Kerendahan Hati dan Kesombongan Rohani

Minggu ke-26 dalam Masa Biasa [A]

27 September 2020

Matius 21: 28-31

Untuk memahami perumpamaan tentang dua anak laki-laki pemilik kebun anggur ini, kita perlu membaca seluruh Matius pasal 21. Yesus baru saja memasuki kota Yerusalem dan disambut oleh orang-orang dengan teriakan “Hosana” dan ranting palem. Kemudian, Dia pergi ke area Bait Allah untuk menyucikannya dari malpraktek yang terjadi. Jadi, para penatua dan imam kepala, yang bertanggung jawab atas Bait Allah, mempertanyakan Yesus, “siapa kamu? Dengan wewenang apa Anda bertindak demikian? ”

Jadi, Yesus menjawab mereka melalui perumpamaan. Perumpamaan ini berbicara tentang dua anak laki-laki; yang pertama mewakili para penatua dan yang kedua mewakili para pemungut pajak dan pelacur. Namun, yang mengejutkan para tetua adalah mereka  menjadi antagonis dari cerita tersebut. Yang memperparah adalah para sesepuh praktis berada dalam kondisi yang lebih buruk dari para pemungut pajak, karena mereka masih jauh dari kebun anggur, dari keselamatan. Namun, alih-alih bertobat, para penatua menjadi marah dan memutuskan untuk menghabisi Yesus selamanya.

Pertanyaannya adalah “mengapa pemungut cukai bisa bertobat sedangkan yang penatua tidak?” Jawabannya ada hubungannya dengan dua kekuatan yang saling bertentangan: di satu sisi adalah kerendahan hati dan yang lainnya adalah kesombongan rohani. Kita mulai dengan kesombongan rohani. Berdasarkan tradisi Gereja, kesombongan adalah yang paling mematikan dari tujuh dosa maut. St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kesombongan adalah “hasrat berlebihan atas keunggulan diri sendiri dan akhirnya menolak tunduk kepada Tuhan.” Singkatnya, manusia yang sombong menganggap diri mereka lebih baik daripada yang lain. Apa yang membuat kesombongan begitu berbahaya adalah kesombongan membuat orang berpikir bahwa mereka mandiri dan bahkan tidak membutuhkan Tuhan.

Kesombongan juga sangat susah dideteksi karena dapat mengakar bahkan dalam hal-hal rohani. Kita tidak bisa mengatakan bahwa saya bernafsu untuk berdoa, tetapi kita bisa sombong dengan kehidupan rohani kita. Kita melihat diri kita lebih suci dan lebih saleh daripada orang lain berdasarkan standar kita.

Lawan dari kesombongan adalah kerendahan hati. Menurut St. Thomas Aquinas, kerendahan hati adalah keutamaan yang “mengolah jiwa, sehingga tidak menghasratkan yang lebih dari kodratnya.” Singkatnya, kerendahan hati adalah penangkal kesombongan rohani. Kerendahan hati dalam bahasa Latin “humilitas” berakar dari kata “humus” yang berarti tanah. Orang yang rendah hati mengenali identitas mereka yang berasal dari debu, dan nafas kehidupan serta kesempurnaan adalah anugerah Tuhan. Kerendahan hati ini akan mendatangkan rasa syukur karena kita menyadari bahwa meskipun hanya debu, Tuhan sangat murah hati dan penuh belas kasihan kepada kita.

Namun, kadang kita membingungkan antara menjadi rendah hati dengan menjadi minder. Minder itu kurang percaya diri dan biasanya lari dari tanggung jawab, karena belum dewasa. Minder berakar pada citra diri yang tidak lengkap dan bahkan terdistorsi. Sementara kerendahan hati dimulai dengan pemahaman yang benar tentang diri kita sendiri, bahwa kita secara sempurna dikasihi oleh Tuhan. Orang yang rendah hati adalah orang yang kuat karena hanya yang kuat yang bisa mengakui dosa-dosanya. Orang yang rendah hati adalah orang yang dewasa karena hanya yang dewasa yang bisa mengakui kelemahannya, meminta maaf, dan meminta bantuan. Pria dan wanita yang rendah hati adalah orang yang tangguh karena mereka bisa memaafkan walaupun itu sangat sulit.

Tuhan, berikan aku kerendahan hati, agar aku mengikuti kehendak-Mu yang suci.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pride and Humility

26th Sunday in Ordinary Time [A]

September 27, 2020

Matthew 21:28-31

Reading the entire Matthew chapter 21, we will get the sense of the parable of the two sons of the vineyard owner. Jesus just entered the city of Jerusalem and was welcomed by the people with a shout of “Hosanna” and palm branches. Then, he proceeded to the Temple area to cleanse it from the malpractices plaguing the holy ground. Thus, the elders and chief priests, the one who was in charge of the Temple, questioned Jesus, “who are you? By what authority do you act and teach?”

Thus, Jesus answered them through a parable. This parable speaks of two sons; the first representing the elders and the second the tax collectors and prostitutes. Yet, to the surprise of the elders, far from being the protagonists of the story, they turn to be the villains. To add insult to the injury, the elders were practically in the worse condition than these tax collectors, because they are still far from the vineyard, from salvation. However, instead of repenting, the elders got infuriated and decided to finish Jesus once for all.

The question is “why were the tax collectors able to repent while the elders were not?” The answer is something to do with two opposing powers: at one side of the ring is humility and the other is pride. We begin with pride. Based on the Church’s tradition, pride is the deadliest of seven deadly sins. St. Thomas Aquinas explained that pride is “an excessive desire for one’s own excellence which rejects subjection to God.” In short, proud men regard themselves better than others to the point of contempt. What makes pride so dangerous, it may lead even people to think they are self-sufficient and has no need even of God.

Pride is extremely subtle because it can take root even in spiritual matters. We cannot say that I am lustful for prayer, but we can be proud of our spiritual life. We see ourselves holier and more pious than others based on our standards.

At the opposite corner is humility. According to St. Thomas Aquinas, humility is a virtue that “temper and restrain the mind, lest it tends to high things immoderately.” In short, humility is the antidote of pride. Humility is rooted in the Latin word “humus” meaning soil. Humble persons recognize their identity as coming from the dust, and the breath of life and perfections are gifts of God. This humility will bring gratitude because we realized that despite nothing but dust, God is boundlessly generous and merciful to us.

However, humility and cowardice are often confused. Cowardice manifests in low self-esteem, lack of confidence, and poor in responsibility. Cowardice is rooted in incomplete and even distorted self-image. While humility begins with the right understanding of the self, that we are gratuitously loved by God. Humble people are strong people because only strong ones can confess their sins. Humble persons are mature persons because only mature ones are able to own their weakness, say sorry, and ask for help. Humble men and women are tough people because it is hard to forgive.

 

Lord, grant us humility, that we may follow Your holy will.

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Parable of Mercy

25th Week in Ordinary Time [A]

September 20, 2020

Matthew 20: 1-16

lambros-lyrarakis vineyard 2

Among the many parables of Jesus, this parable of the owner of the vineyard is one that I find difficult to understand. Every time I read this parable, I always felt that something was wrong. Perhaps, I easily associate myself with the first-coming workers, who work from morning to sunset. They are laborers who spend their time and energy under the heat of the sun and give their efforts to meet the demands of the vineyard owner. However, they receive the same wages as those who only offer one hour of work. Of course the owner of the vineyard did not break the contract, but there still seemed to be injustice.

Maybe, this experience is like when I was studying in Manila. I was studying hard to get the best that I could achieve. Indeed, I got good grades, but what I could not accept was when my classmates who did not spent much effort, got also the same grades as I did. For me, It was not fair, but I could drop my complaint because the final grade is the prerogative of the professor.

However, things started to look different when I became a teacher myself. At one point, I needed to give my students final grades. And this is the utmost dilemma for me because I realize that on the one hand, I need to provide justice, but on the other hand, I want all my students to pass and graduate. Finally, I often chose compassion and allowed my struggling students to pass. I am fully aware that some of my students will feel that I am unfair, and that is the burden I must bear as a lecturer who chooses to be compassionate.

If we try to look closely at what vineyard owner is doing, we will find it funny and even weird. He kept looking for and hiring new persons almost every three hours. To make matters worse, he gave the same daily wages for all. In the economy and business, overspending and excess labor are a recipe for bankruptcy! However, the owner of the vineyard did not seem to care and was constantly looking for laborers. Perhaps, he knew very well that if these people were without jobs, they would starve to death, but if they worked and received less than the minimum wage, they wouldn’t be able to survive either. He couldn’t satisfy everyone, but at least he would be able to save everyone.

Learning from this parable, rather than complaining to God, we need to rejoice because our Lord is full of mercy, who even takes the initiative and seeks to seek out those of us who need salvation, and who willingly give eternal life even to those who have not lived well, but at the last moment repent.

 We should rejoice because in God’s eyes, we are all the last workers to beg mercy. Who knows, the workers who come first are actually the angels, and we really are the last unworthy laborers. With our sin, we all deserve to go to hell, but God stretches out His hand and opens the Gates of Heaven. We should rejoice that heaven is not a lonely place where few righteous people deserve it, but it is full of grateful people who enjoy God’s mercy even if they are not worthy.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pic: lambros lyrarakis

Perumpamaan Kerahiman

Minggu ke-25 dalam Waktu Biasa [A]

20 September 2020

Matius 20: 1-16

Di antara banyak perumpamaan Yesus, perumpamaan tentang pemilik kebun anggur yang satu ini adalah perumpamaan yang sulit saya pahami. Setiap saya membaca perumpamaan ini, saya selalu merasa ada yang tidak beres. Mungkin, saya dengan mudah mengasosiasikan diri dengan pekerja yang pertama datang, yang bekerja dari pagi hingga matahari terbenam. Mereka adalah para buruh yang menghabiskan waktu dan energi mereka di bawah terik matahari dan mengerahkan upaya mereka untuk memenuhi tuntutan pemilik kebun anggur. Namun, mereka menerima upah yang sama dengan mereka yang hanya memberikan satu jam kerja. Tentunya pemilik kebun anggur tidak melanggar kontrak, tapi tetap sepertinya ada ketidakadilan.

Mungkin, pengalaman ini seperti saat saya masih kuliah di Manila. Saya belajar keras untuk mendapatkan yang terbaik yang bisa saya raih. Memang, saya mendapat nilai baik, tetapi yang membuat saya tidak terima adalah ketika teman-teman sekelas saya yang saya tahu bahwa mereka pas-pasan, mendapat nilai yang sama dengan saya. Bagi saya, itu tidak adil, tetapi saya tidak dapat melayangkan keluhan saya karena nilai akhir adalah hak prerogatif dosen.

Namun, hal ini mulai terlihat berbeda ketika saya menjadi dosen. Pada satu titik, saya perlu memberi nilai akhir kepada siswa saya. Dan ini adalah saat yang paling dilematis bagi saya karena saya menyadari bahwa di satu sisi, saya perlu memberikan keadilan, tetapi di sisi lain, saya ingin semua siswa saya lulus dan berhasil. Akhirnya, saya lebih sering memilih belas kasihan dan mengizinkan murid-murid saya yang pas-pasan untuk lulus. Saya sepenuhnya sadar bahwa beberapa siswa saya akan merasa bahwa saya tidak adil, dan itulah beban yang harus saya tanggung sebagai dosen yang memilih untuk berbelas kasihan.

Jika kita mencoba melihat dengan teliti apa yang dilakukan pemilik kebun anggur, kita akan menganggapnya lucu dan bahkan aneh. Dia terus mencari dan memperkerjakan orang baru hampir setiap tiga jam. Lebih parah lagi, dia memberikan upah harian yang sama untuk semua. Dalam ekonomi dan bisnis, pengeluaran berlebihan dan kelebihan tenaga kerja adalah resep kebangkrutan! Tapi, si pemilik kebun anggur sepertinya tidak peduli dan terus mencari tenaga kerja. Mungkin, dia tahu betul jika orang-orang ini tanpa pekerjaan, mereka akan mati kelaparan, namun jika mereka bekerja dan menerima kurang dari upah minimum, mereka juga tidak akan bisa bertahan hidup. Dia tidak bisa memuaskan semua orang, tapi setidaknya dia akan bisa menyelamatkan semuanya.

Belajar dari perumpamaan ini, daripada mengeluh kepada Tuhan, kita perlu bersukacita karena Tuhan kita penuh belas kasihan, yang bahkan Dialah berinisiatif dan berupaya untuk mencari kita yang membutuhkan keselamatan, dan yang dengan sedia memberikan kehidupan kekal bahkan bagi mereka yang selama hidupnya tidak baik, tetapi pada saat terakhir bertobat.

 Kita harus bersukacita karena dalam mata Tuhan, kita semua adalah pekerja terakhir yang memohon belas kasihan pemilik kebun anggur. Siapa tahu, pekerja yang datang pertama sebenarnya adalah para malaikat, dan kita benar-benar pendatang terakhir yang tidak layak. Dengan dosa kita, kita semua pantas masuk neraka, tapi Tuhan mengulurkan tangan-Nya dan membuka Gerbang Surga. Kita harus bersukacita bahwa surga bukanlah tempat yang sepi di mana hanya sedikit orang benar yang layak mendapatkannya, tetapi surga penuh dengan orang-orang yang bersyukur yang menikmati belas kasihan Tuhan walau tidak layak.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Picture: Maja Patric

Belas Kasih: Jalan Kehidupan

Minggu ke-24 di Masa Biasa [A]

13 September 2020

Matius 18: 21-35

josue-escoto-UkpYNiJyx8A-unsplash

Minggu lalu, Injil berbicara tentang bagaimana perlu menegur saudara kita yang berdosa. Jika seorang saudara berdosa kepada kita, kita wajib memberikan koreksi dalam kasih. Minggu ini, Injil berbicara tentang apa yang harus kita lakukan jika seseorang yang telah menerima koreksi, bertobat dan meminta pengampunan. Jawabannya sederhana: kita memaafkannya, dan kita merangkulnya kembali ke dalam persekutuan.

Simon Petrus mencoba untuk mengesankan Guru-nya. Dia menyatakan bahwa dia bersedia memaafkan hingga tujuh kali. Simon Petrus ingin menunjukkan kepada Yesus bahwa dia juga mampu memiliki standar yang tinggi. Yang mengejutkan adalah Yesus tidak terkesan, dan pada kenyataannya, mengajarkan kepada para murid keutamaan lainnya yakni tentang keadilan, belas kasihan dan pengampunan.

Kali ini, Yesus mengajar dengan metode favorit-Nya: menceritakan sebuah perumpamaan, dan kita akan menghargai perumpamaan ini jika kita dapat mengenali konteks sejarah dan hal yang tidak terduga. Seorang hamba berhutang 10.000 talenta kepada seorang raja. Pada zaman Yesus, talenta adalah koin emas yang berharga, dan itu setara dengan 6.000 dinar. Satu dinar sendiri setara dengan upah satu hari kerja. Jadi, hamba ini berhutang 60.000.000 hari kerja kepada tuannya [atau sekitar 160.000 tahun kerja!]. Yang paling mengejutkan bukanlah jumlah hutang sang hamba, tetapi sikap sang raja yang dengan mudah mengampuni dan menghapus seluruh hutang ketika hamba memohon belas kasihan.

Oleh karena itu, ketika raja menerima berita bahwa hamba yang telah dimaafkan ini menolak untuk mengampuni sesama hamba yang memiliki hutang yang jauh lebih kecil [100 dinar], kemarahannya dapat dibenarkan, dan belas kasihannya berubah menjadi keadilan.

Dengan bercermin pada perumpamaan ini, kita memahami bahwa di hadapan Tuhan Allah, kita tidak berbeda dengan hamba ini. Kita tidak berhak mendapatkan apapun dari Tuhan kecuali satu hal: neraka! Dosa telah menghancurkan hubungan kita dengan Tuhan, dan kita menciptakan lubang yang sangat dalam. Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menutup celah yang tidak terbatas ini. Hanya Tuhan yang mahakuasa yang memiliki kemampuan untuk membangun jembatan yang mustahil diseberangi ini. Syukurlah, Yesus telah meyakinkan kita bahwa Bapa-Nya juga adalah kerahiman itu sendiri. Meskipun kita tidak pantas mendapatkan apa-apa selain neraka, Tuhan telah membukakan pintu surga bagi kita.

Karena tidak ada yang bisa mendapatkan belas kasihan Tuhan, kerahiman-Nya selalu cuma-cuma, tetapi tidak berarti hal ini murahan. Tuhan ingin kita melakukan sesuatu juga untuk menerima belas kasihan-Nya. Dia mau kita untuk berbelas kasihan. Dia mengampuni kita, maka kita juga perlu mengampuni mereka yang telah menyakiti kita. Yesus sendiri mengingatkan kita bahwa kita harus berbelas kasihan seperti Bapa kita di surga yang penuh belas kasihan [Luk 6:36]. Berbelas kasihan bukanlah sekedar pilihan. Sesungguhnya, keadilanlah yang akan diterapkan pada kita di penghakiman terakhir.

Kita tahu bahwa mengampuni itu sulit, tetapi sekali lagi kita bisa belajar dari Yesus bagaimana cara mengampuni. Di kayu salib, Dia berkata, “Bapa, ampunilah mereka; karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan [Luk 23:34]. ” Langkah pertama adalah berdoa untuk orang-orang yang telah bersalah kepada kita. Dengan sering berdoa, kita melatih hati kita untuk melepaskan amarah dan kepahitan kita, dan bahkan belajar mengasihi seperti Tuhan mengasihi orang-orang yang memusuhi Dia.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mercy is the Option

24th Sunday in Ordinary Time [A]

September 13, 2020

Matthew 18:21-35

felix-koutchinski-QARM_X5HWyI-unsplash

 

Last Sunday, the Gospel spoke about the fraternal correction. If a brother has offended us, we are obliged to offer charitable correction. This Sunday, the Gospel tells us what to do if a person who has received a correction, is repenting and asking for forgiveness. The answer is simple: we forgive him, and we embrace him back into the communion.

Simon Peter, the spokesperson of the disciples, is trying to impress his Master. He offers that he is willing to forgive up to seven times. Simon Peter wants to show Jesus that he is also capable of having a high standard. To his surprise, Jesus is not impressed, and in fact, teaches the disciples another great lesson about justice, mercy and forgiveness.

This time, Jesus pulls out His favorite method: telling a parable, and we will appreciate the parable if we are able to recognize the historical context and its surprise. A servant owes 10,000 talents to a king. In Jesus’ time, talent is a precious gold coin, and it equals to 6,000 denarii. One denarius itself is equivalent to a wage of one day labor. Thus, this servant owes 60,000,000 days of work to His Master [or around 160,000 years of work!]. Yes, despite the unthinkably fantastic amount of debt, the king easily forgives and erases the entire debt when the servant begs for mercy. This king’s attitude is even more insane!

Therefore, when the king receives the news that this forgiven servant refuses to forgive another fellow servant with infinitely smaller debt [100 denarii], his anger is justifiable, and expectedly, his mercy turns to justice.

Reflecting this parable, we understand that before the Lord God, we are no different from this servant. We deserve nothing from the Lord except one thing: hell! Sin has destroyed our relationship with God, and we created an infinitely bottomless pit. Finite as we are, nothing we can do to close the infinite gap. Only the infinitely powerful God possesses the ability to build the impossible bridge. Fortunately, Jesus has assured us that His Father is also the Mercy Himself. Though we deserve nothing but hell, God has opened the gate of Paradise to us.

Since nobody can earn God’s mercy, His mercy is always free, but it does not mean it is cheap. God wants us to do something also to receive His mercy. He expects us to be merciful. If He forgives us, then we need to forgive those who have hurt us. Jesus Himself reminds us that we should be merciful as our Father in heaven is merciful [Luk 6:36]. Being merciful is not an option. In fact, it is the justice that will be applied to us in the final judgment.

We know that to forgive is tough, but again we may learn from Jesus how to forgive. At the cross, He said, “Father, forgive them; for they do not know what they are doing [Luk 23:34].” The first step is to pray for those people who have offended us. By praying often, we train our heart to let go of our anger and bitterness, and even to learn to love the way God loves even those people who wish Him not to exist at all.

Valentinus Bayuhadi Ruseno

Fraternal Correction

23rd Sunday in Ordinary Time [A]

September 6, 2020

Matthew 18:15-20

josh-applegate-_TgzNXPF9IM-unsplash

Today’s Gospel is well known as the fraternal correction or the way to correct our brothers. However, if we carefully read the text, we discover what being corrected is not simply about our appearance, mannerism, or etiquette. The concern of Jesus is about sin. Jesus does not teach us to correct someone who has a weird hairstyle, or someone who sleeps with a huge snore, or someone whose way of talking we do not like. If there is something that makes Jesus angry is none other than sin. Why so? Sin can destroy our relationship with God, and it closes the gate of heaven. Jesus’ mission is to bring forgiveness of sin and to undo the effects of sin, but if we refuse to repent and keep sinning, we throw insults to the sacrifice of Christ.

Jesus gives us the three stages of correcting a brother who lives in sin. The first level is a personal and compassionate reminder. We must not speak behind the person, but rather dare to confront and yet with charity. Just in case, the person is still obstinate, we activate the second level: calling two or three witnesses. The presence of witnesses will substantiate our claim. Yet, if the person remains stubborn, we shall appeal to the Church. We need to remember that the Church in Matthew 18 is not just an assembly of the believers, but the apostles, the authorities of the Church. If again, the person persists in his sin, then the Church has to treat him like gentiles and tax collectors.

Gentiles are non-Jewish nations and because they were not circumcised and worshiped idols, they are considered unclean and sinners. While the tax collectors were people who work for the Roman empire, and because their constant contact with the Romans and their corrupt practices, made them also unclean and sinners. The unclean people are not allowed to enter the Temple and synagogues to worship God. Thus, treating an obstinate brother like a pagan and tax collector means to separate him from the assembly in worship. This technical term for this is excommunication. This word is coming Latin words: “ex-” meaning outside, and “communion” meaning community or fellowship. Thus, being excommunicated is outside of the worshiping community. Thus, excommunicated persons are not allowed to receive the Holy communion, the sign of unity of the Body of Christ.

Excommunication seems to be too cruel, yet looking in a bigger perspective, it is a way of mercy, rather simply a tool of punishment. In fact, the Church rarely pronounced the sentence of excommunication. Most of the cases, it is the people who walk away from the Church and separate themselves from God and His people. We must also remember that Jesus is loving the gentiles and the tax collectors, calling them to repentance and performing many miracles for them. Our love for our brothers who are living sin remains and even gets intensified. The reason is that Jesus does not want them to perish, but live with God. We correct our erring brothers and sisters not because we hate them, but because we love them and because we are part of the same family of God. We are responsible for one another and we shall keep our brothers and sisters in our way toward heaven.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Fraterna Correctio

Minggu ke-23 dalam Waktu Biasa [A]

6 September 2020

Matius 18: 15-20

bundo-kim-KYRHKbcWdYM-unsplashInjil kita hari ini dikenal dalam Bahasa Latin sebagai fraterna correctio atau cara mengoreksi saudara kita. Namun, jika kita membaca teks dengan cermat, apa yang dikoreksi bukan hanya tentang penampilan, tingkah laku, atau etiket kita. Yesus berbicara tentang dosa. Yesus tidak mengajari kita untuk mengoreksi seseorang yang memiliki gaya rambut aneh, atau seseorang yang tidur mendengkur. Jika ada sesuatu yang membuat Yesus marah tidak lain adalah dosa. Kenapa begitu? Dosa bisa menghancurkan hubungan kita dengan Tuhan, dan menutup gerbang surga. Misi Yesus adalah untuk membawa pengampunan dosa dan untuk menghilangkan efek dosa, tetapi jika kita menolak untuk bertobat dan terus berbuat dosa, kita menghina pengorbanan Kristus.

Yesus memberi kita tiga tahap mengoreksi saudara yang hidup dalam dosa. Tingkat pertama adalah pengingatkan secara pribadi dan penuh kasih. Kita tidak boleh berbicara di belakang orang tersebut, tetapi dengan berani untuk berkonfrontasi namun dengan kasih. Jika orang tersebut masih keras kepala, kita berlanjut ke tingkat kedua: memanggil dua atau tiga saksi. Kehadiran saksi akan memperkuat klaim kita. Namun, jika orang itu tetap keras kepala, kita akan banding kepada Gereja. Perlu kita ingat bahwa Gereja dalam Matius 18 bukan hanya kumpulan orang-orang beriman, tetapi para rasul atau otoritas Gereja. Namun, jika orang itu tetap dalam dosanya, Gereja harus memperlakukan dia seperti orang kafir dan pemungut cukai.

Bangsa-bangsa bukan Yahudi tidak disunat dan menyembah berhala, oleh karena itu mereka dianggap najis dan berdosa. Sedangkan pemungut cukai adalah orang-orang yang bekerja untuk kekaisaran Romawi, dan karena kontak mereka yang terus-menerus dengan orang Romawi dan praktik korupsi mereka, mereka dianggap juga najis dan berdosa. Orang-orang najis tidak diizinkan masuk ke Bait Allah dan sinagoga untuk menyembah Tuhan. Jadi, memperlakukan saudara yang keras kepala seperti orang-orang non-Yahudi dan pemungut cukai berarti memisahkan dia dari peribadatan. Istilah teknis untuk ini adalah ekskomunikasi. Kata ini berasal dari kata Latin: “ex-” yang berarti di luar, dan “communio” yang berarti komunitas atau persekutuan. Jadi, ekskomunikasi berada di luar komunitas yang berdoa. Dengan demikian, orang-orang yang diekskomunikasi tidak diperbolehkan menerima Komuni Kudus, yang adalah tanda kesatuan Tubuh Kristus.

Ekskomunikasi tampaknya terlalu kejam, namun melihat dalam perspektif yang lebih besar, itu adalah cara belas kasih, bukan sekadar alat hukuman. Pada kenyataannya, Gereja sangat jarang menjatuhkan sanksi ekskomunikasi. Sebagian besar kasus, adalah pribadi-pribadi itu sendiri yang menjauh dari Gereja dan memisahkan diri mereka dari Tuhan dan umat-Nya. Kita juga harus ingat bahwa Yesus juga mengasihi orang-orang bukan Yahudi dan pemungut cukai, memanggil mereka untuk bertobat, dan melakukan banyak Mujizat bagi mereka. Kasih kita kepada saudara-saudara kita yang hidup dalam dosa tetap ada dan bahkan semakin kuat. Mengapa? karena Yesus tidak ingin mereka binasa, tetapi hidup bersama Tuhan. Kita mengoreksi saudara dan saudari kita bukan karena kita membenci mereka, tetapi karena kita mengasihi mereka dan karena kita adalah bagian dari keluarga Allah yang sama. Kita bertanggung jawab satu sama lain dan kita akan menjaga saudara-saudari kita tetap berjalan menuju surga.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP