Minggu Paskah ke-7 [2 Juni 2019] Yohanes 17: 20-26
“Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” (Jn. 17:22)
Ada tiga respons terhadap kesulitan dalam hidup. Yang pertama adalah menghindari atau melarikan diri. Yang kedua adalah menyerah pasrah. Yang terakhir adalah merangkul dan mengubahnya menjadi sarana pertumbuhan dan kemuliaan kita. Ini adalah kemuliaan yang tidak murahan karena mengalir dari kesulitan, kerja keras dan pengorbanan. Ini adalah kemulian sejati karena tidak bisa dibeli dengan uang tetapi diperoleh dari kucuran keringat, air mata dan bahkan darah.
Adalah dorongan alami dalam diri manusia untuk menghindari apa yang menyakitkan dan untuk mengambil apa yang menyenangkan. Namun, paradoksnya adalah bahwa semakin kita merangkul kesulitan hidup, kita semakin didewasakan dan dikuatkan. Inilah kebijaksanaan yang telah diakui oleh orang-orang tempo dulu. Spartan adalah salah satu bangsa terkuat di semenanjung Yunani kuno. Ini karena mereka melatih anak-anak mereka dalam kesulitan. Pada usia 7 tahun, anak laki-laki diambil dari orang tua mereka dan menjalani pelatihan intens di barak sampai mereka mencapai usia 20 tahun. Salah seorang Spartan yang paling terkenal adalah Leonidas, raja kota Sparta. Saat Persia menyerang semenanjung Yunani, dia bersama dengan 300 prajurit pilihannya menahan pasukan Persia yang jauh lebih unggul selama tiga hari di Thermopylae. Ketika mereka kehilangan pertahanan mereka, Leonidas menolak untuk mundur, dan dengan 300 pasukannya mengorbankan nyawa mereka untuk memberi waktu yang cukup bagi orang-orang Yunani untuk berkumpul kembali dan melancarkan serangan balik. Leonidas menerima kemuliaan bukan karena kedudukannya sebagai raja, tetapi ia mau berkorban.
Kebijaksanaan ini mengajarkan bahwa kita jangan lari dari kesulitan hidup tetapi merangkul mereka dan membiarkan diri kita menjadi lebih kuat dan dewasa. Kalau tidak, kita bisa berubah menjadi generasi yang lembek dan tidak tahu berterima kasih. Para siswa tidak dapat menguasai keterampilan dan memperoleh pengetahuan sejati kecuali mereka tunduk pada disiplin studi. Atlet tidak dapat memenangkan medali, kecuali mereka berlatih dengan sangat intens.
Dalam Injil hari ini, Yesus menjanjikan kita, para murid-Nya, sebuah kemuliaan. Namun, ada perbedaan antara kemuliaan dunia dan kemuliaan Yesus. Sementara kemuliaan dunia pada akhirnya adalah tentang kemuliaan, kesuksesan dan keberhasilan pribadi kita, kemuliaan Yesus adalah tentang salib. Terutama dalam Injil Yohanes, waktu kemulian Yesus menunjuk pada salib-Nya. Yesus tidak pernah berbicara tentang Dia disalibkan, tetapi Dia dimuliakan.
Ketika Yesus menganggap salib-Nya sebagai kemuliaan-Nya, maka kita perlu menganggap salib harian kita sebagai kemuliaan kita. Pada zaman Yesus, tidak seorang pun akan menganggap bahwa salib, alat penyiksa Romawi yang brutal, akan berubah menjadi jalan kemuliaan. Salib adalah sebuah absurditas, dan hanya karean kehadiran Yesus yang mengorbankan hidup-Nya untuk kita, salib menemukan makna terdalamnya. Salib bukanlah apa-apa, kecuali itu diarahkan sebagai saran kasih cinta pengorbanan. Kapasitas kita untuk mengasihi ditentukan oleh kemampuan kita untuk memikul salib kita yakni kemampuan kita untuk menderita. Kita memikul salib kita, itu memperbesar kemampuan kita untuk mencintai. Saat kita mencintai sampai akhir, kita dapat menerima kemuliaan kita.
Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
