The Blood and Life

Solemnity of the Body and Blood of Christ. May 29, 2016. [Luke 9:11-17]

“His cup is the new covenant in my blood. Do this, as often as you drink it, in remembrance of me (1 Cor 11:25).”

chalice n hostOne of my personal ministries is to be a blood donor. If ever someone needs a blood transfusion, I do my best to donate my blood and if possible, visit the ailing person. In biology, we learn that blood is a crucial element of our body that transports nutrition and oxygen to various body parts and also fight the harmful elements inside our body. Thus, losing too much blood will bring us to critical condition even death. No wonder that blood is closely associated with life and I hope that a little blood I share, may save lives.

In time of Jesus, the understanding on blood is not actually far different from our contemporary time. The ancient Jews considered blood as the source of life, if not life itself. Perhaps, they were able to observe that many living things have blood running in their veins and if they were losing so much blood, it means a certain death. Since every living being comes from God, then blood, as the source of life, must be sacred and belong to God (cf. Deu 12:23). Therefore, shading a person’s blood is forbidden (Gen 9:6). Drinking blood of animal is also not allowed (Lev 7:27). But, the sacredness of blood is profoundly manifested at the Jewish rituals.

Blood of an animal is important element of the sacrificial rituals in the Temple of Jerusalem. After the blood is separated from the body, it is poured out around the altar and being burned together with the flesh (cf. Lev 1). The burn sacrifice mainly serves two purposes: as thanksgiving and atonement for sin. Since blood and body are symbols of life and totality of a living creature, the best way to give thanks and atone for one’s mistake is to offer this life totally to God. The Israelites offered their best to God through the mediation of a sacrificial animal.

Unfortunately, blood of animal and even our blood is far from perfect. Thus, perfect thanksgiving and forgiveness is not possible. Yet, we are not hopeless since God provides an answer. He sent His only Son, Jesus Christ, and Jesus offered Himself as the sacrifice of the cross. He is the most pleasing thanksgiving and the perfect atonement for our sins. In his treatise of Corpus Christi, St. Thomas Aquinas wrote, “He offered His body to God the Father on the altar of the cross, as a sacrifice for our reconciliation. He shed His blood for our ransom and purification…” My blood may help saving a person who needs a transfusion, but Jesus’ blood saves the entire creations.

As we drink His blood and eat His body in the Eucharist, our lives are caught in this beautiful offering and sacrifice of Christ. Now, in Christ, our lives are also offerings to God. Every sacrifice we make for God and for the good of others, however small it may be, will be pleasing to God and contribute in the salvation of the world. Our simple prayer may have a great impact for souls in purgatory. Our little contribution in Church may help greatly the parish priest and the poor. Even our daily waking up and works at the office may seem to be monotonous and fruitless, but they may help in building a just society. Our blood, our life is not perfect, but in Christ, it becomes precious. As a psalmist once sang, “From extortion and violence he frees them, for precious is their blood in his sight (Ps 72:14).

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Darah dan Hidup

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. May 29, 2016 [Lukas 9: 11-17]

“Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku! (1 Kor 11:25).”

chalice ihsSalah satu pelayanan pribadi saya adalah menjadi donor darah. Jika ada seseorang yang membutuhkan transfusi darah, saya berusaha untuk donorkan darah saya dan jika mungkin, mengunjungi orang sakit tersebut. Dalam biologi, kita belajar bahwa darah merupakan elemen penting dari tubuh kita yang membawa nutrisi dan oksigen ke berbagai bagian tubuh dan juga melawan elemen-elemen berbahaya di dalam tubuh kita. Dengan demikian, kehilangan terlalu banyak darah akan membawa kita ke kondisi kritis bahkan kematian. Tidak heran jika darah berterkaitan erat dengan kehidupan, dan saya berharap bahwa sedikit darah yang saya donorkan, bisa menyelamatkan orang lain.

Pada zaman Yesus, pemahaman tentang darah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masa kontemporer. Orang-orang Yahudi kuno menganggap darah sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai kehidupan itu sendiri. Mungkin, mereka mampu mengamati bahwa banyak makhluk hidup memiliki darah, dan jika mereka kehilangan begitu banyak darah, itu berarti kematian. Karena setiap makhluk hidup berasal dari Tuhan, maka darah, sebagai sumber kehidupan, tentulah kudus dan menjadi milik Allah (lih. Ul 12:23). Oleh karena itu, menumpahkan darah seseorang adalah terlarang (Kej 9: 6). Meminum darah binatang juga tidak diperbolehkan (Im 7:27). Tapi, kekudusan darah terwujud secara mendalam pada ritual keagamaan bangsa Yahudi.

Darah binatang adalah elemen penting dari ritual pengorbanan di Kuil Yerusalem. Setelah darah dipisahkan dari tubuh, darah dicurahkan di sekitar altar dan dibakar bersama-sama dengan daging (lih. Im 1). Korban bakaran memiliki dua tujuan: sebagai ucapan syukur dan penebusan dosa. Karena darah dan tubuh menjadi simbol kehidupan, cara terbaik untuk bersyukur dan menebus kesalahan adalah dengan mempersembahkan kehidupan ini secara total kepada Allah. Israel mempersembahkan yang terbaik untuk Allah melalui perantaraan hewan kurban.

Sayangnya, darah binatang dan bahkan darah kita jauh dari sempurna. Dengan demikian, syukur dan pengampunan yang sempurna tidak mungkin tercapai. Namun, kita tidak putus asa karena Tuhan memberikan solusi. Dia mengikirim Putra tunggal-Nya, Yesus Kristus, dan Yesus mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban di salib. Dia adalah rasa syukur yang paling baik dan penebusan yang sempurna untuk dosa-dosa kita. Di tulisannya tentang Corpus Christi, St. Thomas Aquinas menulis, “Dia mempersembahkan tubuh-Nya kepada Allah Bapa di atas altar salib, sebagai korban untuk rekonsiliasi kita. Ia mencurahkan darah-Nya bagi tebusan dan pemurnian kita …Darah saya mungkin bisa membantu menyelamatkan orang yang membutuhkan transfusi, tapi hanya darah Yesus yang dapat menyelamatkan seluruh dunia.

Saat kita meminum darah-Nya dan makan tubuh-Nya dalam Ekaristi, hidup kita terjaring dalam persembahan dan pengorbanan Kristus yang indah. Sekarang, di dalam Kristus, hidup kita menjadi persembahan kepada Tuhan. Setiap pengorbanan, besar atau sederhana, yang kita membuat untuk Allah dan untuk kebaikan sesama, akan menyenangkan Tuhan dan berkontribusi dalam keselamatan dunia. Doa sederhana kita mungkin memiliki dampak yang besar bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Kontribusi kecil kita di Gereja dapat sangat membantu pastor paroki dan papa miskin. Bahkan usaha kita untuk bangun dan bekerja di kantor setiap harinya mungkin terasa monoton dan sia-sia, tetapi ini dapat membantu dalam membangun masyarakat yang adil. Darah kita, hidup kita tidaklah sempurna, tapi dalam Kristus, menjadi berharga. Sebagai pemazmur bernyanyi, Ia akan menebus nyawa mereka dari penindasan dan kekerasan, darah mereka berharga di matanya (Mzm 72:14).

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Mystery of the Trinity, the Mystery of Love

The Solemnity of the Most Holy Trinity. May 22, 2016 [John 16:12-15]

 “But when he comes, the Spirit of truth, he will guide you to all truth (Jn 16:13).”

Holy Trinity 2The mystery of the Holy Trinity is the most foundational yet the most difficult teaching of the Catholic Church. The greatest minds in the Church, like St. Augustine of Hippo, St. Thomas Aquinas and Karl Rahner have attempted to fathom the mystery, but their explanations hit a giant wall. One day, when St. Augustine was strolling along the beach, meditating the mystery of the Holy Trinity, the holy bishop saw a young boy digging a hole on the sand. He came close and noticed that the boy was trying to move the sea water inside that small hole. St. Augustine then told the lad that what he did was futile. Then, suddenly the little boy replied, ‘It is the same thing, when you try to put the Trinity inside your small head.’

Yet, we must not be in despair. To get nearer to the Holy Trinity, we will see that the mystery of the Holy Trinity as the mystery of Love. The word mystery means something that we cannot fully comprehend, yet we know that the reality is so true and undeniable. Love is a mystery precisely because at times, we cannot really understand it, but we are sure that it is real and undeniable. As parents, we love our children, we take care of them, and want the best things for them, yet we do not understand why they do not appreciate us, and often become tough to love. A young man who falls in love with his girlfriend, often finds hard time to please his girl, but he knows that his love is true. Even, for a couple who have been in marriage for decades, sometimes, they still face a bumpy road and fail to understand each other, yet again, they never doubt their love for each other.

The Trinity is love. Bishop Robert Baron of Los Angeles, explains that true love always involves the lover who loves, the beloved who receives the love, and the love itself that binds the lover and the beloved. In love, there is beautiful dynamic of the three loves. Love is one, yet it is three. The Father loves the Son totally, and the Son loves the Father radically, and the love that unites the Father and the Son is the Holy Spirit. No wonder, St. John would call God is love (1 John 4:6). Again, the real love is not about theory, but a life-transformation. We can discuss about Trinity for hours, yet it is useless if we fail to help a famish beggar who is in dire need of food. St. Thomas Aquinas has written very well of God. His treatise on Trinity remains foundational for theology students seek to understand better the mystery. Yet, at the end of his life, the Lord on the cross appeared to Thomas and asked what he would wish as a reward. Blessed Thomas humbly replied, “Nothing but You, Lord.” For Thomas, all what he wrote was just like a straw compare to the Love he personally encountered.

Indeed, the most Holy Trinity is a utmost mystery that cannot be fully understood by our little and limited minds, but every time we care for others, help our friends, forgive our enemies and love truly, the Trinity lives and manifests in us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Misteri Trinitas, Misteri Kasih

Hari Raya Tritunggal Mahakudus. 22 Mei 2016 [Yohanes 16:12-15]

Roh itu datang, yaitu Dia yang menyatakan kebenaran tentang Allah, kalian akan dibimbing-Nya untuk mengenal seluruh kebenaran. (Yoh 16:13).”

Holy Trinity 1Misteri Tritunggal Mahakudus adalah ajaran yang paling mendasar tetapi juga yang paling sulit untuk dimengerti. Pemikir-pemikir besar Gereja, seperti Santo Agustinus dari Hippo, St. Thomas Aquinas dan Karl Rahner telah berusaha untuk memahami misteri ini, tetapi penjelasan mereka menabrak dinding raksasa. Suatu hari, ketika St. Agustinus sedang berjalan di sepanjang pantai, bermeditasi tentang misteri Tritunggal Mahakudus, uskup yang kudus ini melihat seorang anak kecil menggali lubang di pasir. Dia datang mendekat dan melihat bahwa anak itu mencoba untuk memindahkan air laut ke dalam lubang kecil. St Agustinus kemudian mengatakan kepada anak itu bahwa apa yang ia lakukan adalah sia-sia. Tiba-tiba anak kecil itu menjawab, Sama halnya dengan apa yang kamu lakukan, ketika kamu mencoba mengerti Tritunggal di dalam kepalamu yang kecil.’

Namun, kita tidak boleh putus asa. Untuk mendapatkan gambaran yang sedikit lebih jelas tentang Tritunggal, kita mencoba melihat bahwa misteri Tritunggal sebagai misteri Kasih. Kata ‘Misteri’ berarti sesuatu yang kita tidak dapat sepenuhnya pahami, namun kita tahu bahwa kenyataan ini begitu benar dan tak terbantahkan. Kasih adalah misteri karena seringkali kita tidak bisa benar-benar memahami kasih, tapi kita yakin bahwa kasih itu nyata dan tak terbantahkan. Sebagai orang tua, kita mengasihi anak-anak kita, kita merawat mereka, dan menginginkan hal-hal yang terbaik bagi mereka, namun seringkali kita tidak mengerti mengapa mereka tidak menghargai kita, dan sering menjadi sulit untuk dikasihi. Seorang pemuda yang jatuh cinta dengan seorang gadis, seringkali kesulitan untuk mendapatkan hatinya, tapi dia tahu bahwa kasih dan cintanya bagi sang gadis itu benar adanya. Bahkan, bagi pasangan yang telah menikah selama puluhan tahun, kadang-kadang, mereka masih menghadapi jalan berbatu dan gagal untuk memahami satu sama lain, tetapi lagi-lagi, mereka tidak pernah meragukan kasih mereka satu sama lain.

Trinitas adalah kasih. Uskup Robert Baron dari Los Angeles, menjelaskan bahwa kasih sejati selalu melibatkan yang mengasihi, yang menerima kasih, dan kasih itu sendiri yang menyatukan mereka berdua. Di dalam kasih, ada dinamis yang indah dari tiga kasih. Kasih adalah salah satu, namun juga adalah tiga. Di dalam Trinitas, Allah Bapa mengasihi Allah Putra dengan total, dan Allah Putra mengasihi Allah Bapa secara radikal, dan kasih yang menyatukan Allah Bapa dan Putra adalah Allah Roh Kudus. Tidak heran, St. Yohanes menulis bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:6). Kasih sejati bukan tentang teori, tapi transformasi kehidupan. Kita bisa membahas tentang Tritunggal selama berjam-jam, namun percuma jika kita gagal untuk membantu pengemis menderita kelaparan yang sangat membutuhkan makanan. St. Thomas Aquinas telah menulis tentang Allah dengan sangat baik. Tulisannya tentang Tritunggal tetap menjadi pedoman bagi siswa teologi yang berusaha untuk memahami lebih baik misteri ini. Pada akhir hidupnya, Tuhan di kayu salib menampakkan diri kepada Thomas dan bertanya apa yang ia harapkan sebagai imbalan atas kerja kerasnya. St. Thomas dengan rendah hati menjawab, Hanya Engkau Tuhan, hanya Engkau.’ Bagi Thomas, semua apa yang ia tulis seperti jerami dibandingkan dengan Kasih ia secara pribadi temui.

Sungguh, Tritunggal Mahakudus adalah misteri yang tidak terselami, tetapi setiap kali kita peduli terhadap sesama, membantu teman-teman kita, mengampuni musuh-musuh kita dan mengasihi secara total, Trinitas menjadi nyata dan menampakan diri dalam diri kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Spirit Connects!

Pentecost Sunday. May 15, 2016 [John 14:15-16,23-25]

“They were all filled with the Holy Spirit and began to speak in different tongues, as the Spirit enabled them to proclaim (Acts 2:4).”

pentecost 2My first time to attend a Catholic Charismatic prayer meeting was around 10 years ago in Singapore. It was a gathering characterized by upbeat music and intensified prayers. As the prayer was getting intense, suddenly I witnessed some of participants began to experience kind of trance and utter unintelligible words. For a while I was dumbfounded, but soon realized that they may actually speak in tongue. This may refer to the one of the Holy Spirit’s charismatic gifts, described no less than St. Paul himself.  “For one who speaks in a tongue does not speak to human beings but to God, for no one listens; he utters mysteries in spirit (1 Cor 14:2)”

All the way, I thought that this speaking of tongue phenomenon was what took place on the Pentecost Sunday. When mother Mary and the disciples gathered fifty days after Jesus’ resurrection and the Holy Spirit started to descend upon them and filled them with His power. They began to speak in different languages. Yet, I was mistaken, they did not speak in tongue. The Holy Spirit bestowed on them a different kind of gift. That was the gift of understanding and language. The Apostles did speak different tongues but this gift empowered to communicate clearly the Gospel of Jesus Christ. People from different regions like Syria, Asia Minor (present-day Turkey), Arab peninsula, North Africa, even Europe, certainly speaking in multitude of languages, were able to comprehend the apostles who were native Palestinian. The Spirit enabled them to connect.

The Pentecost and the gift of language speaks deeper reality about the Holy Spirit. He is the Spirit that unites us. He heals our brokenness and cures our tendency to be selfishly autonomous. In Pentecost, the Spirit undid the curse of the Tower of Babylon in Genesis 11. This is a symbolical story on human egocentric desire to usurp God, to be equal with God, by building a super-tall tower that can reach God with their own efforts and cunningness. Yet, human ambition and greed for power brought divisions and ruins to human race itself. Perhaps, one of the modern depictions of the Tower of Babel is the best-seller novel and most-anticipated TV series Game of Thrones. The novel smartly narrates how men’s unquenchable passion for the Iron Throne moves various characters in the novel to employ various cunning and dirty tricks to destroy their rivals. The seven Kingdoms, formerly united, divided, falls and they are at each others’ throats.

John Maxwell in his book, Everyone Communicates, Few Connects, argues that everything rises and falls on leadership, and yet, leadership is only possible with the leaders’ ability to connect with others. United States president Abraham Lincoln once also said, “If you would win a man to your cause, first convince him that you are his sincere friend.”  Yet, fundamental to a genuine connecting is all about others. It means setting aside our vain ambition and untamed desire to gain all the attention to ourselves and we make others, their concerns, their struggles as ours.

The Holy Spirit comes to bring us that original connection with God and each other. It is true that often we do not get always the ‘high feeling’ of indwelling of the Spirit, just like in the charismatic prayer meetings, but it does not mean the Holy Spirit is absent. In fact, most of the time, He is working in silence and ordinary ways. He is working when we become more persevering in the sufferings of life. He is working when we are more patient in loving people who often give us problems. He gave us little joy in small realization of various blessing we receive today. I believe fruitful and meaningful reading of this reflection is His work in us.

As we celebrate the Pentecost, we pray that we may continue to open ourselves to the grace of the Holy Spirit and allow Him to make our lives ever fruitful.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Roh Koneksi

Hari Raya Pentakosta. 15 Mei 2016 [Yohanes 14: 15-16,23-25]

Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. (Kisah Para Rasul 2: 4).”

pentecostPertama kalinya saya menghadiri pertemuan doa Karismatik Katolik adalah sekitar 10 tahun yang lalu di Singapura. Pertemuan ini ditandai dengan musik yang upbeat dan doa yang intensif. Di tengah ibadat dan disaat doa-doa semakin intens, tiba-tiba saya menyaksikan beberapa peserta mulai mengalami sesuatu yang tidak biasa dan mengucapkan kata-kata tidak jelas. Awalnya, saya tercengang, tapi saya segera menyadari bahwa mereka sedang berbicara dalam bahasa roh. Phenomena ini merujuk pada seseorang yang dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus dan mulai bernubuat sesuai kehendak Roh. Fenomena ini sudah ada sejak Gereja berdiri. St. Paulus sendiri menulis “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. (1 Kor 14: 2)”

Awalnya, saya berpikir bahwa fenomena bahasa Roh ini adalah apa yang terjadi pada hari Pentakosta pertama. Ketika Bunda Maria dan para murid berkumpul di hari ke-lima puluh setelah kebangkitan Yesus dan Roh Kudus turun atas mereka dan memenuhi mereka dengan kuasa-Nya. Mereka mulai berbicara dalam bahasa yang berbeda. Namun, saya salah, mereka tidak berbicara dalam bahasa roh. Roh Kudus menganugerahkan karunia yang berbeda. Ini adalah karunia bahasa pengertian dan pemahaman. Para Rasul tidak berbicara bahasa yang aneh tapi diberdayakan untuk mengkomunikasikan dengan jelas Injil Yesus Kristus. Umat dari berbagai daerah seperti Suriah, Asia Kecil (Turki), Semenanjung Arab, Afrika Utara, bahkan Eropa, tentu berbicara dalam banyak bahasa, tapi mereka mampu memahami para rasul yang sebenarnya orang asli Palestina. Roh memampukan mereka untuk membangun koneksi.

Pentakosta dan karunia bahasa berbicara realitas yang lebih dalam tentang Roh Kudus. Dia adalah Roh yang menyatukan kita. Dia menyembuhkan perpecahan dan kecenderungan kita untuk menjadi egois. Dalam Pentakosta, Roh menghapus kutukan Menara Babel dalam Buku Kejadian 11. Ini adalah kisah simbolis tentang keinginan egosentris manusia untuk mengalahkan Tuhan, untuk menjadi setara dengan Allah, dengan membangun sebuah menara super tinggi yang dapat mencapai Tuhan dengan upaya mereka sendiri. Namun, ambisi manusia dan keserakahan akan kekuasaan membawa perpecahan dan keruntuhan bagi umat manusia. Mungkin, salah satu pencitraan modern dari Menara Babel adalah TV series yang paling diantisipasi Game of Thrones. Seri ini dengan cerdas menceritakan bagaimana nafsu manusia untuk menjadi raja di Tahta Besi membuai berbagai karakter dalam seri tersebut untuk menggunakan berbagai trik licik dan kotor untuk menghancurkan saingan mereka. Tujuh Kerajaan, sebelumnya bersatu, terbagi, jatuh dan mereka pun saling menghancurkan.

John Maxwell dalam bukunya, Everyone Communicates, Few Connects, berpendapat bahwa kepemimpinan sejati hanya mungkin jika sang pemimpin memiliki kemampuan sang untuk membangun koneksi dengan orang lain. Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pernah juga mengatakan, “Jika Anda ingin memenangkan seseorang untuk tujuan Anda, meyakinkanlah dia bahwa Anda adalah temannya yang tulus.” Namun, fondasi dari kemampuan membangun koneksi adalah kita mau menjadikan orang lain sebagai tujuan kita dan bukan diri kita sendiri. Ini berarti menyisihkan ambisi kosong dan hasrat kita untuk mendapatkan semua hal bagi diri kita sendiri dan kita membuat orang lain, kekhawatiran mereka, perjuangan mereka menjadi bagian dari hidup kita. Ini adalah karya Roh Kudus: menyembuhkan, mempersatukan dan memberdayakan kita.

Roh Kudus datang agar kita sekali lagi mampu membangun koneksi dengan Tuhan dan satu sama lain, koneksi yang rusak oleh dosa Adam dan Menara Babel. Memang benar bahwa tidak selalu kita mengalami bahasa roh atau perasaan ‘high’ seperti yang dialami pada pertemuan doa karismatik, tetapi ini tidak berarti Roh Kudus tidak berkerja. Bahkan, kebanyakan, Dia bekerja dalam keheningan dan cara-cara yang sederhana. Dia bekerja ketika kita menjadi lebih tekun dan tabah dalam penderitaan hidup. Dia bekerja ketika kita lebih sabar mengasihi mereka yang sering memberi kita masalah. Dia memberi kita kegembiraan sederhana dalam realisasi-realisasi kecil dari berbagai berkat yang kita terima saat ini. Saya percaya saat anda membaca refleksi ini dan menemukan makna, ini adalah pekerjaan-Nya di dalam kita.

Saat kita merayakan Pentakosta, kita berdoa agar kita dapat terus membuka diri kepada kasih karunia Roh Kudus dan mengijinkan Dia untuk membuat hidup kita berbuah.

  Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Blessing, a Difference We Make

The Ascension Sunday. May 8, 2016 [Luke 24:46-53]

“As he blessed them he parted from them and was taken up to heaven (Luk 24:32).”

The Ascension - Luke 24:50-51
The Ascension – Luke 24:50-51

The best way to say goodbye is to bless. Every time I would leave for the Philippines and continue my formation, my parents would hug and bless me as they mark my forehead with a small sign of the cross. My Filipino friends have this ‘Mano Po’ tradition at the beginning and the end of an encounter with their elderly or people they respect. They will hold the hand of their elders, and place it on their forehead.  This is, I believe, a beautiful sign of honor and blessing. The Dominicans in Europe used to have this habit of asking blessing to their prior before they leave for mission. Indeed, it is the motto of Dominican to ‘praise, bless and preach’. Ultimately, every Eucharist celebration ends with the final blessing.

Yet, what is blessing all about? In Latin, blessing is ‘benedicere’. The word is a composition of two other Latin words: ‘bene (good)’ and ‘dicere (to speak)’. Thus, to bless is to speak good word. Since the word tends to become flesh, we wish that the good word we utter for our beloved turn to be a reality as well. If we look closely the story of creation in Genesis 1, we discover God did threefold acts: creating, seeing goodness and blessing the creations. When God created the universe, God made sure that His creations were good and because of this goodness, He blessed them. Blessing is not simply human act, but also divine. It is not simply saying good, but also discovering good. It is not only wishing good and nice words, but hoping good things to happen.

As the Father has blessed the creations before He rested in the seventh day, the Son also blessed His beloved disciples before He ascended into His resting abode. When God blessed Adam and Eve, He said, “Be fertile and multiply! (Gen 1:28)” God’s blessing names, affirms and rejuvenates the goodness in us. Because of our goodness is reaffirmed, it empowers man and woman to be fruitful, joyful and generous. God’s blessing transforms us into blessing also for others.

 To bless is our vocation as the disciples of Christ. Catherine Marie Hilkert, OP once said that preaching is naming grace, then it is also true that preaching is naming goodness. Unfortunately, instead blessing, we choose to curse. In Latin, cures is ‘maledicere’, to speak bad. Just like blessing, bad words tend to become flesh. Families are broken because we forget to say blessing, and focus on blaming. Religious intolerance, violence and even terrorism begin at the holy pulpit. Sadly, in time of election, from far West, the United States to the far East, Indonesia and the Philippines, politicians running for the offices engage in mudslinging, trade accusations, and employ nasty tricks. Defying reason, the people turn to be fanatic, frantic and partial supporters, willing to do anything for the candidate they admire.

Our world has been fractured and disfigured due to the curses we utter. Adam and Eve said no to God and passed the blame to each other. As their offspring, we continue this destructive curse. We desperately need blessing to undo this vicious cycle. Then, Jesus came and embraced all the bad things in His cross and made them fruitful again in His resurrection. Now, He ascends into Heaven and before He goes, He makes sure that His blessing remains. Ascension reminds us that we have the mission to name goodness and allow ourselves to become blessings to others. Only by becoming a blessing, we may heal ourselves, our family, our society and our world.

Bro. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Berkat

Pesta Kenaikan Tuhan Yesus. 5 Mei 2016 [Lukas 24: 46-53]

“Di situ Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga (Luk 24:51).”

ascension n cross

Cara terbaik untuk mengucapkan selamat jalan adalah dengan memberkati. Setiap kali saya berangkat ke Filipina dan melanjutkan formasi, orang tua saya akan memeluk dan memberkati saya dengan menandai dahi dengan tanda salib kecil. Rekan-rekan Filipina memiliki tradisi ‘Mano Po’ di awal dan akhir perjumpaan dengan orang-orang yang dituakan. Mereka akan memegang tangan orang tua mereka, dan menempatkannya di dahi mereka. Hal ini, saya percaya, adalah sebuah tanda dari berkat dan hormat. Setiap kali seorang frater Dominikan di Manila akan ditahbiskan, malam sebelumnya ia akan menerima berkat dari komunitas dan ia akan berlutut dan semua frater dan romo berdoa bersama dan memberkati dia. Pada akhirnya, setiap perayaan Ekaristi berakhir dengan berkat dan perutusan.

Namun, apa arti dari memberkati? Dalam bahasa Latin, memberkati adalah ‘benedicere’. Kata ini berasal dari dua kata Latin lainnya: bene (baik) dan dicere (mengucapkan). Dengan demikian, untuk memberkati adalah untuk mengucapkan kata yang baik. Karena kata cenderung menjadi daging, kita berharap bahwa kata-kata baik yang kita ucapkan pada giliran akan menjadi kenyataan juga. Jika kita teliti dengan seksama kisah penciptaan dalam Kejadian bab 1, kita melihat Allah melakukan tiga tindakan terhadap ciptaan-Nya: menciptakan, melihat kebaikan dan memberkati. Ketika Allah menciptakan alam semesta, Allah memastikan bahwa ciptaan-Nya adalah baik dan karena kebaikan ini, Iapun memberkati mereka. Memberkati tidak hanya tindakan manusia, tetapi juga ilahi. Memberkati tidak hanya mengucapkan yang baik, tetapi juga menemukan hal yang baik. Memberkati ini tidak hanya bersabda dengan kata-kata yang baik dan bagus, tetapi berharap hal-hal baik ini menjadi kenyataan.

Seperti Bapa telah memberkati ciptaan-Nya sebelum Ia beristirahat di hari ketujuh, sang Putra juga memberkati para murid yang dikasihi-Nya sebelum Ia naik ke surga. Ketika Tuhan memberkati Adam dan Hawa, Ia mengatakan, “Jadilah subur dan bertambah banyaklah! (Kej 1:28 – terjemahan sendiri)” Berkat Tuhan mengartikulasikan, menegaskan dan meremajakan kebaikan dalam diri kita. Karena kebaikan kita ditegaskan kembali, berkat memberdayakan pria dan wanita untuk berbuah, bahagia dan bermurah hati dengan sesama. Berkat Tuhan mengubah kita menjadi berkat juga bagi sesama.

Untuk memberkati adalah panggilan kita sebagai murid-murid Kristus. Catherine Marie Hilkert, OP pernah berkata bahwa ‘pewartaan’ adalah mengartikulasikan rahmat, maka tidak salah jika pewartaan dimengerti sebagai mengartikulasikan kebaikan. Sayangnya, bukannya berkat, kita memilih untuk mengutuk. Dalam bahasa Latin, mengutuk adalah ‘maledicere’, untuk berbicara buruk. Sama seperti berkat, kata-kata buruk cenderung menjadi daging. Keluarga rusak karena kita lupa untuk mengatakan berkat, dan fokus pada saling menyalahkan. Intoleransi, kekerasan dan bahkan terorisme berlatar belakang agama mulai di mimbar suci. Sayangnya, di saat pemilu, dari Amerika Serikat sampai ke Indonesia dan Filipina, para politisi yang mengejar posisi saling mengumpat, saling tuduh, dan mempekerjakan trik jahat. Seolah-olah kehilangan akal sehat, para pemilih berubah menjadi pendukung fanatik dan emotional, rela melakukan apa saja untuk calon yang mereka kagumi.

Dunia kita telah rusak dan cacat akibat kutukan yang kita ucapkan. Adam dan Hawa mengatakan tidak kepada Allah dan menyalahkan satu sama lain. Sebagai keturunan mereka, kita meneruskan kutukan yang menghancurkan ini. Kita sangat membutuhkan berkat untuk membatalkan lingkaran setan ini. Kemudian, Yesus datang dan memeluk segala kutuk di salib-Nya dan membuat kita berbuah lagi dalam kebangkitan-Nya. Sekarang, Ia naik ke surga dan sebelum Dia pergi, Dia memastikan bahwa berkat-Nya tetap tinggal. Kenaikan-Nya mengingatkan kita bahwa kita memiliki misi untuk mengartikulasikan kebaikan dan membiarkan diri kita menjadi berkat bagi sesama. Hanya dengan menjadi berkat, kita dapat menyembuhkan diri kita sendiri, keluarga, masyarakat dan dunia ini.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP