Faith and Suffering

Twenty-First Sunday in Ordinary Time [August 26, 2018] John 6:60-69

“Master, to whom shall we go? You have the words of eternal life (Jn. 6:67).”

nazareno
photo by Harry SJ

In our today’s Gospel, Simon Peter and other disciples are facing a major crossroad: whether they will believe in Jesus’ words and they need to consume Jesus’ flesh and blood as to gain eternal life, or they will consider Jesus as insane and leave Him. They are dealing with hard and even outrageously unbelievable truth, and the easiest way is to leave Jesus. Yet, amidst doubt and lack of understanding, Peter’s faith prevails, “Master, to whom shall we go? You have the words of eternal life (Jn. 6:67).” It is faith that triumphs over the greatest doubt, a faith that we need also.

 

I am ending my clinical pastoral education at one of the busiest hospitals in Metro Manila. It has been a truly faith-enriching and heart-warming experience. I am blessed and privileged to minister to many patients in this hospital. One of the most memorable and perhaps faith-challenging encounter is with Christian [not his real name].

When I visited the pediatric ward, I saw a little boy, around six years old, lying on the bed. He was covered by a thin blanket and seemed in pain. Then I talked to the watcher who happened to his mother, Christina [not her real name]. She told me that the dialysis did not go well and he had a little fever. As the conversation went on, I discovered that Christian was not that young. He was actually 16 years old. I did not believe my eyes, but the mother explained that it was because his kidneys shrank to the point of disappearing, and because of this terrible condition, his growth stopped, and his body also shrank. Christian has undergone dialysis for several years, and due to recurrent infections, the hospital has been his second home. Christina herself lost his husband when he died several years ago, and stopped working to take care of Christian. The older sister of Christian had to stop schooling and worked to support the family.

Looking at Christian, and listening to Christina, I was hurt, and I was almost shedding tears. Despite my long theological formation, I cannot but question God. “Why do You allow this kind of terrible suffering to an innocent little man? Why do you allow his life and future be robbed by this illness?” My faith was shaken. Then, I was asking Christina how she was able to deal with the situation. She shared that it was really difficult, but she has accepted the condition, and she continues to struggle to the end because she loved Christian. I was also asking her what made her strong, and I cannot forget her answer. She said that she was strong when she saw little Christian’s smiles, and she felt his simple happiness.

Right there and then, through Christina, I felt God has answered my questions and doubts. It is true that terrible things happen, but God never leaves us. He was there in Christian’s simple smiles. He was there in little acts of love from Christina for her son. It is true that life is full of incomprehensive sufferings and heart-breaking moments, like the loss of loved ones, the broken relationships, the health and financial problems, and perhaps the recent revelation of sexual abuses done by many Catholic priests in the US. These can trigger our anger and disappointment towards God. We shall remain angry, confused and lost if we focus on the painful reality, but God is inviting us to see Him in simple and ordinary things that bring us comfort, strength, and joy. If Jesus calls us to have faith the size of mustard seed, it is because this kind of faith empowers us to recognize God in simple and ordinary things of our lives.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Iman dan Penderitaan

Minggu ke-21 pada Masa Biasa [26 Agustus 2018] Yohanes 6: 60-69

“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh. 6:68).”

prayer in church
photo by Harry SJ

Dalam Injil kita Minggu ini, Simon Petrus dan murid-murid lain menghadapi pertanyaan penting: apakah mereka akan percaya pada kata-kata Yesus bahwa mereka perlu mengkonsumsi darah dan daging-Nya untuk mendapatkan kehidupan yang kekal, atau mereka akan menganggap Yesus sebagai orang gila dan meninggalkan Dia. Mereka berurusan dengan kebenaran yang sangat sulit dipercaya, dan hal paling termudah untuk dilakukan adalah meninggalkan Yesus. Namun, di tengah keraguan dan kurangnya pemahaman, Petrus menyatakan, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh 6:68).” Adalah iman yang menang atas keraguan terbesar, iman yang kita butuhkan juga.

 

Saya mengakhiri karya pastoral saya di salah satu rumah sakit tersibuk di Metro Manila. Pengalaman ini benar-benar memperkaya iman dan membentuk hati saya. Untuk melayani banyak pasien di rumah sakit ini adalah sebuah berkat bagi saya. Salah satu pertemuan yang paling mengesankan adalah dengan Christian [bukan nama sebenarnya].

Ketika saya mengunjungi bangsal anak, saya melihat seorang anak lelaki mungil, mungkin sekitar enam tahun, terbaring di tempat tidurnya. Dia ditutupi oleh selimut tipis dan tampak kesakitan. Kemudian saya berbincang dengan ibunya, Maria [bukan nama sebenarnya]. Dia mengatakan kepada saya bahwa proses dialisis tidak berjalan dengan baik dan dia sedikit demam sekarang. Ketika percakapan berlanjut, saya terkejut bahwa orang Christian tidaklah semuda yang saya kira. Dia sebenarnya berusia 16 tahun. Saya tidak mempercayai mata saya, tetapi sang ibu menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena ginjalnya menyusut dan bahkan hilang, dan karena kondisi yang mengerikan ini, pertumbuhannya berhenti, dan tubuhnya juga menyusut. Christian telah menjalani dialisis selama beberapa tahun, dan karena infeksi yang berulang, rumah sakit telah menjadi rumah keduanya. Maria sendiri kehilangan suaminya yang meninggal beberapa tahun yang lalu, dan berhenti bekerja untuk merawat Christian. Kakak perempuan Christian harus berhenti sekolah dan bekerja untuk mendukung keluarga.

Menyaksika Christian dan mendengarkan Maria, saya hampir mencucurkan air mata saya. Terlepas dari formasi teologis dan filsafat saya yang panjang, saya tetap mempertanyakan Tuhan, “Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan mengerikan semacam ini terjadi pada lelaki kecil yang tidak berdosa? Mengapa Tuhan membiarkan hidupnya dan masa depan dirampas oleh penyakit ini?” Iman saya terguncang. Kemudian, saya bertanya kepada Maria bagaimana dia bisa menghadapi situasi itu. Dia menceritakan bahwa hal ini benar-benar sulit, tetapi dia telah menerima kondisinya, dan dia terus berjuang sampai akhir karena dia mengasihi Christian. Saya juga bertanya padanya apa yang membuatnya kuat, dan saya tidak akan pernah melupakan jawabannya. Dia mengatakan bahwa dia kuat ketika dia bisa melihat senyum kecilnya, dan ketika dia merasakan kebahagiaan yang sederhana yang terpancar dari wajah Christian.

Melalui Maria, saya merasa Tuhan telah menjawab pertanyaan dan keraguan saya. Memang benar hal-hal buruk terjadi, tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia ada di dalam senyum sederhana Christian. Dia ada di dalam tindakan-tindakan kecil kasih dari Maria untuk putranya. Memang benar bahwa hidup penuh dengan penderitaan yang tidak dapat dimengerti dan momen-momen yang memilukan, seperti kehilangan orang yang dicintai, relasi yang berantakan, masalah kesehatan dan keuangan. Ini dapat memicu kemarahan dan kekecewaan kita terhadap Tuhan. Kita akan tetap marah, bingung dan tersesat jika kita fokus pada realitas yang menyakitkan ini, tetapi Tuhan mengundang kita untuk melihat-Nya dalam hal-hal sederhana yang tanpa diduga memberi kita kenyamanan, kekuatan, dan sukacita. Jika Yesus memanggil kita untuk memiliki iman sebesar biji sesawi, itu karena iman ini memberdayakan kita untuk mengenali Tuhan dalam hal-hal sederhana dalam hidup kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Body of Christ in Our Lives

Twentieth Sunday in Ordinary Time [August 19, 2018] John 6:51-58

“Whoever eats my flesh and drinks my blood has eternal life…(Jn. 6:54)”

consecration 1
photo by Harry Setianto SJ

From Jesus’ time until the present, the Eucharist is one of Jesus’ most difficult teachings to understand, less to believe. People can easily agree with Jesus when He says that we need to love our neighbors as ourselves. People may have a difficult time to forgive and to love one’s enemy, but they will accept that vengeance and violence will not solve any issue. Perhaps, it is easier if we are simply to accept Jesus with our whole heart and believe that we are saved. However, Jesus does not only teach those beautiful things. Jesus goes to the very length of the Truth about our salvation. He is the Bread of Life, and this Bread of Life is His flesh and blood. Jesus does not only ask us to believe but to eat His flesh and drink His blood so that we may have eternal life.

For the Jews during that time, to eat human flesh is a total abomination and to drink blood, even the blood of an animal, is forbidden. Thus, when Jesus tells them to consume His Flesh and Blood, many Jews would think that He must be out of His mind. The people are following Jesus because they witnessed Jesus’ power in multiplying the bread, and they want to make him their leader. Yet, Jesus reminds them that they miss the mark if they simply follow Him because he feeds them with the ordinary bread. They should work for the Bread of Life that is Jesus Himself. Many of Jesus’ initial followers murmur, and eventually, they leave Him, because of this very hard teaching.

Going to our time, Eucharist remains the most difficult to understand. Are this small white tasteless bread and a drop of wine truly the Body and Blood of Christ? How can this ordinary food contain the fullness of Jesus’ divinity and humanity? Why should we bend our knee in adoration before an ordinary thing? The greatest minds ever born, from St. Paul to our contemporary scholars, have tried to explain the mystery, but none of their explanation is adequate. St. Thomas Aquinas who was able to write one of the most profound explanations of the Eucharist, eventually had to admit that this is the mystery of faith. He wrote in his hymn to the Blessed Sacrament, Tantum Ergo, “Præstet fides supplementum, Sensuum defectu (Let faith provide a supplement, for the failure of the senses).”

Indeed, the greatest faith is needed to accept the greatest mystery, because the humblest form of food brings us to the eternal life. Yet, this becomes one of the most beautiful Good News Jesus brings. The eternal life is not something we only gain afterlife, but Jesus makes this life available here and now.  If God is truly present in this small bread, then He is also present in our daily life, no matter ordinary it is. If Jesus is broken in the Eucharist, so He is embracing us in our darkest and broken moments of life. If Jesus who is the Wisdom of God, is contained in this little host, this Wisdom provides us with true meaning in our seemingly senseless lives.

What I am ending my pastoral work in the hospital, and one thing I most grateful is that I am given an opportunity to walk together with many patients, and to minister the Holy Communion to them. The Eucharist as the real presence of Christ becomes their consolation and strength. It becomes the greatest sign that God does not abandon them despite unsurmountable problems they need to face. Through the Body of Christ in the Eucharist and the Word of God in the Bible, we together journey to find meaning in the midst of painful and broken reality of sickness and death. In the Eucharist, our life is not just a bubble of intelligence in the endless stream of meaningless events, but participation in the eternal life of God.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tubuh Kristus dalam Kehidupan Kita

Minggu ke-20 dalam Masa Biasa
19 Agustus 2018
Yohanes 6: 51-58

“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal… (Yoh. 6:54)”

consecration 2
foto oleh Fr. Harry SJ

Ekaristi adalah salah satu ajaran Yesus yang paling sulit untuk dipahami apalagi di dipercayai. Orang-orang dapat dengan mudah setuju dengan Yesus ketika Dia mengatakan bahwa kita perlu mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Orang-orang mungkin kesulitan untuk memaafkan dan mengasihi musuh, tetapi mereka akan menerima bahwa pembalasan dan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Namun, Yesus tidak hanya mengajarkan hal-hal yang indah ini. Yesus mewartakan kebenaran yang total tentang keselamatan kita. Dia adalah Roti Kehidupan, dan Roti Hidup ini adalah darah dan daging-Nya sendiri. Yesus tidak hanya meminta kita untuk percaya tetapi untuk memakan daging-Nya dan minum darah-Nya sehingga kita dapat memiliki hidup yang kekal.

Bagi orang Yahudi waktu itu, makan daging manusia adalah sebuah kekejian dan minum darah, bahkan darah hewan, adalah hal terlarang. Jadi, ketika Yesus mengatakan kepada mereka untuk mengkonsumsi Daging dan Darah-Nya, banyak orang Yahudi berpikir bahwa Yesus itu gila. Orang-orang mengikuti Yesus karena mereka menyaksikan kuasa Yesus dalam melipatgandakan roti, dan mereka ingin menjadikan-Nya pemimpin mereka. Namun, Yesus mengingatkan mereka bahwa tidak tepat jika mereka hanya mengikuti Dia karena dia memberi mereka makan dengan roti biasa. Mereka perlu bekerja untuk Roti Hidup yakni Yesus sendiri. Banyak pengikut awal Yesus bersungut-sungut, dan akhirnya, mereka meninggalkan Dia, karena pengajaran yang sangat sulit ini.

Di zaman sekarang, Ekaristi tetap sulit untuk dipahami. Apakah roti tawar kecil putih dan setetes anggur ini benar-benar Tubuh dan Darah Kristus? Bagaimana makanan biasa ini mengandung kepenuhan keilahian dan kemanusiaan Yesus? Mengapa kita harus menekuk lutut kita dihadapan hosti kecil? Pemikir-pemikir besar telah mencoba menjelaskan misteri itu, tetapi tidak satu pun dari penjelasan mereka yang cukup memadai. Santo Thomas Aquinas yang mampu menulis salah satu penjelasan paling mendalam tentang Ekaristi, akhirnya harus mengakui bahwa ini adalah misteri iman. Dia menulis dalam nyanyiannya kepada Sakramen Mahakudus, Tantum Ergo, “Præstet fides supplementum, Sensuum defectu (Biarkan iman melengkapi, saat indera gagal).”

Sungguh, iman terbesar diperlukan untuk menerima misteri terbesar, karena bentuk makanan yang paling sederhana membawa kita ke kehidupan kekal. Namun, ini menjadi salah satu Kabar Baik yang Yesus bawa. Kehidupan kekal bukanlah sesuatu yang hanya kita peroleh di akhirat, tetapi Yesus menjadikan kehidupan ini tersedia di sini dan saat ini. Jika Tuhan bisa benar-benar hadir dalam roti kecil ini, Dia juga hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, bahkan di dalam hal paling sederhana sekalipun. Jika Yesus dipecah dan dibagikan dalam Ekaristi, Iapun mampu memeluk kita di saat-saat yang paling gelap dan pahit dalam hidup. Jika Yesus yang adalah sang Kebijaksanaan Allah, terkandung dalam hosti kecil ini, Kebijaksanaan ini memberi kita makna yang sejati dalam kehidupan kita yang sederhana.

Saya akan mengakhiri karya pastoral saya di rumah sakit, dan satu hal yang paling saya syukuri adalah bahwa saya diberi kesempatan untuk menemani banyak pasien, dan melayani Komuni Kudus bagi mereka. Ekaristi sebagai kehadiran Kristus yang nyata menjadi penghiburan dan kekuatan mereka. Ini menjadi tanda terbesar bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka meskipun ada banyak masalah yang harus mereka hadapi. Melalui Tubuh Kristus dalam Ekaristi dan Firman-Nya di dalam Alkitab, kita bersama-sama melakukan perjalanan untuk menemukan makna di tengah-tengah realitas sakit dan kematian. Dalam Ekaristi, hidup kita bukan sekedar serentetan peristiwa-peristiwa tanpa arti, tetapi partisipasi kita dalam kehidupan kekal Allah.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Preaching Faith

Nineteenth Sunday in Ordinary Time [August 12, 2018] John 6:41-51

Amen, amen, I say to you, whoever believes has eternal life. I am the bread of life.  (Jn 6:47-48)

I am currently having my pastoral clinical education in one of the hospitals in the Metro Manila. Aside from visiting the patients and attending to their spiritual needs, we also have processing sessions guided by our supervisor.  During one of the sessions, our supervisor asked me, “Where is the ultimate source of your preaching?” As a member of the Order of Preachers, I was caught off guard. My initial reaction was to say our deeply revered motto, “Contemplare, at contemplata aliis tradere (to contemplate, and to share the fruits of one’s contemplation).” He pressed further and asked what is behind this contemplation. I began scrambling for answers. “Is it study? Community? Or prayer? He said that those were right answers, but there is something more basic. I admitted I am clueless. While he was smiling, he said “It is faith.”

His answer is very simple and yet makes a lot of sense. We pray because we have faith in God. We go to the Church because we have faith in the merciful God who calls us to be His chosen people. As for myself, I entered the Dominican Order because I have faith that generous God invites me to this kind of life. We preach because we trust in the loving God and we want to share this God with others.

I have spent years studying philosophy and theology at one of the top universities in the Philippines, but when I meet the patients with so much pain and problems, I realize that all my achievements, knowledge and pride are coming to naught. How am I going to help patients having troubles to settle hospital bills with astronomical amount?  How am I going to help persons in their dying moments? How am I going to help patients who are angry with God or disappointed with their lives? However, as a chaplain, I need to be there for them, and the best preaching is in fact, the most basic one. It is not preaching in the forms of theological discourse, philosophical discussion, and a long sermon or advice. To preach here is to sharing my faith and to receive their faith. I am there to be with them, to listen to their stories and struggles, to share a little humor and laughter, and to pray together with them. To pray for them is the rare moments that I pray with all my faith because I know that only my faith I can offer to them.

In our Gospel today, we read that some Jews are murmuring because they have no faith in Jesus. Yet, Jesus does not only call them to simply trust in Him, but also to literally eat Him because He is the Bread of Life. The faith in the Eucharist is indeed a tipping point. It is either the craziest of the crazy or the greatest faith that can move even a mountain. As Christians who believe in the Eucharist and receive Jesus in every Mass, we are tremendously privilege and challenged to have and express this faith. However, when we fail to appreciate this meaning and beauty of this faith, and only receive the Bread of Life in a routinely and mechanical fashion, we may lose altogether this faith.

As people who go to Church every Sunday and receive the Eucharist on a regular basis, do we truly believe in Jesus the Bread of Life? Does our faith empower us to see God in the midst of our daily struggles and challenges? Do we have faith that we can share when it matters most?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mewartakan Iman

Minggu ke-19 dalam Masa Biasa [12 Agustus 2018] Yohanes 6: 41-51

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal. 48 Akulah roti hidup. (Yoh 6: 47-48)

faith1Saat ini saya sedang menjalani pelayanan pastoral di salah satu rumah sakit di Metro Manila. Selain mengunjungi pasien dan melayani kebutuhan rohani mereka, kami juga mengikuti sesi pengolahan yang dipandu oleh seorang pengawas. Dalam salah satu sesi, pengawas kami bertanya kepada saya, “Di mana sumber utama pewartaanmu?” Sebagai anggota Ordo Pengkhotbah, saya terperangah. Reaksi awal saya adalah mengucapkan motto kami, “Contemplare, di contemplata aliis tradere (untuk berkontemplasi dan membagikan buah dari kontemplasi).”

Dia menekan lebih jauh dan bertanya apa yang ada di balik kontemplasi itu. Saya mulai bingung mencari jawaban. “Apakah ini studi? Hidup komunistas? Atau doa? Dia mengatakan bahwa semua jawaban saya adalah benar, tetapi ada sesuatu yang lebih mendasar. Saya akui saya tidak tahu. Dia pun tersenyum dan dia mengatakan, ini adalah iman.

Jawabannya sangat sederhana namun sangat masuk akal. Kita berdoa karena kita memiliki iman kepada Tuhan. Kita pergi ke Gereja karena kita memiliki iman kepada Allah yang penuh belas kasih yang memanggil kita untuk menjadi umat pilihan-Nya. Sedangkan, saya sendiri memasuki Ordo Dominikan karena saya memiliki iman bahwa Allah yang murah hati memanggil saya untuk hidup membiara. Kita mewartakan karena kita memiliki iman pada Tuhan yang pengasih dan kita ingin berbagi Tuhan dengan sesama.

Saya telah menghabiskan bertahun-tahun belajar filsafat dan teologi di salah satu universitas ternama di Filipina, tetapi ketika saya bertemu pasien dengan penyakit dan masalah yang sanget berat, saya menyadari bahwa semua pencapaian, pengetahuan, dan kebanggaan saya itu sia-sia. Bagaimana saya akan membantu pasien untuk membayar tagihan rumah sakit dengan jumlah yang sangat besar? Bagaimana saya akan membantu pasien-pasien di saat-saat terakhir mereka? Bagaimana saya akan membantu pasien yang marah pada Tuhan atau kecewa dengan hidup mereka? Namun, saya harus ada di sana untuk mereka menjadi pewartaan yang terbaik dan paling mendasar. Ini bukan pewartaan dalam bentuk diskursus teologis, diskusi filosofis, dan khotbah atau nasihat yang panjang. Untuk mewartakan di sini adalah untuk membagikan iman saya dan untuk menerima iman mereka. Saya ada di sana untuk bersama mereka, untuk mendengarkan kisah dan pergulatan mereka, untuk berbagi sedikit canda dan tawa serta berdoa bersama dengan mereka. Berdoa untuk mereka adalah saat-saat langka, di mana saya berdoa dengan semua iman saya sebab saya tahu bahwa hanya iman ini yang dapat saya berikan kepada mereka.

Dalam Injil kita hari ini, kita membaca bahwa beberapa orang Yahudi bersungut-sungut karena mereka tidak memiliki iman kepada Yesus. Namun, Yesus tidak hanya memanggil mereka untuk hanya percaya kepada-Nya, tetapi juga untuk benar-benar memakan-Nya karena Dia adalah Roti Kehidupan. Iman dalam Ekaristi sungguh menjadi penentu. Hanya dua kemungkinan: sebuah kegilaan atau iman terbesar. Sebagai umat Kristiani yang percaya pada Ekaristi dan menerima Yesus di setiap misa, kita menerima rahmat dan ditantang luar biasa untuk memiliki dan menyatakan iman ini. Namun, ketika kita gagal untuk menghargai arti dan keindahan dari iman ini dan hanya menerima Roti Hidup secara rutin, kita akan kehilangan iman ini.

Sebagai orang yang pergi ke Gereja setiap Minggu dan menerima Ekaristi secara teratur, apakah kita benar-benar percaya kepada Yesus, Sang Roti Hidup? Apakah iman kita mampu memberdayakan kita untuk melihat Tuhan di tengah-tengah perjuangan dan tantangan hidup kita sehari-hari? Apakah kita memiliki iman yang dapat kita bagikan di saat yang paling penting?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amen

18th Sunday in Ordinary Time [August 5, 2018] John 6:24-35

“This is the work of God, that you believe in the one he sent.” (Jn. 6:29)

amen 1To say “Amen” is something usually we do in prayer. Commonly it is used to end a prayer. Our biblical prayers like Our Father and Hail Mary are usually concluded by amen. In several occasions, amen is mentioned more often. One of my duties as a hospital chaplain is to lead a prayer of healing for the sick. I always ask the family and friends who accompany the patients to pray together. Sometimes, they will say amen at the end of the prayer. However, some others will utter several amens within the prayer, and in fact, some people will say more amens than my prayer! In several occasions, amen is utilized outside the context of prayer. Preachers with a charismatic gift will invite their listeners to say amen. Surely, it is a good technique to keep the listeners awake!

Amen is a simple and yet very powerful word. Amen indicates our strong affirmation and agreement to something. It is the most concise manifesto of our faith. Amen is a biblical language, and in fact, it is a Hebrew word, that means “surely!” or “Let it be done!”. It is interesting to note that the early usage of amen in the Bible is to affirm curses and punishments (see Num 5:22; Deu 27:15). Fortunately, the Book of Psalm teaches us to use amen to affirm God’s blessings. Jesus Himself is fond of saying Amen. He uses amen to affirm the truth and power of His words (see Mat 5:18; Mat 8:5). There is a radical shift here. Unlike the usual practice to affirm God’s blessing, Jesus says amen to His own words. This is because Jesus’ words are God’s blessing per se. Thus, learning from the Biblical tradition, we say amen to affirm God’s blessings. Moreover, learning from Jesus, we say amen to express our faith in His words, and ultimately to Jesus Himself. Surprisingly, the first person in the New Testament to proclaim the great amen to Jesus is none other than His mother, Mary. Before the angel Gabriel, she says “Be it done to me according to your words,” in short, “Amen!” (see Luk 1:38)

One of the greatest amen we proclaim is when we receive the Eucharist. For hundreds of millions of Christian Catholics who receive the Holy Communion every Sunday, to say amen seems rather usual. Yet, it is supposed to be the most difficult amen we say. To believe and affirm that a little consecrated white bread is the Body of Christ containing the fullness of Jesus’ divinity and humanity is either totally insane or a sign of extraordinary faith. Yet, I do believe this is Jesus’ invitation to believe in Him in the Eucharist. Relating to this Sunday’ Gospel, Jesus says that the work of God is to believe in Jesus, the one sent by the Father (see John 6:29). Continue reading chapter 6 of this Gospel of John, we discover that to believe in Jesus means to accept that He is the Bread of Life, and those who eat this Bread will have eternal life (see John 6:51). Thus, to say faith-filled amen to the Eucharist is the fulfillment of Jesus’ words, and leading to the fullness of acceptance of Jesus as God and Savior.

As people who go to the Church every Sunday and receive the Eucharist in a regular basis, do we say our Amen in the fullness of our faith or is it just a mechanical repetition? Does our Amen enable us to recognize the daily blessing we receive? Like Mary, does our faith manifest in our daily actions, and make a difference in lives?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amin

Minggu ke-18 Pada Masa Biasa [5 Agustus 2018] Yohanes 6: 24-35

“Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh 6:29)

amen 2Mengatakan “Amin” adalah sesuatu yang biasanya kita lakukan dalam doa. Kata ini biasanya digunakan untuk mengakhiri doa. Doa alkitabiah seperti Bapa Kami dan Salam Maria biasanya disimpulkan oleh kata amin. Namun, dalam beberapa kesempatan, amin disebut lebih sering. Salah satu tugas pastoral saya di rumah sakit adalah memimpin doa penyembuhan bagi yang sakit. Saya selalu meminta keluarga dan mereka yang menemani pasien untuk berdoa bersama. Biasanya, mereka akan mengatakan amin di akhir doa. Namun, ada juga beberapa orang akan mengucapkan beberapa amin dalam doa, dan bahkan, ada beberapa orang mengucapkan lebih banyak amin dari pada doa yang saya ucapkan! Dalam beberapa kesempatan, amin digunakan di luar konteks doa. Pengkhotbah karismatik akan mengajak pendengar mereka untuk mengatakan amin sebagai bentuk penegasan. Tentunya, ini adalah juga teknik yang bagus untuk membuat pendengar tidak tertidur!

Amin adalah kata yang sederhana namun sangat kuat. Amin menunjukkan penegasan dan persetujuan kita yang kuat terhadap sesuatu. Ini adalah manifesto paling ringkas dari iman kita. Amin adalah bahasa alkitabiah, dan sebenarnya, ini berasal dari kata Ibrani, yang berarti “Sungguh!” Atau “Terjadilah!”. Sangat menarik untuk dicatat bahwa penggunaan awal kata amin dalam Alkitab adalah untuk menegaskan kutukan dan hukuman (lihat Bil 5:22; Ul 27:15). Syukurlah, Kitab Mazmur mengajarkan kita untuk menggunakan amin untuk menegaskan berkat Tuhan. Yesus sendiri suka mengatakan Amin [walaupun dalam alkitab Bahasa Indonesia kata ‘Amin’ diganti dengan kata ‘sesungguhnya’). Ia menggunakan amin untuk menegaskan kebenaran dan kuasa firman-Nya (lihat Mat 5:18; Mat 8: 5). Ada pergeseran radikal di sini. Berbeda dengan praktik biasa untuk menegaskan berkat Tuhan, Yesus mengatakan amin pada kata-kata-Nya sendiri. Ini karena kata-kata Yesus adalah berkat Tuhan. Dengan demikian, belajar dari tradisi Alkitab, kita mengatakan amin untuk menegaskan berkat-berkat Tuhan. Lebih dari itu, belajar dari Yesus, kita mengatakan amin untuk mengekspresikan iman kita dalam Firman-Nya, dan akhirnya kepada Yesus sendiri. Tak mengejutkan bahwa orang pertama dalam Perjanjian Baru yang menyatakan amin kepada Yesus tidak lain adalah ibu-Nya, Maria. Di hapadapan malaikat Gabriel, dia berkata, “Terjadilah padaku menurut perkataanmu,” singkatnya, “Amin!” (Lihat Luk 1:38)

Salah satu amin terbesar yang kita nyatakan adalah ketika kita menerima Ekaristi. Bagi ratusan juta umat Katolik yang menerima Komuni Suci setiap hari Minggu, mengatakan amin tampaknya biasa-biasa saja. Namun, ini sebenarnya menjadi amin yang paling sulit yang kita katakan. Untuk percaya dan menegaskan bahwa hosti kecil putih adalah Tubuh Kristus yang mengandung kepenuhan keilahian dan kemanusiaan Yesus adalah tanda iman yang luar biasa besar. Saya percaya ini adalah ajakan Yesus untuk percaya kepada-Nya dalam Ekaristi. Berkaitan dengan Injil hari Minggu ini, Yesus mengatakan bahwa pekerjaan yang dikehendaki Allah adalah percaya kepada Yesus, yang diutus oleh Bapa (lihat Yoh 6:29). Membaca bab 6 dari Injil Yohanes ini, kita menemukan bahwa percaya kepada Yesus berarti menerima bahwa Dia adalah Roti Kehidupan, dan mereka yang memakan Roti ini akan memiliki hidup yang kekal (lihat Yoh 6:51). Jadi, untuk mengatakan amin yang dipenuhi oleh iman kepada Ekaristi adalah pemenuhan kata-kata Yesus, dan menuntun kita pada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Sebagai umat yang pergi ke Gereja setiap Minggu dan menerima Ekaristi secara teratur, apakah kita mengatakan Amin dalam kepenuhan iman atau ini hanya sebuah kata yang diulang-ulang? Apakah Amin kita memungkinkan kita untuk mengenali berkat harian yang kita terima? Seperti Maria, apakah iman kita terwujud dalam tindakan sehari-hari kita, dan membuat perbedaan dalam kehidupan kita?

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP