Yohanes dan Kerinduan Kita akan Kebenaran

Minggu kedua Adven. 4 Desember 2016. Matius 3: 1-12

 Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea dan memberitakan: Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!”

john-the-baptistMengapa banyak orang datang menemui Yohanes Pembaptis dan mendengarkan dia? Saya percaya bahwa orang-orang Yahudi ini lapar akan kebenaran. Mungkin kebenaran ini tidak nyaman dan menyakitkan untuk didengar, tetapi mereka ingin dan perlu mendengarkannya. Mereka bosan mendengarkan pemimpin mereka, seperti orang-orang Farisi dan Saduki, yang tidak jujur dan hidup dalam kemunafikan. Mereka kelelahan oleh banyak kewajiban agama, namun tidak menemukan inspirasi dan contoh yang baik dari pemimpin mereka. Yohanes datang dan mewartakan kebenaran dengan kesederhanaan dan integritas, dan orang Israel tahu bahwa mereka harus mendengarnya.

Dengan segala kemajuan dalam hidup kita, masyarakat kita hampir sama dengan Israel di jaman Yohanes. Kita sedang mengalami rasa lapar untuk kebenaran. Kita menghabiskan bertahun-tahun di sekolah dan kita belajar berbagai jenis pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup dan memenuhi tuntutan masyarakat, tetapi kita gagal untuk menemukan kebenaran yang sejati. Setelah pemilihan presiden di AS, banyak ahli menyesalkan bagaimana media sosial, khususnya internet, telah membuka gerbang besar kebohongan, hoax, dan berita palsu menyesatkan. Di Indonesia, terutama Jakarta, situasinya tidak jauh berbeda. Pemilihan Gubernur Jakarta serta kasus Basuki Tjahaja Purnama, gubernur pentahana yang terlibat dalam penistaan agama, telah melemparkan bangsa ini ke dalam fragmentasi lebih mendalam. Di Filipina, berbagai isu dari perang terhadap narkoba yang telah merenggut ribuan jiwa, sampai isu pemakaman mantan presiden Ferdinand Marcos di taman makam pahlawan, telah membelah bangsa Filipina. Berbagai kelompok telah menyebarluaskan segudang berita dan laporan, dan entah berita itu benar atau tidak, mereka tidak peduli asalkan agenda mereka tercapai. Kita menjadi lebih bingung dan tidak tahu apa yang sebenarnya.

Dalam kekacauan informasi ini, Hossein Derakhshan, seorang peneliti dari MIT, telah meramalkan bahwa masyarakat kita akan menjadi sangat terfragmentasi, didorong oleh emosi, dan terkurung dalam dunia kita yang sempit. Singkatnya, karena kita tidak tahu kebenaran, kita membuat keputusan besar dengan menggunakan perasaan bukan lagi kebenaran. Hal ini mudah dilakukan namun sejatinya menciptakan lebih banyak kebingungan. Namun, jauh di dalam diri kita, kita merindukan kebenaran karena kita diciptakan untuk kebenaran dan memiliki kapasitas untuk mencari kebenaran. Akhirnya, semua ini akan menyebabkan frustasi dan ketidakbahagiaan yang mendalam.

Di tengah ini banjir informasi ini, kita dipanggil untuk menjadi Yohanes Pembaptis, pewarta kebenaran. Namun, sebelum kita memberitakan kebenaran dan melawan gelombang kebohongan, kita harus berakar dalam doa dan pembelajaran. Yohanes menghabiskan waktunya di padang gurun, dan di tempat yang sunyi ini, ia bisa melatih pikiran dan hatinya untuk menemukan kebenaran. Beberapa hari yang lalu, saya menyampaikan ceramah tentang hukuman mati di dalam Alkitab. Beberapa penafsir Alkitab fundamentalis dapat dengan mudah mengangkat beberapa ayat dan membenarkan hukuman mati. Ini adalah jawaban instan, tetapi bukanlah kebenaran. Saya sendiri perlu menghabiskan berjam-jam dalam penelitian dan studi hanya untuk memahami kebenaran bahwa di dalam Kitab Suci, Allah tidak ingin kematian orang-orang berdosa, namun pertobatan mereka.

Adven menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk mengikuti jejak St. Yohanes Pembaptis. Kita dipanggil untuk melatih diri kita untuk mendengarkan kebenaran, dan memberitakan hal itu dengan keyakinan karena kita berakar pada doa dan pembelajaran.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Leave a comment