When Jesus Sees Us…

31st Sunday in the Ordinary Time. October 30, 2016 [Luke 19:1-10]

“Zacchaeus, come down quickly, for today I must stay at your house.” (Luk 19:5)

zacchaeus

A true encounter with Jesus brings real and joyful transformation in Zacchaeus. In our Gospel today, we read that Zacchaeus had no intention to invite Jesus to stay at his house, let alone to reform his life. After performing a lot of miracles and down-to-earth preaching, Jesus was like a rock-star, and everyone, including Zacchaeus, was excited to see Jesus. Yet, he was rather short in stature and the taller guys prevented him to get a glimpse of Jesus. Zaccheus was persistent and he decided to climb the sycamore tree.

Yet, when Jesus saw him, He called his name and wanted to stay at his house. Zacchaeus was overwhelmed. He was deeply touched by that unexpected yet meaningful gesture and this brought transformation in Zacchaeus. One of the splendid signs of his conversion was that his generosity took the better side of him. From taking advantage of the poor, he returned back to them abundantly what he has taken. More importantly, he generously gave himself to Jesus as he welcomed Him at his house and life.

However, the transformation did not only take place in Zacchaeus. It also happened in Jesus. He was in his journey to Jerusalem, to face His final hours on earth. Jericho was a major town that was not far from Jerusalem, and thus, travelers and pilgrims to Jerusalem would make a short stop in Jericho. Looking closely at the text, we discover that the original intention of Jesus was to pass through Jericho. He did not plan to stay in Jericho, but when He saw Zacchaeus, He changed His itinerary. What made Jesus change his plan?

Being a tax collector, Zacchaeus was a public sinner. Being tax collector, he was exposed to malpractices and corruptions, and he was also considered a collaborator of the Roman Empire, the enemy of Jews. Not only an ordinary tax collector, he was the chief, and certainly all eyes in Jericho gazed upon him with disdain. His short stature might not only mean a biological limitation, but also symbolized his status in society. But, Jesus was able to see into the depth of Zacchaeus’ soul and find his true identity, the son of Abraham.  Despite sins and weaknesses, Jesus was able to see that beautiful image of God in Zacchaeus.

Jesus’ transformation even went beyond any expectation. He also wanted to dwell in Zaccheus’ place. In Jewish society and even in many other, a righteous Jew would avoid contact with sinners, fearing that he would become impure. But, Jesus defied the practice, and wanted to share the same meal from the same table under the same roof with Zacchaeus.  By entering his house and eating together with him, Jesus showed everyone that He had mercy, and wanted to be part of the life of Zacchaeus. Only when Jesus expressed His mercy and care to him, did Zacchaeus begun his own transformation.

Encounter with Jesus changes us, but this encounter with us changes Jesus first. Our God is not a passive God who sits at his throne waiting for people to come and worship Him. He takes the initiative and embraces us first in a way that we never expected. When He sees us, He discovers His image, that image that was in us ever since the creation of the world. Despite we being buried in sins and weaknesses, Jesus never loses sight of this beauty. And just like Bruno Mars, Jesus simply says, “You are so amazing, just the way you are.”  Now, it is up to us to either shun His invitation or welcome Him in our home and let His presence transform us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Saat Yesus Melihat Kita…

Minggu ke-31 pada Pekan Biasa. 30 Oktober 2016 [Lukas 19: 1-10]

 “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” (Luk 19:5)

zacchaeus-2

Pertemuan dengan Yesus membawa transformasi nyata bagi Zakheus. Dalam Injil hari ini, kita membaca bahwa Zakheus sebenarnya tidak berniat untuk bawa Yesus untuk tinggal di rumahnya, apalagi untuk mereformasi hidupnya. Setelah melakukan banyak mujizat, Yesus telah menjadi sensasi bagi bangsa Yahudi, dan banyak orang, termasuk Zakheus, bersemangat untuk melihat Yesus yang melintas di tengah kota. Namun, ia bertubuh pendek dan orang-orang yang lebih tinggi menghalangi dia. Zakheus ternyata cukup gigih dan ia memutuskan untuk memanjat pohon ara.

Namun, ketika Yesus melihat Zakheus, Dia memanggil namanya dan juga ingin tinggal di rumahnya. Zakheus pun sangat tersentuh oleh aksi yang tak terduga namun sungguh bermakna dari Yesus. Inipun membawa transformasi dalam diri Zakheus. Salah satu tanda-tanda nyata pertobatannya adalah ia menjadi sangat murah hati. Dulu dia mengambil keuntungan dari orang miskin, sekarang dia berikan kembali kepada mereka yang miskin dengan berlimpah. Lebih penting lagi, dengan murah hati ia menyerahkan dirinya kepada Yesus saat ia menyambut Dia di rumah dan hidupnya.

Namun, transformasi tidak hanya terjadi pada Zakheus. Hal ini juga terjadi di dalam diri Yesus. Dia sebenarnya berjalan menuju Yerusalem untuk menghadapi sengsara dan wafat-Nya. Yerikho adalah sebuah kota yang tidak jauh dari Yerusalem, dan dengan demikian, para peziarah akan melewati Yerikho dan beristirahat sejenak. Mencermati teks, kita menemukan bahwa maksud awal Yesus adalah sekedar melewati Yerikho. Dia tidak berencana untuk tinggal lama di Yerikho. Namun, ketika ia melihat Zakheus, dia mengubah rencana-Nya. Apa yang membuat Yesus mengubah rencana-Nya?

Menjadi seorang pemungut cukai, Zakheus dinilai sebagai pendosa publik. Menjadi pemungut cukai, ia terlibat dalam malapraktek pajak dan korupsi, dan dia juga dianggap sebagai kolaborator Kekaisaran Romawi, musuh dari orang Yahudi. Tidak hanya, seorang pemungut cukai biasa, ia adalah sang kepala, dan tentu semua mata di Yerikho menatapnya dengan kebencian. perawakannya yang pendek mungkin tidak hanya berarti batasan biologis, tetapi juga melambangkan statusnya dalam masyarakat. Tapi, Yesus mampu melihat ke kedalaman jiwa Zakheus dan menemukan jati dirinya yang sejati. Meskipun tertutup dosa dan kelemahan, Yesus dapat melihat citra Allah yang indah dalam Zakheus.

Yesus tidak hanya memanggil Zakheus. Dia juga ingin tinggal di tempat Zakheus. Dalam masyarakat Yahudi, seorang Yahudi yang baik akan menghindari kontak dengan orang-orang berdosa, karena takut ia akan tercemar. Tapi, Yesus menentang praktek ini, dan justru berbagi makanan yang sama dari meja yang sama di bawah atap yang sama dengan Zakheus. Dengan masuk ke rumahnya dan makan bersama-sama dengan dia, Yesus menunjukkan semua orang bahwa Dia memiliki belas kasih, dan ingin menjadi bagian dari kehidupan Zakheus. Hanya ketika Yesus menyatakan kasih-Nya, Zakheus mulai mengubah dirinya.

Perjumpaan dengan Yesus mengubah kita, tapi pertemuan ini juga mengubah Yesus lebih dahulu. Allah kita bukanlah Allah yang pasif, yang duduk di takhtanya menunggu orang untuk datang dan menyembah-Nya. Dia mengambil inisiatif dan memeluk kita lebih dahulu dengan cara yang tak pernah kita dibayangkan. Ketika Dia melihat kita, Ia menemukan citra-Nya, dan ini adalah citra Allah yang ada sejak penciptaan. Meskipun terkubur dalam dosa dan kelemahan, Yesus tidak pernah kehilangan pandangan dari keindahan ini. Yesus berani mengubah rencana-Nya untuk kita, apakah kita berani juga untuk mengubah rencana kita untuk Dia?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Our Prayer, True Prayer?

 30th Sunday in the Ordinary Time. October 23, 2016 [Luke 18:9-14]

 The Pharisee took up his position and spoke this prayer to himself, ‘O God, I thank you…” (Luk 18:11)

pharisee-n-taxcollectorLast Sunday, Jesus reminded us to pray without getting weary. But, in today’s Gospel, Jesus tells us that there is something more than perseverance in prayer. It has something to do with the way we pray. Not only quantity of prayer, but also the quality of prayer. Yet, how do we know that we have a quality prayer?

Once I stumbled upon a Facebook post, and it said, “Pray not because you need something, but because you got a lot to thank God for.” True enough, everything I have is God’s gift. I am nothing without Him, and it is fitting to thank Him. In fact, the highest form of worship in the Church is the Eucharist. The word Eucharist simply means thanksgiving. I liked the post right away. However, when I read the parable in today’s Gospel, I realized that even the Pharisee did a thanksgiving prayer. In fact, in original Greek, when the Pharisee thanked God, he used the word ‘eucharisto’, the root word of the Eucharist. On the other hand, the tax collector was justified because he was asking mercy and forgiveness. Does it mean prayer of supplication and begging for mercy is better and more effective than the prayer of thanksgiving and other kinds of prayer?

Yet, if we read closely, there are some interesting details in the Parable. The first is that the Pharisee expressed his self-righteousness, paraded his good works, and felt better from the rest of humanity, especially the tax collector. Meanwhile the tax collector did nothing but humble himself, acknowledging that he was a sinner and in need of God’s mercy. Thus, prayer needs a right disposition. Humility is the foundation of prayer. Indeed, repentant David himself said, “My sacrifice, God, is a broken spirit; God, do not spurn a broken, humbled heart. (Psa 51:17)”

 The second detail that we often miss is that the Pharisee was actually praying to himself, not to God (see closely verse 11). True that he mentioned God, but he was talking to himself. He offered prayer to himself not to God. If then prayer is our communication with God, the Pharisee nullified the very meaning of prayer. Perhaps, by mentioning God, he wanted God to be his audience and to listen to the litany of his successes, not really to build a relationship. Certainly, it felt good and edifying, but this was not prayer. What the Pharisee did was not a prayer at all, but a self-praise and self-service.

We may hear the Holy Eucharist every day, recite the Liturgy of the Hours faithfully, and pray the rosary. We may also join the Charismatic prayer meetings or the praise and worship. We may also attend the Latin Traditional Mass, or just simply spend silent prayer or meditation. Yet, from the parable, we may ask ourselves, whether our prayers are a true prayer? Do we pray because we feel great about it? Do we pray because we are proud of our achievements? Do we pray because we are more pious than others? Does our pray make us closer to God or just to ourselves? Is humility the foundation of our prayer? Our prayer should be a quantity and quality prayer. We pray with perseverance and proper disposition. But more than these, our prayer should be a true prayer.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Doa yang Benar?

Minggu di Pekan Biasa ke-30 [23 Oktober 2016] Lukas 18: 9-14

 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa kepada dirinya sendiri, begini, Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu ,..” (Luk 18:11)

Minggu lalu, Yesus mengingatkan kita untuk berdoa tanpa lelah. Tapi, dalam Injil hari ini, Yesus mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari ketekunan dalam doa. Ini ada hubungannya dengan cara kita berdoa. Tidak hanya kuantitas, tetapi juga kualitas. Namun, bagaimana kita tahu bahwa kita memiliki doa yang berkualitas?

Suatu hari, saya menemukan sebuah postingan Facebook yang bertuliskan, “Berdoalah bukan karena kamu membutuhkan sesuatu, tetapi karena kamu punya banyak hal yang perlu kamu syukuri.” Benar, semua yang saya miliki adalah karunia Allah. Saya bukan apa-apa tanpa Dia, dan sudah layak dan sepantasnya bersyukur kepada-Nya. Bahkan, bentuk ibadah tertinggi di Gereja adalah Ekaristi. Kata Ekaristi sebenarnya berarti ‘syukur’. Saya pun me-like postingan tersebut. Namun, ketika saya membaca perumpamaan dalam Injil hari ini, saya menyadari bahwa orang Farisi pun melakukan doa syukur. Bahkan, dalam bahasa Yunani, Ketika orang Farisi bersyukur, ia menggunakan kata ‘eucharisto’, akar kata dari Ekaristi. Sementara pemungut cukai dibenarkan karena ia memohon belas kasihan dan pengampunan. Apakah ini berarti doa permohonan lebih baik dan lebih efektif daripada doa syukur dan doa-doa jenis lainnya?

Namun, jika kita membaca dengan cermat, ada beberapa detail yang menarik dalam Perumpamaan ini. Yang pertama adalah orang Farisi berdoa sebagai pembenaran diri, menunjukkan perbuatan baiknya, dan merasa lebih baik dari yang lain, terutama pemungut cukai. Farisi sudah merasa diri benar, oleh karenanya ia tidak lagi membutuhkan pembenaran dari Allah. Sedangkan, pemungut cukai merendahkan diri, mengakui bahwa ia adalah orang berdosa dan membutuhkan belas kasihan Allah. Dengan demikian, doa membutuhkan disposisi yang tepat. Kerendahan hati adalah dasar dari doa. Sungguh, Daud sendiri bermadah, Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. (Mzm 51:17)

Detail kedua yang sering kita lewatkan adalah orang Farisi ini sebenarnya berdoa kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah (perhatikan Luk 18:11 di atas). Benar bahwa ia menyebut Allah, tetapi ia berbicara dengan dirinya sendiri. Dia mempersembahkan doa kepada dirinya bukan kepada Allah. Jika kemudian doa adalah komunikasi kita dengan Allah, orang Farisi ini menghancurkan makna doa yang sesungguhnya. Mungkin, dengan menyebut Allah, ia ingin Allah menjadi penonton dan mendengarkan litani keberhasilannya, tetapi tidak benar-benar untuk membangun hubungan dengan Allah. Tentu, kegiatan semacam ini memuaskan rasanya, tapi ini bukanlah sebuah doa. Apa yang orang Farisi lakukan bukanlah doa yang sejati, tapi pujian bagi dirinya sendiri.

Kita mungkin mendengar Ekaristi Kudus setiap hari, berdoa brevir dengan tekun, dan mendaraskan rosario. Kita juga bisa mengikuti pertemuan doa Karismatik atau ‘Praise and Worship’. Kita juga dapat menghadiri Misa Tradisional Latin, atau kita memilih untuk melakukan mediasi dan kontemplasi. Namun, dari perumpamaan hari ini, kita bertanya kepada diri sendiri, apakah doa kita adalah doa yang benar? Apakah kita berdoa karena kita merasa hebat dan puas tentang hal itu? Apakah kita berdoa karena kita bangga dengan prestasi kita? Apakah kita berdoa karena kita lebih saleh dari yang lain? Apakah doa kita membuat kita lebih dekat kepada Allah atau hanya untuk diri kita sendiri? Adalah kerendahan hati dasar doa kita? Doa kita harus memiliki kuantitas dan kualitas. Kita berdoa dengan ketekunan dan disposisi yang tepat. Tapi lebih dari ini, doa kita harus menjadi doa yang benar.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

My Nagging God

29th Sunday in the Ordinary Time. October 16, 2016 [Luke 18:1-8]

 “…This widow keeps bothering me… (Luk 18:5)”

persistent-widow-2Getting tired and bored is unwanted yet unavoidable part of our lives. After doing things for a certain period of time, we get exhausted. Even if we are doing something we love, we are also bound to feel weary. Indeed, a man marries the woman he loves, but after sometime, encountering disappointments and problems, he begins to think whether he made the right decision. A woman loves dearly her teenage girl, but after sometime, her girl gets involved in substance abuse and runs away with his friends. She spends all her money and energy to win her daughter back yet to no avail, and she simply gets tired. As a religious brother, I love my vocation, but after years of waking up early, attending Mass and prayers, and plunging myself in rigorous study, I get bored.

In these times that we feel weak and weary, the temptation will set in and lure us to abandon our commitments. We are even emboldened to do crazy things and sin. We become like the judge in today’s Gospel, who “neither fear God nor respect human being’. We begin doing unthinkable things. We hurt people we love. We cause sufferings and misery to other people and ourselves.

However, we are so blessed that we have God who is like the nagging widow in the Gospel. He is knocking at our hearts day and night so that we may render justice to Him and our neighbors. Tirelessly He reminds us to be faithful to our commitments, repeatedly encourages us to persevere in doing good, and ceaselessly calls us back everytime we falter.

His unceasing care and ‘disturbance’ are manifested in subtle yet manifold ways. He places in us His subtle grace and joy in our daily prayer, despite boredom and sleepiness. He gives us family and friends who remain supportive to us in time of trials. He provides us with little blessings that we tend to ignore. One sustaining factor in my vocation, I believe, is that the Lord gives me a community. Indeed, sometimes living in a community is troublesome, but it provides also a structure and living ecosystem to support my Dominican religious life. My brothers will knock my door reminding me not to be late in prayer, encourage and evaluate my preaching, and in fact, correct me if I commit mistake. My community is my nagging God.

We may be tired of many things, exhausted in keeping our demanding commitments as spouses or parents, and bored of doing again and again our obligations as students or ministry as priests or religious. Yet, we remember we have our nagging God who persistently loves us and does not give up on us, even if we have already given up on ourselves. What we need to do is just open our eyes, ears and hearts to His subtle yet constant actions in us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tuhan yang Tidak Pernah Jenuh

Minggu dalam Pekan Biasa ke-29 [16 Oktober 2016] Lukas 18: 1-8

“…namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia… (Luk 18:5)

persistent-widow-1Merasa lelah dan bosan adalah bagian dari kehidupan kita yang tak terhindarkan. Setelah melakukan hal-hal dalam jangka waktu lama, kita bisa kehabisan tenaga. Bahkan saat kita melakukan sesuatu yang kita cintai, kepenatan juga kadang melanda. Seorang pria yang menikahi wanita yang ia kasihi, tapi setelah menghadapi kekecewaan dan permasalahan rumah tangga, dia mulai berpikir apakah dia membuat keputusan yang tepat saat menikah dulu. Seorang ibu mencintai anak gadisnya yang beranjak dewasa, tapi ternyata sang gadis terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan melarikan diri dengan teman-temannya. Sang ibu menghabiskan semua uangnya dan tenaga untuk membawa putrinya kembali, namu semua usaha gagal, dan diapun lelah. Sebagai seorang biarawan, saya mencintai panggilan saya, tapi setelah bertahun-tahun bangun dini hari untuk mengikuti Misa harian dan doa brevir, dan juga setiap hari belajar filsafat dan theologi yang sulit, sayapun merasa bosan.

Saat ini kita merasa lemah dan lelah, godaan akan datang dan merayu kita untuk meninggalkan komitmen yang kita telah buat. Kita bahkan digoda untuk melakukan hal-hal gila dan berbuat dosa. Kita menjadi seperti hakim dalam Injil hari ini, yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun.’ Kita mulai melakukan hal-hal yang tak terpikirkan. Kita menyakiti orang yang kita cintai. Kita membawa penderitaan dan kesengsaraan bagi orang lain dan diri kita sendiri.

Namun, kita sangat diberkati karena kita memiliki Allah yang seperti janda dalam Injil hari ini. Dia mengetuk hati kita siang dan malam sampai kita mau memberikan keadilan bagi-Nya dan sesama kita. Tanpa lelah Dia mengingatkan kita untuk setia dengan komitmen kita, berulang kali mendorong kita untuk bertekun dalam melakukan yang baik, dan tak henti-hentinya memanggil kita kembali setiap kali kita goyah.

Kasih dan perhatian-Nya yang tak henti-henti ini terwujud dalam cara yang sangat lembut di dalam kehidupan sehari-hari kita. Dia menempatkan sukacita kecil di dalam doa harian kita, meskipun kadang membosankan. Dia memberi kita keluarga dan teman-teman yang setia mendukung kita dalam waktu-waktu sulit. Dia memberikan kita dengan berkat-berkat sederhana yang kita cenderung abaikan. Salah satu faktor penopang dalam panggilan saya adalah Tuhan memberi saya sebuah komunitas. Memang, kadang-kadang hidup dalam komunitas cukup merepotkan, apalagi dengan watak yang berbeda-beda, tetapi ini juga menyediakan ekosistem dan struktur hidup untuk menopang kehidupan Dominikan saya. Frater-frater akan mengetuk pintu kamar saya agar saya tidak terlambat dalam doa, memberi kesempatan untuk berkhotbah, dan juga mengevaluasi saya agar saya berkembang, dan tentunya, mereka menkoreksi saya jika saya melakukan kesalahan. komunitas saya adalah cara Allah mengomeli saya.

Kita mungkin jenuh dengan banyak hal. Kita kelelahan dalam menjaga komitmen kita entah sebagai suami-istri atau orang tua. Kita bosan melakukan kewajiban kita sebagai pelajar atau pelayanan kita sebagai imam atau rohaniawan. Namun, kita ingat bahwa kita memiliki Allah yang terus-menerus mengasihi kita dan tidak pernah menyerah, bahkan saat kita sudah menyerah pada diri kita sendiri. Apa yang perlu kita lakukan adalah hanya untuk membuka mata, telinga dan hati kita kepada ‘omelan’-Nya yang tak henti. Karena Ia seperti janda yang tak kenal lelah memperjuangkan keadilan bagi-Nya dan bagi kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Rosary and Us

October 7, 2016 – Mary, Queen of the Holy Rosary

rosary-1October is the month of the rosary. Allow me to reflect on this ancient yet ever new form of prayer. Why October? It all started when Pope Pius V, a Dominican, dedicated October 7 as the feast of Mary Our Lady of the Rosary after the battle of Lepanto. In this naval battle of October 7, 1571, the smaller Christian army fought the much larger and powerful Ottoman Turks’ forces that planned to invade Europe at the Gulf of Lepanto in Greece. While the battle was being waged, the Holy Pontiff and all Christians prayed the rosary asking the intercession of Our Lady. After hours of confrontation, the enemy’s fleet was roundly defeated.

However, the devotion to the rosary itself began even much earlier. In fact, the prayer was a product of a long evolution. The devotion actually began as a lay spiritual movement. In the early middle ages, the monks and nuns in the monasteries recited 150 Psalms of the Old Testament as part of their daily prayer. The practice was ideal to sanctify the entire day as the recitation of the Psalms was distributed during the important hours of the day (thus, Liturgy of the Hours). Yet, this was not for the lay people. They had no copy of the Bible, least the ability to read it. Thus, the lay people who desired to make their day holy, started to recite 150 ‘Our Father’. To keep track of the prayer, they also made use of a long cord with knots on it. After some time, they prayed 50 Our Father at three different times of the day.

In the 12th century, the Angelic salutation formula “Hail Mary, full of grace, the Lord is with you. Blessed you among women and blessed is the fruit of your womb” became part of this 150 ‘Our Father’ prayer. Shortly after this, the meditation on mysteries of the life of Jesus and Mary began to be incorporated into this devotion. Gradually, it evolved into 150 ‘Hail Mary’. St. Dominic de Guzman and his Order of Preachers received special mandate from the Virgin herself to promote this ‘Psalter of Mary’. In the 15th century, that devotion acquired the name Rosarium (rose garden). In 1569, the same Pope Pius V issued the papal decree ‘Consueverunt Romani Pontifices’ that regulated and standardized the praying of the Rosary, taking into account its long history and its Dominican tradition. He also affirmed the efficaciousness of the rosary as one of the many means to obtain graces and indulgence. The praying of the rosary continues to evolve even to this day. The latest major innovation was from Saint John Paul II who added five mysteries of Light.

October then turns to be a fitting time to intensify our praying of the rosary and to remember the role of Mary and her rosary in the life of the Church and our lives. I guess more importantly we remember that rosary was born from the desire of lay people to be holy. The rosary came from the simple hands of ordinary people who recited the Our Father and Hail Mary and meditated on the mysteries of salvation. We pray the rosary because it is a devotion that comes from the hearts of the laity. When we pray the rosary, we pray together with Mary who is a lay woman. When we pray the rosary, because we, just like countless people, desire to be closer to God in a simplest and humblest way.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rosario dan Kita

7 Oktober 2016, Maria Ratu Rosari

rosary-2Oktober adalah bulan rosario. Izinkan saya untuk menulis tentang  doa yang sebenarnya kuno tetapi selalu baru. Mengapa Oktober adalah bulan rosario? Semuanya berawal ketika Paus Pius V, seorang Dominikan, mendedikasikan 7 Oktober sebagai pesta Maria Ratu Rosario setelah pertempuran Lepanto. Pada 7 Oktober, 1571, di Teluk Lepanto di Yunani, tentara Eropa berjuang melawan armada laut Ottoman Turki yang jauh lebih besar dan kuat, yang merencanakan untuk menyerang Eropa. Sementara pertempuran sedang berlangsung, sang Paus dan semua umat berdoa rosario meminta perantaraan Bunda Maria. Setelah berjam-jam konfrontasi, armada musuh pun dikalahkan.

Namun, devosi kepada Rosario sendiri bermula jauh lebih awal dari Paus Pius V. Doa ini adalah produk dari evolusi yang panjang. Devosi ini sebenarnya dimulai sebagai sebuah gerakan spiritual awam. Pada abad pertengahan awal, para rahib di pertapaan mendaraskan 150 Mazmur sebagai bagian dari doa harian mereka. Praktek ini sangat ideal untuk menguduskan seluruh hari mereka sebagai pembacaan Mazmur didistribusikan pada jam-jam penting pada hari itu. Namun, ini tidak berlaku bagi orang awam. Mereka tidak memiliki salinan Alkitab, apalagi kemampuan untuk membacanya. Dengan demikian, orang-orang awam yang mendambakan untuk menguduskan hidup harian mereka, mulai mendaraskan 150 ‘Bapa Kami’. Agar tidak hilang dalam meditasi, mereka juga menggunakan tali panjang dengan simpul sebanyak jumlah doa ‘Bapa Kami’. Setelah beberapa waktu, mereka berdoa 50 Bapa Kami tiga kali sehari.

Pada abad ke-12, Formula Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu” menjadi bagian dari doa 150 ‘Bapa Kami’ ini. Tak lama setelah ini, meditasi pada ‘misteri’ kehidupan Yesus dan Maria mulai menjadi bagian dari devosi ini. Secara bertahap, doa ini berkembang menjadi 150 ‘Salam Maria.’ St. Dominikus de Guzman dan Ordo Pengkhotbahnya menerima mandat khusus dari Bunda Maria untuk mempromosikan  ‘Mazmur Maria’ ini. Pada abad ke-15, devosi kepada Yesus dan Maria ini memperoleh nama Rosarium (taman mawar). Pada tahun 1569, Paus Pius V mengeluarkan dekrit Consueverunt Romani Pontifices’ yang mengatur bagaimana berdoa Rosario, dengan mempertimbangkan sejarahnya panjang dan tradisi Dominikan yang ia miliki. Dia juga menegaskan bahwa rosario sebagai salah satu dari banyak cara untuk mendapatkan rahmat dan indulgensia. Doa rosario terus berkembang bahkan sampai hari ini. Inovasi terbaru adalah dari Santo Yohanes Paulus II yang menambahkan lima Misteri of Cahaya.

Bulan Oktober menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk mengintensifkan devosi rosario dan merenungkan peran Maria dan rosarionya dalam kehidupan Gereja dan kehidupan kita. Saya kira yang lebih penting adalah kita diingatkan bahwa rosario sebenarnya lahir dari hasrat para awam untuk menjadi kudus. Rosario berasal dari tangan-tangan sederhana para awam yang mendaraskan Bapa Kami dan Salam Maria, dan juga merenungkan misteri keselamatan di dalamnya. Kita berdoa rosario karena kita ingin untuk lebih dekat dengan Allah dengan cara yang paling sederhana. Kita berdoa rosario karena doa ini merupakan devosi yang berasal dari hati kaum awam. Ketika kita berdoa rosario, kita berdoa bersama-sama dengan Maria yang adalah seorang wanita awam. Rosario adalah hidup kaum awam, dan hati kaum awam adalah Rosario.

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Faith the Size of a Mustard Seed

27th Sunday in Ordinary Time. October 2, 2016 [Luke 17:5-10]

“If you have faith the size of a mustard seed, you would say to this mulberry tree, ‘Be uprooted and planted in the sea,’ and it would obey you (Luk 15:6).

mustard-seedReading through today’s Gospel, it seems to have faith is to perform some sort of magical power. If I have faith, I can create rice field on the seabed. If I have faith, I can made a Lamborghini car out of pile of garbage. If I have faith, I can transform my voice like Ed Sheeran. But, faith is not like that. It is not a magical show to entertain us. It is neither an instant answer to our wishes. Yet, it remains true that even the smallest of faith can make the difference.

Jesus spoke of faith as like the size of a mustard seed, that symbolizes our little faith. Yet even, this little faith can make a significant difference in our life, even to do the impossible. True, our lives practically do not change. We are still struggling with financial difficulties. We still need to deal with demanding bosses or terror professors. We are facing horrendous traffic everyday especially in big cities like Manila and Jakarta. We are battling various sickness plaguing our bodies and not knowing how to pay the medical bills. Yes, our lives do not change, yet at the same time, our little faith will make our lives never the same again. How is this possible?

With faith, we are empowered to believe in the unseen God. If we are able to see the unseen God, then we are also able to discover His unseen love and mercy working in our lives. God is not asleep and does not let us struggle alone with myriads of problems and stresses. We remember Peter, the man of little faith, who attempted to walk on the waters, but failed and began to sink. In his little faith, he saw Jesus holding his hand and thus saving him. Like Peter, we are falling into the ocean of difficulties, but we do not drown, because through our little faith, we see Jesus holding our hands.

We learn from many saints. Their faith does not make their lives any better. Many, like St. Francis of Assisi and St. Martin de Porres, remained poor through their lives like. Many still dealt with a lot of problems. Mother Teresa struggled to sustain her charity works and her young Congregation. St. Bernadette Soubirous endured severe pain due to tuberculosis of the bone. Martyrs were cruelly tortured and executed for this faith. But, this little faith have made them more generous, more persevering,  even more joyful in the midst of trials. As St. Lorenzo Ruiz, the Filipino proto-martyr, proclaimed when he was about to be executed, “I am a Catholic and wholeheartedly do accept death for God; had I a thousand lives, all these to Him shall I offer.” Faith does not take away our suffering, but it empowers us to see God. This is enough to change us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Imam Sebesar Biji Sesawi

Minggu dalam Pekan Biasa ke-27 [2 Oktober 2016] Lukas 17: 5-10

“Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja…(Luk 17:6)”

mustard-seed-in-bottleMembaca Injil hari ini, tampaknya memiliki iman itu membuat kita memiliki kekuatan super. Jika saya memiliki iman, saya dapat menanam padi di dasar laut. Jika saya memiliki iman, saya bisa membuat mobil Lamborghini dari tumpukan sampah. Jika saya memiliki iman, saya bisa mengubah suara saya seindah Ed Sheeran. Tapi, iman tidak seperti itu. Iman bukanlah pertunjukan sulap untuk menghibur kita. Iman bukanlah jawaban instan bagi keinginan-keinginan kita. Namun, benar adanya bahwa bahkan iman terkecil pun dapat membuat berbedaan yang berarti dalam hidup kita.

Yesus berbicara tentang iman dalam ukuran biji sesawi, dan ini melambangkan iman kita yang kecil. Namun walaupun kecil, iman kita dapat membuat perbedaan yang signifikan dalam hidup kita, bahkan melakukan hal-hal yang mustahil. Benar, hidup kita praktis tidak berubah. Kita masih berjuang dengan kesulitan keuangan. Kita masih harus berurusan dengan bos yang buat stres atau dosen teror. Kita tetep harus melalui kemacetan luarbiasa setiap hari, terutama di kota-kota besar seperti Manila dan Jakarta. Kita bergulat dengan berbagai penyakit yang menjangkiti tubuh kita, dan kita tidak tahu bagaimana untuk membayar obat dan biaya perawatan. Ya, hidup kita tidak berubah, namun pada saat yang sama, iman kecil kita akan membuat hidup kita menjadi baru. Bagaimana ini mungkin?

Dengan iman, kita diberdayakan untuk percaya pada Tuhan yang tak terlihat. Jika kita mampu melihat Tuhan yang tidak terlihat, kita juga bisa menemukan kasih dan rahmat-Nya yang tak terlihat dan bekerja dalam hidup kita. Tuhan tidak tidur dan tidak membiarkan kita berjuang sendirian dengan berbagai permasalah hidup. Kita mengingat Petrus, orang yang imannya kecil, yang berusaha untuk berjalan di atas air, tapi gagal dan mulai tenggelam. Dalam iman kecilnya, ia melihat Yesus memegang tangannya dan ia diselamatkan. Seperti Petrus, kita jatuh ke samudra permasalahan dan kesulitan, tapi kita tidak tenggelam karena dengan iman kecil kita, kita melihat Yesus memegang tangan kita.

Kita belajar dari banyak orang kudus. Iman mereka tidak membuat hidup mereka lebih baik. Banyak, seperti St. Fransiskus dari Assisi dan St. Martin de Porres, tetap miskin sepanjang hidup mereka. Banyak yang masih berurusan dengan berbagai masalah, seperti Bunda Teresa Kalkuta yang berjuang untuk mempertahankan karya amal dan Kongregasi mudanya, atau St. Bernadette Soubirous yang menanggung sakit luar biasa akibat TBC tulang. Bahkan tidak sedikit juga dengan kejam disiksa dan dieksekusi karena iman ini. Tapi, iman kecil yang mereka memiliki justru membuat mereka lebih murah hati, lebih tekun, dan bahkan bahagia di tengah-tengah ini pencobaan. Sebagai St. Lorenzo Ruiz, martyr pertama Filipina dan juga Dominikan awam, berseru ketika ia hendak dieksekusi di Jepang, “Saya seorang Katolik dan sepenuh hati menerima kematian bagi Allah; jika saya memiliki seribu nyawa, semua ini akan saya persembahkan kepada-Nya. Iman tidak menghapus penderitaan kita, tetapi memberdayakan kita untuk melihat Allah yang bekerja dan ini cukup untuk mengubah siapa kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP