The Requirement of Love

Sixth Sunday of Easter [May 26, 2019] John 14:23-29

“Whoever loves me will keep my word… (Jn. 14:23)”

adult and child hands holiding red heart, health care love and family concept

The basic form of love is obedience, and the minimum of love is to obey the Law. We can say “I love you”, but do not do what we ought to do as a lover. That’s a plain lie. A man asked a priest whether it is ok to say “I love you” during the Lenten season, especially during the days of fasting and abstinence. The priest immediately replied that it was a violation of God’s Law. The answer shocked the young man, and he asked why. The priest answered, “It is a violation because surely you tell a lie to your girlfriend!”

When we say that we love someone, but we fail to do what is required, we just hurt ourselves and the persons we love. When a child loves his mother, he will follow the instructions coming from his mother even though he does not understand why. Yet, sometimes, a child gets stubborn and refuses his mother’s plea to stop playing outside because it is time for study. This hurts the mother and father who have worked hard to pay the education and long for a better future for their son. In the long run, it also hurts the child and his future.

The same with our love for God, we need to do at least the basic, to observe His Law. From the Old Testament, we have ten commandments. We cannot say that we love the Lord, but we put our faith also in other “gods and idols”. We profess only one and true God, but we also believe in Horoscope, Feng Shui, and superstitions. We go to the Church every Sunday, but in our houses, we collect all kind of statues of animals for charm and luck. We believe in God who is just, but we steal the money or things from the government or the companies.

In the New Testament, we have the New Commandment: love one another as Jesus has loved us. Unfortunately, what we say is different from what we do. We attend the prayer meeting and shout to the top of our voices that we love Jesus, but we still are not able to forgive our enemies and still wish that they be dead. We pray the rosary regularly, but we do not even care for our ageing mothers at home. We say that we condemn the killing of the babies in other countries, but we get easily angry and make our wives as punching bags.

When we say that we love the Lord, but we do not keep His commandment, it hurts God’s heart. Perhaps, it is more hurtful than people who never say love at all to God. We can learn from our brothers and sisters who lived when the Church was still very young. Living in a hostile Roman Empire, they acknowledged that they were Christians means capital punishment. They were a good and a law-abiding citizen of Rome, except for one thing: they refused to worship Caesar. The Roman government believed that the unifying factor of the vast and diverse empire was the cult of the emperor as the embodiment of the Roman spirit. Any Roman citizen was required to offer incense and proclaimed, “Hail, Caesar is Lord.” Then, they may worship their other gods. Christians refused to do this because they loved Jesus dearly as their God, and as proof of their love, they were ready to offer their own lives.

It is the same with us. God loves us immensely that every time we do not observe His Law, we hurt God and make Him jealous. If we cannot do the essential requirement of love, our words are empty and our love cheap.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Persyaratan Kasih

Minggu Paskah keenam [26 Mei 2019] Yohanes 14: 23-29

“Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku… (Yoh. 14:23)”

old-people-handsBentuk dasar dari kasih adalah ketaatan, dan tindakan sederhana dari kasih adalah mematuhi Hukum. Kita tidak bisa mengatakan, “Aku mencintaimu,” tetapi kita tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai seorang kekasih. Hal ini sama saja dengan sebuah kebohongan yang buruk. Seorang pria bertanya kepada seorang imam apakah boleh mengatakan “I love you” kepada pacarnya, selama masa Prapaskah, terutama selama hari-hari puasa dan pantang. Imam itu segera menjawab bahwa itu adalah pelanggaran terhadap Hukum Tuhan. Jawabannya mengejutkan pemuda itu, dan dia bertanya mengapa. Pastor itu menjawab, “Itu pelanggaran karena pasti kamu bohong kepada pacarmu!”

Ketika kita mengatakan bahwa kita mencintai seseorang, tetapi kita gagal melakukan apa yang seharusnya dilakukan, kita hanya menyakiti diri sendiri dan orang yang kita cintai. Ketika seorang anak mencintai ibunya, dia akan mengikuti perintah yang datang dari ibunya meskipun dia tidak mengerti mengapa. Tetapi, kadang-kadang, seorang anak menjadi keras kepala dan menolak permintaan ibunya untuk berhenti bermain di luar karena sudah waktunya untuk belajar. Ini menyakitkan sang orang tua yang telah bekerja keras untuk membiayai pendidikan dan merindukan masa depan putra mereka yang lebih baik. Dalam jangka panjang, itu juga menyakiti anak dan masa depannya.

Sama dengan kasih kita kepada Tuhan, kita perlu melakukan setidaknya hal yang dasar yakni mematuhi Hukum-Nya. Dari Perjanjian Lama, kita memiliki sepuluh perintah Allah. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan, tetapi kita juga menaruh iman kita pada “dewa dan berhala” lainnya. Kita hanya mengakui Allah yang benar, tetapi kita juga percaya pada Horoskop, Feng Shui, dan takhayul. Kita pergi ke Gereja setiap hari Minggu, tetapi di rumah-rumah kita, kita mengumpulkan semua jenis patung binatang untuk keberuntungan. Kita percaya pada Tuhan yang adil, tetapi kita mencuri uang atau barang-barang dari pemerintah atau perusahaan.

Dalam Perjanjian Baru, kita memiliki Perintah Baru: saling mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita. Sayangnya, apa yang kita katakan berbeda dari apa yang kita lakukan. Kita menghadiri pertemuan doa dan berteriak dengan suara lantang bahwa kita mencintai Yesus, tetapi kita masih tidak dapat mengampuni musuh-musuh kita dan masih berharap bahwa mereka celaka. Kita berdoa rosario secara teratur, tetapi kita bahkan tidak peduli dengan ibu kita yang sudah lanjut usia di rumah. Kita mengutuk pembunuhan bayi-bayi di negara lain, tetapi kita dengan mudah marah dan menjadikan istri kita sebagai objek pelampiasan amarah kita.

Ketika kita mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan, tetapi kita tidak mematuhi perintah-Nya, itu menyakiti hati Tuhan. Mungkin, ini lebih menyakitkan daripada orang yang tidak pernah mengatakan cinta sama sekali kepada Tuhan. Kita dapat belajar dari saudara dan saudari kita yang hidup ketika Gereja masih sangat muda. Mereka hidup di Kekaisaran Romawi, dan dengan hanya mengakui bahwa mereka adalah umat Kristiani, ini berarti hukuman mati. Sebenarnya, mereka adalah warga negara Roma yang baik dan taat hukum, kecuali satu hal: mereka menolak untuk menyembah sang Kaisar. Pemerintah Romawi percaya bahwa faktor pemersatu kekaisaran yang luas dan beragam adalah pemujaan kaisar sebagai perwujudan dari semangat Romawi. Setiap warga negara Romawi diwajibkan untuk mempersembahkan dupa dan menyatakan, “Salam, Kaisar adalah Tuhan.” Kemudian, mereka dapat menyembah dewa-dewa mereka yang lain. Umat Kristiani menolak untuk melakukan ini karena mereka sangat mengasihi Yesus sebagai Tuhan mereka, dan sebagai bukti kasih mereka, mereka siap untuk mengorbankan hidup mereka sendiri.

Sama halnya dengan kita. Tuhan sangat mengasihi kita bahwa setiap kali kita tidak mematuhi Hukum-Nya, kita menyakiti Tuhan. Jika kita tidak dapat melakukan persyaratan dasar cinta kasih, kata-kata kita kosong dan cinta kita tidak ada artinya.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

New Commandment: Agape

5th Sunday of Easter [May 19, 2019] John 13:31-33a, 34-35

childrenAt the Last Supper, after Jesus washed the feet of the disciples, He gives them a new commandment: “love one another as I have loved you”. If there is one single, most beautiful line in the Gospel of John or even in the entire Bible, this would be one of the strongest candidates. However, why does Jesus give us a new commandment?

To understand what Jesus does in the Last Supper, we need to go back to the Old Testament, particularly when the Lord God gave His commandments. After the Lord God delivered Israel from the slavery of Egypt, He made a covenant with them through the mediation of Moses. They shall be God’s people and the Lord shall be their God. This was the fundamental step in the life of Israel because God formed them as the People of God. This was an unprecedented privilege and grace, but with great privilege comes the great responsibility. God wanted them to live as the People of God and not as the other nations that surrounded them. Thus, the Lord gave them the Law that would separate them from other peoples who worshiped false gods, and the most fundamental among these laws are the Ten Commandments. If they stubbornly failed to observe the Law and lived as if like the Gentiles, they would be cut off from the People of God.

At the Last Supper, Jesus does the same as His Father in the desert. He forms His disciples, His family, His Church by giving them a New Law, the Law of Love. Only when the disciples keep the New Law, they will be different from the rest of nations, and they may call themselves as the followers of Jesus. At first, we may perceive that Jesus’ new law is easier done than the Ten Commandment. Yet, when we go deeper to the meaning of love understood by Jesus, it is actually the opposite. Jesus’ Law is much more difficult and tougher to do. Why?

In Greek of the New Testament, there are several words for love. “Eros” is the love between husband and wife. “Philia” is love among friends. None of these two Jesus used to describe His love. It is “agape”. While eros and philia are love based on emotion, agape is love rooted in free will. It is the love of action. That is why Jesus is able to teach us to love our enemies. Jesus does not say we should like our enemies because it is naturally impossible, but we can still do good to our enemies despite the hatred and anger.

But, this agape is not just any agape, it is agape of Jesus. For Him, there is no greater love than one who lays down his life for his friends. Agape of Jesus is sacrificial. It is Jesus’ cross as well as His glory. Only when we love to the point of sacrifice, we may say that we have kept Jesus’ commandment.

Muelmar “Toto” Magallanes was a young Filipino who worked as a construction worker. In 2009, monstrous tropical storm Ondoy battered Metro Manila and caused an instant flood in many areas. When his area was flooded, Toto first brought to safety his family. Yet, he did not stop there. He decided to rescue others who were still trapped by the mighty water. Braving the strong current, he saved more than 30 people. He was already exhausted when he realized a mother and her baby were still in danger. He made his last rescue attempt and brought the mother and her baby to the higher ground. Yet, losing his strength, he was swept by the current. He was lifeless the following day. “He gave his life for my baby,” Menchie Penalosa, the child’s mother, told Agence France-Presse. “I will never forget his sacrifice.”

This is the new commandment of Jesus and only by keeping His Commandment, we can become His authentic disciples.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Perintah Baru: Agape

Minggu Paskah ke-5 [19 Mei 2019] Yohanes 13: 31-33a, 34-35

love new commandmentPada Perjamuan Terakhir, setelah Yesus membasuh kaki para murid, Dia memberi mereka perintah baru: “Kasihanilah satu sama lain seperti Aku telah mengasihi kamu”. Namun, mengapa Yesus perlu memberi kita perintah baru?

Untuk memahami apa yang Yesus lakukan dalam Perjamuan Terakhir, kita perlu kembali ke Perjanjian Lama, khususnya ketika Tuhan Allah memberikan Hukum-Nya. Setelah Tuhan Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, Dia membuat perjanjian dengan mereka melalui perantaraan Musa. Mereka akan menjadi umat Tuhan dan Tuhan Allah akan menjadi Tuhan mereka. Ini adalah langkah mendasar dalam kehidupan Israel karena Allah membentuk mereka sebagai Umat-Nya. Ini adalah hak istimewa dan rahmat yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi dengan hak istimewa yang besar ini diikuti oleh tanggung jawab besar. Tuhan ingin mereka hidup sebagai Umat Allah dan bukan sebagai bangsa lain yang mengelilingi mereka. Jadi, Tuhan memberi mereka Hukum yang akan memisahkan mereka dari orang-orang lain yang menyembah dewa-dewa palsu, dan yang paling mendasar di antara hukum-hukum ini adalah Sepuluh Perintah Allah. Jika mereka dengan keras kepala gagal mematuhi Hukum Allah dan hidup seolah-olah seperti bangsa-bangsa lain, mereka akan disingkirkan dari Umat Allah.

Pada Perjamuan Terakhir, Yesus melakukan hal yang sama seperti Bapa-Nya di padang gurun. Dia membentuk murid-murid-Nya, keluarga-Nya, Gereja-Nya dengan memberi mereka Hukum Baru, Hukum Kasih. Hanya ketika para murid mematuhi Hukum Baru, mereka akan berbeda dari bangsa-bangsa lain, dan mereka dapat menyebut diri mereka sebagai pengikut Yesus. Pada awalnya, kita dapat merasakan bahwa hukum baru Yesus lebih mudah dilakukan daripada Sepuluh Perintah Allah. Namun, ketika kita masuk lebih dalam ke makna kasih yang dipahami oleh Yesus, kita mulai menyadari bahwa Hukum Yesus jauh lebih sulit untuk dilakukan. Mengapa?

Dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru, ada beberapa kata untuk kasih. “Eros” adalah kasih antara suami dan istri. “Philia” adalah kasih di antara teman-teman. Tidak satu pun dari kedua kata ini yang digunakan untuk menggambarkan kasih-Nya. Itu adalah “agape”. Sementara eros dan philia adalah cinta berdasarkan perasaan, agape adalah cinta yang berakar pada kehendak bebas. Itu adalah kasih tindakan. Itulah sebabnya Yesus dapat mengajar kita untuk mengasihi musuh kita. Yesus tidak mengatakan kita harus menyukai musuh kita karena itu secara alami tidak mungkin, tetapi kita masih bisa berbuat baik kepada musuh kita meskipun ada kebencian dan kemarahan.

Tetapi agape ini bukan sembarang agape. Bagi-Nya, tidak ada kasih/agape yang lebih besar daripada seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Agape Yesus adalah pengorbanan. Itu adalah salib Yesus dan juga kemuliaan-Nya. Hanya ketika kita mengasihi sampai pada titik pengorbanan, kita dapat mengatakan bahwa kita telah mematuhi perintah Yesus.

Muelmar “Toto” Magallanes adalah seorang pemuda Filipina yang bekerja sebagai pekerja konstruksi. Pada 2009, badai tropis Ondoy yang dahsyat menghantam Metro Manila dan menyebabkan banjir di banyak daerah. Ketika daerahnya dilanda banjir, Toto pertama-tama membawa keluarganya ke tempat aman. Namun, dia tidak berhenti di situ. Dia memutuskan untuk menyelamatkan orang lain yang masih terjebak. Menantang arus kuat, dia menyelamatkan lebih dari 30 orang. Dia sudah kelelahan ketika menyadari seorang ibu dan bayinya masih dalam bahaya. Dia melakukan upaya penyelamatan terakhirnya dan membawa ibu dan bayinya ke tempat yang lebih tinggi. Namun, kehilangan kekuatannya, ia tersapu oleh arus. Dia ditemukan tak bernyawa pada hari berikutnya. “Dia memberikan hidupnya untuk bayiku,” Menchie Penalosa, ibu yang bayinya diselamatkan, mengatakan kepada Agence France-Presse. “Aku tidak akan pernah melupakan pengorbanannya.”

Ini adalah perintah baru Yesus dan hanya dengan mematuhi Perintah-Nya, kita dapat menjadi murid-murid-Nya yang otentik.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hearing His Voice

Fourth Sunday of Easter [May 12, 2019] Jn 10:27-30

“My sheep hear my voice; I know them, and they follow me. (Jn. 10:27)”

jesus shepherdFew of us have a direct encounter with a sheep, let alone shepherding sheep. When Jesus says, “My sheep hear my voice.” I thought it was a kind exaggeration. After all the sheep is not that intelligent compared to the Golden Retriever or Labrador who would listen to their owners. However, one time, I watched a video on YouTube about a group of tourists who visited the vast hill in the countryside of Judea where the flock was grazing. They were asked to call the attention of the sheep. One by one, the tourists shouted to the top of their lungs, but they got not even the slightest response. Yet, when the true shepherd came forward and called them out, all the scattered sheep immediately rushed toward the shepherd! It was an eye-opener. Jesus was right. The sheep literally hear the voice of His shepherd.

The sheep in Judea are raised both for wool and for sacrifice. Especially those intended for wool production, the shepherd shall live together with his flock for years. No wonder if he knows well each sheep, its characters, and even its unique physical features. He will call them by name like ‘small-feet’ or ‘large-ears.’

Modern men and women, especially the Millennials, are heavily visual creatures. Thanks to smartphones, TV, and computers, our span of attention becomes shorter and shorter. One scientist even says that our span of attention is one second shorter than of the goldfish! The teachers or speakers must use all the visual aids to catch the attention of young listeners. PowerPoint presentation is a minimum requirement nowadays, and the teachers need to move all their body’s parts, to crack a joke, to sing, to dance, even to summersault! Simply listening to a plain talk is tedious, and to read a bare and long text like this reflection is boring. This is also one of the reasons why young people are leaving the Church because they experience the Church, especially her preachers, as boring and dry. After five minutes listening to the preacher, we begin to be restless, checking our watch, scratching our heads, and dozing off!

However, hearing remains fundamental because hearing is the key to following Jesus. We call ourselves, Christians, the follower of Christ, and how can we follow Christ if we do not recognize His voice? While the sense of sight attracts us, sense of hearing remains signs of intimacy and love. Like a sheep that identifies the shepherd’s voice because the shepherd takes care of it, so we recognize the voice of someone we love. I have been hearing the voice of my mother since I was inside her womb, and even when I close my eyes, I can still acknowledge her voice. I can even identify whether she is happy, sad, or angry when she calls my name.

One time, a young man asked me, “Brother, how do we know God’s will?” I replied, “Do you hear His voice?” He immediately said, “I pray, but I never heard a voice.” I said in reply, “Ah, how are you going to hear His voice if you talk all the time? And how are you going to know His voice, if you seldom give your time with Him?” To follow Jesus means that we are able to hear Jesus, and to recognize His voice presupposes we have a loving and strong relationship with Him

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mendengar Suara-Nya

Minggu Paskah keempat [12 Mei 2019] Yoh 10: 27-30

“Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, (Yoh 10:27)”

jesus shepherd 2Ketika Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku.” Saya pikir itu agak berlebihan. Kita tahu domba-domba adalah hewan yang tidak secerdas anjing Golden Retriever atau Labrador yang bisa mendengarkan instruksi dari pemiliknya. Namun, suatu kali, saya menonton video di YouTube tentang sekelompok wisatawan yang mengunjungi bukit luas di pedesaan Yudea di mana kawanan domba sedang merumput. Mereka diminta untuk menarik perhatian domba. Satu demi satu, para wisatawan berteriak dengan lantang, tetapi mereka tidak mendapat tanggapan sedikit pun. Namun, ketika sang gembala maju dan memanggil mereka, semua domba yang tercerai-berai segera bergegas menuju gembala itu dan mengerumuni dia! Sungguh menakjubkan! Yesus sungguh benar. Domba-domba sungguh mendengar suara gembala-Nya.

Domba-domba di Yudea dibesarkan untuk wol dan sebagai hewan korban. Khususnya untuk jenis domba-domba yang diperuntukkan bagi produksi wol, mereka akan hidup bersama-sama dengan sang gembala selama bertahun-tahun. Tidak heran jika sang gembala mengenal dengan baik setiap domba, karakternya, dan bahkan fitur fisiknya yang unik. Dia akan memanggil mereka dengan nama seperti ‘si kaki kecil’ atau ‘si telinga besar.’ Dan kawanan domba pun mengenal suara sang gembala.

Berbeda dengan domba, pria dan wanita modern, terutama kaum Millennial, adalah makhluk yang sangat visual. Berkat smartphone, TV, dan komputer, rentang perhatian kita menjadi lebih pendek setiap harinya. Seorang ilmuwan bahkan mengatakan bahwa rentang perhatian kita satu detik lebih pendek daripada ikan mas! Para guru atau pembicara harus menggunakan semua alat bantu visual untuk menarik perhatian pendengar muda. Presentasi PowerPoint adalah persyaratan minimum saat ini, dan para guru perlu menggerakkan semua bagian tubuh mereka, membuat lelucon, bernyanyi, menari, bahkan jungkir balik! Hanya mendengarkan pembicaraan biasa itu membosankan, dan membaca teks yang panjang dan panjang seperti refleksi ini boring. Ini juga salah satu alasan mengapa kaum muda meninggalkan Gereja karena mereka mengalami Gereja, terutama para pengkhotbahnya, membosankan dan kering. Setelah lima menit mendengarkan homili, kita mulai gelisah, memeriksa jam tangan, mengaruk-garuk kepala, dan akhirnya tertidur!

Namun, indera pendengaran tetap mendasar karena pendengaran adalah kunci untuk mengikuti Yesus. Kita menyebut diri kita sendiri, Kristiani, artinya pengikut Kristus, dan bagaimana kita dapat mengikuti Kristus jika kita tidak mengenali suara-Nya? Sementara indera penglihatan menarik kita, indera pendengaran tetap menjadi tanda keintiman dan kasih. Seperti seekor domba yang mengidentifikasi suara gembala karena gembala menjaganya, kitapun mengenali suara seseorang yang kita cintai. Saya telah mendengar suara ibu saya sejak saya di dalam rahimnya, dan bahkan ketika saya menutup mata, saya masih bisa mengenali suaranya dari jauh. Saya bahkan dapat mengidentifikasi apakah dia bahagia, sedih, atau marah ketika dia memanggil nama saya.

Suatu kali, seorang pemuda bertanya kepada saya, “Frater, bagaimana kita tahu kehendak Tuhan?” Saya menjawab, “Apakah kamu mendengar suara-Nya?” Dia segera berkata, “Saya banyak berdoa, tetapi saya tidak pernah mendengar suara.” Saya berkata dalam jawab, “Ah, bagaimana kamu akan mendengar suara-Nya jika kamu yang berbicara sepanjang waktu? Dan bagaimana kamu akan mengetahui suara-Nya, jika kamu jarang memberikan waktumu bersama-Nya?” Mengikuti Yesus berarti bahwa kita dapat mendengar Yesus, dan untuk mengenali suara-Nya, kita perlu memiliki hubungan yang penuh kasih dan kuat dengan-Nya.

 Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Fish and Bread

Third Sunday of Easter [May 5, 2019] John 21:1-19

ichthus 2If we observe the Gospel readings of the past days and Sundays, we will notice that most of them are speaking about the risen Christ’s appearances to His disciples. One unnoticeable yet interesting feature in these stories is that of the presence of food.

The two disciples who walk to Emmaus, invite Jesus to have a dinner. Jesus takes the bread, says the blessing, breaks it, and gives it, and He disappears. The two disciples come to their senses, and realize He is Jesus [Luk 24:30]. When Jesus appears to the Eleven and other disciples, they are terrified. To dispel their doubt on His resurrection, Jesus presents His body and eats the fish given to Him [Luk 24:42]. And in today’s Gospel, Jesus invites His seven disciples to a breakfast at the shore of the Lake of Tiberias. After another miraculous catch, Jesus prepares bread and fish for the disciples who are no longer baffled by the appearance of their Master [John 21:13].

We may ask, “Why bread and fish?” These are simple food that are often available at Jewish household. Yet, looking deeper, bread and fish possess a profound meaning. Bread and fish are earliest symbol of Christ and Christians. Bread, especially the breaking of the bread, is the technical biblical name for the Eucharist. In the Acts of Apostles, the first Christians gather around the apostles for the teaching and breaking of the bread [Acts 2:42]. On a Sunday, Paul leads the community of Troas in worship as he preaches and breaks bread [Acts 20:7]. Fish, in Greek, is “Ichthus” and it stands for “Iesous Christos Theos Hyios Soter”, meaning Jesus Christ God Son [and] Savior. The symbol of fish was scattered inside catacombs of Rome as a sign of Christian gathering in time of persecution.

The question lingers: why does the risen Lord ask for food and invites the disciples to eat? Firstly, eating food is one of the most basic activities of human being. It points to our biological functions that sustains our bodily life and growth. The spiritless body neither consumes food, nor the bodiless spirit enjoys meals. Jesus shows His disciples that his resurrection is not a matter of spiritual enlightenment, but truly a bodily reality. His disciples neither see a spirit floating in the air, nor simply believe that their Teacher is alive in their hearts. The tomb is empty because Jesus, including His body, has risen.

Secondly, eating together does not only satisfy our tummy, but it also brings people closer together. While we are enjoying food, we cannot but share our thoughts and hearts to each other. Eating together builds not only the body, but also the dialogue and community. One of my favorite activities in the convent is the meal time, not because I am fond of eating, but we share a lot of stories and opinions. We practically speak about anything under the sun, from the latest movie, Avenger Endgame, the current political issues, to theological discussion on St. Thomas Aquinas. We also tell our joys, concerns and worries in our ministry and our future as a community. Simple food, yet great bonding.

Upon the simple reality of eating together, Jesus builds His community. In a shared meal, He retells His stories of painful passion and shameful death, and unearths its profound meanings especially as the fulfillment of the Scriptures. The events of his death used to be absurdity and loss of hope, but in the dining table, the risen Lord restores the faith, hope and love that go dim.

Jesus leaves us the Eucharist, the breaking of the bread, the sacred meal. Like the first disciples, it is here that we discover the risen Lord who shares His body as a spiritual food, and His Word as the meaning of our life. In the Eucharist, we are assured that the worst of this world does not have the last say, and the battle against absurdity has already been won.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ikan dan Roti

Minggu Paskah ketiga [5 Mei 2019] Yohanes 21: 1-19

ichthus

Jika kita mengamati bacaan-bacaan Injil pada hari-hari terakhir, kita perhatikan bahwa kebanyakan dari mereka berbicara tentang penampakan Kristus yang bangkit kepada murid-murid-Nya. Salah satu fitur yang sederhana namun menarik dalam cerita-cerita ini adalah adanya makanan.

Kepada dua murid yang berjalan ke Emaus, Yesus diundang untuk makan malam. Bagi mereka, Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecahnya, dan memberikannya, dan Dia menghilang. Kedua murid itu segera menyadari bahwa Dia adalah Yesus [Luk 24:30]. Ketika Yesus menampakkan diri kepada sebelas rasul dan murid-murid lainnya, mereka ketakutan. Untuk menghilangkan keraguan mereka tentang kebangkitan-Nya, Yesus menunjukkan tubuh-Nya dan memakan ikan yang diberikan kepada-Nya [Luk 24:42]. Dan dalam Injil hari ini, Yesus mengundang ketujuh murid-Nya untuk sarapan di tepi Danau Tiberias. Setelah mujizat penangkapan ikan, Yesus menyiapkan roti dan ikan untuk para murid yang tidak lagi bingung dengan penampakan Guru mereka [Yoh 21:13].

Kita mungkin bertanya, “Mengapa roti dan ikan?” Ini adalah makanan sederhana yang sering tersedia di rumah tangga Yahudi. Namun, melihat lebih dalam, roti dan ikan memiliki makna yang dalam. Roti dan ikan adalah simbol awal Kristus dan Gereja. Roti, khususnya pemecahan roti, adalah nama teknis Alkitabiah untuk Ekaristi. Dalam Kisah Para Rasul, jemaat pertama berkumpul di sekitar para rasul untuk pengajaran dan pemecahan roti [Kis 2:42]. Pada hari Minggu, Paulus memimpin komunitas di Troas dalam ibadat, dan ia berkhotbah dan memecahkan roti [Kis 20:7]. Ikan, dalam bahasa Yunani, adalah “Ichthus” dan itu singkatan dari “Iesous Christos Theos Hyios Soter”, yang berarti Yesus Kristus, Allah Putra [dan] Juruselamat. Simbol ikan tersebar di katakombe Roma sebagai tanda pertemuan jemaat pada masa penganiayaan.

Pertanyaannya: mengapa Tuhan yang bangkit meminta makanan dan mengundang para murid untuk makan? Pertama, makan makanan adalah salah satu kegiatan paling dasar manusia. Itu menunjuk pada fungsi biologis kita yang menopang kehidupan dan pertumbuhan tubuh kita. Tubuh tanpa roh maupun roh tanpa tubuh tidak mengkonsumsi makanan. Yesus menunjukkan kepada para murid-Nya bahwa kebangkitan-Nya bukanlah masalah pencerahan spiritual, tetapi benar-benar suatu realitas jasmani. Murid-muridnya tidak melihat roh mengambang di udara, juga tidak hanya percaya bahwa Guru mereka hidup di dalam hati mereka. Makam itu kosong karena Yesus, termasuk tubuh-Nya, telah bangkit.

Kedua, makan bersama tidak hanya memuaskan perut kita, tetapi juga membuat kita lebih dekat dengan satu sama lain. Sementara kita menikmati makanan, kita juga berbagi pikiran dan hati kita. Makan bersama membangun tidak hanya tubuh, tetapi juga dialog dan komunitas. Salah satu kegiatan favorit saya di biara adalah waktu makan, bukan karena saya senang makan, tetapi kami bisa berbagi banyak cerita dan pendapat. Kami berbicara tentang apa pun, dari film terbaru, Avenger Endgame, masalah politik saat ini, hingga diskusi teologis tentang St Thomas Aquinas. Kami juga menceritakan kegembiraan, keprihatinan, dan kekhawatiran kami dalam pelayanan dan masa depan kami sebagai sebuah komunitas. Makanan sederhana menjadi ikatan persaudaraan.

Dengan realitas sederhana yakni makan bersama, Yesus membangun komunitas-Nya. Dalam perjamuan bersama, Dia menceritakan kembali kisah-kisah-Nya tentang penderitaan yang menyakitkan dan kematian yang memalukan, dan menggali maknanya yang mendalam terutama sebagai penggenapan dari Kitab Suci. Peristiwa kematiannya dulunya adalah sebuah absurditas dan kehilangan harapan, tetapi di meja makan, Tuhan yang bangkit memulihkan iman, harapan dan cinta yang menjadi redup.

Yesus memberikan kita Ekaristi, memecahkan roti, perjamuan kudus. Seperti para murid pertama, di sinilah kita menemukan Tuhan yang bangkit yang membagikan tubuh-Nya sebagai makanan rohani, dan Firman-Nya sebagai makna hidup kita. Dalam Ekaristi, kita diyakinkan bahwa yang terburuk di dunia ini tidak memiliki suara terakhir, dan makna dan pengertian mengalahkan kegelapan dan keputusasaan.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP