Mengapa Pintu Gerbang

Minggu Keempat Paskah [A]
30 April 2023
Yohanes 10:1-10

Hari ini adalah hari Minggu keempat Paskah dan tradisi Gereja Katolik menyebutnya juga sebagai Minggu Gembala yang Baik. Alasannya bisa kita temukan dalam Bacaan Injil dimana Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai sang Gembala yang Baik. Namun, tidak hanya sebagai Gembala yang baik, tetapi Yesus juga menyebut diri-Nya sebagai ‘Sang Pintu Gerbang’. Ketika Yesus menyatakan bahwa Dia adalah pintu gerbang bagi domba-domba, ini berarti bahwa hanya melalui Yesus, kita, domba-domba-Nya, dapat menemukan kelegaan dan keselamatan yang sejati. Namun, mengapa Yesus menyebut diri-Nya sebagai pintu gerbang? Bukankah menjadi gembala yang baik sudah cukup bagi kita? Jawabannya terletak pada kehidupan dan tugas seorang gembala pada zaman Yesus, dan salah satu tugas utama seorang gembala adalah sungguh menjadi ‘pintu gerbang.’

Domba pada umumnya adalah hewan yang berada di padang rumput terbuka daripada di dalam kandang tertutup. Oleh karena itu, untuk mengumpulkan dan melindungi domba-domba pada malam hari, para gembala membangun ‘kandang terbuka’ yang terbuat dari struktur tembok batu melingkar, kurang lebih setinggi 1,5 meter di padang terbuka. Ukuran struktur ini pasti akan tergantung pada banyak atau sedikitnya domba yang ada. Kemudian, umumnya kandang tersebut hanya memiliki satu jalan masuk, dan yang membuat pintu ini unik adalah sang gembala akan menempatkan dirinya di jalan masuk tersebut, dan seolah-olah berfungsi sebagai pintu gerbang. Dengan berada pada posisi tersebut, sang gembala mencegah domba-dombanya keluar dan melindungi mereka dari binatang buas yang mencoba masuk. Gembala juga harus waspada dan berjaga-jaga terhadap pencuri yang akan melompati tembok kandang dan mencelakakan domba. Sekarang, kita tahu bahwa gembala secara harfiah menjadi pintu gerbang kandang domba. Pada pagi hari, gembala akan memanggil domba-dombanya dan mereka akan mengikutinya saat mereka keluar melalui gerbang dan berjalan menuju padang rumput yang hijau.

Yesus adalah pintu gerbang. Ini berarti bahwa hanya di dalam Dia dan melalui Dia, kita menemukan keselamatan sejati dari bahaya yang datang dari yang jahat (dilambangkan sebagai ‘binatang buas’ dan ‘pencuri’). Meskipun benar bahwa hidup di dunia ini, kita terus-menerus menghadapi bahaya dalam bentuk penyakit, krisis keuangan, masalah mental dan relasi, dan bahaya fisik lainnya, satu-satunya bahaya yang dapat memiliki konsekuensi kekal adalah bahaya yang menghancurkan jiwa kita. Tidak ada makhluk lain yang bekerja tanpa henti untuk menyakiti jiwa kita kecuali iblis dan tentaranya. Menghadapi musuh-musuh rohani yang sangat berbahaya ini, kita hanya dapat mengandalkan Yesus, Gembala dan Pintu Gerbang kita.

Sekali lagi, kita perlu diingatkan bahwa kasus-kasus kerasukan dan serangan fisik dari roh jahat adalah cara-cara yang luar biasa. Cara-cara yang biasa dan lazim untuk mencelakai jiwa kita adalah melalui godaan-godaan untuk berbuat dosa. Dengan demikian, hanya di dalam Yesus dan melalui sarana yang Dia berikan kepada kita melalui Gereja-Nya, kita menemukan keamanan sejati kita dari serangan si jahat. Melalui penerimaan Ekaristi secara teratur dan saleh, kita terus merumput di ‘padang rumput hijau rohani’. Melalui sakramen rekonsiliasi, Gembala yang Baik sekali lagi membawa kita, domba-domba yang hilang, ke kandang. Melalui berbagai latihan rohani, seperti devosi, puasa dan amal, kita bertumbuh dalam kepekaan terhadap suara Gembala kita dan juga melindungi diri dari musuh-musuh rohani kita. Hanya di dalam dan melalui Yesus, pintu gerbang sejati, kita menemukan keamanan dan kedamaian yang sejati.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Why Gate

Fourth Sunday of Easter [A]

April 30, 2023

John 10:1-10

Today is the fourth Sunday of Easter and traditionally it is also called as the Good Shepherd Sunday. This is for an obvious reason. The Gospel reading tells us about Jesus who introduces Himself as the gate of the sheepfold and the Good Shepherd. The other readings also point the image of God as the good shepherd, like the world-renown psalm 23, “the Lord is my shepherd.”

When Jesus proclaims that He is the gate of the sheep, it means that only through Jesus, we, His sheep, may find true rest and salvation. Yet, why did Jesus call himself a gate? Is not being a good shepherd already sufficient for us? The answer lies on the life and duties of a shepherd in the time of Jesus. One of the main purposes of a shepherd is precisely to become a ‘gate’ to the sheepfold.

A sheep is generally an animal who stays at the field rather than inside the stable or barn. Thus, to gather and protect the sheep during the night, the shepherds built a stone enclosure as high as 1.5 meter (around 5 feet) at the open field. The size of the enclosure would surely depend on the volume of the sheep. Then, generally it had only one passageway, and what made this passage unique is that the shepherd would station himself at the access way during the night both to prevent the sheep from going out and to protect the sheep from wild animals that tried to enter. From the point, the shepherd must be alert and vigilant for thieves who would jump over the enclosure wall and harm the shepherd. From here, we know that the shepherd is literally the gate of the sheepfold. At the morning, the shepherd would call his sheep and they would follow him to him as they were going out through the gate and marching to the green pasture.

Jesus is the gate of the sheepfold. This means that only in Him and through Him, we find true safety from the real dangers coming from the evil ones (symbolized as ‘wild animals’ and the ‘thieves’). While it is true that living in this world, we are constantly facing dangers in the forms of sickness, financial crisis, mental and relational issues, and other physical harms, the only danger that can have eternal consequence is one that destroys our souls. There are no other beings working relentlessly to harm our souls except the devil and his minions. Facing these extremely dangerous spiritual enemies, we can only rely in Jesus, our shepherd and gate.

Again, we need to be reminded that cases of demonic possessions, harassment and infestation are extraordinary ways. The ordinary and usual ways to harm our souls is through temptations to sin. Thus, only in Jesus and through the means He has given us through His Church, we find our true security from the onslaughts of the evil one. Through regular and pious reception of the Eucharist, we continue to graze in ‘spiritual green pasture’. Through the sacrament of reconciliation, the Good Shepherd once again brings us, the lost sheep, to the fold. Through various spiritual exercises, like devotions, fasting and almsgiving, we are growing in sensitivity to our Shepherd’s voice as well as the voice of our enemies. Only in and through Jesus, the gate of the sheepfold, we find our true security and peace.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jalan menuju Emaus, Jalan menuju Ekaristi

Minggu ke-3 Paskah [A]

23 April 2023

Lukas 24:13-35

Dua orang murid Yesus pergi ke sebuah desa bernama, Emaus. Salah satu dari mereka adalah Kleopas, dan rekan seperjalanannya yang kemungkinan adalah istrinya sendiri, Maria [lihat Yoh. 19:25]. Mengapa mereka pergi ke Emaus? Mungkin mereka takut dengan penguasa Romawi dan Yahudi yang mengejar murid-murid Yesus setelah jenazah Yesus diketahui hilang. Oleh karena itu, mereka bersembunyi di Emaus. Alasan lainnya adalah keputusasaan. Meskipun Injil tidak secara eksplisit mengatakan bahwa Emaus adalah kampung halaman Kleopas, namun ada kemungkinan besar bahwa Emaus memang tempat asal Kleopas. Harapan dan ekspektasi mereka hancur ketika Yesus, Mesias yang mereka harapkan, dikhianati dan disalibkan. Mereka tidak lagi memiliki alasan untuk tinggal di Yerusalem. Akhirnya, mereka memutuskan untuk meninggalkan murid-murid yang lain dan kembali ke rumah mereka di Emaus.

Namun, Yesus memiliki rencana khusus untuk mereka. Di tengah perjalanan, Yesus menampakkan diri, meskipun mereka tidak dapat mengenali-Nya. Yesus memulai dialog dengan menanyakan keadaan mereka. Dengan sedih, mereka mulai menceritakan kepada-Nya bagaimana mereka mengharapkan Yesus untuk menebus Israel, tetapi Dia gagal, dan wafat di kayu salib. Bahkan dalam kekecewaan mereka, Kleopas menganggap Yesus hanya sebagai seorang nabi, bukan lagi Mesias. Kemudian, Yesus menegur mereka karena kelambanan mereka untuk mempercayai apa yang telah dinubuatkan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama tentang Mesias. Kemudian, Yesus mulai menjelaskan ‘Musa dan para nabi’ (yaitu Kitab Suci Perjanjian Lama) kepada mereka. Ini adalah bible study pertama pasca kebangkitan dan diberikan oleh Yesus sendiri!

Lukas memberikan kita detail yang menarik tentang bagaimana metode Yesus dalam melakukan bible study. “Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Diadalam seluruh Kitab Suci… [Luk 24:27].” Pusat gravitasi dari bible study ini adalah Yesus. Dia menunjukkan bagaimana Musa dan para nabi telah bernubuat tentang Dia, dan bagaimana sekarang Yesus telah menggenapi nubuat-nubuat tersebut melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Dalam tradisi Gereja, metode ini disebut ‘katekese tipologis’ [lih. KGK 129). Sederhananya, tipologi adalah sebuah cara untuk melihat tokoh-tokoh, tempat-tempat, dan peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama digenapi dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam diri Yesus Kristus. Faktanya, Gereja mula-mula juga menggunakan metode Yesus ini. Sebagai contoh, Paulus dalam suratnya, menyebut Yesus sebagai Adam yang baru atau Adam yang kedua [lih. Rm. 5:12-21; 1 Kor. 15:45-49]. Namun, Yesus lebih dari sekadar Adam yang baru. Dia juga Musa yang baru, Daud yang baru, dan banyak lagi.

Namun, Bible Study Yesus bukan hanya tentang metode yang baik. Bahkan, ini bukan tentang pendalaman ilmu Kitab Suci. Ada sesuatu yang lebih dalam. Kisah Kleopas dan rekannya tidak berakhir dengan berakhirnya Bible Study, walaupun mereka ingin Yesus tinggal lebih lama bersama mereka. Maka, Yesus tinggal bersama mereka, tetapi dengan cara yang baru dan kekal. Dia mengambil roti, memberkati, memecah-mecahkannya, dan memberikannya kepada mereka. Setiap umat Katolik yang rajin ke Gereja akan segera mengenali tindakan Yesus ini sebagai Ekaristi, dan Ekaristi adalah Yesus sendiri. Demikian juga, mata Kleopas dan rekannya terbuka, dan mereka mengenali Yesus dalam Ekaristi pertama pasca-kebangkitan ini. Jadi, tujuan akhir dari bible study Yesus adalah untuk membawa kita kepada Ekaristi.

Kisah Cleopas dan perjalanannya ke Emaus selalu menjadi inspirasi pribadi saya. Sebelum saya pergi ke Roma, saya biasa memberikan Bible Study setiap Sabtu malam. Dalam program ini, saya menjelaskan bacaan-bacaan pada hari Minggu besoknya. Kegiatan ini bukan hanya untuk mendalami Alkitab terutama melalui metode Yesus, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk membantu kita mengalami perjumpaan yang lebih dalam dengan Yesus dalam Ekaristi. Jika sebuah Bible Study tidak membawa kita kepada Yesus dalam Ekaristi, maka ini bukanlah Bible Study Yesus.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Road to Emmaus, the Road to the Eucharist

3rd Sunday of Easter [A]
April 23, 2023
Luke 24:13-35

Two of Jesus’ disciples went to a village called Emmaus. One of them was Cleopas, and his traveling companion was probably his own wife, Mary [see John 19:25]. Why did they go to Emmaus? Perhaps they were afraid of the Roman and Jewish authorities who were pursuing the disciples after Jesus’ body was found missing. Therefore, they hid in Emmaus. Another reason was hopelessness. Although the Gospels do not explicitly say that Emmaus was the hometown of Cleopas, there is a high probability that Emmaus was indeed his hometown. Their hopes and expectations were shattered when Jesus, their expected Messiah, was betrayed and crucified. They no longer had any reason to stay in Jerusalem. Finally, they decided to leave the other disciples and return to their home in Emmaus.

However, Jesus had a special plan for them. On the way, Jesus appeared to them, although they could not recognize Him. Jesus started a dialog by asking them how they were doing. In sadness, they began to tell Him how they expected Jesus to redeem Israel, but He failed, and died on the cross. Even in their disappointment, Cleopas only regarded Jesus as a prophet, no longer the Messiah. Then, Jesus rebuked them for their slowness to believe what the Old Testament prophets had foretold about the Messiah. Then, Jesus began to explain ‘Moses and the prophets’ (i.e. the Old Testament Scriptures) to them. This was the first post-resurrection bible study and was given by Jesus himself!

Luke gives us interesting details on how Jesus’ method of conducting a bible study. “Then he explained to them what was written about him in all the Scriptures… [Lk 24:27].” The center of gravity of this bible study is Jesus. He shows how Moses and the prophets had prophesied about Him, and how now Jesus has fulfilled those prophecies through His suffering, death, and resurrection. In Church tradition, this method is called ‘typological catechesis’ [cf. CCC 129). Simply put, typology is a way of seeing Old Testament characters, places and events fulfilled in the New Testament, particularly in Jesus Christ. In fact, the early Church also used this method of Jesus right on. For example, Paul in his letters, referred to Jesus as the new Adam or the second Adam [cf. Romans 5:12-21; 1 Cor 15:45-49]. However, Jesus is more than just the new Adam. He is also the new Moses, the new David, and many more.

However, Jesus Bible Study is not just about good methods. In fact, it is not only about deepening the knowledge of the Scriptures. The story of Cleopas and his companion did not end with the end of the Bible Study, although they wanted Jesus to stay longer with them. So, Jesus stayed with them, but in a new and eternal way. He took bread, blessed it, broke it, and gave it to them. Any honest Catholic who regularly goes to Church will immediately recognize this act of Jesus as the Eucharist, and the Eucharist is Jesus himself. Likewise, the eyes of Cleopas and his companion were opened, and they recognized Jesus in this first post-resurrection Eucharist. So, the ultimate goal of Jesus’ bible study is to lead us to the Eucharist.

The story of Cleopas and his journey to Emmaus has always been my personal inspiration. Before I went to Rome, I used to give a Bible study every Saturday night. In this program, I explained the readings for the following Sunday. Yet, this activity is not only to go deeper into the Bible especially through the method of Jesus, but the real purpose is to help us experience a deeper encounter with Jesus in the Eucharist. If a Bible Study does not lead us to Jesus in the Eucharist, then it is not a Jesus’ Bible Study.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kerahiman Ilahi dan Sakramen Pengakuan Dosa

Minggu Kedua Paskah [A]

Minggu Kerahiman Ilahi

16 April 2023

Yohanes 20:19-31

Pada 30 April 2000, Paus Yohanes Paulus II mendeklarasikan Minggu Paskah Kedua sebagai Minggu Kerahiman Ilahi. Lalu, pertanyaannya adalah “Mengapa Paus Yohanes Paulus II memilih hari Minggu Paskah kedua sebagai Hari Minggu Kerahiman Ilahi?” Jawabannya terkait dengan catatan harian St. Faustina yang menulis instruksi Yesus untuk menjadikan hari Minggu kedua Paskah sebagai Hari Raya Kerahiman Ilahi. Melalui St Faustina, Yesus tidak hanya meminta untuk merayakan Minggu Kerahiman, tetapi juga mengundang umat beriman untuk melaksanakan pengakuan dosa dan menerima komuni pada hari itu. Namun, apa yang sebenarnya membuat hari Minggu kedua Paskah ini layak disebut sebagai Minggu Kerahiman Ilahi dapat kita temukan pada Injil hari ini. Mari kita telusuri lebih jauh.

Yohanes Penginjil menceritakan dua peristiwa penampakan Kristus yang telah bangkit kepada para murid-Nya, yaitu pada hari Minggu kebangkitan dan pada hari Minggu berikutnya. Tentunya, tokoh utama penghubung dua penampakan adalah Tomas, rasul. Namun, selain kisah Tomas, ada detail khusus yang sering kita lewatkan. Yesus bangkit dari kematian untuk memberikan rahmat khusus Roh Kudus kepada Gereja-Nya, “Damai sejahtera bagimu! Seperti yang telah diutus oleh Bapa, demikianlah sekarang Aku mengutus kamu.” Dan setelah berkata demikian, Ia menghembuskan nafas-Nya atas mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus! Jika kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni; jika kamu tidak mengampuni dosa orang, dosanya tetap ada (Yoh 20:21-23).”

Yesus datang bukan hanya untuk membuktikan kebangkitan-Nya dan menawarkan damai kepada murid-murid-Nya yang takut. Dia juga mengutus murid-murid-Nya sebagaimana Bapa mengutus-Nya ke dunia. Ketika Dia mengutus para murid-Nya, Yesus menghembuskan Roh Kudus kepada mereka. Tindakan Yesus ini secara khusus merupakan pengulangan dari apa yang Allah lakukan ketika Allah menciptakan manusia pertama (lihat Kej. 2:7). Dengan demikian, Dia datang untuk menjadikan murid-murid-Nya sebagai ciptaan baru, dan kemudian mengutus mereka untuk sebuah misi. Apakah misi itu?

Ini adalah misi pengampunan dosa, atau misi kerahiman. Yesus secara khusus menciptakan kembali murid-murid-Nya untuk memungkinkan mereka menerima kuasa ilahi, yaitu mengampuni dosa. Kita ingat dalam Injil bahwa Yesus dituduh melakukan penghujatan ketika Dia mengampuni dosa karena orang-orang Farisi mengetahui bahwa pengampunan dosa adalah hak prerogatif Tuhan. Namun, Yesus bangkit dari kematian dan membuktikan keilahian-Nya. Dengan demikian, Dia sungguh memiliki otoritas untuk mengampuni dosa. Namun, Dia tidak berhenti sampai di situ. Dia menghendaki agar Gereja-Nya melanjutkan misi kerahiman-Nya. Dengan demikian, Dia memberikan otoritas ilahi untuk mengampuni dosa ini, kepada para murid-Nya.

Inilah dasar alkitabiah dari sakramen rekonsiliasi. Peristiwa ini juga menjawab sebuah keberatan, “mengapa kita perlu mengakui dosa-dosa kita dan meminta pengampunan kepada manusia yang juga berdosa?” Jawabannya sederhana: karena Allah menghendakinya. Memang benar bahwa manusia tidak memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, tetapi situasinya berubah secara radikal ketika Allah membagikan otoritas ilahi ini kepada para wakil-Nya di bumi dan menugaskan mereka untuk membawa lebih banyak orang kepada Kerahiman Ilahi.

Sebenarnya, sakramen pengakuan dosa telah dipraktikkan sejak Gereja primitif. St. Yakobus mencatat dalam suratnya bahwa umat beriman mengakui dosa-dosa mereka di hadapan Gereja, dan kemudian para penatua Gereja akan membawa kesembuhan dan pengampunan melalui doa mereka (lihat Yak 5:14-16). Setelah ribuan tahun, ritus sakramen rekonsiliasi memang telah berevolusi, tetapi tetap mempertahankan struktur dasarnya, yaitu penyesalan, pengakuan dosa, dan penitensi (lihat KGK 1448). Lebih mendasar lagi, sakramen ini tetap menjadi bukti Kerahiman Allah kepada kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Divine Mercy and Sacrament of Confession

Second Sunday of Easter [A]
Divine Mercy Sunday
April 15, 2023
John 20:19-31

On April 30, 2000, Pope St. John Paul II has declared the Second Sunday of Easter as the Divine Mercy Sunday. Then, the question is “Why did St. John Paul II choose second Sunday of Easter as the Divine Mercy Sunday?” Partially, the answer is related to the diary of St. Faustina, who recorded Jesus’ instruction to make the second Sunday of Easter as the divine Mercy Sunday. Through St. Faustina, Jesus did not only ask to create the divine Mercy Sunday, but also invite the faithful to make confessions and receive the communion in this day. However, what makes the second Sunday of Easter is worth to be called the Divine Mercy Sunday is the Gospel of the day. Let’s explore further.

John the evangelist narrated the two appearances of the risen Christ to His disciples, at the Sunday of resurrection and the following Sunday. Obviously, the connecting protagonist is St. Thomas, apostle. However, aside from the story of Thomas, there is a particular detail that we often miss. Jesus rose from the dead to give this particular grace of the Holy Spirit to His Church, “Peace be with you. As the Father has sent me, even so I send you.” And when he had said this, he breathed on them, and said to them, “Receive the Holy Spirit. If you forgive the sins of any, they are forgiven; if you retain the sins of any, they are retained (John 20:21-23).”

Jesus came not only to show His resurrection and offered peace to His fearful disciples. He sent His disciples as the Father sent Jesus to the world. As He commissioned His disciples, Jesus breathed on them the Holy Spirit. This Jesus’ act is particularly re-enactment of what God did when God made the first humans alive (see Gen 2:7). Thus, He came to recreate His disciples and to send them for a mission. What’s mission?

It is the mission to forgive sins, or the mission of mercy. Jesus particularly recreated His disciples as to enable them to receive the divine power, that is to forgive sins. We recall in the Gospel that Jesus was accused as blasphemy when He forgave sins because the Pharisees recognized that the forgiveness of sins is God’s prerogative. Yet, Jesus rose from the dead and proved His divine nature. Thus, He indeed possesses the authority to forgive sins. But, He does not stop there. He wills that His Church continue His mission of mercy, and thus, He shares this divine authority to His disciples.

This is the biblical foundation of the sacrament of reconciliation. This event also answers an objection, “why do we need to confess our sins and ask forgiveness to another sinful man?” The answer is simple: because God wills it to be so. It is true that men have no power to forgive sins, but the situation radically changes when God shares this divine authority to His representatives on earth and commissions them to bring more and more people to the divine Mercy.

In fact, the practice of confession of sins has been practiced since the primitive Church. St. James recorded in his letter that the faithful were confessing their sins before the Church and the prayer of the righteous men, that is, the elders of the Church, would bring healing and forgiveness (see James 5:14-16). Throughout the centuries, the rite of the sacrament of reconciliation has indeed evolved, but it retains its basic structure, that is, contrition, confession and satisfaction (see CCC 1448). More fundamentally, the sacrament remains the testament of God’s Mercy to us.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengapa Daun Palma

Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan
2 April 2023
Matius 21:1-11

Minggu Palma menandakan dimulainya pekan suci dalam liturgi Gereja. Pada saat yang sama, perayaan liturgi pada hari Minggu ini merupakan salah satu yang paling unik di antara hari Minggu lainnya. Hari ini dinamakan ‘Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan’ karena ada dua bacaan Injil yang berbeda: Yesus yang memasuki kota Yerusalem dan Kisah Sengsara dari Injil Sinoptik (Matius, Markus, atau Lukas, tergantung pada tahun liturgi). Namun, jika kita membaca Injil Matius ini dengan cermat, kita tidak akan menemukan kata ‘palma’. Jadi, di manakah kita dapat menemukan kata ‘Palma’?

photocredit: Grant Whitty

Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, saya akan berbagi sedikit pengalaman pribadi saya dengan Minggu Palma. Pengalaman pertama saya dengan kegiatan kudus ini tentu saja di Indonesia, secara khusus di Jawa. Umat akan membawa daun palma ke Gereja untuk diberkati dan kemudian dibawa pulang untuk diletakkan pada salib. Jenis daun yang biasa digunakan adalah dari palem bambu. Dulu saya percaya bahwa ini adalah satu-satunya jenis ranting dan daun yang digunakan Gereja di seluruh dunia. Namun, ketika saya datang ke Filipina untuk pendidikan imamat, saya menemukan bahwa orang Filipina menggunakan daun pohon kelapa. Kemudian, ketika saya datang ke Roma, saya menemukan bahwa umat beriman menggunakan jenis ranting yang berbeda-beda!

Kembali ke pertanyaan kita, ‘di mana kita menemukan palma dalam Injil?’ Jawabannya adalah tidak dalam Injil Sinoptik, tetapi dalam Injil Yohanes (lihat Yoh 12:13). Namun, meskipun bacaan Injil hari ini tidak menyebutkan kata “palma,” kemungkinan besar banyak orang di Yerusalem yang menggunakan ranting-ranting palma karena pohon kurma (juga termasuk jenis pohon palma) berlimpah di daerah tersebut. Namun, pertanyaan yang paling penting adalah ‘mengapa kita menggunakan ranting dan daun pohon palma?’

Dalam Perjanjian Lama, Mazmur 118:25-27 menggambarkan bagaimana orang-orang menyambut Mesias dengan arak-arakan ranting-ranting pohon saat Dia memasuki Yerusalem. Demikian pula dalam 1 Makabe 13:51, orang-orang Yerusalem memasuki benteng dengan ranting-ranting pohon palma setelah musuh-musuh mereka diusir. Kisah-kisah ini menggambarkan bahwa ranting-ranting pohon, terutama palma, adalah simbol kedatangan Mesias dan kemenangan-Nya.

Namun, jika kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas, kehadiran ranting-ranting pohon dalam peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem menjadi simbol akan misi keselamatan-Nya. Pada mulanya, Adam dan Hawa tinggal di taman di mana berbagai macam tanaman dan pohon tumbuh. Dosa dan ketidaktaatan mereka yang pertama adalah memakan buah dari sebuah pohon. Sekarang, dalam penebusan-Nya, Yesus membalikkan kutukan itu. Sengsara-Nya dimulai di taman Getsemani. Tindakan kasih dan ketaatan-Nya yang terakhir juga melibatkan pohon (kayu salib).

Saat kita memegang dahan palma, semoga ini tidak menjadi ritual tahunan untuk pamer. Palma mengingatkan kita akan komitmen kita untuk berpartisipasi dalam misi penebusan Yesus, untuk berjalan ke dalam sengsara-Nya, dan memikul salib kita masing-masing bersama-Nya. Hal ini tidak pernah mudah, tetapi kita tidak pernah sendirian dan pahala yang akan kita terima tidak dapat kita bayangkan. Semoga kita juga terinspirasi oleh saudara-saudari kita yang memilih untuk mati bagi Kristus, dan bukannya hidup menyangkal Dia. Para martir ini telah berjuang dalam pertandingan yang baik, telah sampai pada garis akhir, dan telah memelihara iman (lih 2 Tim. 4:7). Sekarang, mereka telah menerima daun-daun palma sebagai tanda kemenangan mereka (lihat Why. 7:9)!

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Why Palm

Palm Sunday of the Lord’s Passion
April 2, 2023
Matthew 21:1-11

Palm Sunday signals the beginning of the most sacred week in the liturgy of the Church. At the same time, the liturgical celebration of this Sunday is one of the most unique among the other Sundays. The day is named Palm Sunday of the Lord’s Passion because it includes two different Gospel readings: the triumphant entrance of Jesus to Jerusalem and the Passion Narrative from the Synoptic Gospels (Matthew, Mark, or Luke, depending on the liturgical year). However, if we carefully read today’s Gospel, we will not find the word ‘palm’. So, where do we find ‘Palm’?

Before we answer this question, I will share a little of my personal experience with Palm Sunday. My first experience with this solemn event is surely in my own country Indonesia. There, people will bring palm branches to the Church to be blessed and later, we bring these home to be placed on our crucifixes. The type of branches commonly used are from areca palms or bamboo palms. I used to believe that this is the only type branch the Church uses worldwide. Yet, when I come to the Philippines for my priestly formation, I discover that the Filipinos make use of coconut palm branches. Then, when I come to Rome, I find out that the faithful are using different kind of branches!

Going back to our question, ‘where do we find palm in the gospel?’ The answer is that not in the synoptic gospels but in the Gospel of John (see John 12:13). However, while today’s Gospel reading does not mention the word “palm,” it is likely that many people in Jerusalem used palm branches because date palm trees were abundant in the area. Yet, the most important question remains ‘why do we use palm branches?’

In the Old Testament, Psalm 118:25-27 describes how people would welcome the Messiah with a procession of branches when he entered Jerusalem. Similarly, in 1 Maccabees 13:51, people of Jerusalem entered the citadel with palm branches after their enemies were driven out. These stories illustrate that tree branches, especially palm, are symbols of the coming of the Messiah and his victory.

However, if we see from a bigger perspective, the presence of branches in Jesus’ entry to Jerusalem becomes a powerful symbol of His mission of salvation. In the beginning, Adam and Eve lived in the garden where various plants grew. Their first sin and disobedience involved the tree. Now, in His redemption reverses the curse. His Passion begins in the garden of Gethsemane. His final act of love and obedience involve the tree of the cross.

As we are holding our palm branches, may it not become a meaningless annual ritual. They remind us on our commitment to participate in mission of Jesus’ redemption, to walk into His Passion, and to carry our own crosses with Him. It is never easy, but we are never alone and the reward is beyond our imagination. May we be inspired also by our brothers and sisters who chose to die for Christ, rather live denying Him. These martyrs have fought a good fight, have finished the race, and have kept the faith (see 2 Tim 4:7). Now, they have received the palm branches as the sign of their victory (see Rev 7:9)!

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP