Fear and Forgiveness

Second Sunday of Easter/ Divine Mercy Sunday [April 28, 2019] John 20:19-31

risen christ 2Today is the Divine Mercy Sunday. From the Gospel, Jesus institutes the sacrament of reconciliation as He bestows His Holy Spirit upon the Disciples. He grants them the divine authority to forgive (and not to forgive) sins and charges them to be the agents of Mercy. While it is true that only priests can minister the sacrament of confession, every disciple of Christ is called to be an agent of Mercy and forgiveness. Yet, how we are going to be the bearers of Mercy and Forgiveness? I think we need to understand first the dynamic of fear and peace.

Fear is one of the human most basic emotions. It makes us flee from impending danger and normally, it is good and necessary for our survival. Yet, what is unique with us humans is that the object of fear is not only physical real danger like an earthquake, fire, or venomous animals, but it extends to moral judgment. When we commit a mistake, we are afraid of the judgment as well as the consequences. Quite often too, fearful of the judgment and condemnation, we are run away and hide. In fact, the story of fear is a primordial story. We recall our first parents, Adam and Eve. After they violated the Law of God, they realized that they have terribly sinned against the Lord, and afraid of God’s judgment, they hid.

After the passion and death of Jesus we find out that Jesus’ disciples themselves are afraid and hiding. The disciples lock themselves inside the room because they are afraid. However, the real fear is not from the Jewish authority or the Roman troops, but from Jesus’ judgment. We remember that Judas handed over Jesus to the Jewish authority, Peter, the leader, denied Jesus three times, and most of the disciples were running away. Even before the crucial moments of Jesus, they have deserted their Master and Messiah. In a court martial, a soldier who deserts his army, especially during the pick of the battle, is considered a traitor not only to the army, but to the entire nation, and he deserves no less than capital punishment. The disciples are hiding because of fear that Jesus will bring His severe judgment, and get back on them. The disciples are afraid that Jesus may come anytime, condemn them, and throw a fireball on them.

Indeed, Jesus comes to them, but he brings not condemnation but the gift of peace, “Shalom”. This peace only ensues from forgiveness. This peace, however, is not the absence of judgment, but rather it presupposes one. Unless the disciples recognize and own up their terrible mistakes, they will not appreciate Jesus’ forgiveness and mercy. The peace will be just a mirage, and fear still reigns.

To become an agent of Mercy, we first dare to pronounce judgment. If we pretend that the sin never happens, and keep telling ourselves that everything is just fine, we deceive ourselves and never become sincerely peaceful. Indeed, it is difficult, but as we cannot heal unless there is prognosis, we cannot truly forgive unless there is judgment.

Just last week, several suicide bombers blew themselves up at several churches in Sri Lanka and killed hundreds of Christians. A religious sister, who lost several of her community members in the explosion, wrote an open letter to the perpetrators. She judged that what they did was an act of terrorism, pure evil. Yet, she reminds them that Christians will not be cowed and afraid because we know how to forgive. She said that the Catholic Church remains an open-door Church because she is not afraid to welcome everyone including those who tried to destroy her.

There is no peace without forgiveness, and there is no forgiveness and mercy without true judgment.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ketakutan dan Pengampunan

Minggu Paskah Kedua [28 April 2019] Yohanes 20: 19-31

risen christ n thomasHari ini adalah Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Dari Injil, Yesus membentuk sakramen rekonsiliasi saat Ia menganugerahkan Roh Kudus-Nya kepada para Murid. Dia memberi mereka otoritas ilahi untuk mengampuni (dan tidak mengampuni) dosa dan mengutus mereka sebagai pekerja Kerahiman. Meskipun benar bahwa hanya imam yang dapat melayani sakramen pengakuan dosa, setiap murid Kristus dipanggil untuk menjadi pekerja Kerahiman dan pengampunan. Namun, bagaimana kita akan menjadi pembawa Kerahiman dan Pengampunan? Kita perlu memahami dulu dinamika antara rasa takut dan kedamaian.

Rasa takut adalah salah satu emosi paling mendasar manusia. Itu membuat kita lari dari bahaya yang akan datang dan biasanya, hal ini baik dan perlu untuk kelangsungan hidup kita. Namun, yang unik dengan kita manusia adalah bahwa objek rasa takut bukan hanya bahaya benda nyata secara fisik seperti gempa bumi, api, atau binatang berbisa, tetapi meluas ke penilaian moral. Ketika kita melakukan kesalahan, kita takut akan penghakiman serta konsekuensinya. Dan seringkali terlalu takut pada penghakiman dan hukuman, kita melarikan diri dan bersembunyi. Sejatinya, kisah ketakutan adalah kisah primordial kita. Kita mengingat orang tua pertama kita, Adam dan Hawa. Setelah mereka melanggar Hukum Allah, mereka menyadari bahwa mereka telah sangat berdosa terhadap Tuhan, dan takut akan hukuman Tuhan, mereka bersembunyi. Kita menjumpai juga bahwa murid-murid Yesus sendiri takut dan bersembunyi seperti halnya Adam dan Hawa.

Para murid mengunci diri di dalam ruangan karena mereka takut. Namun, ketakutan yang sebenarnya bukan dari otoritas Yahudi atau pasukan Romawi, tetapi dari penghakiman Yesus. Kita ingat bahwa Yudas menyerahkan Yesus kepada otoritas Yahudi, Petrus, sang pemimpin, menyangkal Yesus tiga kali, dan sebagian besar murid melarikan diri. Bahkan sebelum saat-saat genting Yesus, mereka telah meninggalkan Sang Guru dan Mesias mereka. Di pengadilan militer, seorang prajurit yang meninggalkan tentaranya, terutama saat pertempuran, dianggap sebagai pengkhianat tidak hanya bagi tentara, tetapi juga bagi seluruh bangsa, dan ia layak menerima hukuman mati. Para murid bersembunyi karena takut bahwa Yesus akan membawa hukuman berat-Nya, dan membalas mereka. Para murid takut bahwa Yesus akan datang kapan saja, mengutuk mereka, dan melemparkan bola api ke atas mereka.

Sungguh, Yesus datang kepada mereka, tetapi ia tidak membawa penghukuman tetapi karunia damai, “Shalom”. Kedamaian ini hanya terjadi karena pengampunan. Namun, kedamaian ini tidak terlahir dari absennya penghakiman, tetapi justru dari penghakiman yang diambil Yesus. Hanya saat para murid mengenali dan mengakui kesalahan mereka yang mengerikan, mereka akan menghargai pengampunan dan kerahiman Yesus. Tanpa penghakiman, kedamaian hanya akan menjadi fatamorgana, dan ketakutan masih berkuasa.

Untuk menjadi pekerja Kerahiman, pertama-tama kita berani mengucapkan penghakiman. Jika kita berpura-pura dosa tidak pernah terjadi, dan terus mengatakan pada diri kita sendiri bahwa semuanya baik-baik saja, kita menipu diri kita sendiri dan tidak pernah menerima rasa damai yang sesungguhnya. Seperti halnya dokter yang tidak dapat menyembuhkan pasien kecuali ada diagnosis yang benar, kita tidak dapat benar-benar memaafkan kecuali ada penghakiman yang benar.

Baru minggu lalu, beberapa pelaku bom bunuh diri meledakkan diri di beberapa gereja di Sri Lanka dan membunuh ratusan jemaat. Seorang suster, yang kehilangan beberapa anggota komunitasnya dalam ledakan itu, menulis surat terbuka kepada para pelaku. Dengan berani dia menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan terorisme, kejahatan yang tak berprikemanusiaan. Namun, dia mengingatkan mereka bahwa umat Katolik tidak akan takut karena kita tahu bagaimana cara mengampuni. Dia mengatakan bahwa Gereja Katolik tetap menjadi Gereja dengan pintu terbuka karena kita tidak takut untuk menyambut semua orang termasuk mereka yang mencoba menghancurkan Gereja.

Tidak ada kedamaian tanpa pengampunan, dan tidak ada pengampunan dan belas kasihan tanpa yang benar.

 Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mary Magdalene and Resurrection

Easter Sunday [April 19, 2019] John 20:1-9

mary magdalene n resurrection 2
He Qi_Easter morning

Mary Magdalene is a female disciple that loves her Teacher deeply, and being a woman, there is something that she teaches us. Luke describes her in his Gospel as a woman “from whom seven demons have come out” [see Luk 8:2]. It must be a terrible experience to be tormented by seven demons, and when Jesus heals her, she expresses her deep gratitude by following Jesus. As one of Jesus’ disciples, she is proven to be the most faithful to her Teacher. When many followers of Jesus are running away to save their lives, and even Peter, the leading figure in the group, denies Jesus, Mary follows Jesus in His way of the Cross to the end. She received the insult Jesus receives, she bears the humiliation Jesus bears, she carries the cross Jesus carries. In fact, she is standing beside the cross together with the mother of Jesus and John the beloved.

However, Mary’s love is even bigger than death. She is the first person who visits the tomb early in the morning. We recall that after Jesus died on the cross, his body was hastily brought to the tomb by Nicodemus and Joseph Arimathea because the Sabbath was drawing near. During Sabbath, Jews are not allowed to bury the dead. Mary knows that Jesus’ body was not taken care of properly, and she wants to make sure that Jesus deserves the proper burial. She comes to the tomb to express her love for the last time for the Teacher by anointing the body of Jesus. Yet, she only sees the empty tomb. Fear seizes her. She may think that some bad guys stole, inflicted further damages and desecrated the body. Instinctively, she runs towards the men of authority after Jesus Himself, Peter and John.

After checking the tomb, Peter fails to understand, and he goes back to the house. She also does not understand and weeps for the loss of her love, but unlike Peter, Mary stays at the tomb. In utter confusion and meaninglessness, Mary does not abandon Jesus. Indeed, the Savior does not disappoint and gives Mary Magdalene a singular privilege to witness the resurrected Jesus. Her great love and fidelity lead her to the joy of Resurrection. She becomes the first preacher of Resurrection.

In the Gospel, often female disciples are depicted as a model of love and perseverance. God created man and woman as equal in dignity, but they differ in characters. Indeed, men like Peter, are the figures of authority, but women excel in what often is lacking in male disciples. I have visited many places in Indonesia and the Philippines, and I give talks and reflections, but one thing in common from these places, is that women often outnumber the men. I am newly assigned in Redemptor Mundi Parish, Surabaya, Indonesia, and a simple gaze will prove that more women are attending our daily morning masses.

Mary Magdalene, a woman disciple, shows to us that it is possible to love and to be faithful when things got tough and rough, when life throws us its trash, and when confusion and meaningless seem to reign. Mary is those women who unceasingly pray for the priests despite so many failures they have made Mary are those mothers who make daily sacrifices for their children despite being unappreciated. Mary is those religious sisters who serve the poor committedly despite many setbacks and trails. We must thank many Mary Magdalene around us. They show us that there love truly conquers death and that there is a resurrection in even the senseless empty tomb.

Happy Easter!

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Maria Magdalena dan Kebangkitan

Minggu Paskah [21 April 2019] Yohanes 20: 1-9

mary magdalene at tombMaria Magdalena adalah seorang murid perempuan yang sangat mencintai gurunya, dan sebagai seorang wanita, ada sesuatu yang dia ajarkan kepada kita. Lukas mengatakan dalam Injilnya bahwa Maria adalah sebagai seorang wanita “yang darinya tujuh setan keluar” [lihat Luk 8:2]. Pastinya merupakan pengalaman yang mengerikan untuk disiksa oleh tujuh setan, dan ketika Yesus menyembuhkannya, ia mengungkapkan rasa terima kasihnya yang mendalam dengan mengikuti Yesus. Sebagai salah satu murid Yesus, ia terbukti paling setia kepada gurunya. Ketika banyak pengikut Yesus melarikan diri untuk menyelamatkan hidup mereka, dan bahkan Petrus, tokoh utama dalam kelompok itu, menyangkal Yesus, Maria mengikuti Yesus dalam jalan Salib-Nya sampai akhir. Dia menerima penghinaan yang Yesus terima, dia menanggung malu yang Yesus tanggung. Bahkan, dia berdiri di samping salib bersama dengan ibu Yesus dan Yohanes yang terkasih.

Namun, cinta Maria bahkan lebih besar daripada kematian. Dia adalah orang pertama yang mengunjungi makam Yesus pagi-pagi buta. Kita ingat bahwa setelah Yesus mati di kayu salib, tubuhnya dengan tergesa-gesa dibawa ke makam oleh Nikodemus dan Joseph Arimathea karena hari Sabat semakin dekat. Selama hari Sabat, orang Yahudi tidak diizinkan untuk menguburkan orang mati. Maria tahu bahwa tubuh Yesus tidak dirawat dengan baik, dan dia ingin memastikan bahwa Yesus mendapatkan penguburan yang layak. Dia datang ke makam untuk mengekspresikan cintanya yang terakhir kalinya bagi sang Guru. Namun, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Maria hanya melihat makam kosong. Ketakutan luar biasa merasuki dirinya. Dia mungkin berpikir bahwa beberapa pria jahat mencuri dan menodai tubuh sang Guru. Secara naluriah, dia berlari kepada para pemimpin Gereja setelah Yesus sendiri, Petrus dan Yohanes.

Setelah memeriksa makam, Petrus gagal untuk mengerti apa yang terjadi, dan dia kembali ke rumah. Maria juga tidak mengerti dan menangisi kehilangan cintanya, tetapi ada perbedaan yang signifikan, tidak seperti Petrus, Maria tidak meninggalkan makam. Dalam kebingungan dan ketidakberartian, Maria tidak meninggalkan Yesus. Sungguh, Juruselamat tidak mengecewakan dan memberi Maria Magdalena hak istimewa untuk menyaksikan Yesus yang telah bangkit. Cinta dan kesetiaannya yang luar biasa menuntunnya ke sukacita Kebangkitan. Dia pun menjadi pewarta pertama akan Yesus yang bangkit.

Dalam Injil, seringkali murid perempuan digambarkan sebagai model cinta kasih, kesetiaan dan ketekunan. Tuhan menciptakan pria dan wanita setara dalam martabat, tetapi mereka berbeda dalam karakter. Memang, pria seperti Petrus, adalah figur otoritas, tetapi wanita unggul dalam apa yang sering kurang pada murid pria. Saya telah mengunjungi banyak tempat, komunitas dan gereja di Indonesia dan Filipina, dan satu hal yang sama dari tempat-tempat ini, adalah bahwa wanita sering kali lebih banyak jumlahnya dari kaum pria. Saya baru saja ditugaskan di Paroki Redemptor Mundi, Surabaya, Indonesia, dan pandangan sederhana akan membuktikan bahwa lebih banyak wanita menghadiri misa pagi harian kami.

Maria Magdalena, seorang murid perempuan, menunjukkan kepada kita bahwa adalah mungkin untuk mencintai dan setia ketika segala sesuatu menjadi sulit, ketika hidup melempari kita segala permasalahan, dan ketika kebingungan dan ketidakberartian tampaknya berkuasa. Maria Magdalena adalah wanita-wanita yang terus-menerus berdoa untuk para imam meskipun begitu banyak kegagalan yang mereka buat. Maria adalah para ibu yang berkorban setiap harinya untuk anak-anak mereka meskipun tidak dihargai. Maria adalah para suster religius yang melayani orang miskin dengan penuh komitmen meskipun ada banyak jalan terjal dan gosip tidak sedap yang harus dihadapi. Kita harus berterima kasih banyak kepada Maria Magdalena di sekitar kita. Mereka menunjukkan kepada kita bahwa di sana kasih benar-benar mengalahkan maut, dan bahwa ada kebangkitan bahkan di kubur kosong yang tidak masuk akal.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Our Core Memories

Palm Sunday of the Lord’s Passion [April 14, 2019] Luke 19:28-40/Luke 23:1-49

“Blessed is the king who comes in the name of the Lord (Luk 19:38).”

jesus enter jerusalem 3One of the greatest gifts to humanity is the gift of memory. It gives us a sense of identity. Biology teaches us that almost all our body parts are being replaced over the years. One-year-old Stephen is biologically different from thirty-year-old Stephen. All bodily cells, with the sole exception of his eyes’ lens, are changed. What unites thirty-year-old Stephen with his younger self as well as his future self is his memory.

Not only does memory enable us to connect to ourselves, but it also relates us to other people. We are able to recognize our parents, siblings, and friends because we remember all the good thing, we have received from them. Our memories shape who we are. Thus, the illness that ruins our memories like Alzheimer, is one of the most heinous. Persons with Alzheimer gradually can no longer remember persons who love them; they even cannot recall doing their basic functions like eating and going to the restroom.

One of the uniqueness of human beings is that we do not have only individual memory, but we have communal memory. These common memories are passed through generations, and these form the identity of a group. We are Indonesians, Filipinos, Indians, Americans, or other nations because we have common memories that unite us as a nation. When a nation is inflicted by a kind “Alzheimer” that destroys its common memory, it begins to lose its identity as a nation. Cardinal Robert Sarah from Guinea reminds that Europe is in crisis and in danger of dissolution. He argues that the reason is that the European people began to forget their historical and cultural roots, their common memories.

We Christian share the core and fundamental memory. Palm Sunday or Jesus’ entrance to Jerusalem marks the beginning of the most important drama of the Gospel, the drama of the Holy Week. The memory was so significant to the early Christians that the episode was recorded in all four Gospels with great details (Mat 21:1-11, Mark 11:1-11, and John 12:12-19), though with some different emphases. We may even say that the Holy Week especially the Last Supper, the Passion, and Resurrection are the core and foundational memory of every true Christian.

This explains why the Church celebrates Holy Week every year, not because she simply wants to have big events, but because this celebration reconnects us with the core memories that make us as Christians. Yet, we do not only remember the events of the past; we are not just spectators. Through the power of the liturgy, we relive the fundamental stories of Jesus Christ. Together with Christ, we enter Jerusalem. Together with Him, we celebrate the Passover. Together with Him, we are persecuted, crucified and we die. Together with Him, we are buried in the dark tomb. But together with Him, we are raised from the dead.

However, it is our choice whether to follow Him or go against Him: to become people who shout “Hosanna” or people who cry “Crucify Him”; to become a disciple who walks the way of the cross or disciples who run away from Him; to be crucified with Jesus or to crucify Jesus. But it is only the true followers of Jesus who can together with Him be raised from the dead. Holy Week is our time to make that choice: to follow Jesus or to go against Him.

Deacon Valentinus Bayuhadi Rusneo, OP

Memori Kita

Hari Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan [14 April 2019] Lukas 19: 28-40 / Lukas 23: 1-49

jesus enter jerusalem 2Salah satu karunia terbesar bagi umat manusia adalah memori. Ini memberi kesadaran akan identitas kita. Biologi mengajarkan kita bahwa hampir semua bagian tubuh kita akan tergantikan saat kita hidup. Stephen yang berusia satu tahun secara biologis berbeda dari Stephen yang berusia tiga puluh tahun. Semua sel tubuhnya telah digantikan dan akan terus digantikan sampai ia wafat. Apa yang menyatukan Stephen yang berusia tiga puluh tahun dengan dirinya yang lebih muda serta diri di masa depannya adalah ingatannya.

Memori tidak hanya memungkinkan kita terhubung dengan diri kita sendiri, tetapi juga menghubungkan kita dengan orang lain. Kita dapat mengenali orang tua, saudara, dan teman-teman kita karena kita mengingat semua hal baik yang kita terima dari mereka. Ingatan kita membentuk siapa kita. Jadi, penyakit yang merusak ingatan kita seperti Alzheimer, adalah salah satu yang paling kejam. Orang-orang dengan Alzheimer secara bertahap tidak lagi dapat mengingat orang-orang yang mencintai mereka, dan bahkan mereka tidak dapat mengingat melakukan fungsi dasar mereka seperti makan dan pergi ke kamar kecil.

Salah satu keunikan manusia adalah bahwa kita tidak hanya memiliki ingatan individu, tetapi kita memiliki ingatan bersama. Ingatan bersama ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan ini membentuk identitas kelompok. Kita adalah orang Indonesia, Filipina, India, Amerika, atau bangsa lain karena kita memiliki memori bersama yang menyatukan kita sebagai suatu bangsa. Ketika suatu bangsa dipengaruhi oleh jenis “alzhaimer” yang menghancurkan ingatan bersama mereka, mereka mulai kehilangan identitas mereka sebagai suatu bangsa. Kardinal Robert Sarah dari Guinea mengingatkan bahwa Eropa sedang dalam krisis dan dalam bahaya pembubaran. Dia berpendapat bahwa alasannya adalah bahwa orang-orang Eropa mulai melupakan akar sejarah dan budaya mereka, memori bersama mereka.

Kita umat Kristiani berbagi memori inti dan fundamental yang sama. Minggu Palma atau Yesus yang memasuki kota Yerusalem menandai dimulainya drama Injil yang paling penting, drama Pekan Suci. Memori ini begitu penting bagi pengikut Yesus perdana sehingga episode ini direkam dalam keempat Injil dengan sangat rinci (Mat 21: 1-11, Markus 11: 1-11, dan Yohanes 12: 12-19), meskipun dengan beberapa tekanan berbeda. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa Pekan Suci terutama Perjamuan Terakhir, Kisah Sengsara, Wafat dan Kebangkitan adalah memori inti dan mendasar dari setiap orang Kristiani sejati.

Inilah mengapa Gereja merayakan Pekan Suci setiap tahun bukan karena ia hanya ingin mengadakan acara besar, tetapi perayaan ini menghubungkan kembali kita dengan memori inti yang menjadikan kita sebagai orang Kristiani. Namun, kita tidak hanya mengingat peristiwa masa lalu, dan kita bukan hanya sekedar penonton. Melalui kekuatan liturgi, kita menghidupkan kembali kisah-kisah mendasar tentang Yesus Kristus. Bersama dengan Kristus, kita memasuki Yerusalem. Bersama-sama dengan Dia, kita merayakan Perjamuan Terakhir. Bersama-sama dengan Dia, kita dianiaya, disalibkan dan mati. Bersama-sama dengan Dia, kita dimakamkan di makam yang gelap. Dan bersama-sama dengan Dia, kita dibangkitkan dari kematian.

Namun, itu adalah pilihan kita untuk mengikuti-Nya atau melawan-Nya: untuk menjadi orang-orang yang berseru “Hosanna” atau orang-orang yang berteriak “Salibkan Dia”; untuk menjadi seorang murid yang berjalan di jalan salib atau murid-murid yang melarikan diri dari-Nya; untuk disalibkan bersama Yesus atau untuk menyalibkan Yesus. Sekarang hanya pengikut Yesus yang benar yang dapat bersama-sama dengan Yesus dibangkitkan dari kematian. Pekan Suci adalah waktu kita untuk membuat pilihan untuk mengikuti Yesus atau untuk melawan Dia.

Diakon Valentinus Bayuhadi Rusneo, OP

The Woman and Jesus’ Mercy

5th Sunday of Lent [April 7, 2019] John 8:1-11

adulterous woman 3Adultery is a serious sin according to the Law of Moses. It is a violence against the Basic Law, the Ten Commandments. It is in fact, one of the few crimes that are punishable by death [Lev 20:10]. Why so cruel? It is a grave sin because adultery profanes the holiness of marriage and the gift of sexuality. In the Book of Genesis, God has willed that man and woman through marriage and their sexuality participate in God’s work of creation and caring of creation. Since marriage is a sacred calling, violation to this holy mission is an utmost insult to God who calls man and woman into marriage.

Some Jewish people bring a woman caught in adultery to Jesus. It is a tough dilemma for Jesus who knows well the Law of Moses. If Jesus agrees to stone the woman, He upholds the Law of Moses, but He is going to invalidate His preaching of mercy and forgiveness. If Jesus refuses to condemn the woman, He violates the Law of Moses, condones the evil committed by the woman, and denies the justice of God. Stoning means he is not merciful but refusing to stone means he is not just. “Damned if you do, damned if you don’t”.

Jesus then begins to write on the ground. The Gospel does not specify what Jesus writes, but we may come up with an intelligent guess. In original Greek, to write is “grapho”, but in this episode, the word used is “katagraho”, and this can be translated as “to write against”. Jesus is writing the sins of the people who brought the woman. Jesus says, “Let the one among you who is without sin be the first to throw a stone at her (Jn. 8:7).” After Jesus reveals their sins, they realize that they themselves deserve to be stoned. They go away, leaving Jesus and the woman.

The Law of Moses states that both man and woman caught in adultery shall be punished, but where is the man? Jesus points out that she is merely a pawn used to trick Jesus, and some are ready to sacrifice this woman just to get what they want. Her humanity is disregarded, her identity as a daughter of God is trampled, and she is treated as a mere tool. Manipulating our neighbors, especially the weak and the poor, for our own gain is a graver sin than adultery!

Jesus knows that the woman has committed a serious sin, but she herself is a victim of injustice and more serious sin. Jesus surely hates evil, but He forgives the woman and gives her a second chance because He understands what has happened to her. She has fallen into sin because of her human weakness and temptation, but God is greater than all ugly things that has befallen her, if she just repents and goes back to God.

There was a movie entitled “Malena”. It was the story of a beautiful woman in an Italian rural village during World War II. She received news that her husband died in the war. After this, her father, her only family, also died when the German planes bombed their village. Because of the poverty and desperation to survive, she was forced into prostitution, even to serve the German soldiers. After the loss of German forces, the villagers condemned her not only as a whore but also as a traitor. She was expelled from the village with humiliation. Surprisingly, her husband came back to the village, alive. He learned of what happened to his wife. Instead of condemning his wife, and looking for another wife, he fetched his wife and brought her back to the village. He proudly walked with his wife around the village as if telling everyone, “it is not her fault that she becomes a prostitute. She is still my faithful wife!”

Mercy gives justice is the beauty. With mercy, we see the bigger picture of our own and other people’s failures. Mercy empowers us to be patient with others and ourselves.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rahmat Yesus dan Sang Perempuan

Minggu Prapaskah ke-5 [7 April 2019] Yohanes 8: 1-11

adulterous woman 1Perzinahan adalah dosa serius menurut Hukum Musa. Ini adalah pelanggaran terhadap Sepuluh Perintah Allah. Pezinahan adalah satu dari sedikit dosa yang bisa dihukum mati [Im 20:10]. Kenapa begitu kejam? Ini adalah dosa besar karena perzinahan mencemarkan kekudusan pernikahan dan karunia seksualitas. Dalam Kitab Kejadian, Tuhan menghendaki pria dan wanita melalui pernikahan dan seksualitas mereka berpartisipasi dalam karya penciptaan. Karena pernikahan adalah panggilan suci, pelanggaran terhadap misi suci ini adalah salah satu penghinaan terbesar bagi Allah yang memanggil pria dan wanita ke dalam pernikahan.

Beberapa orang Yahudi membawa seorang wanita yang tertangkap dalam perzinahan kepada Yesus. Ini adalah dilema yang sulit bagi Yesus yang menjalankan dengan baik Hukum Musa. Jika Yesus setuju untuk melempari wanita itu dengan batu, Ia menegakkan Hukum Musa, tetapi Ia akan membatalkan pemberitaan belas kasih dan pengampunan-Nya. Jika Yesus menolak untuk mengutuk wanita itu, Dia melanggar Hukum Musa, mentolerir kejahatan yang dilakukan oleh wanita itu, dan menyangkal keadilan Allah. Merajam berarti Yesus tidak berbelas kasihan tetapi menolak untuk melempar batu berarti Dia tidak adil. “Bagaikan memakan buah simalakama.”

Yesus kemudian mulai menulis di tanah. Injil tidak menjelaskan secara spesifik apa yang ditulis oleh Yesus, tetapi kita mungkin dapat menebaknya. Dalam bahasa Yunani asli, menulis adalah “grapho”, tetapi dalam episode ini, kata yang digunakan adalah “katagraho”, dan ini dapat diterjemahkan sebagai “menulis tuntutan”. Yesus menulis dosa-dosa orang-orang yang membawa wanita tersebut. Yesus berkata, “Biarlah orang di antara kamu yang tanpa dosa menjadi yang pertama melemparkan batu ke arahnya (Yoh 8: 7).” Setelah Yesus mengungkapkan dosa-dosa mereka, mereka menyadari bahwa mereka sendiri layak dirajam. Mereka pergi, meninggalkan Yesus dan wanita itu.

Hukum Musa menyatakan bahwa pria dan wanita yang tertangkap dalam perzinahan akan dihukum, tetapi di mana sang pria? Kenapa hanya perempuan yang diadili? Yesus menunjukkan bahwa sang perempuan hanyalah pion yang digunakan untuk menjebaka Yesus, dan beberapa orang Yahudi siap untuk mengorbankan wanita ini hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kemanusiaannya diabaikan, identitasnya sebagai putri Allah diinjak-injak, dan ia diperlakukan sebagai alat belaka. Memanipulasi sesama kita, terutama yang lemah dan yang miskin, demi keuntungan kita sendiri adalah dosa yang lebih besar daripada perzinahan!

Yesus tahu bahwa wanita itu telah melakukan dosa serius, tetapi dia sendiri adalah korban ketidakadilan dan dosa yang lebih berat. Yesus tentu membenci kejahatan, tetapi Dia mengampuni wanita itu dan memberinya kesempatan kedua karena Dia mengerti apa yang terjadi padanya. Dia jatuh ke dalam dosa karena kelemahan manusia dan godaannya, tetapi Tuhan jauh lebih besar dari segala hal buruk yang menimpannya, jikalah dia bertobat dan kembali kepada Tuhan.

Ada film berjudul “Malena”. Itu adalah kisah tentang seorang wanita cantik di pedesaan Italia selama Perang Dunia II. Dia menerima kabar bahwa suaminya meninggal dalam perang. Setelah ini, ayahnya, satu-satunya keluarganya, juga meninggal ketika pesawat Jerman membom desa mereka. Karena kemiskinan dan keputusasaan untuk bertahan hidup, dia terpaksa menjadi pelacur, bahkan untuk melayani tentara Jerman. Setelah kekelahan pasukan Jerman, penduduk desa mengutuknya, tidak hanya sebagai pelacur tetapi juga sebagai pengkhianat. Dia diusir dari desa dengan penghinaan. Namun, sesuatu yang mengejutkan terjadi, ternyatanya, suaminya tidak meninggal, dan kembali ke desa. Setelah dia mengetahui apa yang terjadi pada istrinya, alih-alih mengutuk istrinya, dan mencari wanita, ia menjemput istrinya dan membawanya kembali ke desa. Dia dengan bangga berjalan bersama istrinya di sekitar desa seolah-olah memberi tahu semua orang, “bukan salahnya kalau dia menjadi pelacur. Dia masih istriku yang setia!”

Kerahiman memberi keadilan yang tegas keindahannya. Dengan belas kasihan, kita melihat gambaran yang lebih besar dari kegagalan kita sendiri dan orang lain. Rahmat memberdayakan kita untuk bersabar dengan orang lain dan diri kita sendiri.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP