Athletes for Salvation

20th Sunday in Ordinary Time [C] – August 25, 2019 – Luke 13:22-30

training-2Salvation is one of the burning topics of discussion in Christian circles. In several discussions I facilitated, I often encountered some participants asked: Who will be saved? By what means are we going to be saved? When will be saved? Do we need to believe in Jesus to be saved? The answers can be as simple as yes or no, but often, the audience with critical minds demand more comprehensive and sensible answers. Yet, I always bring the listeners to see salvation from a different and deeper angle.

I ask them: what is salvation? Most of the people will immediately reply: We are saved from sins. The answer is correct, yet it is not complete and in fact, rather shallow. The good analogy will be the Israelites in Egypt. They were liberated from slavery, yet their freedom is not merely for freedom’s sake. They were freed so that they may worship their God without fear. Like the Israelites, we are also saved from sin, but this freedom from the slavery of sins is for something greater. We are called to share His divine life, to be with Him and enjoy His being. This is what we mean as being holy and being a saint. We are holy when we are united and participating in that Person who is the source of all holiness.

However, Jesus reminds us today that the way to salvation and holiness is not an easy and instant way. While faith is the beginning of our salvation, surely it does not end there. Jesus himself says, “Strive to enter through the narrow door… (Lk. 13:24)” The word “strive” in original Greek is “agonizomai” which means to participate in a contest or gymnastic game. The image is of an athlete who subjects himself to rigorous training and discipline and competes against the best competitors in the field. That is why to achieve a crown is an agonizing process. St. Paul picks up this idea of Jesus when he exhorts the Church in Corinth to “…Run to win. Every athlete exercises discipline in every way. They do it to win a perishable crown, but we an imperishable one. (1 Cor. 9:25)”

One of the most decorative Olympians is American swimmer Michael Phelps. In peak training phases, Phelps swims around 80,000 meters a week. He practices twice a day, at least. Phelps trains for around five to six hours a day at six days a week. Not only in the swimming pool, but he also builds his winning form through weightlifting and crazy diet regiment. But what many of us probably do not know is that Michael was suffering from Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). People with ADHD have trouble with focus, restlessness, and impulsiveness, yet Phelps was able to overcome this disorder and transform it into power. From one who had difficulty to focus, he is able to remain hyperfocused on his goal. Thus, he won 15 Olympic gold medals.

Salvation is essentially a gift. Nobody can claim that he has the right to this salvation. Yet, this gift, though free, is not cheap. We are striving and struggling every day, like an athlete who competes for the medals. We are doing our best so that we are worthy to receive this gift. We are fighting a battle every day against sins and adversaries that pull us away from God. We are putting our best effort that the gift in our hands will become truly a blessing for us and not a curse. So at the end of our lives, together with St. Paul, we may say, “I have competed well; I have finished the race; I have kept the faith. (2 Tim. 4:7)”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Atlit untuk Keselamatan

Minggu ke-20 dalam Masa Biasa [C] -25 Agustus 2019 – Lukas 13: 22-30

Narrow-GateKeselamatan adalah salah satu topik diskusi yang membakar. Dalam beberapa diskusi yang saya fasilitasi, saya sering menemui beberapa peserta yang bertanya: Siapa yang akan diselamatkan? Dengan cara apa kita akan diselamatkan? Kapan akan diselamatkan? Apakah kita perlu percaya kepada Yesus untuk diselamatkan? Jawabannya bisa sesederhana ya atau tidak, tetapi seringkali, peserta dengan pikiran kritis menuntut jawaban yang lebih komprehensif dan masuk akal. Namun, saya selalu membawa pendengar untuk melihat keselamatan dari sudut yang berbeda dan lebih dalam.

Saya bertanya kepada mereka: apakah keselamatan itu sebenarnya? Sebagian besar orang akan segera menjawab: Kita diselamatkan dari dosa, dari neraka. Jawabannya benar, namun tidak lengkap dan pada kenyataannya, dangkal. Analogi yang baik adalah orang Israel di Mesir. Mereka dibebaskan dari perbudakan, namun kebebasan mereka bukan hanya demi kebebasan. Mereka dibebaskan sehingga mereka dapat menyembah Tuhan mereka tanpa rasa takut. Seperti orang Israel, kita juga diselamatkan dari dosa, tetapi kebebasan dari perbudakan dosa ini adalah untuk sesuatu yang lebih besar. Kita dipanggil untuk berbagi kehidupan ilahi-Nya, untuk bersama-Nya dan menikmati keberadaan-Nya. Inilah yang Kita maksud sebagai kudus. Kita kudus ketika kita dipersatukan dan berpartisipasi dalam Pribadi yang merupakan sumber dari semua kekudusan. Inilah kebahagian sejati, inilah surga: merengkuh Tuhan.

Namun, Yesus mengingatkan kita hari ini bahwa jalan menuju keselamatan dan kekudusan bukanlah cara yang mudah dan instan. Sementara iman adalah awal dari keselamatan kita, tetapi ini bukanlah akhir. Yesus sendiri berkata, “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit… (Luk. 13:24)” Kata “berjuang” dalam bahasa Yunani asli adalah “agonizomai” yang secara harfiah berarti ikut serta dalam pertandingan atau perlombaan olah raga. Gambarannya adalah seorang atlet yang menekuni pelatihan dan disiplin yang ketat, dan bersaing dengan para pesaing terbaik di bidangnya. Itulah sebabnya untuk merengkuh medali adalah proses yang menyakitkan. Santo Paulus mengambil gagasan Yesus ini ketika ia mendorong Gereja di Korintus untuk “… Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. (1 Kor. 9:25) ”

Salah satu atlet Olimpiade paling terkenal adalah perenang Amerika Michael Phelps. Dalam fase pelatihan, Phelps berenang sekitar 80.000 meter seminggu. Dia berlatih dua kali sehari, setidaknya. Phelps melatih sekitar lima hingga enam jam sehari pada enam hari seminggu. Tidak hanya di kolam renang, ia membangun tubuh kemenangannya melalui latihan angkat berat dan diet yang gila. Tetapi kita sering tidak tahu bahwa Michael menderita Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Orang dengan ADHD memiliki masalah dengan fokus, gelisah dan impulsif, namun Phelps mampu mengatasi gangguan ini dan mengubahnya menjadi kekuatan. Dari orang yang mengalami kesulitan untuk fokus, dia mampu tetap fokus pada tujuannya. Dengan demikian, ia memenangkan 15 medali emas Olimpiade.

Keselamatan pada dasarnya adalah anugerah. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa ia memiliki hak untuk keselamatan ini. Namun, anugerah ini, meskipun cuma-cuma, tidak murahan. Kita berjuang setiap hari, seperti atlet yang bersaing untuk medali. Kita melakukan yang terbaik sehingga kita layak menerima hadiah ini. Kita setiap hari berperang melawan dosa dan musuh yang menjauhkan kita dari Tuhan. Kita berusaha sekuat tenaga agar anugerah di tangan kita menjadi benar-benar berkah bagi dan bukan kutukan. Jadi di akhir hidup kita, bersama dengan St. Paul, kita dapat berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. (2 Tim. 4: 7)”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Magnify

The Solemnity of the Assumption of Mary – August 15, 2019 – Luke 1: 39-56

blessed virgin mary 2Today the Church is celebrating the solemnity of the Assumption of Mary. Rooted in the Scriptures and Tradition, the Church firmly believes that Mary was assumed into heaven body and soul after she completed her life here on earth. This belief is crystallized in the form of Dogma or the highest teaching of the Church. As a dogma, the Assumption requires the assent of faith from the faithful. The assumption itself is not the sole Marian Dogma. There are four dogmas related to her: Mary is the Mother of God, ever-virgin, immaculately conceived, and assumed into heaven. No other human, except Jesus, has accumulated that much honor in the Church and no other men or women have blessed conditions like hers.

However, we are mistaken if we think that all the Dogmas are about the goodness of Mary. When we are celebrating the Dogmas of Mary, we are not merely praising that Mary is good, gentle, and holy, but it is primarily about God and how through Mary, we are thanking God for His mercy toward Mary and all the wonders. Looking at Mary, we cannot but thank God for His mercy on her and His wonders done to her.

In the Gospel today, we listen to the song of Mary is traditionally called the Magnificat [Luk 1:46ff]. In her song,  Mary praises the Lord for the mighty deeds He has done to her and Israel. Mary herself acknowledges who she is, “God’s lowly servant.” She never lets pride get in her mind, but instead, she chooses to recognize what God has done to her that “God has looked with favor on her” and “God has raised the lowly.” Mary realizes that she was nothing without God.

The title is from the first Latin word that appears in the canticle, “Magnificat anima mea Dominum.”  The original Greek is “μεγαλύνω” [megaluno], to make great. The idea is like the magnifying glass that intensifies the light and the heat of the sun, and thus, emits powerful energy. When I was a little boy, my friends and I used to play together outside. One time, a friend brought a magnifying glass. We were amazed that it had another function aside from making a small object looked big. It was able to gather the light and heat of the sun and to focus it into a single spot. It became so intense and hot that it may burn what it touched. Then, when we saw the ants nearby, we started burning them using the magnifying glass!

Mary knows well that she is not the source of light, and she is the receiver. Yet, Mary does not merely receive it and keeps it to herself. Mary also is aware that she does not simply mirror that only reflect the light. Mary sees herself as “magnifying glass.” When she receives the light, she makes sure that light will shine even more brightly, intense, and powerful. Through Mary, the light of Christ becomes more intense, powerful, and penetrating. When we intently look at Mary, we cannot but see God Himself.

The Dogma of the Assumption, indeed all Marian dogmas, points to Mary, who points to God. Following her example, we are also called to make our lives as a signpost that points to God. But more than passive signpost, we need to learn to actively magnify God’s glory and mercy through our lives.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Maria dan Tuhannya

Hari Raya Maria Diangkat ke Surga – 17 Agustus 2019 – Lukas 1: 39-56

blessed virgin mary 1Hari ini Gereja sedang merayakan hari raya Maria Diangkat ke Surga. Berakar dalam Kitab Suci dan Tradisi, Gereja dengan kuat percaya bahwa Maria diasumsikan ke dalam tubuh dan jiwa surga setelah dia menyelesaikan hidupnya di bumi ini. Keyakinan ini terkristalisasi dalam bentuk Dogma atau ajaran tertinggi Gereja. Sebagai dogma, Asumsi membutuhkan persetujuan iman dari umat beriman. Asumsi itu sendiri bukan satu-satunya Dogma Marian. Ada empat dogma yang berkaitan dengannya: Maria adalah Bunda Allah, selalu perawan, dikandung dengan sempurna, dan diasumsikan ke surga. Tidak ada manusia lain, kecuali Yesus, yang mengumpulkan begitu banyak kehormatan di Gereja dan tidak ada pria atau wanita lain yang memberkati kondisi seperti miliknya.

Namun, kita salah jika kita berpikir bahwa semua Dogma adalah tentang kebaikan Maria. Ketika kita merayakan Dogma-Maria, kita tidak hanya memuji bahwa Maria itu baik, lembut, dan suci, tetapi ini terutama tentang Tuhan dan bagaimana kita berterima kasih kepada Tuhan atas rahmat-Nya yang tercurah kepada Maria. Melihat Maria, kita tidak bisa tidak berterima kasih kepada Tuhan atas rahmat-Nya atas dia dan keajaiban-keajaiban yang dilakukan padanya.

Dalam Injil hari ini, kita mendengarkan kidung Maria yang secara tradisional disebut Magnificat [Luk 1:46 dst]. Dalam kidung tersebut, Maria memuji Tuhan atas perbuatan-perbuatan besar yang telah dilakukan-Nya kepadanya dan Israel. Maria sendiri mengakui siapa dirinya, “hamba Tuhan yang rendah.” Dia tidak pernah membiarkan kesombongan masuk ke dalam benaknya, tetapi sebaliknya, dia memilih untuk mengakui apa yang telah Tuhan lakukan kepadanya bahwa “Tuhan telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadanya.” Maria menyadari bahwa dia bukan apa-apa tanpa Tuhan.

Kata Magnificat adalah dari kata Latin pertama yang muncul di kidung tersebut, “Magnificat anima mea Dominum.” Bahasa Yunani aslinya adalah “μεγαλύνω” [megaluno], berarti untuk membuat besar. Idenya seperti kaca pembesar yang mengintensifkan cahaya dan panas matahari, dan dengan demikian, memancarkan energi yang kuat. Ketika saya masih kecil, teman-teman saya dan saya biasa bermain bersama di luar. Suatu kali, seorang teman membawa kaca pembesar. Kami kagum bahwa kaca tersebut memiliki fungsi lain selain membuat benda kecil tampak besar. Itu bisa mengumpulkan cahaya dan panas matahari dan memfokuskannya ke satu tempat. Itu begitu kuat dan panas sehingga bisa membakar apa yang disentuhnya. Kemudian, ketika kami melihat semut di sekitar kami, kami mulai membakar mereka menggunakan kaca pembesar!

Maria tahu betul bahwa dia bukan sumber cahaya, dan dia adalah penerima. Namun, Maria tidak hanya menerimanya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Maria juga sadar bahwa dia bukanlah sekadar cermin yang hanya memantulkan cahaya. Maria melihat dirinya sebagai “kaca pembesar.” Ketika dia menerima cahaya, dia memastikan bahwa cahaya akan bersinar lebih terang, intens, dan kuat. Melalui Maria, terang Kristus menjadi lebih kuat, dahsyat dan berdaya guna. Ketika kita dengan penuh perhatian melihat Maria, kita tidak bisa tidak melihat Tuhan sendiri yang lebih megah dan mulia.

Dogma Maria diangkat ke surga, dan juga dogma-dogma Maria yang lain, menunjuk ke Maria, yang menunjuk kepada Tuhan. Mengikuti teladannya, kita juga dipanggil untuk menjadikan hidup kita sebagai rambu yang menunjuk kepada Allah. Tetapi lebih dari sekadar rambu-rambu yang pasif, kita perlu belajar untuk secara aktif meningkatkan kemuliaan dan belas kasihan Tuhan melalui hidup kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Faithful and Wise Stewards

19th Sunday in Ordinary Time [C] – August 11, 2019 – Luke 12:32-48

light lampIn ancient Israel, the masters of the house were often leaving their homes for business trips or attending social gatherings like weddings. They would entrust their houses and their possessions to chief servants. And this was the world without a cellular phone, internet, and GPS. Thus, the servants have no idea of the ETA (estimated time of arrival) of their masters. It could be 8 PM, midnight or even early in the morning. The best attitude of a servant in this scenario is to be always vigilant and prepared for the arrival of his master.

However, being prepared is not understood as being idle or passivity, like someone who does nothing but waits near the door, and opens the door when the master knocks. Jesus says, “Gird your loins and light your lamps… (Lk. 12:35)” In ancient Israel, people were wearing robe or tunic. It is a long dress that covers the entire body, from the neck down to the leg. When people are working, they gird their loins with a robe or belt, to make sure that their tunic will not get in the way. In short, the servants are doing their jobs, making sure that the house is in order, and ready to receive any order just in case their masters arrive. This is a kind of readiness and preparedness that Jesus asks of His disciples.

This kind of preparedness naturally comes the humble recognition of who we are. If the servant accepts that he is a servant and aware that the house belongs to his master, he will not act as if he is the owner of the house and neglect his jobs, but perform his tasks well despite the absence of his master. So, we need also to recognize who we are and do the works that follow from our identity well. If our pride gets in the way, and we fail to understand who we are. We start playing God, and we begin doing whatever we please, even to confidently predict the end of the world.

Based on the Scriptures, the Church always believes that Jesus will come for the second time in glory and bring the final judgment to the world. We do not know when Jesus will come as the King and those who prophesy that they understand when, turn to be a dangerous hoax. In 1997, Marshall Applewhite predicted that the earth would be destroyed by the alien spaceships, and the only way to survive was to “transfer” their souls to another planet by committing suicide. Marshall and 36 followers killed themselves, yet the earth’s destruction never happened. Marshall was playing God, and he brought calamity to himself and his followers.

Be ready for the coming of Jesus means that we realize who we are before God. If we are God’s children, we love and obey our Father, and care for the other creations because God cares for them as well. If we are God’s disciples, we faithfully follow Him and continuously learn from Him. If we are fathers, we love, protect, and provide for their family. If we are mothers, we love, care, and educate our children. And when the Lord truly comes, we may be one of those “Blessed servants who are faithful and prudent [see Lk. 12:42]”

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hamba yang Setia dan Bijaksana

Minggu ke-19 dalam Waktu Biasa [C] – 11 Agustus 2019 – Lukas 12: 32-48

faithful servantDi Israel kuno, tuan rumah sering meninggalkan rumah mereka untuk perjalanan bisnis atau menghadiri pertemuan sosial seperti pernikahan. Mereka akan mempercayakan rumah dan harta benda mereka kepada seorang hamba yang adalah hamba utama. Dan kita perlu ingat bahwa ini adalah dunia tanpa telepon seluler, internet dan GPS. Dengan demikian, para pelayan tidak tahu dengan pasti waktu kedatangan dari tuan mereka. Bisa jadi jam 8 malam, tengah malam atau bahkan dini hari. Sikap terbaik seorang pelayan dalam skenario ini adalah untuk selalu waspada dan siap menghadapi kedatangan tuannya.

Namun, bersiap tidak dipahami seperti seseorang yang tidak melakukan apa-apa selain menunggu di dekat pintu, dan hanya membuka pintu ketika tuannya mengetuk. Yesus berkata, “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala… (Luk. 12:35)” Di Israel kuno, orang-orang mengenakan jubah [tunik] sebagai pakaian sehari-hari. Ini adalah pakaian panjang yang menutupi seluruh tubuh, dari leher hingga kaki. Ketika orang-orang bekerja, mereka mengikat pinggang mereka, untuk memastikan bahwa tunik mereka tidak akan menghalangi kerja mereka. Singkatnya, Yesus mengingatkan bahwa para pelayan tetap melakukan pekerjaan mereka walaupun tuan mereka tidak ada, memastikan bahwa rumah sudah rapi, dan siap untuk menerima perintah apa pun sewaktu-waktu tuan mereka tiba. Ini adalah kesiapan yang Yesus minta dari para murid-Nya termasuk kita.

Kesiapsiagaan semacam ini secara alami datang dari pengakuan rendah hati tentang siapa kita. Jika hamba menerima bahwa dia adalah hamba dan dia sadar bahwa rumah itu milik tuannya, dia tidak akan bertindak seolah-olah dia adalah pemilik rumah dan mengabaikan pekerjaannya, tetapi melakukan pekerjaannya dengan baik meskipun tuannya sedang tidak ada. Jadi, kita juga perlu mengenali siapa diri kita dan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan identitas kita dengan baik. Satu hal yang menghambat kita mengenali siapa diri kita adalah keangkuhan. Saat kita dipenuhi kesombongan, Kita mulai bertingkah seperti tuhan dan kita mulai melakukan apa pun yang kita suka, bahkan untuk memprediksi akhir dunia dengan penuh percaya diri.

Berdasarkan Kitab Suci, Gereja selalu percaya bahwa Yesus akan datang untuk kedua kalinya dalam kemuliaan dan membawa penghakiman terakhir ke dunia. Kita tidak tahu kapan Yesus akan datang sebagai Raja, dan mereka yang bernubuat bahwa mereka tahu kapan, adalah sebuah hoax yang berbahaya. Pada tahun 1997, Marshall Applewhite meramalkan bahwa bumi akan dihancurkan oleh pesawat ruang angkasa alien dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah “memindahkan” jiwa mereka ke planet lain dengan melakukan bunuh diri. Marshall dan 36 pengikut pun bunuh diri, namun alien tidak pernah datang menyerang dan kehancuran bumi tidak pernah terjadi. Marshall bertingkah seperti tuhan dan dia membawa malapetaka bagi dirinya dan para pengikutnya.

Kesiapan untuk kedatangan Yesus berarti kita menyadari siapa kita di hadapan Tuhan. Jika kita adalah anak-anak Tuhan, kita mencintai dan menaati Bapa kita, dan merawat ciptaan lain karena Tuhan juga memperhatikan mereka. Jika kita adalah murid Tuhan, kita dengan setia mengikuti-Nya dan terus-menerus belajar dari-Nya. Jika kita adalah ayah, kita mencintai, melindungi, dan memenuhi kebutuhan keluarga kita. Jika kita adalah ibu, kita mencintai, merawat, dan mendidik anak-anak kita. Dan ketika Tuhan benar-benar datang, kita mungkin salah satu dari mereka “Hamba yang setia dan bijaksana [lihat Luk 12:42]”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dominic, the Light of the Church

Feast of St. Dominic de Guzman – Founder of Order of Preachers

August 8, 2019

dominic 3Today, we are celebrating the feast of St. Dominic de Guzman. St. Dominic was born around 1170 in Caleruega, Old Castile, Spain. As a saint, he was not that famous as his counterpart, St. Francis of Assisi, perhaps because he did not write any book or writings that would echo his spirituality. Maybe this is the reason why we do not have a solid and systematic understanding of Dominican Spirituality.

By tradition, St. Dominic is called as the light of the Church. And why? St. Dominic was living in the time where the Church was facing enemies from without and conflicts from within. The Heretics, especially the Albigentians, were attacking the Church restlessly, and the Church was weakened by her dogmatically unprepared and timid priests. Many Catholics were confused, and nobody was defending the true faith to them. It was a dark period for the Church.

Dominic, who loved his Church deeply responded to the call of his time and offered his life to enlighten souls living in the dark and to bring back to the lost sheep to the Church’s fold. Yet, to achieve that end, he had to be in deep relationship with Jesus, the true Light of the World. Thus, his life of prayers and mortification were extraordinary. Rather than to take rest, he spent a night in vigil, refused to take good food, and slept on the floor. Dominic also understood that to explain faith, he must both study and live by the Gospel. He became poor, just like Jesus was poor for the sake of the Kingdom. Dominic became preacher, just like Jesus was preacher par excellence. Dominic offered himself as a “lantern,” a weak instrument yet brings light that both shines brightly and illumines clearly in the dark. He is the light of the Church because he bore the Light of the World.

The Dominicans always have an intimate bond with Mary, the Mother of God. One of the reasons why we are close to her is that we participate in her mission also to bear the Truth and to reflect the same Light. The song of Mary that Luke recorded is traditionally called the Magnificat [Luk 1:46ff]. The title is from the first Latin word that appears in the canticle, “Magnificat anima mea Dominum.” The original Greek is “μεγαλύνω” [megaluno], to make great. The idea is like the magnifying glass that intensifies the light and the heat of the sun, and thus, emits powerful energy. Mary is not the source of the light, and she is the receiver. Yet, Mary does not passively reflect the light, but she actively magnifies it. Through Mary, the light of Christ becomes more intense, powerful, and penetrating.

Following the footsteps of Dominic and our Lady, we are also called to bear the Light of Christ and to magnify it. In the words of St. Thomas Aquinas, “Better to illuminate than merely to shine… [S.T. II.II. 188].”

                Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dominikus, Sang Cahaya Gereja

Pesta St. Dominikus de Guzman – Pendiri Ordo Pewarta

8 Agustus 2019

Stampita Front Dominikus(1)Hari ini, kita merayakan pesta St. Dominikus de Guzman. St. Dominikus dilahirkan sekitar tahun 1170 di Caleruega, Kastilia, Spanyol. Sebagai seorang kudus, ia tidak setenar rekannya, Santo Fransiskus dari Assisi, mungkin karena ia tidak menulis buku atau meninggalkan tulisan apa pun yang akan menggemakan spiritualitasnya. Mungkin inilah alasan mengapa kita tidak memiliki pemahaman yang solid dan sistematis tentang Spiritualitas Dominikan.

Menurut tradisi, St. Dominikus disebut sebagai cahaya Gereja. Dan mengapa? St. Dominikus hidup di zaman ketika Gereja menghadapi musuh dari luar dan konflik dari dalam. Kaum Bidaah, khususnya kaum Albigentian, menyerang Gereja tanpa henti, dan Gereja dilemahkan oleh para imam tidak siap secara intelektual maupun secara mental. Banyak orang Katolik yang bingung, dan tidak ada yang menerangkan iman yang benar kepada mereka. Itu adalah masa yang gelap bagi Gereja.

Dominikus, yang sangat mencintai Gereja-Nya, menanggapi panggilan zamannya dan memberikan hidupnya bagi pencerahan jiwa-jiwa yang hidup dalam kegelapan dan untuk membawa kembali kepada domba-domba yang hilang ke kandang Gereja. Namun, untuk mencapai tujuan itu, ia harus berada dalam hubungan yang mendalam dengan Yesus, Sang Terang Dunia yang sejati. Karena itu, kehidupan doanya dan mati raganya sangat luar biasa. Alih-alih beristirahat, ia menghabiskan malam dalam vigili, menolak untuk makan makanan enak, dan tidur di lantai. Dominikus juga mengerti bahwa untuk menjelaskan iman, ia harus belajar dengan tekun dan menghidupi Injil. Ia menjadi miskin, sama seperti Yesus miskin demi Kerajaan Allah. Dominikus menjadi pengkhotbah, sama seperti Yesus adalah pengkhotbah sejati. Dominikus mempersembahkan dirinya sebagai “lentera,” sebuah instrumen yang lemah namun membawa cahaya yang bersinar terang dan menerangi dengan jelas dalam gelap. Dia adalah cahaya bagi Gereja karena dia membawa dalam dirinya Sang Terang Dunia.

Para putra-putri St. Dominikus selalu memiliki ikatan mendalam dengan Maria, Bunda Allah. Salah satu alasan mengapa kita dekat dengannya adalah karena kita berpartisipasi dalam misinya yang juga membawa Terang Kebenaran dan merefleksikan Cahaya yang sejati. Nyanyian Maria yang ditulis dalam Injil Lukas secara tradisional disebut sebagai Magnificat [Luk 1:46]. Judul ini berasal dari kata Latin pertama yang muncul di kidung tersebut, “Magnificat anima mea Dominum.” Bahasa Yunani aslinya adalah “μεγαλύνω” [megaluno], secara harafiah berarti membuat menjadi besar. Idenya seperti kaca pembesar yang mengintensifkan cahaya dan panas matahari, dan dengan demikian, memancarkan energi yang kuat dan dapat membakar. Maria bukanlah sumber cahaya, tetapi sang penerima. Namun, Maria tidak secara pasif merefleksikan cahaya, tetapi dia secara aktif mengumpulkannya dan menjadikan lebih terfokus. Melalui Maria, terang Kristus menjadi lebih kuat, bertenaga dan berdaya guna.

Mengikuti jejak Dominikus dan Bunda Maria, kita juga dipanggil untuk membawa Terang Kristus dan membagikan-Nya di dalam bentuk yang lebih dahsyat dan penuh daya. Dalam kata-kata St Thomas Aquinas, “Lebih baik untuk menerangi daripada hanya untuk bersinar … [S.T. II. II. 188]. “

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Greed

18th Sunday in Ordinary Time [C] – August 4, 2019 – Luke 12:13-21

fool rich man 2We were all born without bringing anything with us, and for sure, when we die, we will bring nothing with us. Job once said, “Naked I came forth from my mother’s womb, and naked shall I go back there. The LORD gave, and the LORD has taken away; blessed be the name of the LORD!” (Job 1:21). However, as we grow up and old, we begin to acquire things and possessions. Some are given, but some we earn it. As we are accumulating, we start attaching ourselves to these material belongings. Some of us are obsessed with collecting bags, shoes, and clothes, some others with more expensive things like electronic devices and cars. We believe these are ours, and we can own them until the Kingdom comes.

This kind of attachment is rooted in a bigger and more sinister vice: greed. St. Thomas Aquinas defines greed or avarice as “an inordinate desire for wealth or money.” To desire for richness and possession is not evil itself because, in essence, money and belongings are a means to achieve higher goals in life. However, the problem arises when we are confusing between means and the end. Greed enters the picture when we make money as our goal and no longer a means. We begin to measure our happiness and meaningfulness of our lives in terms of wealth. When we place wealth as our yardstick of happiness, all other problems start flooding our lives. When we do not have enough money, we become anxious, but when we have more than enough money, we are also anxious about how to hoard them. We think that the more we have, the happier we become, but the truth is, the more we acquire, the more we feel lacking. An ancient Roman proverb once said that desire for wealth is like drinking seawater; the more you drink, the thirstier you get.

What sickening about this vice is that it brings other sins along. St. Thomas mentions treachery, corruption, fraud, anxiety, insensibility to mercy, and even violence as the daughters of greed. Movie Slumdog Millionaire (2008) tells us a story of Salim and Jamal Malik who are victims of this injustice and greed. After the killing of their mother because of religious hatred in slam area in India, they were forced to stay in a sanitary landfill. Then, they were adopted by ‘professional beggars’ syndicate. One particular scene that reveals the gruesome manifestation of greed is one little boy with a sweet voice, Arwind, was blinded. Jamal later remarks, “Blind singers earn double.” The worst part of the movie is that the movie is not totally fiction, but many events are true to life.

So how are we going to cure this vice? If greed makes us turn means as goal, our response should return the right order: to make wealth as our means to achieve higher goals. If we are blessed with a lot of money, we praise the Lord and use this money to praise the Lord even more. If we do not have enough money, we are called to have more faith in God’s providence.  It is the time to use our worldly possession to make “heavenly investment” that no thief can reach, nor moth destroy (Lk. 12:33)

Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ketamakan

Minggu ke-18 dalam Waktu Biasa [C] – 4 Agustus 2019 – Lukas 12: 13-21

fool rich manKita semua dilahirkan tanpa membawa apa-apa, dan sama ketika kita mati, kita tidak akan membawa apa pun. Ayub pernah berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Namun, seiring bertambahnya usia, kita mulai memperoleh banyak hal dan harta benda. Ketika kita mulai mengakumulasi, kita mulai terikat pada barang-barang materi ini. Beberapa dari kita terobsesi dalam mengumpulkan tas, sepatu, dan baju, beberapa lainnya dengan barang-barang yang lebih mahal seperti perangkat elektronik, mobil dan bahkan mobil. Kita mulai percaya ini adalah milik kita, dan kita dapat memilikinya bahkan sampai kita masuk surga.

Keterikatan semacam ini berakar pada sifat buruk yang lebih besar dan lebih jahat: ketamakan. St Thomas Aquinas mendefinisikan keserakahan atau ketamakan sebagai “keinginan yang tidak teratur akan kekayaan atau uang”. Keinginan untuk kekayaan dan kepemilikan bukanlah sesuatu yang jahat karena pada dasarnya, uang dan barang adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dalam hidup. Namun, masalah muncul ketika kita mulai tidak bisa melihat mana yang sarana dan mana yang tujuan. Keserakahan memasuki hidup kita ketika kita membuat uang sebagai tujuan kita dan bukan lagi sarana. Kita mulai mengukur kebahagiaan dan arti hidup kita dalam hal kekayaan yang kita akumulasikan. Ketika kita menempatkan kekayaan sebagai tolok ukur kebahagiaan kita, semua masalah lain akan membanjiri hidup kita. Ketika kita tidak memiliki cukup uang, kita menjadi khawatir, tetapi ketika kita memiliki lebih dari cukup uang, kita juga cemas bagaimana agar orang lain tidak mencurinya. Kita berpikir bahwa semakin banyak kita miliki, semakin bahagialah kita, tetapi kebenaran adalah semakin banyak yang kita dapatkan, semakin kita merasa kurang. Sebuah pepatah Romawi kuno pernah mengatakan bahwa hasrat akan kekayaan seperti minum air laut; semakin banyak Anda minum, semakin Anda haus.

Yang memuakkan tentang ketamakan ini adalah hal ini membawa dosa-dosa lain. St. Thomas menyebutkan pengkhianatan, korupsi, penipuan, kecemasan, ketidak pekaan terhadap sesama, dan bahkan kekerasan sebagai anak-anak keserakahan. Film Slumdog Millionaire (2008) menceritakan kepada kita kisah Salim dan Jamal Malik yang menjadi korban ketidakadilan dan keserakahan ini. Setelah pembunuhan ibu mereka karena kebencian religius di daerah kumuh di India, mereka terpaksa tinggal di TPA. Kemudian, mereka diadopsi oleh sindikat ‘pengemis profesional’. Satu adegan khusus yang mengungkapkan manifestasi mengerikan dari keserakahan adalah seorang bocah lelaki dengan suara bagus, Arwind, dibutakan. Jamal kemudian berkomentar, “Penyanyi tunanetra mendapat gaji dua kali lipat.” Bagian terburuk dari film ini adalah bahwa film tersebut tidak sepenuhnya fiksi, tetapi banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.

Jadi bagaimana kita akan menyembuhkan ketamakan ini? Jika keserakahan membuat kita membalikkan antara sarana dan tujuan, respons kita haruslah mengembalikan urutan yang benar: menjadikan kekayaan sebagai sarana kita untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Jika kita diberkati dengan banyak uang, kita memuji Tuhan, dan menggunakan harta ini untuk lebih memuji Tuhan. Jika kita tidak memiliki cukup uang, kita dipanggil untuk lebih percaya kepada pemeliharaan Allah. Ini adalah waktu untuk menggunakan kepemilikan duniawi kita untuk melakukan “investasi surgawi” yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. (Luk. 12:33)

Rm. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP