Mammon

8th Sunday in Ordinary Time (Year A). February 26, 2017 [Matthew 6:24-34]

 “You cannot serve God and mammon (Mat 6:24)”

liberationMammon in Aramaic, the native language of Jesus, means riches, money or even properties. And nobody can serve both the true God and Mammon. In original Greek, Mathhew chose a stronger word than “to serve” Mammon, but it is to ‘become slave’ of Mammon. A slave is someone who no longer possesses freedom of his or her own; the lives are dependent on their master’s whim. Interesting to note is that the Mammon is not even a living being, and yet, people are freely laying their freedom to be its slave. It is irrational and in fact, unthinkable, but the reality narrates countless stories of people being possessed by riches and do inhuman things.

It is not an uncommon story that in many nations government officials are involved in large-scale corruptions, while ordinary citizens have to break their bones working and paying taxes. In Brazil, the Philippines and other countries, small farmers are violently evicted from their homes and lands by the greedy landowners. The grim reality of human trafficking is covert yet enormous. The children and women are abducted and traded as commodities, used as drug mules or sex objects. While others face immediate death as their bodily organs are harvested and sold in black market. Our beautiful forest and mountains are destroyed because of massive illegal logging and mining. This leads to nothing but ecological destruction, the animals are endangered, the rivers and seas become giant dumped sites of toxic waste, and our land is sorely barren and dead.

The mammon-worship does not only take place outside our fence, but without realizing it, it also plagues our own house and families. Who among us are addicted to work and begin to sideline our responsibilities in the family and neglect our health? Who among us start to think that giving money to our children is enough for their growth? Sometimes, the clergy and the religious are caught in the same mentality. We do our ministry as if there will be no tomorrow. We begin putting aside the basics like prayers, study, and community.

St. Thomas Aquinas makes it clear that riches and money cannot satisfy our deepest longing. He argues that wealth’s purpose is to meet our temporal human needs, but never to fulfill our spiritual and supreme desire. The real problem happens when we mistakenly accept riches as the fulfillment of our infinite desire for the infinite God. We make Mammon a god. We dethrone the true God and all serious problems start flooding in.

Jesus calls us to once again go back to true God. Other forms of gods, like wealth, money, gadgets, properties, cars, sex, prestige, works only drag us into slavery and misery. Just like the Hebrews in Egypt, only when they followed Yahweh, were they liberated from the slavery and marched toward the Promised Land. Yet, it was not easy. Like the Israelites who wanted to go back to Egypt after some time in the desert, we also cling to our Mammon firmly. It took 40 years for Israelites to struggle with their faithfulness to God, and perhaps we need years to before we rediscover the true God in your lives. Difficult indeed, yet, it is necessary because only God can bring us true happiness and liberation. We are liberated from the illusion of self-sufficiency, from the excessive ego-centrism. Not only we are freed, but also our family and our society, our environment and our earth. Want to make our world a better place? Let God be your God!

 Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mamon

Minggu pada Pekan Biasa ke-8 (Tahun A) 26 Februari 2017 [Matius 6:24-34]

Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Mat 6:24)

slaveMamon dalam bahasa Aram, bahasa asli Yesus, berarti kekayaan, uang atau bahkan properti. Dan tidak ada yang dapat melayani Allah yang benar dan Mamon bersamaan. Dalam bahasa Yunani, Matius memilih kata yang lebih kuat dari “melayani” Mamon, tapi ia mengunakan untuk ‘menjadi budak’ Mamon. Seorang budak adalah seseorang yang tidak lagi memiliki kebebasan dan kehidupannya tergantung pada kemauan tuannya. Menarik untuk dicatat adalah bahwa Mamon itu bukan makhluk hidup, namun, banyak orang mau meletakkan kebebasan mereka untuk menjadi budaknya. Hal ini tidak rasional dan pada kenyataannya, tak terpikirkan, tetapi kenyataannya banyak orang yang memilih kekayaan dan melakukan hal-hal yang tidak manusiawi demi Mamon.

Bukan hal baru di banyak negara, pejabat pemerintah terlibat dalam korupsi besar-besaran, sementara warga biasa harus bekerja keras dan membayar pajak. Di Brazil, Filipina dan negara-negara lain, petani-petani kecil diusir dari rumah dan tanah mereka oleh tuan tanah yang serakah. Kita juga menghadapi Realitas suram perdagangan manusia yang terselubung namun  sangat besar. Anak-anak dan perempuan diculik dan diperdagangkan sebagai komoditas, digunakan sebagai pengantar narkoba atau objek seks. Sementara yang lain menghadapi kematian karena organ tubuh mereka dijual di pasar gelap. Hutan dan pegunungan yang indah hancur karena penebangan liar dan pertambangan ilegal. Hal ini menyebabkan kehancuran ekologi, satwa terancam punah, sungai dan laut menjadi situs limbah beracun raksasa, dan tanah menjadi sangat tandus dan mati.

Penyembahan Mamon tidak hanya berlangsung di luar sana, tapi tanpa disadari, hal ini juga menjadi malapetaka di rumah dan keluarga kita sendiri. Siapa di antara kita yang kecanduan kerja dan mulai mengesampingkan tanggung jawab kita dalam keluarga dan mengabaikan kesehatan kita? Siapa di antara kita mulai berpikir bahwa memberikan uang kepada anak-anak kita sudah cukup untuk pertumbuhan mereka? Kadang-kadang, para imam dan rohaniawan terjebak dalam mentalitas yang sama. Kami melakukan pelayanan seolah-olah tidak ada hari esok. Kita mulai menyisihkan dasar-dasar seperti doa, studi, dan komunitas.

St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kekayaan dan uang tidak dapat memuaskan kerinduan terdalam kita. Dia berpendapat bahwa tujuan kekayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan duniawi kita yang fana, tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan spiritual dan tertinggi kita. Masalah sebenarnya terjadi ketika kita keliru dan menjadikan kekayaan sebagai pemenuhan keinginan kita yang tak terbatas. Kita membuat Mamon tuhan. Kita meninggalkan Allah yang benar dan semua masalah serius pun dating karena kita mulai menjadi seperti Mamon, tidak rasional, tidak berpikir dan tidak hidup.

Yesus memanggil kita untuk kembali ke Allah yang benar. Bentuk lain dari mamon, seperti kekayaan, uang, gadget, properti, mobil, sex, prestise, pekerjaan hanya menyeret kita ke dalam perbudakan dan kesengsaraan. Sulit memang karena kenikmatan instan yang kita terima, namun, hal ini perlu karena hanya Tuhan yang bisa membawa kita kebahagiaan sejati dan pembebasan. Kita dibebaskan dari ilusi keperkasaan kita, dari berlebihan ego-sentrisme kita. Tidak hanya kita dibebaskan, tetapi juga keluarga dan masyarakat kita, lingkungan kita dan bumi kita juga terbebaskan. Ingin membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik? Lepaskanlah mamon dan biarkan Allah menjadi Allah kita!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Love, not for the Fainthearted

7th Sunday in Ordinary Time (Year A). February 19, 2017 [Matthew 5:38-48]

“Love your enemies, and pray for those who persecute you, (Mat 5:44)”

john-paul-n-ali-agcaLove is not for the fainthearted. It is difficult to love, even those whom we are supposed to love naturally and easily. At times, we feel regret in having committed ourselves in marriage to someone who turns out to be moody, demanding and no longer attractive. Sometimes, we want to kick out our children who become too stubborn and rebellious. Sometimes, we also think that we enter the wrong Congregation or convent.

However, Jesus wants us to go beyond, and even love our enemies. If we have a hard time to love those who are close to our hearts, how is it possible to love our enemies? How are we going to love those who bully us in the office or in the school? Is it viable to be kind to people who spread malicious gossips about us? Why should we be nice to those who have cheated us and even exploited us? Do we need to forgive those who have abused us and left us a permanent traumatic experience?

Though it is extremely difficult to love, even almost impossible, Jesus is not out his mind when He asks us to love our enemies. He knows who we are, away better than we know ourselves. We were created in the Image of God.  St. John reminds us that God is love (see 1 John 4:8). Therefore, we were made in the image of love. It is our identity to love, and only in loving, do we find our happiness. Yet, again how do we love people we hate?

When Jesus commands to love, the Gospel deliberately chooses the word ‘agape’ for love. In Greek, Agape is slightly different from the other kinds of love like philia and eros. If philia and eros are the love that is born out of our natural affections for someone, agape basically comes from the power of the will, courage, and freedom. It is easier to love someone when we like them, but we were not created only in the image of philia and eros, we are the image of Agape. We have a built-in ability in us to love even despite the unpleasant and repugnant feelings.

St. Thomas Aquinas put in quite succinctly that ‘to love is to will the good in others’. We do not have to feel good about the person, in order to do good to the person. In the Church’s Tradition, we have various acts of charity and works of mercy, and all of these cannot be simply based on emotions. Many dioceses and parishes in the Philippines are actively helping the rehabilitation of drug-addicts in the communities. Nobody likes junkies, some even want them dead, but why do the Churchmen and women continue to help them, despite criticism? Because Jesus wants us to love them, and it is possible with our freedom to do good to them.

True love is difficult and not for the fainthearted. It demands courage, strength, sacrifice. Yet, without love, what is the point of living? Danny Thomas, an actor, and producer, said, “All of us are born for a reason, but all of us don’t discover why. Success in life has nothing to do with what you gain in life or accomplish for yourself. It’s what you do for others.”john-paul-n-ali-agca

 Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Kasih, bukan untuk yang Lemah Hati

Ketujuh Minggu Biasa (Tahun A). 19 Februari 2017 [Matius 5: 38-48]

“Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:44)”

love-your-enemies-2Cinta kasih bukanlah untuk orang yang lemah hatinya. Mengasihi itu sulit, bahkan bagi mereka yang seharusnya kita cintai secara alami dan mudah. Kadang-kadang, kita menyesal telah mengikat diri dalam pernikahan dengan seseorang yang moody, banyak tuntutan dan tidak lagi menarik. Kadang-kadang, kita ingin menendang keluar anak-anak yang menjadi keras kepala dan susah diatur. Kadang-kadang, kita, kaum berjubah, juga berpikir bahwa kita telah memasuki Kongregasi atau biara yang salah.

Namun, Yesus ingin kita pergi lebih jauh, dan bahkan mengasihi musuh kita. Jika kita kesulitan untuk mengasihi orang yang dekat dengan hati kita, bagaimana mungkin untuk mengasihi mereka yang kita benci? Bagaimana kita akan mengasihi orang-orang yang memberi banyak masalah di kantor atau di sekolah? Apakah bisa untuk bersikap baik kepada orang-orang yang menyebarkan gosip jahat tentang kita? Mengapa kita harus bersikap baik kepada orang-orang yang telah menipu kita dan bahkan mengeksploitasi kita? Apakah kita perlu memaafkan mereka yang telah melakukan tindak kekerasan dan memberi kita pengalaman traumatis yang permanen?

Meskipun sangat sulit untuk mengasihi, bahkan hampir tidak mungkin, Yesus tetap pada pendirian-Nya. Dia tahu siapa kita, jauh lebih baik kita mengetahui diri kita sendiri. Kita diciptakan dalam citra Allah. Dan St. Yohanes mengingatkan kita bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4: 8). Oleh karena itu, kita dibuat dalam citra Kasih. Ini adalah identitas kita untuk mengasihi, dan hanya dalam mengasihi kita menemukan kebahagiaan. Namun, bagaimana kita mengasihi orang yang kita benci?

Ketika Yesus memerintahkan untuk mengasihi, Injil sengaja memilih kata agape’ untuk kasih. Dalam bahasa Yunani, Agape sedikit berbeda dari jenis cinta yang lain seperti philia dan eros. Jika philia dan eros adalah cinta yang lahir dari perasaan ketertarikan kita yang alamiah untuk seseorang, agape pada dasarnya berasal dari kekuatan kehendak, keberanian dan kebebasan. Lebih mudah untuk mencintai seseorang kita sukai, tapi kita tidak diciptakan hanya dalam citra philia dan eros, kita adalah citra dari Agape. Kita memiliki kemampuan dalam diri kita untuk mengasihi meskipun ada perasaan tidak menyenangkan terhadap seseorang.

St. Thomas Aquinas mendefinisikan bahwa ‘mengasihi adalah kemauan untuk berbuat baik pada orang lain. Kita tidak perlu merasa baik kepada seseorang, untuk berbuat baik kepadanya. Dalam tradisi Gereja, kita memiliki berbagai karya belas kasih, dan semua ini tidak bisa jalan jika hanya berdasarkan emosi. Banyak keuskupan dan paroki di Filipina secara aktif membantu rehabilitasi pecandu obat terlarang di masyarakat. Tentunya, tidak ada yang suka dengan pecandu, beberapa bahkan ingin mereka mati, tapi kenapa yang para anggota Gereja terus membantu mereka, meskipun dikritik? Karena Yesus ingin kita mengasihi mereka.

Kasih sejati itu sulit dan bukan untuk mereka yang lemah hati. Kasih ini menuntut keberanian, kekuatan, dan pengorbanan. Namun, tanpa kasih, apa gunanya hidup? Danny Thomas, seorang aktor dan produser kawakan, mengatakan, “Semua dilahirkan karena suatu alasan, tetapi kita semua tidak mengetahui apa. Sukses dalam hidup tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda dapatkan dalam hidup atau capai untuk diri sendiri. Hidup adalah apa yang Anda lakukan untuk orang lain.”

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Surpassing the Pharisees

6th Sunday in Ordinary Time. February 12, 2017 [Matthew 5:20-37]

 “I tell you, unless your righteousness surpasses that of the scribes and Pharisees, you will not enter into the kingdom of heaven. (Mat 5:20)”

phariseeThe word ‘Pharisee’ has a rather negative connotation for us. In the Gospels, they are the bad guys. They often argued with Jesus and Jesus challenged their way of life. Even some planned to get rid of Jesus (see Mat 12:14). In our time, the term ‘Pharisaic’ simply means hypocrite.

However, if we look from another angle, the Pharisees are not that ugly. In the time of Jesus, they had important roles to play. They, in fact, revolutionized the Jewish society itself. What did they do? They brought the Law, various rituals and devotional practices from the Temple of Jerusalem to the Jewish communities and families in Israel. Many Pharisees took care of the local synagogues and made sure that the people would observe properly the Law and its traditions, like the Sabbath and rituals of cleansing. Unlike the priests who served in the Temple, the Pharisees were lay people who loved the Law in their ordinariness of life. Thus, when the Temple was destroyed by the Roman army in 70 AD, the priestly clan also disappeared, but the Jewish cultural fabrics and religion continued to live because of the Pharisees, the lay people.

Jesus criticized them not because they were following the Law and traditions, but because of their ‘interpretations’ of the Law. Doubtless, the Pharisees loved the Law of Moses dearly, but they fell into fundamentalism. They absolutized the letters of the Law and the traditions, and trivialized what or who is actually at the service of the Law: God and fellow human beings. To become a fundamentalist means we opt to follow the dead letters of the Law of the Bible, which is easier, rather than to dialogue with the Person behind it and persons in front of it.

Without realizing it, many of us are acting like the Pharisees. Like them, we love God, His Law, and His Church, but sometimes, we are too busy with the trivial things. I am sad when some people are arguing on how to receive the Holy Eucharist, kneeling, standing, by hands or directly to the mouth. Some accuse Charismatic mass as heretical. Others label the Latin Mass as ultra-conservative. I am also saddened with a young Catholic apologist who is zealously debating on the Internet, yet does not lift a finger to help his sick mother. Yes, Sacred Scripture and the Liturgy is an essential part of our faith as the exercise of the priestly office of Jesus Christ and means of salvation, but if we are disintegrated because of details of the rituals, we miss the point.

We forget to transform our love for God and His Church into love for others. St. Dominic sold his expensive books made of animal skins so he could feed the poor, and argued, “Would you have me study from these dead skins when the living skins are dying of hunger?” Who among us are involved in feeding the poor around us? Who among us are doing something meaningful to the victims of injustice in the society? Who among us have the patience towards our ‘difficult’ brothers and sisters in the family or community? Remember that we are called to surpass the righteousness of the Pharisees.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Lebih Baik Dari Farisi

Minggu ke-6 dalam Masa Biasa. 12 Februari 2017 [Matius 5: 20-37]

“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Mat 5:20)”

pharisees2Kata ‘Farisi’ memiliki konotasi negatif bagi kita. Dalam Injil, mereka adalah lawan-lawan Yesus. Mereka sering berdebat dengan Yesus dan Yesus mengkritik cara hidup mereka. Bahkan beberapa merencanakan untuk menyingkirkan Yesus (lihat Mat 12:14). Pada zaman sekarang, istilah ‘Farisi’ sering kali diasosiasikan dengan kemunafikan.

Namun, jika kita melihat dari sudut pandang yang lain, orang-orang Farisi tidak seutuhnya jahat. Dalam zaman Yesus, mereka memiliki peran penting, yakni merevolusi masyarakat Yahudi. Apa yang mereka lakukan? Mereka membawa Hukum Taurat, berbagai ritual dan praktek devosi dari Bait Allah di Yerusalem ke komunitas-komunitas dan keluarga-keluarga Yahudi di Israel. Banyak orang-orang Farisi mengelola rumah-rumah ibadat setempat di berbagai penjuru Palestina dan memastikan bahwa orang-orang akan melaksanakan dengan baik Hukum Taurat dan tradisi, seperti Sabat dan ritual pembersihan. Berbeda dengan imam yang bertugas di Bait Allah, orang-orang Farisi adalah orang-orang awam yang mencintai Hukum Taurat di dalam kesederhanaan hidup sehari-hari mereka. Dengan demikian, ketika Bait Allah dihancurkan oleh tentara Romawi pada tahun 70 Masehi, kasta imam juga menghilang, tapi budaya dan agama Yahudi terus hidup karena orang-orang Farisi ini yang adalah orang-orang awam.

Yesus mengkritik mereka bukan karena mereka mencintai Hukum Taurat dan tradisi, tetapi bagaimana mereka ‘menginterpretasi’ Hukum tersebut. Tak diragukan lagi orang-orang Farisi mencintai Hukum Musa, tetapi bahayanya adalah mereka bisa jatuh ke dalam fundamentalisme. Mereka memutlakkan setiap huruf Hukum Taurat dan tradisi, dan melupakan tujuan utama Hukum tersebut: melayani: Allah dan sesama manusia. Untuk menjadi fundamentalis itu mudah karena kita memilih untuk mengikuti huruf-huruf mati yang tertera di Kitab suci. Jauh lebih sulit untuk berdialog dengan Dia yang ada di balik huruf-huruf tersebut dan mereka yang ada di depan huruf-huruf tersebut.

Tanpa disadari, banyak dari kita yang bertindak seperti orang Farisi. Seperti mereka, kita mengasihi Tuhan, Hukum-Nya dan Gereja-Nya, tapi kadang-kadang, kita terlalu sibuk dengan hal-hal sepele. Saya sedih ketika tidak sedikit orang berdebat tentang bagaimana menerima Ekaristi Kudus, berlutut, berdiri, dengan tangan atau langsung ke mulut. Beberapa menuduh misa Karismatik itu sesat. Beberapa lainnya menyatakan bahwa Misa Latin sebagai ultra-konservatif. Saya juga sedih dengan seorang teman dan juga apologis Katolik muda di Filipina yang rajin berdebat di internet, namun tidak melakukan apa-apa untuk membantu ibunya yang sedang sakit. Ya, Kitab Suci dan Liturgi merupakan bagian penting dari iman kita dan juga sarana keselamatan, tetapi jika kita terpecah-belah dan menjadi fundamentalis-fundamentalis kecil, kita melepas tujuan utama iman kita.

Kita lupa untuk mengubah kasih kita kepada Allah dan Gereja-Nya ke dalam kasih bagi orang lain. St. Dominikus de Guzman menjual buku-bukunya yang mahal terbuat dari kulit binatang sehingga ia bisa memberi makan orang-orang miskin, dan berkata, “Apakah kamu mau saya belajar dari ini kulit mati ini ketika kulit hidup mati kelaparan?” Siapa di antara kita yang terlibat memberi makan orang miskin sekitar kita? Siapa di antara kita melakukan sesuatu yang berarti bagi korban ketidakadilan di masyarakat? Siapa di antara kita memiliki kesabaran terhadap saudara dan saudari kita yang bermasalah dalam keluarga atau masyarakat? Ingat bahwa kita dipanggil untuk melampaui kebenaran orang-orang Farisi.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Why Salt?

5th Sunday in Ordinary Time. February 5, 2017 [Matthew 5:13-16]

“You are the salt of the earth… (Mat 5:13)”

Picture 006
Picture 006

 Jesus says that we are the salt of the earth. We note that He does not say we are ‘like’ the salt of the earth. In literature, we learn that the former is called a metaphor and the latter is a simile. The two sentences look similar, but actually, the difference is significant. Take note of the difference: I am Bayu and I am like Bayu.  The two illustrate that the usage of ‘like’ makes things different considerably. One gives us an essential connection, while the other points only to an accidental relationship.

Jesus sees that being the salt of the earth is not merely accessory, but essential and defining to the identity and mission of His disciples.  Like I cannot be Bayu in the morning and be John in the evening, so we cannot be salt on weekdays and be sugar in weekends. We are salt every second of our lives. This is what we call a vocation. Being salt is our vocation.

Ordinarily, salt is for seasoning. We hate it if the food is too salty, but we hate more if the food is tasteless. Once at our Lenten observance in my minor seminary, we ate salt-less food, and the taste was truly awful. Yet, since we were hungry, we still consumed the food. That was the moment I appreciated the importance of salt. Being salt, we are to make the difference in the world with our good deeds, yet not ‘too salty’ that we simply draw the attentions to ourselves. Again, we do good all the time, not only when others are looking at us, not only when we feel good and motivated, not only when we expect a reward.  A good mother will not do good to her children only Monday to Friday. Nor a good father will only raise his potentially successful children and abandon the rest.

However, we may ask a deeper question: why does it have to be salt? We are well aware that aside for spicing up, salt has practically no nutritional values. Even some scientists link excess salt to health problems like high blood pressure. Why not something more substantial like rice, pasta, or noodles? The answer may be simple: it is not our vocation to become the true source of sustenance and nourishment. It belongs to Jesus. That is in the Gospel of John, Jesus called Himself as the Bread of Life (Jn 6:35). In the Philippines, we have this popular bread called ‘pandesal’ (literally means bread of salt). It is a small bread made of flour, yeast, egg, sugar and salt, a bit sweet rather than salty. The amount of salt is insignificant, and yet it enhances the taste of the bread, makes it pleasurable to our senses. Yet again, salt is not the real thing, but the bread.

As salt, it is not us who give the fullness of life, but our vocation is to bring Jesus to others so that they may have the life. Our goodness, our achievement, our ministries are not to draw praise to ourselves, but through our good deeds others may feel God even more. That is who we are: Salt.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengapa Garam?

Minggu Ke-5 dalam Pekan Biasa. 5 Februari 2017 [Matius 5:13-16]

Kamu adalah garam dunia (Mat 5:13).

PrintYesus mengatakan bahwa kita adalah garam dunia. Yesus tidak berkata kita ‘seperti’ garam dunia. Keduanya sangat berbeda, seperti ‘saya adalah Bayu’ jauh berbeda dengan ‘saya seperti Bayu.’ Kalimat pertama memberi hubungan esensial antara subjek dan predikat, sedangkan kalimat kedua hanya hubungan kesamaan yang sementara. Yesus pun tahu persis hal ini.

Yesus melihat bahwa menjadi garam dunia adalah bagian sangat penting dan menentukan dari identitas dan misi para murid-Nya. Kita tidak bisa menjadi garam dunia hanya pada hari kerja dan berubah menjadi gula dalam akhir pekan. Kita adalah garam setiap detik dari kehidupan kita. Ini adalah apa yang kita sebut panggilan. Menjadi garam dunia adalah panggilan kita.

Biasanya, garam digunakan sebagai bumbu. Kita tidak suka jika makanan terlalu asin, tapi kita lebih tidak suka jika makanan hambar. Saat saya masih di Seminari Mertoyudan, kita makan makanan tanpa garam sebagai bentuk pantang dan puasa pada masa Pra-Paskah. Sungguh, rasanya benar-benar mengerikan. Tapi karena kami lapar, santapan tetap saja habis. Ini adalah saat saya menghargai pentingnya garam. Menjadi garam, kita harus membuat perbedaan di dunia dengan perbuatan baik kita, namun tidak ‘terlalu asin’ sehingga kita hanya menarik perhatian untuk diri kita sendiri. Sekali lagi, kita berbuat baik sepanjang waktu, tidak hanya ketika orang lain melihat kita, tidak hanya ketika kita merasa baik dan termotivasi, tidak hanya ketika kita mengharapkan imbalan. Seorang ibu tentu tidak akan berbuat baik kepada anak-anaknya hanya Senin sampai Jumat. Atau ayah hanya akan membesarkan anak berpotensi sukses dan menelantarkan yang lain.

Namun, kita juga bertanya: mengapa kita harus menjadi garam? Kita menyadari bahwa selain untuk bumbu, garam praktis tidak memiliki nilai gizi. Bahkan beberapa ilmuwan menghubungkan kelebihan garam dengan masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi. Mengapa tidak sesuatu yang lebih bermanfaat seperti nasi, pasta, atau mie? Jawabannya sebenarnya sederhana: bukan panggilan kita untuk menjadi sumber nutrisi utama dan kehidupan. Ini milik Yesus. Maka tidak salah jika dalam Injil Yohanes, Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah Roti Hidup (Yoh 6:35). Ia adalah sumber kehidupan yang sejati, bukan kita. Di Filipina, kita memiliki roti populer bernama  pandesal’ (secara harfiah berarti roti garam). Ini adalah roti kecil yang terbuat dari tepung, ragi, telur, gula dan garam. Sebenarnya terasa sedikit manis daripada asin. Jumlah garamnya pun tidak signifikan, tetapi garam tetap ada untuk meningkatkan cita rasa roti, membuatnya semakin nikmat di lidah. Jadi garam bukanlah hal yang sebenarnya, melainkan roti.

Seperti garam, bukan kita yang memberikan hidup, tetapi panggilan kita adalah untuk membawa Yesus kepada orang lain sehingga mereka dapat memiliki hidup. Kebaikan kita bukan untuk menarik pujian bagi diri kita sendiri, tetapi melalui perbuatan baik kita, Tuhan akan semakin terasa di kehidupan banyak orang.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP