dominic de Guzman saw the need to preach the Gospel to bring back the Albigensian heretics in Southern France, he established the first preaching religious Order in the Church. When the first Spanish Missionaries came to the Philippine Islands, one of their main preoccupations was how to understand the local languages and cultures, so that their preaching may be easily understood by the native Filipinos. As early as the 16th century, the Dominican friars had produced grammar books and dictionaries of Philippine languages like Tagalog, Bisaya, and Ivatan.

It is His desire to set the world in fire, but has the fire of Christ touched our lives? Have the Eucharist and Sacrament of reconciliation renewed us? Do we feel that energy to engage in the proclamation of the Good News, or we are just fine with Sunday masses? Do we have the perseverance amidst trials of life? Do we allow the Spirit to animate our lives?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Api Yesus

 Minggu Biasa ke-20 [14 Agustus 2016] Lukas 12:49-53

 “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! (Luk 12:49)”

pentecost 2Hidup di antara gadget-gadget digital super-canggih dan berbagai teknologi nano, kegiatan membuat api tampak seperti sangat primitif dan sia-sia. Mengapa kita harus membuat api dan menyebabkan polusi jika kita memiliki lampu LED yang hemat energi di rumah kita? Namun, membuat api sebenarnya adalah salah satu penemuan manusia yang paling awal dan signifikan. Api merevolusi kehidupan nenek moyang kita dan memberi kita keuntungan besar atas makhluk lainnya. Api membawa kehangatan dan kenyamanan dalam cuaca dingin. Api melindungi kita dari predator yang lebih besar dan ganas. Api memberikan cahaya yang menghapus kegelapan. Api juga diperlukan untuk menempa penemuan dan teknologi lain, seperti berbagai alat dan senjata.

Namun, api juga dapat menimbulkan masalah serius. Hampir setiap tahun, api membakar ribuan hektar hutan Kalimantan dan menghasilkan asap berskala global. Api juga merupakan masalah serius di kota-kota padat penduduk seperti Manila. Seorang petugas pemadam kebakaran pernah melakukan seminar di seminari. Dia mengatakan bahwa api hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk membakar seluruh tubuh anak kecil. Karena ini, api telah menjadi simbol baik dari kekuatan yang dahsyat dari alam dan juga kecerdasan manusia. Api dapat membawa kehancuran berat seperti api membakar dan mengkonsumsi hampir segala sesuatu. Namun, hal itu juga memberikan kreativitas, harapan dan masa depan kemanusiaan.

Ketika Yesus berkata ia membawa api untuk dunia, Lukas menggunakan kata Yunani ‘phur’. Jika diterjemahkan kata ini berarti api besar yang membara, bukan sekedar api yang kecil. Jadi, Yesus datang ke dunia untuk membawa energi dan kekuatan transformatif yang dahsyat. Api ini dapat menghancurkan dosa-dosa dan kebiasaan buruk kita. Namun, jauh lebih penting adalah api ini memberikan energi dan memberdayakan kita untuk menjadi kreatif dalam karya dan pewartaan dan dalam kehidupan Kristiani kita. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus datang dalam bentuk lidah-lidah api. Api yang sama ini memberanikan para murid yang masih ketakutan, dan menggerakan mereka untuk memberitakan Kabar Baik dengan kesegaran yang baru. Mereka membuat terobosan kreatif saat mereka mulai berbicara dalam banyak bahasa, sesuai kebutuhan pendengar mereka.

Orang-orang kudus adalah orang-orang yang terbakar api Kristus. Kehidupan mereka memberikan contoh karya Roh Kudus yang selalu segar dan transformatif. Ketika St. Dominikus de Guzman melihat kebutuhan untuk memberitakan Injil dan membawa kembali para bidaah Albigensian di Perancis Selatan, iapun  mendirikan Ordo religius yang tugas utamanya adalah berkhotbah. Dan ini menjadi ordo pertama yang memiliki ke khasan ini di Gereja Katolik. Ketika para Misionaris Spanyol pertama kali datang ke Kepulauan Filipina, salah satu prioritas utama mereka adalah bagaimana memahami bahasa dan budaya lokal, sehingga pewartaan mereka dapat dengan mudah dipahami oleh orang-orang Filipina. Bahkan sejak abad ke-16, para misionaris Dominikan telah menghasilkan buku tata bahasa dan kamus berbagai bahasa di Filipina seperti Tagalog, Bisaya, dan Ivatan.

Ini adalah keinginan-Nya untuk membakar dunia dalam api, tetapi apakah api Kristus telah menyentuh kehidupan kita? Apakah Ekaristi dan Sakramen rekonsiliasi memperbaharui kita? Apakah kita merasakan energi untuk terlibat dalam pewartaan kabar baik, atau kita sudah merasa cukup dengan Misa Mingguan? Apakah kita memiliki ketekunan ditengah cobaan hidup? Apakah kita memungkinkan Roh untuk menghidupkan kehidupan kita?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Giving Up All

 19th Sunday in Ordinary Time. August 7, 2016 [Luke 12:32-48]

 “For where your treasure is, there also will your heart be (Luk 12:34).”

jesus-hands-holesAre we ready to sell everything we have and follow Jesus? Are we prepared to give up our dreams and ambitions for the Kingdom? Are we willing to place our hearts, our treasures where no moth can destroy and no thief can steal?

St. Dominic de Guzman whose feast day we will celebrate tomorrow, is a shining example for us to emulate. When he was a canon regular in the Cathedral of Osma, Spain, he was actually a rising star. He was elected sub-prior at a very young age. To be a sub-prior means he was next to the leader of the Cathedral and was groomed to the position of the Bishop. Osma was a fortified city and had a beautiful Church. Osma provided Dominic tranquility and comfort when wars and famine ravaged portions of Spain. He was also prepared to take the coveted position in Osma as its bishop. Yet, Dominic decided to abandon all of these. Facing overwhelming difficulties and life-threating dangers, he went to preach the Gospel in Southern France where the heretic group, Albigentians, took its root.

St. Dominic and many other saints are indeed illustrious models of this evangelical self-giving, but how many among us are doing what the saints did? In all honesty, many of us are not ready to do what Jesus commanded in today’s Gospel. Some of us cannot simply sell everything we have because we need to feed our children and send them to school. Some cannot just give up their studies because they need to prepare for a better future. Some of us have to run our businesses because we are responsible for the lives of our workers and their families. I myself have to admit that it is difficult for me even to let go of my book collections.

We are entangled with so many complexity of life. Yet, deep inside us, we always feel that yearning to surrender everything for the sake of the Kingdom. Sometimes, the best thing we can do is to do simple sacrifices everyday.

A mother who wakes up early morning, prepares the breakfast for the family, brings her children to school, go to work to earn a living, cooks dinner for her husband, and basically puts aside her dream to work with the urban poor, is truly giving herself to the Lord. I have a friend who is young, intelligent and very determined to become a priest. I am sure that he can become a good priest someday. But, his father is old and sickly, his siblings are still studying, and his mother earns very little. With a heavy heart, he decided to leave the seminary and work to help his family. He sacrificed his hope to serve the Lord as a priest, yet he surrenders his life to serve the Lord, through his family.

I do believe that God is very compassionate and merciful. He understands our daily struggles to follow Him. Thus, God does not leave us alone. He empowers us in our struggles and His grace enables us to give our lives despite the complexity of our lives.

St. Dominic de Guzman, pray for us!

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menyerahkan Semuanya

Minggu Biasa ke-19 [7 Agustus 2016] Lukas 12: 32-48

 “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.(Luk 12:34).”

giving handsApakah kita siap untuk menjual semua yang kita miliki dan mengikuti Yesus? Apakah kita siap untuk menyerah mimpi dan cita-cita kita untuk Kerajaan Allah? Apakah kita bersedia untuk menaruh hati kita pada harta yang tidak akan dirusak ngengat dan tidak akan dicuri?

St. Dominikus de Guzman yang hari rayanya akan kita sambut besok, adalah contoh untuk diteladani. Ketika ia menjadi kanon regular di Katedral Osma, Spanyol, dia sejatinya adalah seorang yang dipersiapkan sebagai pemimpin. Dia terpilih sub-prior pada usia yang sangat muda. Menjadi sub-prior berarti ia adalah wakil dari pemimpin utama Katedral dan dipersiapkan untuk menjadi Uskup. Osma adalah kota tua berbenteng, makmur dan memiliki Gereja yang indah. Osma menyediakan ketenangan dan kenyamanan bagi Dominikus saat perang dan kelaparan melanda Spanyol di abad pertengahan. Dia juga dipersiapkan untuk mengemban posisi Uskup di Osma. Namun, Dominikus memutuskan untuk meninggalkan semua ini. Menghadapi kesulitan besar dan bahaya yang mengancam hidupnya, ia pergi untuk memberitakan Injil di Perancis Selatan di mana kelompok sesat, Albigentians, telah berakar.

St. Dominikus dan banyak orang kudus lainnya menjadi teladan pemberian diri yang total, tapi berapa banyak dari kita yang bisa melakukan apa St. Dominikus telah lakukan? Sejujurnya, banyak dari kita yang tidak siap untuk melakukan apa yang Yesus perintahkan dalam Injil hari ini. Kita tidak bisa begitu saja menjual segala yang kita miliki karena kita perlu untuk membesarkan anak-anak kita dan mengirim mereka ke sekolah. Kita tidak bisa begitu saja meninggalkan studi kita karena kita perlu mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik. Kita harus menjalankan bisnis kita karena kita bertanggung jawab atas kehidupan para pekerja dan keluarga mereka. Saya sendiri harus mengakui bahwa sulit bagi saya untuk melepaskan koleksi buku-buku saya.

Kita terjerat dalam kompleksitas kehidupan. Namun, di dalam hati kita, kita selalu merasakan kerinduan untuk menyerahkan segalanya demi Kerajaan Allah. Kadang-kadang, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah melakukan pengorbanan sederhana setiap hari.

Seorang ibu yang bangun pagi, mempersiapkan sarapan untuk keluarga, membawa anak-anaknya ke sekolah, pergi bekerja untuk mencari nafkah, memasak makan malam untuk suaminya, dan pada dasarnya menyisihkan mimpinya untuk bekerja dengan kaum miskin, benar-benar memberikan dirinya kepada Tuhan. Saya punya teman frater yang cerdas dan sangat bertekad untuk menjadi seorang imam. Saya yakin bahwa dia bisa menjadi seorang imam yang baik suatu hari nanti. Tapi, ayahnya sudah tua dan sakit-sakitan, saudara-saudaranya yang masih belajar, dan ibunya berpenghasilan sangat pas-pasan. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk meninggalkan seminari dan bekerja untuk membantu keluarganya. Dia mengorbankan harapannya untuk melayani Tuhan sebagai imam, namun ia menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan, dengan merawat keluarganya.

Saya percaya bahwa Tuhan penuh belas kasih. Dia mengerti pergulatan kita sehari-hari untuk mengikuti-Nya. Dengan demikian, Allah tidak meninggalkan kita sendirian. Ia memberdayakan kita dalam pergulatan kita dan kasih karunia-Nya memungkinkan kita untuk menyerahkan hidup kita secara total ditengah-tengah kompleksitas kehidupan di dunia ini.

St. Dominikus de Guzman, doakanlah kita!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP