Journey to Emmaus and the Eucharist

Third Sunday of Easter. April 30, 2017 [Luke 24:13-35]

“…while he was with them at table, he took bread, said the blessing, broke it, and gave it to them. 31 With that their eyes were opened and they recognized him… (Luk 24:30-31)”

emmaus 2Luke wonderfully narrated the Journey to Emmaus in such a way that it became a catechetical instruction on the Eucharist. The two disciples were actually running away from Jerusalem. After the death of their master, the situation turned to be dangerous for their lives. They were afraid of the Jewish authorities and their hope and dream of having a Messiah were shattered. Better for them to go away and return to their former lives. Yet, Jesus surprisingly came, healed their wounds, and reappointed them as His apostles. However, let us see some details of today’s Gospel and how this narrative speaks of the Eucharist.

It begins with Jesus coming to the two disciples in their struggles, and inviting them to be with Him. He gathers and listens to all His disciples’ worries, failures and anxieties. The initiative is coming from Jesus. After listening to their stories, He starts to explain the Scriptures. He sheds light on how His life, death and resurrection have become the fulfillment of the scripture. This part is traditionally called ‘kerygma’ or proclamation. Then He connects the meanings of these events to His disciples’ lives. What is happening here is the first part of the Mass, the Liturgy of the Word: God gathers us His people with all our joys and sorrows and then, He nourishes us with His Word.

What follows is the breaking of the bread. Yet, before this takes place, the disciples have to do their part in inviting Jesus to stay with them. The initiative is from God, but we need to do our effort to participate in His work and make it fruitful. Then, Jesus takes the bread, blesses it, breaks it and shares it with the disciples. These very acts remind the disciples of Jesus in the Last Supper. In fact, the breaking of the bread is an ancient and biblical name for the Eucharist. The basic purpose of the Eucharist is to present the real Christ, and indeed, the disciples are able to recognize Him here. This is the first Eucharist after the Resurrection, and this brings healing and forgiveness. It gives meaning to the troubled lives and shattered hopes of the disciples. Then, after being nourished by His Word and His Body, the disciples’ hearts are burning and they go back to Jerusalem to proclaim the risen Jesus. The encounter with the risen Lord always leads to mission and preaching. These depict the second half of the Mass, the liturgy of the Eucharist.

Luke wrote his Gospel more than 1900 years ago, and it is amazing that the basic structure of the Eucharist remains even to this very day. Certainly, there are also many changes along the way, like for example the transformation from the old Latin Mass to the post-Vatican II mass, the ordinary form we have now. Yet, we are still faithful to what are truly essential and foundational: the reading and preaching of the Word and the breaking of the Bread. We are blessed and humbled that we are members of the Church who faithfully encounter Jesus, the Word and the Eucharist, just like the two disciples in the Gospel and like the first Christians in ancient time. It is now our challenge to continue living as the Eucharistic people in our daily lives, the men and women nourished by His Word and Body in the Eucharist.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Emaus dan Ekaristi

Minggu Paskah ketiga. 30 April 2017 [Lukas 24: 13-35]

“…Ia memecah-mecahkan roti dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia… (Luk 24: 30-31)”

emmaus 1Lukas menceritakan kisah Perjalanan ke Emaus dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah instruksi kateketis tentang Ekaristi. Kedua murid tersebut sebenarnya melarikan diri dari Yerusalem. Setelah kematian guru mereka, situasi berubah menjadi berbahaya bagi kehidupan mereka. Mereka takut pada penguasa Yahudi, dan harapan dan impian mereka untuk memiliki seorang Mesias hancur berantakan. Lebih baik mereka pergi dan kembali ke kehidupan yang dulu. Namun, Yesus dengan mengejutkan datang, menyembuhkan luka-luka mereka, dan menunjuk mereka kembali sebagai rasul-rasul-Nya. Mari kita lihat beberapa rincian Injil hari ini dan bagaimana narasi ini berbicara tentang Ekaristi.

Bermula dengan Yesus datang kepada dua murid dalam bergulatan. Diapun mendengarkan dan menyimak semua kekhawatiran, kegagalan, dan kecemasan para murid-Nya. Inisiatif ini datang dari Yesus. Setelah mendengarkan cerita mereka, Dia mulai menjelaskan Kitab Suci. Dia menjelaskan bagaimana kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya telah menjadi pemenuhan kitab suci. Bagian ini secara tradisional disebut ‘kerygma’ atau ‘proklamasi’. Kemudian Dia menghubungkan makna kerygma ini dengan kehidupan murid-murid-Nya. Apa yang terjadi di sini adalah bagian pertama dari Misa, yakni Liturgi Sabda: Tuhan mengumpulkan kita umat-Nya dengan segala kegembiraan dan kesedihan kita dan kemudian, Dia memelihara kita dengan Firman-Nya.

Berikutnya adalah pemecahan roti. Namun, sebelum hal ini terjadi, para murid harus melakukan peran mereka dalam mengundang Yesus untuk tinggal bersama mereka. Inisiatif berasal dari Tuhan, tapi kita perlu melakukan usaha kita untuk berpartisipasi dalam karya-Nya dan menjadikannya berbuah. Kemudian, Yesus mengambil roti itu, memberkatinya, memecahkannya dan membagikannya kepada para murid. Tindakan-tindakan ini mengingatkan para murid Yesus akan Perjamuan Terakhir. Sebenarnya, pemecahan roti adalah nama kuno dan alkitabiah untuk Ekaristi. Tujuan dasar Ekaristi adalah untuk menghadirkan Kristus yang sejati, dan sungguh, para murid dapat mengenali Dia di sini. Ini adalah Ekaristi pertama setelah Kebangkitan, dan ini membawa penyembuhan dan pengampunan. Ini memberi makna pada kehidupan yang bermasalah dan pemulihan kepada harapan para murid yang hancur. Kemudian, setelah mendengarkan Firman dan menyantap Tubuh-Nya, hati para murid terbakar dan mereka kembali ke Yerusalem untuk mewartakan Yesus yang telah bangkit. Pertemuan dengan Tuhan yang bangkit selalu membawa kepada misi dan pemwartaan. Ini menggambarkan paruh kedua Misa, liturgi Ekaristi.

Lukas menulis Injilnya lebih dari 1900 tahun yang lalu, dan sungguh menakjubkan bahwa struktur dasar Ekaristi tetap bertahan sampai hari ini. Tentu saja, ada juga banyak perubahan di sepanjang jalan, seperti misalnya transformasi dari Misa Latin tradisional menjadi MIsa Vatikan II, bentuk Ekaristi yang kita miliki saat ini. Namun, kita masih setia pada apa yang benar-benar penting dan mendasar: pemberitaan Firman dan pemecahaan Roti. Kita sungguh terberkati bahwa kita adalah anggota Gereja yang dengan setia bertemu dengan Yesus, dalam Firman dan Ekaristi, sama seperti kedua murid di dalam Injil dan seperti jemaat pertama di zaman Lukas. Sekarang tantangan bagi kita adalah untuk terus hidup sebagai manusia Ekaristi dalam kehidupan kita sehari-hari, pria dan wanita yang diberdayakan oleh Firman dan Tubuh-Nya dalam Ekaristi.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Paradox of Resurrection

Second Sunday of Easter. April 23, 2017 [John 20:19-31]

“Unless I see the mark of the nails in his hands and put my finger into the nailmarks and put my hand into his side, I will not believe (John 20:25).”

doubting thoms 1Thomas was looking for a proof that Jesus truly rose from the dead. Not only seeing Him in person, he required another sign: touching the crucifixion marks that Jesus bore.  He was one of the Twelve, the inner cycle of Jesus’ disciples, and being one, he had the privilege to walk with Jesus, dine with Him, and witness His mighty deeds. At a first glance, he would easily recognize Jesus, his Master, but still, he demanded the marks of the nails. Why did Thomas insist on searching the wounds?

The reason is that Thomas wanted to make sure that he and other disciples were not seeing a ghost or just hallucinating. Moreover, he wanted to confirm that the person he was going to meet was truly Jesus and not an impostor. The crucifixion wounds of Jesus became a practical identification of the risen Christ. Though it is really practical, there is also a downside of it. Thomas identified Jesus primarily with His wounds. Thomas was not alone here. Often, not only doubting, we follow Thomas also in identifying other people with their wounds and weaknesses.

Napoleon Bonaparte was once a great general and he led his army to conquer Europe. Yet, in 1815, in the battle of Waterloo in present-day Belgium, Napoleon was defeated and it was sealed his fate. Waterloo gradually becomes not only the crucifixion mark of Napoleon but also a metaphor for the failures of many people. The same goes with Achilles who was a hero in Greek Mythology and the main protagonist of Homer’s epic, the Iliad. He was the most skillful warrior who brought the mighty Troy to its knees. He had only one vulnerable point in his body, his heel, and indeed, he died after the enemy shot an arrow to his heel. Even the greatest warrior has his weakness, and since then, the Achilles’ heel becomes a symbol of fatal weakness to everyone.

We have our own weaknesses, failures, and vulnerabilities. Often, we associate ourselves or other people with this wounds and marks. Bayu, who is always late; Alex, the jobless; Ram, the sickly; Andre, the obsessed; Francis, the ex-con; Peter, the impulsive denier; Thomas, the doubter; Mary, possessed by the seven demons; Judas, the betrayer; Jesus, the crucified. We are our wounds. We are as good as the mark we bear.

However, in today’s Gospel, Jesus did not rebuke Thomas for looking only for His marks. Jesus did not demand Thomas to focus on the best of Him. He even asked him to see and touch the wounds. Jesus embraced the very marks of His defeat and made it a sign of His resurrection. This has become the proof of God’s marvelous works, and the counter place between Thomas and God. It is not a ‘positive talk’ that goes “if you fail a hundred times, get up one hundred and one times!” It goes beyond it. The resurrection calls us neither to deny nor to hide our weaknesses, but to see the Lord even in these lowest situations of our lives. At times, when we are weak, our defenses are down, and it is the time, God enters our lives. At times, when we fail and lose, we fall to our knees and pray. This is the paradox of the resurrection!

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Paradoks Kebangkitan

Minggu Paskah kedua. 23 April 2017 [Yohanes 20: 19-31]

“Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya (Yoh 20:25).”

Jesus appears to Thomas - John 20:24-29

Thomas sedang mencari bukti bahwa Yesus benar-benar bangkit dari kematian. Tidak cukup  baginya untuk melihat Yesus dengan matanya, Thomas membutuhkan bukti lain: menyentuh luka-luka bekas penyaliban Yesus. Thomas adalah salah satu dari dua belas rasul yang merupakan lingkaran dalam murid Yesus. Sebagai bagian dari dua belas rasul, Thomas memiliki hak istimewa untuk berjalan bersama Yesus, makan bersama-Nya, dan menyaksikan perbuatan-Nya yang perkasa. Sekilas, dia akan dengan mudah mengenali Yesus, Gurunya, tapi tetap saja dia menuntut bekas luka-luka Yesus. Mengapa Thomas bersikeras untuk mencari luka-luka itu?

Alasannya adalah bahwa Thomas ingin memastikan bahwa dia tidak melihat hantu atau hanya berhalusinasi. Selain itu, dia ingin memastikan bahwa orang yang akan dia temui benar-benar Yesus, dan bukan seorang penipu yang menyerupai Yesus. Luka-luka penyaliban Yesus menjadi bukti identifikasi Kristus yang bangkit. Meski sangat praktis, ada juga sisi negatifnya. Thomas mengidentifikasi Yesus terutama dengan luka-luka-Nya, kelemahan-Nya. Thomas tidak sendirian di sini. Seringkali, kita juga mengikuti Thomas dalam mengidentifikasi orang lain dengan luka dan kelemahan mereka.

Kita memiliki kelemahan, kegagalan, dan luka kita masing-masing. Seringkali, kita mengasosiasikan diri kita atau orang lain dengan luka dan kelemahan ini. Bayu, yang selalu terlambat; Alex, seorang pengangguran; Roy, si pesakitan; Andre, yang gemuk; Fransiskus, si pembohong; Petrus, si penyangkal; Thomas, si peragu; Maria, yang dirasuki oleh tujuh setan; Yesus, yang tersalibkan. Kita adalah luka-luka kita. Kita tidaklah lebih baik dari tanda kelemahan yang kita tanggung.

Namun, dalam Injil hari ini, Yesus tidak menegur Thomas karena hanya mencari tanda-tanda-Nya. Yesus tidak menuntut Thomas untuk mencari yang terbaik dari-Nya. Dia bahkan memintanya untuk melihat dan menyentuh luka-luka-Nya. Yesus merangkul tanda-tanda kekalahan-Nya dan menjadikannya tanda kebangkitan-Nya. Ini telah menjadi bukti karya Tuhan yang luar biasa, dan tempat pertemuan antara Thomas dan Tuhan. Ini bukan sekedar ‘berpikiran positif’ yang berseru ,“Jika kamu gagal seratus kali, bangunlah seratus satu kali!” Kebangkitan memanggil kita untuk tidak menyangkal atau menyembunyikan kelemahan kita, tapi untuk melihat Tuhan bahkan dalam situasi hidup kita yang paling rendah ini.

Waktu saya kelas satu SD, nilai saya merah di hampir semua mata pelajaran. Sayapun tidak naik kelas dan diminta untuk mengulang. Ini adalah sesuatu yang memalukan dan menyedihkan bagi saya dan keluarga. Kepercayaan diri saya hilang dan saya mulai berpikir bahwa saya adalah anak bodoh dan tidak memiliki masa depan. Tetapi, orang tua saya tidak menyerah. Mereka terus mendukung dan memberikan yang terbaik bagi saya. Sayapun perlahan maju dan berkembang. Melihat kembali pengalaman ini, saya bersyukur karena saya menemukan Tuhan bahkan di dalam pengalaman paling buruk dalam hidup saya. Tuhan yang bangkit hadir di dalam orang tua saya.

Di saat kita lemah dan terluka, di saat kita tidak lagi bisa membanggakan segala hal keberhasilan kita, inilah saatnya Tuhan masuk ke dalam kehidupan kita. Saat kita gagal dan kalah, kita berlutut dan berdoa. Di dalam luka dan kelemahan, kita menemukan Yesus yang bangkit. Inilah paradoks kebangkitan!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Resurrection and the Dominican Spirituality

(Easter special)

 Easter Sunday. April 16, 2017 [John 20:1-10]

“On the first day of the week, Mary of Magdala came to the tomb early in the morning, while it was still dark, and saw the stone removed from the tomb (Joh 20:1).”

 

women at the tombIf we read the Resurrection narrative in the four Gospels, we will discover that each Evangelist has his own distinct story. Yet, there are some common features in the Resurrection episode: the empty tomb, the presence of women, the appearance of angel followed by the risen Christ, and the women announcing the Good News to the other disciples. Let us focus on one particular feature that we usually miss. The first witnesses of the resurrection were not men, but women. Where were the male disciples? Where were those men who promised to sacrifice their lives for Jesus? They were in hiding. They were afraid. They were scattered.

When Jesus was betrayed and arrested, the male disciples ran for their lives, but the women faithfully followed Jesus. They were there at the foot of the cross. They witnessed Jesus’ death. They brought Him to the tomb. They returned to the tomb to give him proper burial rites at the first day of the week. Because of their fidelity, they were honored to be the first witnesses of the Resurrection. Not only witnesses, they were the first preachers of Resurrection.

This particular feature is an essential part of the Dominican spirituality. One of the patrons of the Order of Preachers is St. Mary Magdalene, and she was chosen because we honor her as the apostle to the apostles, the preacher to the preachers. By making her our patroness, we acknowledge that the task of preaching is not exclusively limited to the members of the clergy, but to lay men and women as well. The first convent St. Dominic established was in Prouille, France, and this was a convent for religious women. For us, Preaching is a family effort, all brothers and sisters take part and contribute in the mission of naming grace.

While it remains true that only the Dominican priests can give the homily in the Mass, it does not mean that non-clerical brothers and sister can not preach. We, the brothers in formation in Manila, are involved in facilitating retreats and recollections, producing video catechesis in the social media, and are coming up with the “Joyful Friars”, a preaching band group. Our sisters are involved in the teaching ministry. Some of them, like Mary Catherine Hilkert and Helen Alford are in fact professors in great universities in the US and Europe. Our lay Dominicans serve as lay preachers or campus ministers. Yet most importantly, they preach to their children and educate them to be mature and committed Christians.

Further more, for the Dominicans, preaching is not limited to verbal communication, but also takes flesh in various forms, depending on the needs of the people. Fr. Mike Deeb, OP is currently a permanent delegate of the Order to the United States in Geneva. He challenges countries that neglect various issues of injustice like human trafficking, violence, human rights abuses, and many more. James MacMillan is a lay Dominican and a renowned composer from Scotland. He composed mass songs when Benedict XVI visited the UK in 2010. Sr. Katarina Pajchel, OP is both a religious sister and a physicist. She is involved in ATLAS project, a particle physics experiment at the Large Hadron Collider. These names are just few of many Dominicans who preach in their own right.

At the core of Dominican spirituality is the belief that each of us is called to witness to His Resurrection and to bring this Good News. Even better the news is that this spirituality is not only for the Dominicans. Every man and woman, clergy or lay, a Dominican or not, are called to this mission. We are to preach the Resurrection in our unique way. We are called to preach as a redeemed people, a family of God.

Blessed Easter!

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kebangkitan dan Spiritualitas Dominikan

(Edisi Khusus Paskah)

Minggu Paskah. 16 April 2017 [Yohanes 20:1-10}

Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur (Joh 20:1).”

women at the tomb 2Jika kita membaca narasi Kebangkitan di keempat Injil, kita akan menemukan bahwa setiap Penginjil memiliki cerita unik tersendiri. Namun, walaupun berbeda, ada beberapa hal-hal serupa di dalam narasi Kebangkitan, seperti kubur yang kosong, kehadiran para wanita, hadirnya malaikat diikuti oleh Yesus yang bangkit, dan para wanita mewartakan Kabar Baik bagi murid-murid lainnya. Mari kita fokus pada satu fitur yang biasanya luput dari perhatian kita. Saksi pertama dari kebangkitan bukanlah seorang laki-laki, tapi para perempuan. Pertanyaanya sekarang: Di mana para murid laki-laki? Di mana para pria yang berjanji untuk mengorbankan nyawa mereka demi Yesus? Jawabannya: Mereka bersembunyi, lari dan ketakutan.

Saat Yesus dikhianati dan ditangkap, para murid laki-laki menyelamatkan diri, tetapi para murid perempuan setia mengikuti jalan salib Yesus. Mereka berada di sekitar Yesus yang tersalib. Mereka menyaksikan kematian-Nya. Mereka membawa-Nya ke kubur. Mereka kembali ke kubur untuk memberi-Nya ritus penguburan yang layak. Karena kesetiaan mereka, mereka menerima kehormatan menjadi saksi-saksi pertama kebangkitan-Nya. Tidak hanya saksi, mereka adalah para pewarta pertama kebangkitan-Nya.

Fitur ini menjadi bagian penting dari spiritualitas Dominikan. Salah satu orang kudus pelindung dari Ordo Pengkhotbah adalah St. Maria Magdalena, dan dia dipilih karena kita menghormatinya sebagai pewarta pertama kebangkitan Yesus, seorang rasul kepada para rasul, seorang pewarta kepada para pewarta. Dengan menjadikannya sebagai santa pelindung Ordo, kita mengakui bahwa tugas pewartaan tidak hanya terbatas pada kaum tertahbis, tapi ini adalah misi milik semua, baik pria maupun wanita, baik kaum tertahbis maupun orang awam. Biara pertama yang St. Dominikus didirikan berada di Prouille, Perancis, dan ini adalah sebuah biara bagi wanita. Bagi kita, pewartaan merupakan usaha keluarga. Semua saudara-saudari mengambil bagian dan berkontribusi dalam misi pewartaan yang adalah mengartikulasikan rahmat di antara kita.

Sementara hanya para imam Dominikan yang dapat memberikan homili dalam Misa, ini tidak berarti bahwa para bruder, suster, frater maupun awam tidak bisa mewartakan. Kami, para frater di formasi di Manila, aktif terlibat dalam memberi retret dan rekoleksi, memproduksi video katekese di media sosial, dan memiliki kelompok band untuk lagu-lagu rohani. Para susters kami adalah pengajar-pengajar unggul. Beberapa dari mereka Sr. Mary Catherine Hilkert, OP dan Sr. Helen Alford, OP adalah profesor di universitas-universitas besar di Amerika Serikat dan Eropa. Banyak juga Dominikan awam yang menjadi pewarta awam, aktif di pelayanan katekesis Gereja dan kampus ministri. Namun yang paling penting, mereka menjadi pewarta kepada anak-anak mereka dan mendidik mereka untuk menjadi seorang Katolik yang dewasa dan berkomitmen.

Namun, bagi Dominikan, pewartaan tidak terbatas dalam pelayanan Firman, tetapi juga mengambil berbagai bentuk, tergantung pada kebutuhan umat Allah. Rm. Mike Deeb, OP adalah delegasi permanen Ordo bagi PBB di Genewa. Dengan posisinya, dia mengingatkan perwakilan negara-negara yang teruskan mengabaikan berbagai isu keadilan seperti perdagangan manusia, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan banyak lagi. James MacMillan adalah seorang Dominikan awam dan komposer terkenal dari Skotlandia. Dia mengarang lagu-lagu misa ketika Paus Benediktus XVI mengunjungi Inggris pada tahun 2010. Sr. Katarina Pajchel, OP adalah seorang suster dan juga fisikawan. Dia terlibat dalam projek ATLAS, percobaan fisika partikel di Large Hadron Collider. Ini hanya beberapa nama Dominikan yang menjadi pewarta dengan cara unik mereka sendiri, tentunya masih banyak lagi.

Inti dari spiritualitas Dominikan adalah keyakinan bahwa kita masing-masing dipanggil untuk menyaksikan Kebangkitan-Nya dan untuk membawa Kabar Baik ini ke semua orang. Kabar yang lebih baiknya adalah anda tidak perlu menjadi anggota keluarga Dominikan untuk menjadi pewarta kebangkitan. Kita semua, baik kaum tertahbis maupun awam, baik lelaki maupun perempuan, Dominikan ataupun bukan memiliki misi yang sama, dan bersama-sama kita mewujudkan misi ini sebagai satu keluarga Allah.

Selamat Paskah!

 

Frater Valetinus Bayuhadi Ruseno, OP

Eli, Eli, lema sabachthani?

Palm Sunday of the Lord’s Passion

April 9, 2017

Matthew 26:14—27:66

“Eli, Eli, lema sabachthani?” which means, “My God, my God, why have you forsaken me? (Mat 27:46)”

holy week 1Many theologians and ordinary Christians alike are baffled by these words of Jesus on the cross. If Jesus is God, how is it possible for Him to be separated from God? Why does the most compassionate God abandon His beloved Son? It simply does not make any sense. The Catechism of the Catholic Church tries to explain that it is a consequence of sin. Not that Jesus had committed any sin, but He endured the sin of the world on the cross. The greatest effect of sin is separation from God. Thus, carrying the heaviest burden of sin, Jesus could not but feel the chilling effect of alienation from His own Father.

However, for early Christians and Jews who listened to the last words of Jesus on the cross, they understood that Jesus was actually reciting the beginning line of Psalm 22. The tradition considers this as a psalm of lamentation. In fact, the Book of Psalms contains a lot of psalms of lament. Despite its sorrowful nature, this kind of psalm remains true to its form, which is a prayer inspired by the Holy Spirit. Reading closely Psalm 22, we discover that the psalmist tried to express his desperate situation because of the enemies’ assault. The attack was so intense and brutal that he felt that even God abandoned him. Yet, despite the feeling of abandonment, he kept lamenting to God as if He was just near. Indeed, the psalmist was frustrated and complaining, but even this, he turned it into a prayer. Though it was the only prayer he could utter, it was an authentic prayer, without any pretension and pride. This is the paradox: when the psalmist became honest with himself and sufferings, God was closest to him.

In the cross, Jesus felt an excruciating pain both on physical and emotional levels. His triumphal entrance to Jerusalem in which He was welcomed as the King, the Son of David and Prophet, was a jubilant event, yet in a matter of days, many people who had followed Him turned to be His enemies and shouted, “Crucify Him!”. All his great successes as a preacher, teacher and wonder maker, were scattered. He was about to die as a criminal, a shame to Himself and His family. In this extreme sorrow, He decided to pray. Not any prayer, but the prayer that is most fitting to a suffering faithful Jew: a Psalm of Lament. This is the paradox of the cross: He felt abandonment and frustration, but in this prayer, this was the moment Jesus was closest to His Father.

We share also this experience of the cross in our lives. We might face terrible financial situation and uncertainty in our works. We might have health conditions that drain our resources. We might fail in our marriages or friendships. We might just lose our beloved family member. We are misunderstood and accused of wrongdoings we never committed. We might be wronged unjustly. We suddenly lose the works or the ministries we have built on for years. It seems we cannot see any light at the end of the tunnel. Yet, even in the horrifying experiences of the cross, Jesus teaches us to pray. Not any prayer, but a prayer of lamentation, a sincere prayer that expresses deepest desires, angst and pains. It is true that our situations might not change at all, but as we articulate ourselves and our situations, we are helped to find meanings, consolation, and hope. This is the paradox: in the prayer of lament, as we strip our pride and pretentiousness, even when we are in the lowest pit of our lives, God is actually closest to us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

“Eli, Eli, lama sabakhtani?”

Hari Minggu Palma – Hari Minggu Prapaskah VI – Mengenangkan Sengsara Tuhan

April 9, 2017

Matius 26: 14-27: 66

“Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat 27:46)”

holy week 2Banyak teolog maupun umat awam kesulitan untuk memahami kata-kata Yesus di kayu salib ini. Jika Yesus adalah Tuhan, bagaimana mungkin Dia bisa terpisahkan dari Allah? Lalu, mengapa Allah yang penuh kasih bisa-bisanya meninggalkan Putra-Nya? Ini tidak masuk akal. Katekismus Gereja Katolik mencoba menjelaskan bahwa ini adalah konsekuensi dari dosa. Bukan karena Yesus telah melakukan dosa, tetapi Dia menanggung dosa dunia di kayu salib. Efek terbesar dari dosa adalah terpisahnya kita dari Allah. Dengan demikian, membawa beban terberat dari dosa, Yesus tidak bisa tidak merasakan efek mengerikan keterasingan dari Bapa-Nya sendiri.

Namun, bagi umat Kristiani perdana yang mendengarkan kata-kata terakhir Yesus di kayu salib ini, mereka mengerti bahwa Yesus sejatinya mendaraskan Mazmur 22. Tradisi mengkategorikan Mazmur 22 sebagai mazmur ratapan. Bahkan, Kitab Mazmur mengandung banyak mazmur ratapan. Meskipun bersifat sedih, jenis mazmur ratapan tetap merupakan sebuah doa yang terinspirasi oleh Roh Kudus. Jika kita membaca Mazmur 22 dengan teliti, kita menemukan bahwa sang pemazmur mencoba untuk mengekspresikan situasi gentingnya karena serangan musuh. Serangan itu begitu intens dan brutal sehingga ia merasa bahwa bahkan Tuhan telah meninggalkan dia. Namun, meskipun merasakan ditinggalkan, ia terus meratap dan berdoa kepada Allah seolah-olah Dia dekat dan tak pernah meninggalkannya. Memang, sang pemazmur frustrasi dan mengeluh, tapi ia mengubahnya menjadi sebuah doa. Meskipun itu satu-satunya doa yang dia daraskan, itu tetap yang doa otentik, tanpa pretensi dan keangkuhan. Inilah sebuah paradoks: ketika sang pemazmur menjadi jujur dengan dirinya sendiri, Allah menjadi sungguh dekat dengannya.

Di kayu salib, Yesus merasakan sakit yang luar biasa baik di secara fisik dan emosional. Saat Ia memasuki kota Yerusalem di mana Ia disambut sebagai Raja, Anak Daud dan Nabi, adalah peristiwa luar biasa, namun dalam hitungan hari, banyak orang yang mengikuti Dia berubah menjadi musuh-Nya dan berteriak, “Salibkan Dia!” Semua keberhasilan besar sebagai seorang pengkhotbah, guru dan pembuat muzijat, hilang dalam sekejap. Ia mati sebagai seorang kriminal, menjadi aib bagi keluarga-Nya dan bangsa-Nya. Dalam kesedihan ekstrim ini, Ia memutuskan untuk berdoa. Bukan sekedar doa, tetapi doa yang paling tepat bagi seorang Yahudi yang sedang menderita: sebuah Mazmur Ratapan. Kata-kata Mazmur 22 mengungkapkan frustrasi dan perasaan ditinggalkan oleh Allah, tetapi sebagai doa, ini sejatinya momen di mana Yesus menjadi paling dekat dengan Bapa-Nya. Ini adalah paradoks salib!

Kita juga memiliki pengalaman salib dalam hidup kita. Kita mungkin menghadapi situasi keuangan yang terpuruk dan ketidakpastian dalam pekerjaan kita. Kita mungkin memiliki kondisi kesehatan yang menguras kekuatan kita. Kita mungkin gagal dalam pernikahan atau persahabatan kita. Kita mungkin kehilangan anggota keluarga tercinta. Kita disalahpahami dan dituduh melakukan kesalahan yang tidak pernah kita perbuat. Kita mungkin diperlakukan dengan tidak adil. Kita tiba-tiba kehilangan proyek atau karya yang telah kita bangun selama bertahun-tahun. Kita tidak dapat melihat cahaya di ujung terowongan gelap ini. Namun, bahkan dalam pengalaman salib ini, Yesus mengajarkan kita untuk berdoa. Tidak sekedar doa, tapi doa ratapan, doa yang tulus yang mengungkapkan keinginan, kecemasan dan sakit kita yang terdalam. Memang benar bahwa situasi kita mungkin tidak berubah sama sekali, tapi saat kita bisa mengartikulasikan diri kita dan situasi kita, kita dibantu untuk menemukan makna, penghiburan, dan harapan. Dalam doa ratapan, kita melucuti pretensi dan keangkuhan kita. Inilah paradoks: bahkan di dalam doa ratapan, ketika kita berada di jurang terdalam kehidupan kita, Tuhan sebenarnya paling dekat dengan kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Weep

 Fifth Sunday of Lent. April 2, 2017 [John 11:1-45]

Raising-of-Lazarus-2 Today’s Gospel contains my personal favorite verse: Then, Jesus wept. It is the shortest verse in the Bible, yet it is also one of the most powerful. However, its strength does not rest on any superhuman power that can multiply bread or calm the storm, but on the humanity of Jesus.

The death of Lazarus must have been overwhelming for the family. In the ancient Jewish society, man was responsible for the survival of the family. If presumably, Lazarus was the only bread winner, Martha and Mary would have a serious problem in surviving in that troubled and difficult times. But, more than any economic difficulty, a loss of a family member due to sickness and death had always crushed the entire family. Not only Martha and Mary were uncertain of their future, they also had to endure the terrible pain of losing someone they loved dearly, a brother with whom they shared a lot of good memories, and a friend to whom they could trust and rely on. Anyone of us who has lost a beloved family member can easily commensurate with Martha and Family.

When Jesus saw Martha and Mary were grieving and weeping, Jesus was groaned and was troubled. And when He saw the tomb, He began to shed tears as well. He did not pretend that He was Ok, or He did not appear as if nothing happened. He got affected by the overwhelming emotion and suffering, and He wept. We see today Jesus who is truly human and becomes one with our humanity with its all pains, sufferings, and grief. The revelation is that before Jesus does any miracle or sign, He first becomes part of our sorrow, our humanity. This very consoling.

We are living at a time where success and happiness are the determinants of a fulfilled life. No wonder, the books or seminars on ‘positive thinking’, ‘greatness’, ‘self-help’ or ‘success’ are mushrooming. Even we and some other churches follow suit and preach the ‘Gospel of Prosperity’. I guess there is nothing wrong with being successful and rich, all are a blessing of God. It becomes problematic when we tend to focus on the happy only emotions and suppress ‘negative’ emotions by reciting ‘positive thinking mantra’ or attending praise and worship. In the face of sufferings, failures, and loss of someone we love or we are crushed by burden of life, it is but natural to feel sorrow. Many psychologists would agree that suppression of this feeling will do more harm than good. In the animation film ‘Inside Out’, life of Riley, the main protagonist, turns to be a little mess when Sadness is pushed aside, and Joy is always at the helm. But, when Joy gives away to Sadness, things begin to fall in their places. God created Sadness also, and it is for a good purpose.

Certainly Jesus does not teach us to be melancholic, nor to dwell in our grief for eternity. He teaches us what it means to be fully and truly human, with all love, joy, sorrow, hope, fear, and anger. Our faith tells us that Jesus is not only fully divine, but also fully human, and this means that when we strive to know Jesus, not only we know more about God, but also about humanity. The more we love Jesus, the more we become truly human.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Maka Menangislah Yesus

Kelima Prapaskah Minggu. 2 April 2017 [Yohanes 11: 1-45]

jesus-weptPada Injil hari ini ada ayat favorit pribadi saya: Maka Menangislah Yesus. Ini adalah ayat terpendek dalam Alkitab, namun juga salah satu yang paling kuat. Namun, dayanya tidak terletak pada kekuatan super Yesus yang dapat memperbanyak roti atau menenangkan badai, tetapi justru pada kemanusiaan Yesus.

Kematian Lazarus sepertinya sangat memukul keluarga. Dalam masyarakat Yahudi kuno, seorang pria bertanggung jawab penuh untuk kelangsungan hidup keluarganya. Jika Lazarus adalah satu-satunya pria di keluarga tersebut, Marta dan Maria akan menghadapi masalah serius dalam kelangsungan hidup mereka. Tapi, lebih dari kesulitan ekonomi, hilangnya anggota keluarga karena sakit dan kematian selalu selalu membenamkan seluruh keluarga. Tidak hanya Marta dan Maria ragu akan masa depan mereka, tetapi mereka juga harus menanggung rasa sakit dari kehilangan seseorang yang mereka kasihi, saudara yang mereka andalkan, dan memori-memori indah bersamanya. Siapa pun dari kita yang telah kehilangan anggota keluarga tercinta dapat dengan mudah bersimpati dengan Martha dan Maria.

Ketika Yesus melihat Marta dan Maria yang berduka dan menangis, Yesus mengerang dan sangat terharu. Dan ketika Dia melihat kubur Lazarus, Ia mulai meneteskan air mata. Dia tidak berpura-pura bahwa ia baik-baik saja, atau Ia tidak tampak seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia terlibat di dalam emosi dan penderitaan Martha dan Maria, dan diapun menangis. Kita melihat sekarang Yesus yang benar-benar manusia dan menjadi satu dengan kemanusiaan kita dengan segenap rasa sakit, penderitaan, dan kesedihan. Dan Kabar gembira bagi kita semua adalah sebelum Yesus melakukan mukjizat, Dia pertama-pertama menjadi bagian dari kesedihan dan kemanusiaan kita. Dan ini sungguh sebuah penghiburan.

Kita hidup dalam zaman di mana kesuksesan dan kebahagiaan menjadi penentu hidup. Tak heran, banyak buku atau seminar tentang ‘positive thinking’, ‘self-help’ atau ‘sukses’ tumbuh seperti jamur. Bahkan kita dan beberapa gereja lainnya ikut arus dan memberitakan ‘Injil Kemakmuran’. Saya kira tidak ada yang salah dengan menjadi sukses dan kaya, semua adalah berkat dari Tuhan. Tetapi, ini menjadi bermasalah ketika kita cenderung untuk fokus pada perasaan senang dan bahagia, tetapi menekan emosi-emosi ‘negatif’ dengan mengucapkan mantra ‘positive thinking’ atau menghadiri Praise and Worship. Dalam menghadapi penderitaan, kegagalan, dan kehilangan serta saat diterpa badai kehidupan, sangatlah alamiah untuk merasa sedih. Banyak psikolog setuju bahwa menekan perasaan ini sebenarnya berdampak tidak baik pada kesehatan kita secara menyeluruh. Dalam film animasi Inside Out, kehidupan Riley, sang protagonis utama, ternyata menjadi berantakan ketika Sadness dikesampingkan, dan Joy selalu diunggulkan. Tapi, ketika Joy memberikan tempat bagi Sadness, hidup Riley mulai berjalan dengan baik. Tuhan tidak hanya menciptakan emosi bahagia saja tapi juga emosi sedih, dan ini adalah untuk tujuan yang baik.

Tentu saja Yesus tidak mengajarkan kita untuk menjadi melankolis, atau untuk terus bersedih sepanjang masa. Dia mengajarkan kita apa artinya menjadi manusia yang penuh dan sejati, dengan semua kasih, sukacita, kesedihan, harapan, ketakutan, dan kemarahan. Iman kita mengajarkan bahwa Yesus tidak hanya sepenuhnya ilahi, tetapi juga sepenuhnya manusia, dan ini berarti bahwa ketika kita berusaha untuk mengenal Yesus, tidak hanya kita tahu lebih banyak tentang Allah, tetapi juga tentang kemanusiaan kita. Semakin kita mengasihi Yesus, semakin kita menjadi benar-benar manusia.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP