When is the Birthday of the Church?

Pentecost [B]

May 19, 2024

John 20:19-23

The solemnity of the Pentecost is usually called the birthday of the Church. But is this really true, or is it just a popular myth?

If we try to go into the official teaching of the Church, we will discover a passage from the Catechism of the Catholic Church, especially paragraph 766. Here, I quote, “The Church is born primarily of Christ’s total self-giving for our salvation, anticipated in the institution of the Eucharist and fulfilled on the cross. “The origin and growth of the Church are symbolized by the blood and water which flowed from the open side of the crucified Jesus.” “For it was from the side of Christ as he slept the sleep of death upon the cross that there came forth the ‘wondrous sacrament of the whole Church.’ ” As Eve was formed from the sleeping Adam’s side, so the Church was born from the pierced heart of Christ hanging dead on the cross.”

In short, the Church’s birthday is on Good Friday. The Church recognizes herself as the new Eve, born from the heart of Christ to be His bride. Consequently, calling the feast of Pentecost the birthday of the Church seems to be false. Yet, the truth is more profound than it seems.

Suppose we carefully observe the liturgy of the Pentecost, especially in the preface of Pentecost (a prayer said by the priest just before the Eucharist prayer). We will discover an interesting piece of information. I quote, “[We] give you thanks, Lord, holy Father… you bestowed the Holy Spirit today on those you made your adopted children uniting them to Your Only Begotten Son. This same Spirit, as the Church came to birth, opened to all people the knowledge of God…” In short, the liturgy of Pentecost is also celebrating the Church’s birthday.

So, how do we make sense of these seemingly conflicting pieces of information? Why does the official teaching of the Church seem to contradict the liturgy? To understand this, we need to see the birth of the Church not as one single instantaneous happening but rather as a process of giving birth. As the baby’s head is the first to come out, and then the rest of the body, we can see the ‘head of the Church’ came to being first under the cross of Christ and then the rest of ‘the body’ in the Pentecost. John, the beloved apostle, and Mary, the mother of Jesus, represented the head. While in the Pentecost, under the influence of the Holy Spirit, Peter, and other disciples began to proclaim God’s great things to all nations.

Another way to see this truth is that the Church was indeed born twice, first from Christ and second from the Holy Spirit. Following St. Paul, the Church is the body of the Church (Eph 1:22; CCC 792), and the Church also is the temple of the Holy Spirit (1 Cor 6:16, CCC 797). As the body of Christ, we are an organic unity between us and Christ, the source of our salvation. As the temple of the Holy Spirit, we are united to the Holy Spirit, the source of our holiness and our reason to sanctify others.

Happy birthday to the Catholic Church!

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Kapan Hari Ulang Tahun Gereja?

Pentekosta [B]

19 Mei 2024

Yohanes 20:19-23

Hari raya Pentekosta biasanya disebut sebagai hari ulang tahun Gereja. Namun, apakah hal ini benar adanya, atau hanya mitos yang cukup populer?

Jika kita mencoba masuk ke dalam ajaran resmi Gereja, kita akan menemukan ajaran penting di Katekismus Gereja Katolik, khususnya paragraf 766. Di sini, saya mengutip, “Tetapi Gereja lahir terutama karena penyerahan diri Kristus secara menyeluruh untuk keselamatan kita, yang didahului dalam penciptaan Ekaristi dan direalisasikan pada kayu salib. “Permulaan dan pertumbuhan itulah yang ditandakan dengan darah dan air, yang mengalir dari lambung Yesus yang terluka di kayu salib” (LG 3). “Sebab dari lambung Kristus yang berada di salib, muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan” (SC 5). Seperti Hawa dibentuk dari rusuk Adam yang sedang tidur, demikian Gereja dilahirkan dari hati tertembus Kristus yang mati di salib (Bdk. St. Ambrosius).

Singkatnya, hari ulang tahun Gereja adalah pada hari Jumat Agung. Gereja mengakui dirinya sebagai Hawa yang baru, yang lahir dari hati Kristus untuk menjadi mempelai-Nya. Oleh karena itu, menyebut hari raya Pentekosta sebagai hari ulang tahun Gereja tampaknya salah. Namun, kebenarannya lebih dalam daripada yang terlihat.

Jika kita mengamati dengan saksama liturgi Pentekosta, terutama dalam prefasi Pentekosta (doa yang diucapkan oleh imam sebelum Doa Syukur Agung), kita akan menemukan sebuah informasi yang menarik. Saya mengutip, “…kami selalu dan di mana pun bersyukur kepada-Mu, Tuhan, Bapa Yang Kudus… Engkau menganugerahkan Roh Kudus kepada mereka yang Engkau jadikan anak-anak angkat-Mu melalui persekutuan dengan Putra Tunggal-Mu. Roh yang sama, pada awal kelahiran Gereja, telah menganugerahkan pengetahuan akan Allah kepada semua bangsa…”  Singkatnya, liturgi Pentekosta juga merupakan perayaan ulang tahun Gereja.

Jadi, bagaimana kita memahami informasi yang tampaknya saling bertentangan ini? Mengapa ajaran resmi Gereja tampaknya bertentangan dengan liturgi Gereja? Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat kelahiran Gereja bukan sebagai satu kejadian yang terjadi seketika, melainkan sebagai sebuah proses melahirkan. Sebagaimana kepala bayi adalah yang pertama kali keluar, dan kemudian seluruh tubuhnya, kita dapat melihat ‘kepala Gereja’ muncul pertama kali di bawah salib Kristus dan kemudian seluruh ‘tubuh’ pada hari Pentekosta. Yohanes, rasul yang dikasihi, dan Maria, ibu Yesus, mewakili kepala. Pada hari Pentekosta, di bawah kuasa Roh Kudus, Petrus dan murid-murid lainnya mulai memberitakan perkara-perkara besar Allah kepada segala bangsa, dan membaptis mereka menjadi anggota Gereja.

Cara lain untuk melihat kebenaran ini adalah bahwa Gereja memang dilahirkan dua kali, pertama dari Kristus dan kedua dari Roh Kudus. Mengikuti Santo Paulus, Gereja adalah tubuh dari Kristus (Ef. 1:22; KGK 792), dan Gereja juga adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 6:16, KGK 797). Sebagai tubuh Kristus, kita adalah satu kesatuan organik antara kita dan Kristus, sumber keselamatan kita. Sebagai bait Roh Kudus, kita dipersatukan dengan Roh Kudus, sumber kekudusan kita dan alasan kita untuk menguduskan sesama.

Selamat ulang tahun untuk Gereja Katolik!

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Where is Heaven?

The Ascension of Our Lord

May 9, 2024

Mk 16:15-20

The Church is celebrating the Ascension of our Lord, Jesus Christ. After around forty days since His resurrection, Jesus went up into heaven before the eyes of His disciples. Through Ascension, Jesus wanted to show His disciples that the heavens were real, and He was there. Yet, where is heaven? What is heaven?

In the Old Testament, the word heavens in Hebrew is ‘שָׁמַיִם (samayim), and this term primarily refers to the sky, atmosphere, or realm above the earth. Yet, the Bible points out that ‘שָׁמַיִם (samayim) is also the dwelling place of the Lord and His angels. God is often described as ‘going down from heavens’ (Gen 11:5, 19:24), or angels of God moved up to and down from heavens (Gen 28:12). Heavens are also generally restricted to God and His angels, while humans belong to the earth. After death, men were buried and ‘moving down’ to the realm of the dead, the Gehenna (with Elijah as an extremely rare exception, 2 Kg 2:11).

Now, with the advance of science, technology, and theology, we recognize that God does not literally stay in the sky, atmosphere, or outer space. So, where are the heaven? Is it in another universe? Is it in another dimension? Is it in a realm without time and space? With all honesty, we have very little knowledge about heaven’s whereabouts. Yet, this does not change the basic truth: Heaven is the dwelling place of God and His angels. Then, does Jesus’ ascension make any difference?

Jesus’ ascension now bridges the heaven and earth. He is the way to the Father (John 14:6), and as the Good Shepherd (John 10:14), He leads His flock to a green heavenly pasture. Jesus’ ascension creates a significant difference between the heavens of the Old Testament and those of the New Testament. When Isaiah had a vision of the heavens, he saw God and His angels singing ‘holy, holy, holy!’ (Isa 6:1-3). Then, a hundred years later, apostle John saw the same vision of God and His angels singing ‘holy, holy, holy!’ Yet, there is one big difference. In that heaven, John discovered Jesus, the lamb of God, surrounded by holy people!  Heaven is now filled with people. Jesus fulfilled His promise to go to heaven to prepare dwelling places for us (John 14:2-3).

Lastly, what does it feel like to live in the heavens? Again, as long as we are alive here on earth, we may not fully understand the reality of heaven. The Bible often speaks of heaven metaphorically, like a wedding feast (Isa 25:6; Rev 19:9), a new world, a new promised land, and Jerusalem (Isa 66:17-19; Eze 40; Rev 21).  It is where we find perfect happiness because we are in perfect unity with God and His saints (CCC 1024). However, we are not that far from experiencing heaven. Christ, who was able to go up to heaven, has the same power to go down again to the earth, albeit in a different manner. Unlike His first coming in a lowly place in Bethlehem, now He comes down with His heavenly glory in the Eucharist.

Every time we celebrate the holy mass and receive Jesus worthily in the Eucharist, we are experiencing heaven on earth.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Pengudusan

Minggu Paskah ke-7 [B]

12 Mei 2024

Yohanes 17:11-19

Dalam Injil hari ini, Yesus memanjatkan doa kepada Bapa untuk kesatuan dan kekudusan murid-murid-Nya. Secara khusus, Ia meminta Bapa untuk ‘menguduskan mereka dalam kebenaran’ karena ‘firman Allah adalah kebenaran.’ (Yohanes 17:17) Namun, apakah yang dimaksud dengan kata ‘menguduskan’ di sini?

Kata yang digunakan oleh Yesus adalah ‘ἁγιάζω’ (hagiazoo), yang berarti menjadikan kudus. Dalam Alkitab, menjadi kudus berarti dipisahkan dari hal-hal lain dan untuk tujuan tertentu. Dalam Perjanjian Lama, Israel adalah bangsa yang kudus. Mereka telah dipilih, dikhususkan, dan dikuduskan melalui perjanjian di Gunung Sinai (lihat Keluaran 20). Mereka hanya milik Allah dan harus dipisahkan dari ilah-ilah dan berhala-berhala lain. Tuhan juga memberikan hukum-hukum untuk memastikan bahwa orang Israel hidup sesuai dengan identitas baru mereka dan menghindari penodaan terhadap ilah-ilah lain. Mereka juga diminta untuk menghindari kontak yang tidak perlu dengan bangsa-bangsa lain dan tidak meniru praktik-praktik hidup mereka, terutama penyembahan berhala, praktik takhayul, dan perilaku tidak bermoral. Jika mereka setia, mereka akan diberkati dan menjadi berkat. Namun, terkadang mereka gagal dan jatuh dalam penyembahan berhala, sehingga menajiskan diri mereka sendiri (lihat Kel. 32). Dengan kenajisan itu, mereka tidak layak di hadapan Allah dan mengundang segala macam bencana dalam hidup mereka.

Sebagai murid Kristus, kita dikuduskan bagi Tuhan ketika kita dibaptis. Melalui air sakramen pembaptisan dan formula Tritunggal yang diucapkan oleh imam, kita menjadi milik Allah semata, dan kita dipisahkan dari hal-hal dan tindakan yang menjauhkan kita dari Allah. Seperti bangsa Israel kuno yang hidup menurut Hukum Allah, kita juga diharapkan untuk hidup menurut Hukum Yesus Kristus yang Dia wariskan kepada Gereja-Nya. Jika kita setia, kita akan diberkati dan menjadi berkat bagi banyak orang. Namun, pada saat kita mendekatkan diri dengan penyembahan berhala dan berbagai praktik takhayul serta terlibat dalam perilaku amoral, kita menajiskan diri kita sendiri dalam dosa. Dengan kenajisan, kita tidak layak di hadapan Allah dan menarik segala macam kejahatan dalam hidup kita.

Namun, baptisan bukanlah satu-satunya bentuk pengudusan yang kita miliki. Salah satu pengudusan yang sering luput dari perhatian kita adalah pernikahan. Pernikahan itu unik karena kedua pasangan berjanji dengan kata-kata kebenaran untuk memberikan diri mereka secara total dan eksklusif kepada satu sama lain. Suami adalah milik istri sepenuhnya, dan istri adalah milik suami sepenuhnya. Dengan kata lain, pasangan suami-istri menguduskan diri mereka satu sama lain. Dalam pernikahan Katolik, pengudusan ini bersifat permanen karena dilakukan di hadapan Tuhan dan disahkan oleh Tuhan. Tidak heran jika pernikahan ini juga disebut sebagai pernikahan kudus. Jika pasangan setia pada pengudusan mereka, mereka sungguh menjadi kudus, dan hanya dalam kekudusanlah mereka dapat menerima kebahagiaan sejati. Namun, jika tidak setia, pasangan suami istri menajiskan diri mereka sendiri. Dengan kenajisan, mereka menjadi tidak layak bagi pasangannya dan membuka diri mereka terhadap segala macam hal yang buruk.

Pengudusan diri adalah jalan hidup kita sebagai murid Yesus. Setia pada pengudusan adalah kunci kebahagiaan sejati.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

True Happiness and Where to Find It

6th Sunday of Easter [B]
May 5, 2024
John 15:9-17

Happiness is a result of fulfilling our needs and desires. Since human beings have different needs, we also experience various kinds of happiness. We feel happy when we satisfy our hunger and complete our studies, but we also recognize that these are two distinct forms of happiness. Some types of happiness are emotionally intense but short-lived. Others do not give us thrills but are profound and lasting. Then, what kind of happiness do we need to set our eyes on?

To understand human needs, desires, and happiness, we need to understand who we are as a human person. We are beings with biological needs, and fulfilling these needs guarantees our survival. That is why things like good food, nice clothes and a proper house give us immediate pleasure. Part of our biological needs is the need to reproduce. Since this need relates to our basic survival as a species, nature has designed us to experience the most intense pleasure, but it also tends to be short-lived.

Yet, we are also beings with psychological needs. We look for emotional comfort, affirmation, and support. We do not only seek things to satisfy us but also other people who love us and to whom we express our emotions. The fulfilment of psychological needs yields more profound happiness and helps to counter various mental problems and disorders.

More than that, we are also beings with intellect and will. We also have a need to seek the truth and express our freedom and creativity. However, unlike other needs, this intellectual need requires us to spend a lot of effort and time, and often, it does not give us immediate, intense, emotionally charged pleasures. Yet, we know that though a good education is challenging and demands a lot of resources, its completion brings us profound satisfaction. Through education, we have grown, acquired skills and knowledge, and become better persons.

However, the Gospel teaches us that we are not only beings with biological, psychological, and intellectual needs. We are created not only for this earth. As the image of God, we are designed to go beyond this earthly life. The fathers of the Church speak of the human person as ‘capax Dei,’ that is ‘capable of God.’ Men and women are created for God. Then, how do we fulfil this spiritual need?

If we notice the dynamics between needs and happiness, we discover that the higher the needs, the more profound and lasting happiness we receive. Yet, the high-level needs require a higher level of effort. Consequently, to fulfil our need for God, we must be ready to give the most extraordinary effort, offering ourselves. More concretely, Jesus teaches us the way of true love, and the greatest love is to offer our lives to the persons we love. This is the paradox of true happiness. While other types of happiness are related to fulfilling needs for ourselves (we are the center), spiritual joy is moving away from ourselves. The more we are losing ourselves in love, the more we are open to God, the more we experience heavenly joy here on earth.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Kebahagiaan Sejati dan Di Mana Menemukannya

Minggu ke-6 Paskah [B]
5 Mei 2024
Yohanes 15:9-17

Manusia ingin bahagia, dan kebahagiaan sendiri datang dari terpenuhinya kebutuhan dan keinginan kita. Karena manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai jenis kebutuhan, maka manusia juga mengalami berbagai jenis kebahagiaan. Sebagai contoh, kita merasa senang saat kita kenyang, dan kita juga merasa senang saat kita lulus sekolah, namun kita menyadari bahwa ini adalah dua bentuk kebahagiaan yang berbeda. Yang pertama bahagianya terasa intens tapi singkat, sementara yang kedua, tidak intens tapi mendalam. Lalu, kebahagiaan seperti apa yang perlu kita cari?

Untuk memahami kebahagiaan manusia, kita perlu memahami bahwa kita, manusia, adalah makhluk yang memiliki banyak jenis kebutuhan. Ada kebutuhan biologis, psikologis, dan intelektual. Kebutuhan biologis seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan jika terpenuhi, akan menjamin kelangsungan hidup kita. Inilah sebabnya hal-hal ini memberi kita kesenangan secara cepat dan intens. Karena jika tidak memberikan rasa bahagia yang cepat, maka manusia akan menunda untuk mencari makan, dan terlalu lalu lama menunda maka kita akan mati.

Selain kebutuhan biologis, kita juga memiliki kebutuhan psikologis. Kita mencari kenyamanan, afirmasi, dan dukungan emosional. Kita membutuhkan orang-orang yang menyayangi kita dan juga kita butuh untuk mengekspresikan emosi kita dengan baik. Pemenuhan kebutuhan psikologis menghasilkan kebahagiaan yang lebih mendalam dan membantu mengatasi berbagai masalah dan gangguan mental.

Lebih dari itu, kita juga adalah makhluk yang memiliki akal budi dan kehendak bebas. Akal budi membuat kita mencari kebenaran, sementara kehendak bebas mendorong kita untuk mengekspresikan kebebasan dan kreativitas kita. Namun, tidak seperti kebutuhan lainnya, kebutuhan intelektual ini menuntut kita untuk mengeluarkan banyak usaha dan waktu, dan sering kali tidak memberikan kita kesenangan yang cepat dan intens. Contohnya, menyelesaikan pendidikan yang baik menuntut banyak waktu dan tenaga. Namun, saat kita bisa menyelesaikan pendidikan, kita akan mengalami kepuasan yang jauh lebih mendalam dari sekedar makan kenyang. Karena kita tahu bahwa, melalui pendidikan, kita telah bertumbuh, memperoleh keterampilan dan pengetahuan, dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Namun, Injil mengajarkan bahwa kita bukan hanya makhluk yang memiliki kebutuhan biologis, psikologis, dan intelektual. Kita diciptakan tidak hanya untuk dunia ini. Sebagai citra Allah, kita dirancang untuk melampaui kehidupan duniawi ini. Para Bapa Gereja berbicara tentang pribadi manusia sebagai ‘capax Dei’, yang berarti ‘mampu untuk (hidup bersama) Allah.’ Dengan kata lain, pria dan wanita diciptakan untuk hidup bersama Tuhan. Lalu, bagaimana kita memenuhi kebutuhan rohani ini?

Jika kita memperhatikan dinamika antara kebutuhan dan kebahagiaan, kita akan menemukan bahwa semakin tinggi jenis kebutuhan yang kita penuhi (seperti kebutuhan intelektual), semakin dalam kebahagiaan yang kita terima. Namun, jenis kebutuhan yang tinggi membutuhkan usaha yang lebih tinggi pula. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan kita akan Tuhan (kebutuhan yang paling tinggi), kita harus siap untuk memberikan usaha yang paling luar biasa, yakni mempersembahkan diri kita sendiri. Bagaimana caranya?

Yesus mengajarkan bahwa kasih yang paling besar adalah mempersembahkan hidup kita kepada orang yang kita kasihi. Inilah paradoks dari kebahagiaan sejati. Sementara jenis kebahagiaan lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan untuk diri kita sendiri (kita adalah pusatnya), sukacita rohani bergerak berlawan arah, yakni pengosongan diri. Semakin kita kehilangan diri kita sendiri dalam kasih, semakin kita terbuka kepada Tuhan, semakin kita mengalami sukacita surgawi di dunia ini.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP