Woman of Faith

Thirteenth Sunday in Ordinary Time [July 1, 2018] Mark 5:21-43

“Daughter, your faith has saved you. Go in peace and be cured of your affliction.” (Mk. 5:34)

woman with hemorrhage 2Today’s Gospel seems to be just another healing miracles of Jesus, but if we read it closely, the story of the healing of the woman with hemorrhage is extraordinary tale of faith. We are not sure what kind of hemorrhage she suffers, but the fact that she bears the sickness for 12 years, spends a lot for the medication, and does not get any better, means it is pretty serious, if not terminal. During this time, the physicians are extremely rare, and expectedly, the patients need to spend a lot of money. The woman may come from a wealthy family, but she is impoverished because her prolong sickness. The woman is losing her life and facing despair. I am currently assigned as an associate chaplain in one of the hospitals in Metro Manila, and my duty is to make pastoral visit to these patients. I encounter some patients who are suffering from certain health conditions that drain all their resources, and it seems the situation does not get any better. I realize the story of the woman with hemorrhage is not only her story happened in the far past, but it is also our stories here and now.

 We must not forget that our protagonist is also a woman. Being a woman in the time of Jesus means being a second-class citizen in a patriarchal society and often, they are considered as mere properties of the husbands or the fathers. Generally, while the men work outside and socialize, women are expected to stay at home, and function as the housekeepers and babysitters. Normally, they are not allowed to communicate with the outsiders, especially men, except under the supervision of their husbands or fathers. Our protagonist is also having chronic hemorrhage, and this means she is ritually unclean, and those who are in contact with her shall be made unclean as well (Lv. 15:19).

The woman with hemorrhage has faith in Jesus and wants to be healed, yet to do that, she has to challenge the cultural norms that bind her. She traverses into greater danger. What if she is not healed? What if she makes Jesus and His disciples unclean? What if she will be branded as a shameless woman by the society? Shame restrains her, but faith propels her. Thus, she takes a ‘win-win’ approach. She tries to reach Jesus’ cloth, and she makes sure that she will not establish any contact with Jesus. Miracle happens, and she is healed. Yet, unfortunately, Jesus finds her. In tremble and fear, she fells down before Jesus and confesses. She is afraid not only because she “snatches” the power from Jesus, but because she has broken the standing cultural norms and the Law of Moses. However, Jesus’ response surprises his disciples and all who witness the event. Instead of castigating her for culturally improper behavior, Jesus praises her faith, “Daughter your faith has saved you.”

Indeed it is her faith that makes her a proactive protagonist of this particular story. She refuses to succumb to despair and makes her way all the way to Jesus. We notice most of the actions in this story is performed by the woman, and Jesus is there to affirm her. Rightly, Jesus calls her “daughter” acknowledging her also as the descendants of Abraham, the father of great faith. The story of a woman of hemorrhage is a journey of a woman of faith. It is a faith that grows even in the midst of hopeless situations of sickness, financial crisis, and uncertain future. It is a faith that thrives in the middle of human limitations, and transcend cultural boundaries. It is a faith that moves a mountain.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Iman Sang Perempuan

Minggu Ketiga Belas pada Masa Biasa [1 Juli 2018] Markus 5: 21-43

“Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu.” (Mrk 5:34)

woman with hemorrhageInjil hari ini tampaknya tidak berbeda dengan kisah-kisah mukjizat penyembuhan Yesus, tetapi jika kita membaca dengan seksama, kisah penyembuhan perempuan dengan pendarahan ini sebenarnya luar biasa. Kita tidak tahu dengan pasti pendarahan apa yang dideritanya, tetapi fakta bahwa ia menderita kondisi ini selama 12 tahun, menghabiskan banyak untuk pengobatan dan kondisinya semakin memburuk, ini berarti sangat serius. Pada zaman itu, tabib sangat jarang, dan berobat perlu mengeluarkan banyak uang. Perempuan ini mungkin berasal dari keluarga kaya, tetapi dia jatuh miskin karena kondisinya tersebut. Perempuan ini mulai kehilangan hidupnya dan menghadapi keputusasaan. Saya saat ini ditugaskan sebagai asisten imam di salah satu rumah sakit di Metro Manila, dan tugas saya adalah melakukan kunjungan pastoral ke pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit tersebut. Tidak jarang saya menjumpai pasien yang menderita kondisi kesehatan yang menguras semua sumber daya mereka, dan tampaknya situasi mereka tidak menjadi lebih baik. Saya menyadari kisah perempuan dengan pendarahan ini bukan hanya kisahnya yang terjadi di masa lalu, tetapi juga kisah umat manusia di zaman ini.

 Kita tidak boleh lupa bahwa protagonis kita juga seorang perempuan. Menjadi seorang perempuan di zaman Yesus berarti menjadi warga kelas dua dalam masyarakat patriarkal Yahudi dan sering kali, mereka dianggap hanya sebagai barang milik suami atau kepala keluarga. Sementara pria bekerja di luar dan bersosialisasi, kaum perempuan tinggal di rumah, dan berfungsi sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak. Biasanya, mereka tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang asing apalagi laki-laki, kecuali di bawah pengawasan suami atau ayah mereka. Ini bukan waktu yang mudah bagi perempuan untuk hidup. Sang perempuan juga mengalami pendarahan, ini berarti dia menjadi najis di Hukum Taurat, dan siapa pun yang menyentuh dia akan menjadi najis juga (Im 15:19).

Perempuan dengan pendarahan memiliki iman pada Yesus dan ingin disembuhkan, namun untuk melakukan itu, dia harus menantang norma-norma budaya yang mengikatnya. Dia mengambil resiko yang besar. Bagaimana jika dia tidak disembuhkan? Bagaimana jika ia membuat Yesus dan murid-murid-Nya menjadi najis? Bagaimana jika dia dicap sebagai perempuan yang tak tahu malu oleh masyarakat? Rasa malu menahannya, tetapi iman mendorongnya. Ia pun mengambil langkah “win-win solution“. Dia mencoba untuk mencapai jubah Yesus, dan dia memastikan bahwa dia tidak akan membuat kontak dengan Yesus. Mukjizat terjadi. Dia disembuhkan, tetapi sayangnya, Yesus menemukannya. Dengan gemetar dan ketakutan, dia jatuh di hadapan Yesus dan mengaku. Dia takut bukan hanya karena dia “mengambil” kekuatan dari Yesus, tetapi karena dia telah melanggar norma-norma budaya Yahudi. Namun, tanggapan Yesus mengejutkan murid-muridnya dan semua yang menyaksikan peristiwa itu. Alih-alih menghukumnya karena perilaku yang tidak pantas, Yesus memuji imannya, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkanmu.”

Ini adalah imannya yang membuatnya menjadi protagonis yang proaktif dari cerita mukjizat ini. Dia menolak untuk menyerah pada keputusasaan dan membuat jalannya menuju ke Yesus. Kita melihat sebagian besar tindakan dalam cerita ini dilakukan oleh sang perempuan, dan Yesus ada di sana untuk meneguhkannya. Benar, Yesus menyebut dia “anak” karena Yesus mengakui dia juga sebagai keturunan Abraham, bapa iman yang besar. Kisah perempuan dengan pendarahan adalah perjalanan iman seorang perempuan yang terkurung dalam berbagai kondisi yang melemahkannya. Itu adalah iman yang tumbuh bahkan di tengah-tengah situasi tanpa harapan dari penyakit, krisis keuangan, dan masa depan yang tidak pasti. Ini adalah iman yang tumbuh di tengah keterbatasan manusia, dan melampaui batas-batas budaya. Itu adalah iman yang menggerakkan gunung. Ini adalah imam sang perempuan, dan ini adalah iman yang juga kita miliki.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

A Child as a Gift

Solemnity of the Nativity of John the Baptist [June 24, 2018] Luke 1:57-66, 80

“The Lord had shown his great mercy toward her, and they rejoiced with her.” (Lk. 1:58)

child in churchToday we are celebrating the birth of John the Baptist. Two figures emerge as the protagonists of our today’s Gospel, Elizabeth, and Zachariah. Luke describes the couple as “righteous in the eyes of God, observing all the commandments and ordinances of the Lord blamelessly. (Luk 1:6)”. But, they have no child. The possibility to have a child is close to zero as Elizabeth is perceived to be barren and Zachariah is already old. In ancient Jewish society, children are considered to be a blessing of the Lord and a source of honor, and barrenness is a curse and shame.

However, the archangel Gabriel appears to Zachariah and tells him that his wife will get pregnant despite her barrenness and his advanced age. Paying close attention to their names, we may discover even richer meaning. Zachariah, from the Hebrew word “Zakar” means to remember, and Elizabeth, a compound Hebrew words, “Eli,” and “Sabath” means God’s oath or promise. Thus, both names may mean God remembers His promise. In the Bible, when God remembers, it does simply mean God recalls something from memory, but it means God fulfills what He has promised. As God has fulfilled His promise to Zachariah’s ancestors, so God also remembers His promise to Elizabeth. The story of Elizabeth reverberate the stories of great women in the Old Testament: Sarah (Gen 15:3; 16:1), Rebekah (Gen 25:21), Rachel (Gen 29:31; 30:1), the mother of Samson and wife of Manoah (Jdg 13:2-3), and Hannah (1Sa 1:2).

What is God’s promise to Elizabeth and Zachariah, and eventually to all of us? St. Luke the evangelist points to us that God’s promise is to show His great mercy to Elisabeth and Zachariah (see Luk 1:58). The birth of John the Baptist is a sign of God’s mercy towards the righteous couple. Thus, the birth of every child is a sign of God’s promise fulfilled, a sign of God’s mercy to every parent. We recall that mercy is not something we deserve. Mercy is the embodiment of gratuitous love, the gift of love. Mercy is an utter gift. Through every child, God shows His great mercy to us, and together with Elizabeth and Zachariah, we shall rejoice because of this gift.

We are living in the world that is increasingly uncomfortable with the presence of the little children around us. There is this new fundamentalist mentality creeping into millennial generation. It is a mentality that promotes individual success as the prime and absolute value of happiness. Thus, anything that stands in its way has to be eradicated. This includes marriage, family life and finally children. They are no longer seen as a gift to be received with gratitude, but liabilities to be avoided. When I visited South Korea last year, my Dominican Korean friend told me that young generation of Korea is working very hard to the point that they longer consider marriage and having children as their priorities. Indeed, unlike in the Philippines or Indonesia, it was not easy to spot little children playing freely. I guess the decline in population growth is a problem in many progressive countries.

We deny neither the fact that it is a backbreaking responsibility to raise children nor the reality that not all of us are called to become parents. However, it is also true that children are a gift not only to the particular family, but to the entire humanity, and thus, every one of us has the sacred call to protect and take care of the wellbeing of our children. We shall protect our children from any form of child abuse, from the debilitating effects of poverty, from the egocentric and contraceptive mentality and from evil of abortion. To honor a gift is to honor the giver, and thus, to honor every child is to honor the God who gives them to us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Anak Sebagai Tanda Belas Kasih Allah

Hari Raya Kelahiran Yohanes Pembaptis [24 Juni 2018] Lukas 1:57-66.80

“Tuhan telah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia.” (Lk. 1:58)

child in church 2Hari ini kita merayakan kelahiran Yohanes Pembaptis. Ada dua tokoh protagonis pada Injil kita hari ini, Elizabeth, dan Zakharia. Santo Lukas mendeskripsikan pasangan itu sebagai “orang benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.” (Luk 1: 6) ”. Tapi, mereka tidak memiliki anak. Kemungkinan memiliki anak juga mendekati nol karena Elizabeth adalah mandul dan Zakharia sudah tua. Dalam masyarakat Yahudi kuno, anak dianggap sebagai berkat Tuhan dan sumber kehormatan, dan kemandulan adalah kutukan dan rasa malu.

Namun, malaikat Gabriel menampakkan diri kepada Zakharia dan mengatakan kepadanya bahwa istrinya akan hamil meskipun usia mereka yang lanjut. Melihat lebih dekat makna dari nama pasangan ini, kitapun bisa berefleksi lebih dalam. Zakharia dalam bahasa Ibrani berarti “mengingat”, dan Elisabet berasal dari dua kata Ibrani, “Eli” dan “Sabath” berarti janji Tuhan. Dengan demikian, kedua nama itu bisa berarti Tuhan mengingat janji-Nya. Dalam Kitab Suci, ketika Tuhan mengingat, ini bukan sekedar berarti Tuhan mengingat kembali sesuatu dari memori, tetapi ini berarti Tuhan memenuhi apa yang pernah dijanjikan-Nya. Karena Allah telah memenuhi janji-Nya kepada leluhur Zakharia, maka Allah juga mengingat janji-Nya kepada Elisabet. Kisah Elizabeth menggemakan kisah-kisah para wanita hebat dalam Perjanjian Lama: Sarah (Kej 15: 3; 16: 1), Ribka (Kej 25:21), Rahel (Kej 29:31; 30: 1), ibu dari Simson dan istri Manoah (Hak 13: 2-3), dan Hana (1 Sam 1: 2).

Apa janji Tuhan kepada Elizabeth dan Zakharia, dan juga bagi kita semua? St. Lukas menunjukkan kepada kita bahwa janji Allah adalah Dia akan menunjukkan rahmat dan belas kasihan-Nya kepada Elisabeth dan Zakharia (lihat Luk 1:58). Kelahiran Yohanes Pembaptis menjadi tanda rahmat dan belas kasihan Allah terhadap pasangan yang saleh ini. Dengan demikian, kelahiran setiap anak adalah tanda bahwa janji Allah digenapi, tanda belas kasihan Allah kepada setiap orang tua. Kita ingat bahwa rahmat belas kasihan bukanlah sesuatu yang pantas kita terima. Belas kasih adalah berkat dan anugerah. Melalui setiap anak, Tuhan menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita, dan bersama-sama dengan Elizabeth dan Zakharia, kita juga akan bersukacita.

Namun, hal ini tidak mudah. Kita hidup di dunia yang semakin merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak-anak kecil di sekitar kita. Ada mentalitas jahat yang merayap ke generasi zaman now. Ini adalah mentalitas yang mempromosikan kesuksesan individu sebagai nilai kebahagiaan yang utama. Jadi, apa pun yang menghalangi kesuksesan harus diberantas. Ini termasuk pernikahan, kehidupan berkeluarga dan akhirnya anak-anak. Mereka tidak lagi dilihat sebagai anugerah yang diterima dengan rasa syukur, tetapi beban yang harus dihindari. Ketika saya mengunjungi Korea Selatan tahun lalu, sahabat saya dari negeri tersebut mengatakan bahwa generasi muda Korea bekerja sangat keras sampai mereka tidak lagi membuat pernikahan dan memiliki anak sebagai prioritas mereka. Memang, tidak seperti di Filipina atau Indonesia, tidak mudah menemukan anak-anak kecil bermain dengan bebas di Seoul. Saya kira penurunan pertumbuhan penduduk adalah masalah di banyak negara yang maju.

Kita tidak menyangkal fakta bahwa untuk membesarkan anak-anak adalah tanggung jawab yang melelahkan, dan kita juga tidak menyangkal kenyataan bahwa tidak semua dipanggil untuk menjadi orang tua. Namun, adalah sebuah kebenaran bahwa anak-anak adalah anugerah tidak hanya bagi keluarga tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia, dan dengan demikian, kita semua memiliki panggilan suci untuk melindungi dan menjaga kesejahteraan anak-anak kita. Kita akan melindungi anak-anak kita dari segala bentuk pelecehan, dari efek melemahkan kemiskinan, dan dari mentalitas egosentris dan kontrasepsi. Menghargai sebuah pemberian berarti menghormati sang pemberi, dan dengan demikian, menghormati setiap anak berarti menghormati Tuhan yang memberi mereka kepada kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Death of Priesthood

(a reflection of a religious brother for three Filipino priests who recently martyred)

June 17, 2018

paez ventura niloThe Catholic Church in the Philippines is once again in profound grief after one of her priests was mercilessly murdered. Fr. Richmond Nilo, from the diocese of Cabanatuan was shot several times just before he celebrated the mass at a chapel in Zaragoza, Nueva Ecija. His body was laying on the floor at the foot of the image of Blessed Virgin, soaked with blood. Another disturbing and painful image. He becomes the third priest losing his life in a bloody attack in the past six months. On December 4, 2017, Fr. Marcelito Paez was ambushed in Jean, Nueva Ecija. Just a few weeks ago on April 29, Fr. Mark Ventura was also gunned down moment after celebrating the mass. We may also include Fr. Rey Urmeneta who was attacked by a hit man in Calamba, Laguna. He sustained a bullet in his body, yet he survived death.

Several weeks ago I wrote an emotional reflection on the death of Fr. Ventura (see “A Death of Priest) and I would never hope that I would write another one. Yet, just sometime after the priest was buried without justice being served, Fr. Nilo lost his life in the line of duty. Surely, this is not the first time a priest is killed in the Philippines. The history has witnessed the killing of both Filipino and foreign priests in this land, but to lose three lives in just six months is truly alarming. I was asking myself, “Are we now living in the perilous time for priests? Is to become a priest a dangerous vocation? What’s the point of becoming a priest if it brings nothing but persecution and death?” We have left everything for Christ, our family, our future. Should we give up our lives in this heinous manner as well?

These questions are valid, yet these questions also, I realize, spring from fear. Many priests and even seminarians, myself included, have lived in the comfort of our seminaries, parishes or convents. Provided with readily available basic necessities, with individual rooms, with good-quality education, with other facilities and even amenities, we are actually living as middle-class bachelors. These privileges are meant to make us better and well-formed priests for the service of the people, but getting used to these facilities, we often lose sight of their primary purpose. Our priesthood is called as the ministerial priesthood because the ordained priests are to serve the people of God, but sometimes, the priests end up being served by the people of God. At times, the virus of clericalism and careerism infect our minds. Ordinations and positions in the Church are seen as promotions, career, or prestige. A better position means better perks! If the priesthood is just another way to make us rich, we have lost the priesthood even before we die! The death of a priest is terrible sorrow, but the death of priesthood in our hearts is tragedy!

Bishop Pablo David, DD of Caloocan, Metro Manila, reminds seminarians who are aspiring to become priests, that if the deaths of the priests gave them discouragement, rather than inspiration, it is better for them to forget the priesthood and leave the seminary as soon as they can. Bishop David notes that they are not helpless victims, but rather martyrs that bravely choose to face the dangerous consequence of preaching the Gospel and working for justice.

Since the beginning of Christianity, to become Christians and especially priests are dangerous vocations because we follow Christ in His way of the Cross. Yet, the martyrdom of the three priests turns out to be a shock therapy that wakes us up from our comfortable slumber. It is a call for many of us, seminarians, religious, and priests to ask what the purpose of our priesthood is. Have we died every day to ourselves? Are we ready to give up our lives to God and His people? Are we ready to follow Christ till the end?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kematian Tiga Imam

(refleksi seorang frater atas kematian tiga romo di Filipina)

17 Juni 2018

 

paez ventura niloGereja Katolik di Filipina sekali lagi berduka setelah salah satu imamnya dibunuh. Rm. Richmond Nilo, dari keuskupan Cabanatuan ditembak beberapa kali sebelum dia merayakan misa di sebuah kapel di Zaragoza, Nueva Ecija. Tubuhnya terbaring di lantai di kaki patung Santa Perawan, bersimbah darah. Sebuah peristiwa yang sungguh menyakitkan. Dia menjadi imam ketiga yang kehilangan nyawanya dalam serangan berdarah dalam enam bulan terakhir di Filipina. Pada 4 Desember 2017, Rm. Marcelito Paez ditembak saat dia sedang mengadakan perjalanan di Jean, Nueva Ecija. Baru beberapa Minggu yang lalu pada 29 April, Rm. Mark Ventura juga ditembak mati setelah merayakan misa. Juga bisa kita mungkin doakan juga Rm. Rey Urmeneta yang diserang oleh pembunuh bayaran di Calamba, Laguna. Dia terkena peluru, dan harus dirawat intensif, namun dia selamat dari kematian.

Beberapa Minggu yang lalu saya menulis sebuah refleksi emosional tentang kematian Rm. Ventura (lihat “Kematian Seorang Imam) dan saya tidak akan pernah berharap bahwa saya akan menulis lagi tentang ini. Namun, hanya beberapa saat setelah sang imam dimakamkan tanpa keadilan, Rm. Nilo kehilangan nyawanya saat menjalankan tugas sucinya. Tentunya, ini bukan pertama kalinya seorang imam dibunuh di Filipina. Sejarah telah menyaksikan pembunuhan imam di negeri ini, tetapi kehilangan tiga nyawa hanya dalam kurun waktu enam bulan benar-benar mengkhawatirkan. Beberapa pertanyaan tersirat dalam benak saya, “Apakah kita (secara khusus umat di Filipina) sekarang hidup dalam waktu yang berbahaya bagi para imam? Apakah menjadi imam adalah panggilan yang berbahaya? Apa gunanya menjadi seorang imam jika hal ini tidak membawa apa pun kecuali penganiayaan dan kematian?” Kita telah meninggalkan segalanya bagi Kristus, keluarga kita, masa depan kita. Haruskah kita menyerahkan hidup kita dengan cara yang keji ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini benar adanya, tetapi saya sadari bahwa pertanyaan-pertanyaan ini juga muncul dari rasa takut. Banyak imam dan bahkan seminaris, termasuk saya, telah hidup dalam kenyamanan seminari, paroki, atau biara kita. Dilengkapi dengan berbagai kebutuhan dasar, dengan kamar individu yang nyaman, dengan pendidikan berkualitas, dengan fasilitas lainnya, kita sebenarnya hidup sebagai bujangan kelas menengah atas. Hak-hak istimewa ini tentunya dimaksudkan untuk membuat kita menjadi imam yang lebih baik dalam pelayanan, tetapi terbiasa dan dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas ini, kita sering kehilangan tujuan utama dari imamat suci. Imamat adalah sakramen yang ditujukan untuk pelayanan karena itu, imam ditahbiskan untuk melayani umat Allah secara khusus kebutuhan rohani mereka. Namun, alih-alih melayani, para imam akhirnya yang dilayani oleh umat Allah. Kadang-kadang, virus klerikalisme dan karierisme menginfeksi pikiran kita. Pentahbisan dan posisi di Gereja dilihat sebagai promosi, karier, atau prestise. Posisi yang lebih baik berarti tunjangan yang lebih baik! Jika imamat hanyalah sebuah cara untuk membuat kita kaya, kita telah kehilangan imamat bahkan sebelum kita mati! Kematian seorang imam adalah sebuah duka, tetapi kehilangan imamat adalah sebuah tragedi.

Uskup Pablo David, DD dari Caloocan, Metro Manila, mengingatkan para seminaris yang bercita-cita menjadi imam, bahwa jika kematian para imam ini memberi mereka keputusasaan, bukan inspirasi, lebih baik bagi mereka untuk melupakan imamat dan meninggalkan seminari sesegera mungkin. Uskup David menyatakan bahwa tiga imam ini bukanlah korban yang tidak berdaya, tetapi para martir yang dengan berani memilih untuk menghadapi konsekuensi berbahaya dari memberitakan Injil dan bekerja untuk keadilan.

Sejak permulaan agama Kristiani, menjadi seorang Kristiani dan terutama imam adalah panggilan yang berbahaya karena kita mengikuti Kristus di jalan salib-Nya. Namun, kematian ketiga imam ini ternyata merupakan terapi kejut yang membangunkan kita dari tidur yang nyaman. Ini adalah seruan bagi banyak dari kita, para seminaris, religius, dan imam untuk melihat kembali apa tujuan dari imamat kita. Apakah kita mati setiap hari pada diri kita sendiri? Apakah kita siap menyerahkan hidup kita kepada Tuhan dan umat-Nya? Apakah kita siap mengikuti Kristus sampai akhir?

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus and His Family

10th Sunday in Ordinary Time [June 10, 2018] Mark 3:20-35

“For whoever does the will of God is my brother and sister and mother (Mrk 3:35).”

family
photo by Harry Setianto, SJ

In ancient Israel as well as in many Asian and African cultures, family and kinship are core to one’s identity. The family is practically everything. A person is born, growing, getting old and dying within a family and clan. In traditional Filipino and Indonesian settings, a house is meant for an extended and expanded family. Several generations are living in one house. When I ask some of my Filipino friends, “If your house is burning, what are the first things you will save?” Their answer is not money, important documents or jewelry, but family pictures! In 1977, the Tanzanian President Julius Nyerere, one of the most prominent African figures during that time, visited the US and talked before the African students who studied there. Before them, he criticized those Africans who received much support from their families and clan, yet refused to go back after their studies. It was an act of cowardice and betrayal to Africa.

 

However, closely reading today’s Gospel from Mark, a good family-oriented and devoted Catholic will be startled. Naturally, we would expect Jesus to welcome Mary, his mother, and his relatives who come and look for Him. Surprisingly, Jesus does not do what is expected, but rather He takes that occasion to show His new family, “looking around at those seated in the circle he said, ‘Here are my mother and my brothers. For whoever does the will of God is my brother and sister and mother.’” (Mk. 3:34-35) Jesus’ words seem to be harsh since Jesus appears to exclude Mary and Jesus’ relatives from the composition of His new family. Does it mean Jesus disrespect Mary, His parent? Does it mean that for Jesus, the biological and traditional family have no value?

The answer is plain no. Certainly, Jesus respects and loves His mother as He fulfills the fourth commandment of the Law, “Thou shall honor thy parents.” Jesus also upholds and teaches the sanctity of both marriage and family life (see Mat 5:31-32; Mat 19:19). The early Christians also follow Jesus’ teaching on the integrity of marriage and family life, as reflected in various letters of St. Paul and other apostles (see 1 Cor 7:1-17; Eph 6:1-5). We are sure that for Jesus, marriage and family are good, but the point of our Gospel is Jesus is calling all of us to go beyond this natural relationship. The new family of Jesus is not based on blood but rooted in following Jesus and doing the will of God. This is also the call that Jesus addresses to Mary and His relatives. Surely, Mary becomes the model of faith as she obeys the will of God in the Annunciation (Lk 2:26-38), follows Jesus even to the cross (Jn 19:25-26) and stays and prays together with the early Church (Acts 1:14). St. Augustine says about Mary in his homily, “It means more for her, an altogether greater blessing, to have been Christ’s disciple than to have been Christ’s mother.”

The family as a natural institution is good, but Jesus teaches that we need to be the good disciples of Jesus first before we become a good family member. Otherwise, the family will be exposed to evil and destruction. Corruption, nepotism, and cronyism are evil practices rooted in the natural family. Another extreme is when brothers fight, even kill, each other over inheritance as if they are not coming from the same womb. It is the will of God that we are faithful to one another, that we do justice, that we are merciful especially to the weak and poor. Without Christian values, the family will not become the source of goodness. Echoing the words of St. Augustine, it is a blessing to be part of a family, but it is an altogether a greater blessing to become Christ’s disciple.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus dan Keluarga-Nya

Minggu ke-10 dalam Masa Biasa [10 Juni 2018] Markus 3: 20-35

“Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’ (Mrk 3:35).”

aku indonesia
picture by Harry Setiawan SJ

Dalam kebudayaan Israel kuno dan juga banyak budaya di Asia dan Afrika, keluarga adalah inti dari identitas seseorang. Seseorang dilahirkan, tumbuh, menjadi tua dan wafat dalam keluarga. Sewaktu uskup agung Pontianak, Agustinus Agus memberi ceramah di University of Santo Tomas, Manila, dia bangga sebagai bagian suku Dayak yang berasal rumah betang. Dalam budaya tradisional suku Dayak, sebuah keluarga besar atau klan tinggal, hidup dan melakukan rutinitas bersama di rumah besar dan panjang. Inilah rumah betang.

 

Ketika saya bertanya kepada beberapa teman Filipina saya, “Jika rumah kamu terbakar, apa hal pertama yang akan kamu selamatkan?” Jawaban mereka bukanlah uang, dokumen penting atau perhiasan, tetapi foto keluarga! Pada tahun 1977, Presiden Tanzania Julius Nyerere, salah satu tokoh Afrika paling terkenal waktu itu, mengunjungi Amerika Serikat dan berbicara di depan para mahasiswa Afrika yang belajar di sana. Di depan mereka, dia mengkritik orang-orang Afrika yang menerima banyak dukungan dari keluarga dan suku mereka, namun menolak untuk kembali ke tanah Afrika setelah belajar. Itu adalah tindakan pengecut dan pengkhianatan ke Afrika.

Namun, membaca Injil hari ini dengan seksama, umat Katolik yang baik akan terkejut. Kita tentunya mengharapkan Yesus menyambut dengan baik Maria, ibu-Nya, dan saudara-saudaranya yang datang dan mencari Dia. Anehnya, Yesus tidak melakukan apa yang diharapkan, tetapi sebaliknya Dia mengambil kesempatan itu untuk menunjukkan siapa keluarga baru-Nya, “Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata, ‘Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’”(Mrk 3:34-35) Kata-kata Yesus terkesan keras karena Yesus tampaknya tidak memasukkan Maria dan saudara-saudara-Nya dari komposisi keluarga baru-Nya. Apakah ini berarti Yesus tidak menghormati Maria, yang adalah orang tua-Nya? Apakah ini berarti bahwa keluarga biologis dan tradisional tidak memiliki nilai?

Jawabannya jelas tidak. Tentu saja, Yesus menghormati dan mengasihi ibu-Nya. Yesus juga mengajarkan kekudusan sebuah pernikahan dan kehidupan keluarga (lihat Mat 5:31-32; Mat 19:19). Jemaat Gereja perdana juga mengikuti ajaran Yesus tentang integritas sebuah pernikahan dan kehidupan keluarga, sebagaimana tercermin dalam surat-surat St. Paulus (lihat 1 Kor 7: 1-17; Ef 6: 1-5). Kita yakin bahwa bagi Yesus, pernikahan dan keluarga itu baik. Namun, inti dari Injil kita hari ini adalah Yesus memanggil kita semua untuk melampaui hubungan alami ini. Keluarga baru Yesus tidak didasarkan pada darah tetapi berakar pada iman dan kemauan kita menjalankan kehendak Allah. Ini juga panggilan yang Yesus alamatkan kepada Maria dan sanak saudara-Nya. Tentunya, Maria menjadi model iman ketika dia mematuhi kehendak Allah saat ia menerima Kabar Sukacita (Luk 2: 26-38), ketika ia mengikuti Yesus bahkan sampai ke salib (Yoh 19: 25-26) dan setia berdoa bersama dengan Gereja perdana (Kis 1:14). Santo Agustinus pun mengatakan dalam kotbahnya, “Suatu berkat yang lebih besar bagi Maria karena ia telah menjadi murid Kristus daripada menjadi ibu Kristus.”

Keluarga sebagai institusi itu baik, tetapi Yesus mengajarkan bahwa kita perlu menjadi murid-Nya Yesus terlebih dahulu sebelum kita menjadi anggota keluarga yang baik. Kalau tidak, keluarga akan terbuka terhadap godaan sang jahat. Korupsi, nepotisme, dan kronisme adalah praktik jahat yang berakar dalam keluarga. Sisi ekstrim lainnya adalah ketika saudara saling bertikai, bahkan membunuh, karena rebutan warisan seolah-olah mereka tidak berasal dari rahim yang sama. Adalah kehendak Tuhan bahwa kita setia, bahwa kita melakukan keadilan, bahwa kita berbelas kasih terutama bagi yang lemah dan miskin. Tanpa nilai-nilai Kristiani, keluarga tidak akan menjadi sumber kebaikan. Menggemakan kata-kata St. Agustinus, menjadi bagian dari keluarga adalah sebuah berkat, tetapi menjadi murid Kristus adalah berkat yang jauh lebih besar.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Body

Solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ [June 3, 2018] Mark 14:12-16, 22-26

“Take it; this is my body” (Mk 14:22)

last supper africaWe often take for granted that we are created as a bodily creature. Our body is integral to our humanity and created by God as something good; we receive our body as a gift. We freely receive our body from our parents, and our parents from their parents and this goes on till we discover God as the source of this gift. Because our body is a gift from God, we are called to honor our body as we honor the Giver of the gift Himself.

Since the earliest time, the Church has fought against various false teachings that undermine the integrity and sanctity of the body. Early Christians stoutly defended the goodness of the body against the Gnostic sects that condemned the body as evil, a prison to our soul, and a curse to our existence. The Order of Preachers where I belong was founded for the salvation of souls. Some of my friends complain why we only save the soul and disregard other aspects of our humanity. I remind them that the Order was originally established to counter the Albigensian sect, and one of its basic teachings is that the body is evil, that suicide is a great means to achieve final liberation. To preach and fight for the goodness and integrity of our body is essential to the Dominican preaching, as it is to the Church’s preaching.

Unfortunately, the gnostic teaching grows and takes modern forms. Sanctity of our body is ever compromised as our body is trivialized and even commoditized. Human trafficking is one of the greatest abuses of our body. Young women, mostly from a poor background, are lured into prostitution and turned to be sex objects. Young children are forced to work in inhuman conditions in many countries. Organ harvesting has become most luxurious business involving the countless amount of money. There is a price for every organ we have. In fact, there is a nasty story in the social media of a teenager who sells his kidney to buy the latest model of iPhone. For some people, another additional ‘bodies’ in the wombs are just liabilities and hindrance to self-progress and career development, and thus, it is better to abort these ‘bodies’ before they grow and become bigger problems.

In celebrating the solemnity of the body and blood of Jesus Christ, we are invited through our Gospel reading, to go back to Jesus’ Last Supper. There, Jesus freely offers His body as a gift to His disciples, “Take it, this My body.”  He then asks these disciples to share His body they have received to the future generations of disciples. Jesus receives His body as a gift, and now, in His Supper, He passes this gift so that we may have a life. This is the foundation of the Eucharist, as well as the core of the Christian sexuality.

Husband and wife join together in marriage, and they are no longer “two but one body.” As both spouses face the altar of God, they recognize that their bodies are gifts from God, and by lovingly offering to their spouse, they honor God who created them. We oppose any pre-marital and extra-marital sex because unless our body is given freely and totally in lifetime marriage commitment, we are always exposed to objectify our body. A husband’s or wife’s body is not simply the “property” or object to satisfy sexual, psychological needs, but it is a gift from God that even leads us to a deeper appreciation of our own body. In marriage, husband and wife give their body as a gift to each other in love and honor, so that they may have life more abundantly and in fact, they may welcome a new body, a new life, a new gift, into their marriage.

Married life is one among several ways we may accept and offer our body as a gift. Even a celibate life dedicated to service of others is another way to offer our body as a gift. Like Jesus in the Last Supper, it is only by receiving our body as a gift and freely sharing it as a gift that we may have meaningful lives.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tubuh

Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus [3 Juni 2018] Markus 14: 12-16, 22-26

“Ambil; inilah tubuhku ”(Markus 14:22)

african-last-supper-lukandwa-dominicTubuh kita adalah bagian integral dari kemanusiaan kita dan diciptakan oleh Tuhan sebagai sesuatu yang baik. Tubuh kita adalah sebuah karunia. Dengan cuma-cuma, kita menerima tubuh kita dari orang tua kita, dan orang tua kita dari orang tua mereka dan ini berlangsung terus sampai kita menemukan Tuhan sebagai sumber dari karunia ini. Karena tubuh kita adalah karunia dari Tuhan, kita dipanggil untuk menghormati tubuh kita sebagaimana kita menghormati Sang pemberi karunia.

Sejak awal mulanya, Gereja telah berjuang melawan berbagai ajaran sesat yang merongrong integritas dan kesucian tubuh. Gereja dengan gigih membela kebaikan tubuh melawan sekte Gnostik yang mengajarkan tubuh sebagai jahat, penjara bagi jiwa kita, dan kutukan bagi eksistensi kita. Saya adalah anggota Order of Pewarta (atau Dominikan), dan Ordo ini didirikan untuk keselamatan jiwa-jiwa. Beberapa teman saya mengomentari mengapa kami hanya menyelamatkan jiwa dan mengabaikan aspek lain dari kemanusiaan kita. Saya mengingatkan mereka bahwa Ordo ini awalnya didirikan untuk memerangi sekte Albigensian, dan salah satu ajaran dasar mereka adalah bahwa tubuh adalah jahat, bahwa bunuh diri adalah sarana yang baik untuk mencapai pembebasan akhir. Untuk mewartakan dan berjuang bagi kebaikan dan integritas tubuh kita adalah mendasar bagi pewartaan Dominikan, seperti juga untuk pewartaan Gereja.

Sayangnya, ajaran gnostik tetap bertumbuh dan mengambil bentuk-bentuk baru di dunia modern. Kesucian tubuh kita terus diremehkan dan bahkan menjadi sebuah komoditas. Perdagangan manusia adalah salah satu pelanggaran terbesar terhadap tubuh kita. Perempuan muda, sebagian besar dari latar belakang miskin, terjebak ke dalam prostitusi dan menjadi objek seks belaka. Anak-anak muda dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi di banyak negara. Pengambilan organ tubuh telah menjadi bisnis paling menggiurkan yang melibatkan jumlah uang yang luar biasa besar. Ada harga untuk setiap organ yang kita miliki. Bahkan, ada cerita di media sosial tentang seorang remaja yang menjual ginjalnya untuk membeli iPhone model terbaru. Tambahan ‘tubuh’ lain di dalam rahim menjadi sebuah beban dan hambatan untuk kemajuan diri dan pengembangan karier, dan dengan demikian, lebih baik untuk mengaborsi ‘tubuh’ ini sebelum mereka tumbuh dan menjadi masalah yang lebih besar.

Hari ini kita merayakan tubuh dan darah Yesus Kristus, dan kita diundang melalui bacaan Injil, untuk kembali ke Perjamuan Terakhir Yesus. Di sana, Yesus dengan bebas mempersembahkan tubuh-Nya sebagai karunia kepada murid-murid-Nya, “Ambillah, ini tubuh-Ku.” Dia kemudian meminta para murid ini untuk membagikan tubuh-Nya yang telah mereka terima kepada generasi murid-murid masa depan. Yesus menerima tubuh-Nya sebagai karunia, dan sekarang, dalam Perjamuan Terakhir-Nya, Dia memberikan karunia ini agar kita dapat memiliki kehidupan yang penuh. Ini adalah dasar dari Ekaristi, juga inti dari seksualitas Kristiani.

Di dalam sakramen pernikahan, suami dan istri tidak lagi “dua tetapi satu tubuh.” Ketika kedua pasangan menghadap altar Allah, mereka mengakui bahwa tubuh mereka adalah karunia dari Tuhan, dan dengan mempersembahkan tubuh mereka kepada pasangan mereka, mereka menghormati Tuhan yang telah menciptakan mereka. Kita menentang seks pra-nikah dan seks di luar nikah karena hanya saat tubuh kita diberikan secara bebas dan total dalam komitmen pernikahan, kita selalu akan selalu menghancurkan tubuh kita. Tubuh suami atau istri bukan sekadar “milik” atau objek untuk memuaskan kebutuhan seksual dan psikologis, tetapi itu adalah karunia dari Tuhan yang bahkan menuntun kita untuk menghargai tubuh kita sendiri. Dalam pernikahan, suami dan istri memberikan tubuh mereka sebagai karunia terhadap satu sama lain dalam kasih dan hormat, sehingga mereka dapat memiliki kehidupan yang lebih berlimpah dan juga, mereka dapat menyambut tubuh baru, kehidupan baru, karunia baru, ke dalam pernikahan mereka.

Kehidupan pernikahan adalah salah satu di antara beberapa cara dimana kita bisa menerima dan mempersembahkan tubuh kita sebagai karunia. Kehidupan selibat yang didedikasikan untuk melayani sesama adalah cara lain untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai karunia. Seperti Yesus dalam Perjamuan Terakhir, hanya dengan menerima tubuh kita sebagai karunia dan dengan bebas mempersembahkannya sebagai karunia, kita memiliki kehidupan yang penuh dan bermakna.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP