God’s Loving Touch

Fifth Sunday of Lent [A]

March 29, 2020

John 11:1-45

Daniel Bonnell, "Jesus Wept." Oil on canvas, 34 x 46 in. Tags: LazarusAmong the five human senses, the sense of touch is the most basic and foundation to other senses. The sense of sight needs to be in touch with the light spectrum. The sense of taste requires to be in contact with the chemical in the food. The sense of hearing must receive air vibration or sound waves. This sense makes us a human being, a bodily being. No wonder that many traumatic experiences [even mental problems] are rooted in the lack (or excess) of touch.

God, our creator, understands our fundamental need of touch. Thus, to fulfill our deepest desire, He made a radical choice and became a man like all of us. Because Jesus is true God and true man, the disciples were able to see, hear, touch and feel Him. Yet, He gave a more radical gesture as He offered Himself as food to eat and drink to eat, “for my flesh is true food and my blood is true drink [Jn 6:55].” While the pagan deities were feasting on the human blood and sacrifice, our God does the opposite. He gave up His life so that we may live and feel His love.

Following the example of our Savior, the Church is filled with tangible means and bodily gestures as a sign and symbols of the divine presence. No wonder our churches are equipped with beautiful crucifixes, adorned with flowers, and mystified by the burning candle and incense. A sacrament is no other than the visible sign of the invisible grace, and sacraments really intend to connect to our bodies, like blessed water and oil that touch our forehead, the bread that we consume, and words of forgiveness that we need to hear. Amazingly, the Church is called the body of Christ, and our call is to unite as one people of God around this table of Eucharist.

However, the terrible thing befalls our Church. The pandemic caused by the Covid-19 is basically reversing the movement of our faith. We are facing a reality that touching can mean illness, the gathering may bring disaster, and worship may mean death. For the good of the flock, our leaders are forced to close the churches. We now feel the pain of separation from the Body of Christ.

Perhaps, we are like Lazarus who are experiencing spiritual suffering and death. Perhaps, we are like Martha who is asking the Lord, “why are you not coming sooner?” Perhaps, we are like Mary who cannot do anything but mourns and is reduced into silence.

The Gospel of John tells us that Jesus loves Lazarus, Martha and Mary as His close friends. Yet, Jesus did not rescue Lazarus when he got gravely ill, and even Jesus visited them after Lazarus died four days. Jesus allowed terrible things to take place in the life of Lazarus, Martha, and Mary, not because He wanted to punish them, or He does not care, but because He loves them.

In His love, God allows us to endure the sense of losing God, and experience suffering and even death. God knows too well that through suffering, we may love even deeper, we grow in faith, and re-discover God, alive and even closer. After all, there is no true resurrection, unless we enter the darkness of the tomb.

My deepest gratitude and prayer for our medical personal who give their all in to fight the disease and save lives.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sentuhan Kasih Allah

Minggu Kelima Masa Prapaskah [A]

29 Maret 2020

Yohanes 11: 1-45

lazarus africanDi antara lima indra manusia, indra peraba [sentuhan] adalah yang paling dasar dan fondasi bagi indra yang lainnya. Indra penglihatan perlu bersentuhan dengan spektrum cahaya. Indra perasa perlu bersentuhan dengan bahan kimia dalam makanan. Indra pendengaran harus menerima getaran suara di udara. Sentuhan menjadikan kita manusia, makhluk yang bertubuh. Tidak mengheran jika banyak pengalaman traumatis [bahkan masalah mental] berakar pada sentuhan yang kurang diterima atau tidak seharusnya diterima.

Tuhan, pencipta kita, memahami kebutuhan mendasar kita akan sentuhan. Dengan demikian, untuk memenuhi hasrat terdalam kita, Dia membuat pilihan radikal, dan menjadi manusia seperti kita semua. Karena Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, para murid dapat melihat, mendengar, menyentuh dan merasakan Dia. Namun, Dia memberi sesuatu yang lebih radikal ketika Dia mempersembahkan diri-Nya sebagai makanan dan diminum, “karena dagingku adalah makanan yang benar dan darahku adalah minuman yang benar [Yohanes 6:55].” Sementara para dewa berhala menikmati darah manusia dari menjadi korban, Tuhan kita melakukan yang sebaliknya. Dia menyerahkan hidup-Nya sehingga kita dapat hidup dan merasakan kasih-Nya.

Mengikuti contoh Juruselamat kita, Gereja dipenuhi dengan sarana jasmani sebagai tanda dan simbol kehadiran ilahi. Tidak heran gereja-gereja kita dilengkapi dengan salib yang indah, dihiasi dengan bunga, dan diagungkan dengan lilin dan dupa. Sakramen tidak lain adalah tanda yang terlihat dari rahmat yang tak terlihat, dan sakramen benar-benar bermaksud untuk menyentuh tubuh kita, seperti air dan minyak suci yang menyentuh dahi kita, hosti yang kita santap, dan kata-kata pengampunan yang perlu kita dengar. Bahkan, Gereja sendiri disebut sebagai tubuh Kristus, dan panggilan kita adalah untuk bersatu sebagai satu umat Allah di sekitar meja Ekaristi ini.

Namun, hal yang mengerikan menimpa Gereja kita. Pandemi yang disebabkan oleh Covid-19 pada dasarnya membalikkan gerakan dasar iman kita. Kita menghadapi kenyataan bahwa menyentuh dapat berarti penyakit, berkumpul dapat membawa bencana, dan ibadah dapat berarti kematian. Demi kebaikan umat, para pemimpin kita dipaksa untuk menutup gereja. Kita sekarang merasakan sakitnya perpisahan dari Tubuh Kristus.

Mungkin, kita seperti Lazarus yang mengalami penderitaan dan kematian rohani. Mungkin, kita seperti Marta yang bertanya kepada Tuhan, “seandainya Engkau datang, hal ini tidak perlu terjadi?” Mungkin, kita seperti Maria yang tidak bisa berbuat apa-apa selain berduka dan berdiam.

Yesus tidak menyelamatkan Lazarus ketika dia sakit parah, dan bahkan Yesus mengunjungi mereka setelah Lazarus meninggal empat hari. Kenapa Yesus membiarkan hal-hal buruk terjadi dalam kehidupan Lazarus, Marta dan Maria? Apakah Yesus ingin menghukum mereka atau tidak peduli dengan mereka? Injil Yohanes menyatakan bahwa Yesus mengasihi Lazarus, Marta dan Maria sebagai sahabat dekat-Nya. Yesus mengizinkan hal buruk terjadi terhadap sahabat-sahabat-Nya justru karena Dia mengasihi mereka.

Dalam kasih-Nya, Allah mengijinkan kita untuk merakan Tuhan yang jauh, dan mengalami penderitaan dan bahkan kematian. Tuhan tahu betul bahwa melalui penderitaan, kita dapat mencintai lebih dalam, kita tumbuh dalam iman, dan menemukan kembali Tuhan, yang lebih hidup dan bahkan lebih dekat. Kita perlu mengingat bahwa tidak ada kebangkitan sejati, kecuali kita berani memasuki kegelapan makam.

Terima kasih dan doa terdalam saya untuk pribadi medis kami yang telah memberikan segalanya untuk memerangi penyakit dan menyelamatkan nyawa.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Spittle and Eyes

Fourth Sunday of Lent [A]

March 22, 2020

John 9:1-41

In healing the blind man, Jesus did something a bit unusual: He spat on the ground, made clay with His spittle, and smeared the clay on the blind man’s eyes. In this time we are battling the Covid-10, the fast-spreading strain of the coronavirus, we are educated that one of the media of contamination is the human droplets like our saliva, and the entire point of this virus is contact with our eyes. When the infectious saliva meets the eyes, it is the sure reason we fall victim to this terrible virus.

However, Jesus was using the very same means of illness and transforming it into the means of healing both physical and spiritual blindness. Indeed, this kind of reversing action is the favorite pattern of Jesus. St. John Chrysostom, bishop of Constantinople, in his homily, mentioned that three means used by the devil to destroy humanity are the same means utilized by Jesus to save humanity. The three means of the devil are the tree of knowledge of evil and good, the woman which is Eve who disobeyed, and the death of Adam who brought along all his descendants. Jesus then transformed three means into His own ways of salvation: for the tree of knowledge of evil and good, there is the tree of the cross, for Eve, there is Mary who obeys, and for the death of Adam, there is the death of Jesus who saves us all. The devil thought he could outsmart God, but truly, it is God who has the final victory.

In Genesis 2, when God created the man, He was acting like a craftsman or a sculptor. In ancient Rabbinic tradition, God used His own spittle to create a formable clay from the ground. The act of Jesus in healing the blind man brings us back to this story of creation. Jesus is not merely healing, but He is recreating the man into His own image. Even the means of ugliness and illness can be transformed into the means of beauty and salvation.

The covid-19 virus has destroyed many aspects of human life. It spreads fear and panic. It forces the government to take drastic measures, including locking down cities and stop economic activities. It separates people from their friends and loved ones. The faithful are obliged to be far from the houses of the Lord. These are a painful and confusing time for many of us. Even some of us would cry, “Eli, Eli, Lama sabacthani?”

Yet, we must not forget that Jesus can always employ the same means of death and destruction to be His way of salvation. We ask the Lord to open our eyes of faith to see how God works through this time of crisis.

We thank for the gifts of our medical practitioners who put their lives on the line to care for those are sick; for our government officials who tireless work to contain the virus; for volunteers who spend their own resources to help battling the illness; for the priests and Church’s servants who serve the spiritual needs of the people despite many limitations. My prayer also goes for an Italian priest who made the final sacrifice as he asked not to be treated so that the limited respiratory machines may be used by younger and having a better chance to survive.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ludah dan Mata

Hari Minggu Prapaskah Keempat [A]

22 Maret 2020

Yohanes 9: 1-41

blind manDalam menyembuhkan orang buta, Yesus melakukan sesuatu yang agak tidak biasa: Ia meludah ke tanah, membuat tanah liat dengan air liurnya, dan mengolesi tanah liat itu di mata orang buta tersebut. Saat ini kita sedang melawan Covid-19, jenis virus korona yang menyebar dengan cepat, kita dididik bahwa salah satu media kontaminasi adalah tetesan manusia seperti air yang keluar dari mulut kita. Ketika air yang sudah terkontaminasi dengan virus bersentuhan dengan mulut, hidung dan mata, itu menjadi titik awal berjangkitnya si virus di tubuh kita.

Namun, hari in, Yesus menggunakan media yang dipakai virus ini untuk menyebar dan mengubahnya menjadi jalan penyembuhan baik kebutaan fisik maupun spiritual. Memang, tindakan pembalikan semacam ini adalah pola favorit Yesus. St. Yohanes Krisostomus, uskup Konstantinopel, dalam homilinya, menyebutkan bahwa tiga cara yang digunakan oleh iblis untuk menghancurkan umat manusia adalah sarana yang sama yang digunakan oleh Yesus untuk menyelamatkan umat manusia. Tiga cara iblis adalah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, wanita yaitu Hawa yang tidak taat, dan kematian Adam yang membawa serta semua keturunannya. Yesus kemudian mengubah tiga sarana ini menjadi sarana keselamatan-Nya: untuk pohon pengetahuan, ada pohon salib, untuk Hawa, ada Maria yang setia, dan untuk kematian Adam, ada kematian Yesus yang menyelamatkan kita semua. Iblis mengira dia bisa mengakali Tuhan, tetapi sesungguhnya, Tuhanlah yang memiliki kemenangan akhir.

Dalam Kejadian 2, ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia bertindak seperti seorang seniman atau pematung. Dalam tradisi Yahudi kuno, Tuhan mengambil tanah, dan kemudian agar bisa dibentuk, Dia menggunakan ludah-Nya sendiri untuk membuat tanah liat. Tindakan Yesus dalam menyembuhkan orang buta membawa kita kembali ke kisah penciptaan ini. Yesus tidak hanya menyembuhkan, tetapi Dia menciptakan kembali manusia itu seturut citra-Nya sendiri. Bahkan sarana keburukan dan penyakit dapat diubah menjadi sarana keindahan dan keselamatan.

Virus covid-19 telah menghancurkan banyak aspek kehidupan manusia. Virus ini menyebarkan ketakutan dan kepanikan. Virus ini memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan drastis, termasuk “lockdown” kota-kota dan menghentikan kegiatan perekonomian. Virus ini memisahkan orang dari sahabat dan orang yang mereka kasihi. Orang beriman diwajibkan untuk menjauhi rumah Tuhan. Ini adalah waktu yang menyakitkan dan membingungkan bagi banyak dari kita. Bahkan beberapa dari kita akan menangis, “Eli, Eli, Lama sabacthani?”

Namun, kita tidak boleh lupa bahwa Yesus selalu dapat menggunakan sarana-sarana kematian dan kehancuran yang sama untuk menjadi sara keselamatan-Nya. Kita meminta Tuhan untuk membuka mata iman kita untuk melihat bagaimana Tuhan bekerja melalui masa krisis ini, dan saat mata kita terbuka, kita bisa melihat betapa banyaknya kebaikan ditengah-tengah kita.

Kita berterima kasih atas  berkat Tuhan yang menjelma sebagai berbagai praktisi medis kita yang mempertaruhkan nyawanya untuk merawat mereka yang sakit; untuk pejabat pemerintah kita yang bekerja tanpa kenal lelah untuk mencegah penyebaran virus; untuk para sukarelawan yang menyumbangkan sumber daya mereka sendiri untuk membantu memerangi penyakit ini; untuk para imam dan pelayan Gereja yang melayani kebutuhan rohani umat meskipun ada banyak keterbatasan. Doa saya juga tertuju bagi seorang imam Italia yang membuat pengorbanan terakhir saat dia meminta untuk tidak dirawat sehingga mesin pernapasan yang terbatas dapat digunakan oleh yang lebih muda dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bertahan hidup.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus, Our Bridegroom

Third Sunday of Lent [A]

March 15, 2020

John 4:5-42

jesus n samaritan woman 3We relate to Jesus in many ways. Some consider Him as a teacher, some call Him as a friend, and some others would simply acclaim Him as Lord and Savior. However, little known to us that the Gospel introduces Him as the bridegroom.

The idea that Jesus as our spouse is awkward and difficult to accept. One may say, “If I am a woman, it is fine to have Jesus as my husband. One may think, “If I am single, it is ok to get married to Jesus. But if I am already married, does it mean Jesus would be my second husband, or shall I divorce my first husband?” These kinds of concerns are surely valid, yet these are rooted in our human and even sexual understanding of marriage. Then, what kind of bridegroom Jesus is?

In order to answer this, we need to understand some symbols in today’s Gospel. Jesus went into a well and John the evangelist made it clear that it is not just ordinary well, but Jacob’s well. A Samaritan woman then came to fetch water and met Jesus there. For us, it is just an ordinary story of Jesus’ meeting any woman, just like when Jesus visited Mary and Martha, or Jesus helped a woman caught in adultery. Yet, when we know our Scriptures, the meeting is far from ordinary. It is something to do with a man finding a bride. In Gen 29, Jacob found beautiful Rachel near the well when she was about to water the sheep. In Exo 3, after Moses fled from Egypt, he went to the land of Midian, and near the well, he defended the women being harassed by unruly shepherds. One of these women would eventually become his future wife.

However, the Gospel clearly shows that Jesus neither sought any wife nor married the Samaritan woman. Yes, it is true that Jesus remained single for his entire life, but again, we are not speaking in the human and literal level. If Jesus is the divine Bridegroom, the Samaritan woman stands also for the true bride of Christ. No wonder, the fathers of the Church, would identify the Samaritan woman as the symbol of the Church. Like the Samaritan woman who is a gentile, the Church is also coming from many nations. Like the Samaritan woman who struggled with her marriage life, the Church also are struggling with many sin and weakness. Like the Samaritan woman who was waiting for a Messiah, the Church also is in need of a Savior.

It is truly weird to see Jesus as our groom especially when we are stacked in too humanly understanding. Yet, on spiritual level, to have Jesus as our groom means we have someone who loves us dearly and intimately, someone who will protect and provide for us, someone who will accept our imperfections and someone who will willingly give his life for our sake.

The covid-19 virus has wreaked havoc the world. What is terrible with this virus is not only it extremely contiguous and has no definite cure yet, it forces humanity to show its basic survival instinct: fear and even selfishness. However, this is the best opportunity to grow in faith. Our faith is not empty because we hold on to someone, and He is our Bridegroom.

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Mempelai Pria Kita

Hari Minggu Prapaskah Ketiga [A]

15 Maret 2020

Yohanes 4: 5-42

jesus n samaritan womanKita melihat Yesus sebagai beberapa figur. Beberapa orang menganggap Dia sebagai guru, beberapa memanggilnya sebagai sahabat, dan beberapa yang lain hanya akan menyatakan Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Namun, sedikit yang kita ketahui bahwa Injil memperkenalkan Dia sebagai mempelai laki-laki.

Gagasan bahwa Yesus sebagai mempelai kita agak canggung dan sulit diterima. Seseorang mungkin berpikir, “Jika saya single, tidak apa-apa menikah dengan Yesus. Tetapi jika saya sudah menikah, apakah itu berarti Yesus akan menjadi suami kedua saya, atau haruskah saya menceraikan suami pertama saya?” Kekhawatiran semacam ini tentu saja valid, namun ini berakar pada pemahaman manusiawi dan bahkan seksual kita tentang pernikahan. Lalu, mempelai laki-laki macam apa Yesus ini?

Untuk menjawab ini, kita perlu memahami beberapa simbol dalam Injil hari ini. Yesus pergi ke sebuah sumur dan Yohanes sang penginjil menegaskan bahwa itu bukan hanya sumur biasa, tetapi sumur Yakub. Seorang wanita Samaria kemudian datang untuk mengambil air, dan bertemu Yesus di sana. Bagi kita, itu hanya kisah biasa tentang pertemuan Yesus dengan seorang wanita, seperti ketika Yesus mengunjungi Maria dan Marta, atau Yesus membantu seorang wanita yang terjebak dalam perzinaan. Namun, ketika kita mengetahui Alkitab kita, pertemuan itu jauh dari biasa. Adegan di sumur adalah saat seorang pria menemukan pengantin wanitanya. Dalam Kejadian 29, Yakub menemukan Rahel di dekat sumur ketika dia akan memberi minum domba. Dalam Kel 3, setelah Musa melarikan diri dari Mesir, ia pergi ke tanah Midian, dan di dekat sumur, ia membela para wanita yang diganggu oleh para gembala. Salah satu dari wanita ini akhirnya akan menjadi istrinya.

Namun, Injil dengan jelas menunjukkan bahwa Yesus tidak mencari istri atau menikahi wanita Samaria itu. Yesus juga tetap sendiri selama seluruh hidupnya, tetapi sekali lagi, kita tidak berbicara di tingkat manusia dan literal. Jika Yesus adalah Mempelai Pria yang ilahi, wanita Samaria juga melambangkan mempelai wanita Kristus yang sejati. Tidak heran, para Bapak Gereja, akan mengidentifikasi wanita Samaria sebagai simbol dari Gereja. Seperti wanita Samaria yang bukan Yahudi, Gereja juga datang dari banyak bangsa. Seperti wanita Samaria yang bergumul dengan kehidupan pernikahannya, Gereja juga bergumul dengan banyak dosa dan kelemahan. Seperti wanita Samaria yang sedang menunggu Mesias, Gereja juga membutuhkan seorang Juru Selamat.

Sungguh aneh melihat Yesus sebagai pengantin laki-laki kita terutama ketika kita terbiasa dalam pemahaman yang terlalu manusiawi. Namun, dalam tingkat spiritual, untuk memiliki Yesus sebagai mempelai laki-laki kita berarti kita memiliki seseorang yang sangat mengasihi kita, seseorang yang akan melindungi dan merawat kita, seseorang yang akan menerima ketidaksempurnaan kita dan seseorang yang akan rela menyerahkan hidupnya demi kita.

Virus Covid-19 hanya dalam waktu tiga bulan telah mendatangkan malapetaka di dunia. Apa yang mengerikan dengan virus ini bukan hanya sangat menular dan belum memiliki obat yang pasti, tetapi juga memaksa manusia untuk menunjukkan naluri bertahan hidup dasarnya: ketakutan dan bahkan keegoisan. Namun, ini adalah juga kesempatan terbaik untuk bertumbuh dalam iman. Iman kita tidak kosong karena kita berpegang pada seseorang, dan Dia adalah Yesus, Mempelai Pria kita yang akan memberikan hidup-Nya bagi kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

True Glory

Second Sunday of Lent [A]

March 8, 2020

Matthew 17:1-9

transfiguration 2The Church has selected the story of Transfiguration as the reading of the second Sunday of Lent.  We may ask how this kind of powerful story may fit into the entire season of Lent. The key is that the Transfiguration is fundamentally linked to the Cross of Jesus. In Luke’s version of the transfiguration, Jesus was talking to Moses and Elijah about His “exodus.” This reminds the ancient Israelites who exited Egypt, walked through the desert, and entered the Promised Land. Yet, the real end of the exodus is the city of Jerusalem, and eventually the holy Temple where God dwelled among His people. Just like the ancient Israelites, Jesus’ exodus has to end in Jerusalem.

The glorious moment of transfiguration is not intended to last long. Jesus has to go down and walk again toward Jerusalem. However, the disciples got it wrong when Peter offered to put a tent and to stay in the wonderful moment for good. Jesus reminded them that they need to go down. The disciples cannot stay there, and they must continue their journey.

There are moments in our lives that we believe that we have seen and reached the glory of God. We feel so blessed when we pray before the Blessed Sacrament. We experience peace during our retreat and meditation. We are inspired after we listen to the insightful preaching. We are re-energized by songs and praises. These things are good, but they are never intended to be the end of the journey. We must go down together with Jesus, and to carry our daily crosses. Jesus understands that there is no real love without suffering, no true glory without pain, and no salvation without the cross.

I am currently in the Holy Land, and I was walking in the same way Lord Jesus has set His feet. I was truly blessed that God allowed me to be on this Promised Land just months after my ordination. The joy is overwhelming. Israel is truly a land flowing with milk and honey, a truly beautiful land. I am studying the Bible for years, but only now that I truly see and touch these biblical places. My faith becomes truly alive. The more I walk through the land and places, the more I want to stay and learn. I have seen the glory of the Lord, and I want to pitch my tent. However, I cannot wait too long, and I need to go back because my mission is not [yet] at this Promised Land.

Last March 4, 2020, the house for the elderly and disabled run by the Missionaries of Charity in Aden, Yemen, was attacked by the terrorists. Four sisters were killed during the ambush. Their works for the elderly in one of the poorest countries is in itself a heroic act, but their true glory lies when they gave their lives totally for God and the people they loved. Every morning, the sisters always prayed together in the community, and this prayer [attributed to St. Ignatius of Loyola] have inspired them through the last moment of their lives:

“Lord, teach me to be generous. Teach me to serve you as you deserve; to give and not to count the cost, to fight and not to heed the wounds, to toil and not to seek for rest, to labor and to ask for reward, save that of knowing that I do Your holy will.”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kemuliaan Sejati

Minggu Kedua Prapaskah [A]

8 Maret 2020

Matius 17: 1-9

transfiguration 3Gereja telah memilih kisah Transfigurasi sebagai Injil Minggu Prapaskah kedua. Kita mungkin bertanya bagaimana kisah kemuliaan semacam ini dapat masuk ke dalam seluruh konteks Prapaskah. Kuncinya adalah bahwa Transfigurasi secara mendasar terkait dengan Salib Yesus. Dalam versi transfigurasi dari Lukas, Yesus berbicara kepada Musa dan Elia tentang “eksodus” -nya. Ini mengingatkan kita akan bangsa Israel kuno yang keluar dari Mesir, berjalan melewati padang pasir, dan memasuki Tanah Perjanjian. Namun, akhir eksodus yang sebenarnya adalah kota Yerusalem, dan akhirnya Bait suci tempat Allah tinggal di antara umat-Nya. Sama seperti bangsa Israel kuno, eksodus Yesus harus berakhir di Yerusalem.

Momen mulia transfigurasi tidak dimaksudkan untuk bertahan lama. Yesus harus turun dan berjalan lagi menuju Yerusalem. Namun, para murid salah kaprah ketika Petrus menawarkan untuk memasang tenda dan tetap tinggal di gunung itu. Yesus mengingatkan mereka bahwa mereka harus turun. Para murid tidak dapat tinggal di sana, dan mereka harus melanjutkan perjalanan mereka bersama Yesus di Yerusalem.

Ada saat-saat dalam hidup kita bahwa kita percaya bahwa kita telah melihat dan mencapai kemuliaan Allah. Kita merasa sangat diberkati ketika kita berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus. Kita mengalami kedamaian selama retret dan meditasi kita. Kita terinspirasi setelah kita mendengarkan khotbah yang penuh semangat. Kita diberi energi kembali oleh lagu dan pujian. Hal-hal ini baik, tetapi mereka tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi akhir dari perjalanan. Kita harus turun bersama dengan Yesus, dan memikul salib kita sehari-hari. Yesus mengerti bahwa tidak ada kasih sejati tanpa penderitaan, tidak ada kemuliaan sejati tanpa rasa sakit, dan tidak ada keselamatan tanpa salib.

Saat ini saya berada di Tanah Suci, dan saya berjalan di tempat yang sama seperti Tuhan Yesus telah menginjakkan kaki-Nya. Saya benar-benar diberkati bahwa Allah memberi kesempatan untuk berada di Tanah Perjanjian ini hanya beberapa bulan setelah tahbisan saya. Sebuah sukacita luar biasa. Israel benar-benar tanah yang penuh dengan susu dan madu, tanah yang benar-benar indah. Saya belajar Alkitab selama bertahun-tahun, tetapi baru sekarang, saya benar-benar melihat dan menyentuh tempat-tempat alkitabiah ini. Iman saya menjadi benar-benar hidup. Semakin saya berjalan, semakin saya ingin tinggal dan belajar. Saya telah melihat kemuliaan Tuhan, dan saya ingin mendirikan kemah saya. Namun, saya tidak bisa tinggal terlalu lama, dan saya harus kembali karena misi saya bukan [belum] di Tanah Perjanjian ini.

4 Maret 2020 lalu, rumah bagi orang tua dan orang cacat dijalankan oleh Misionaris Cinta Kasih di Aden, Yaman, diserang oleh para teroris. Empat suster terbunuh dalam serangan itu. Pekerjaan mereka untuk merawat orang tua di salah satu negara termiskin itu sendiri adalah tindakan heroik, tetapi kemuliaan sejati mereka terletak ketika mereka memberikan hidup mereka sepenuhnya bagi Tuhan dan orang-orang yang mereka cintai. Setiap pagi, para suster selalu berdoa bersama di komunitas, dan doa ini [dipercaya berasal dari St Ignatius dari Loyola] telah menginspirasi mereka melalui saat-saat terakhir kehidupan mereka:

“Tuhan, ajari aku untuk bermurah hati. Ajari aku untuk melayani-Mu sepantasnya; untuk memberi dan tidak menghitung imbalan, untuk berjuang dan tidak mengindahkan luka, bekerja keras dan tidak mencari istirahat, untuk bekerja dan tidak meminta imbalan, kecuali mengetahui bahwa aku melakukan kehendak suci-Mu. ”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Temptations

First Sunday of Lent

February 26, 2020

Matthew 4:1-11

Jesus is tempted - Matthew 4:1-11

The first Sunday of Lent begins the story of Jesus in the desert, fasting and being tempted by the devil. St. Matthew gives us more details in the story temptations, and from Matthew, we discover the threefold temptations of Christ. Why did Satan tempt Jesus? Why three temptations?

The temptation of Jesus took place after the baptism of Jesus and right before His public ministry of Jesus. His temptation brings us back to the first temptation in the garden of Eden. As Satan engineered the fall of humanity in deceiving the first Adam, the same evil agent executed the same assault to Jesus, the new Adam.

Why three? The ancient Jewish rabbis believe that the serpent who represented the Devil tempted Adam and Eve with three things. “..when the woman saw that the tree was good for food, and that it was a delight to the eyes, and that the tree was to be desired to make one wise [Gen 3:6].” Firstly, the devil made the fruit as something good to eat. Secondly, the devil made Eve perceive that the fruit was a sight to behold. Lastly, the devil made Eve believe that the fruit is the source of wisdom. The first temptation is called the sin of the belly since it attacks our weak flesh [gluttony and sexual sins]. The second is the sin of the sight because through the eyes, we see things we do not have, and we desire to possess them [envy, possessiveness, and stealing]. Lastly, but most potent is the sin of pride. This temptation makes people think that they can dethrone God and put themselves as the new gods.

When dealing with Jesus, the devil applied the same technique. The devil offered Jesus to use His power to satisfy His hunger. The devil brought Jesus to see all the beautiful things in the world to possess. And, the devil asks Jesus to demonstrate His power to show His divinity and authority to the people. However, Jesus did not fall into the temptation, and thus, undid the first Adam’s failure.

How did Jesus counter the devil’s attack? Three things: fasting and abstinence, almsgiving, and prayer. Fasting and abstinence have been an ancient practice to moderate one’s desires. While the devil wants us to fall into the sin of the flesh and enjoy the bodily pleasures, fasting and abstinence put in check our passions. While the devil influences us to get more and possess things even at the expense of other people, almsgiving enables us to be generous and feel sufficient with what we have.  While the devil tries to convince us that we can be the master of our lives, prayers remind us that there is God, and we are not Him.

This Lenten season is precisely a time for us to be aware of our human weaknesses and how the devil exploits them. Yet, we are not without hope; Jesus gives us His grace to counter this temptation and three Lenten practices [fast, abstinence, almsgiving and prayer] as our weapons.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Godaan

Hari Minggu Prapaskah Pertama

26 Februari 2020

Matius 4:1-11

temptation of jesus 2Hari Minggu Prapaskah pertama dimulai dengan kisah Yesus di padang gurun, berpuasa dan dicobai oleh iblis. Matius memberi kita lebih banyak perincian dalam kisah pencobaan, dan dari Matius, kita menemukan tiga pencobaan Kristus. Mengapa Setan menggoda Yesus? Kenapa tiga godaan?

Pencobaan Yesus terjadi setelah pembaptisan Yesus dan tepat sebelum Yesus memulai karya-Nya. Pencobaan-Nya membawa kita kembali ke pencobaan pertama di taman Eden. Ketika Setan merekayasa kejatuhan umat manusia dengan menipu Adam yang pertama, Setan yang sama melakukan serangan yang sama kepada Yesus, sang Adam yang baru.

Mengapa tiga? Para rabi Yahudi kuno percaya bahwa ular yang mewakili Iblis menggoda Adam dan Hawa dengan tiga hal. “… ketika wanita itu melihat bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan buah itu menyenangkan mata, dan bahwa pohon itu diinginkan untuk membuat orang bijak [Kej 3: 6].” Pertama, iblis menjadikan buah sebagai sesuatu yang baik untuk dimakan. Kedua, iblis membuat Hawa merasakan bahwa buah itu adalah pemandangan yang harus dilihat. Terakhir, iblis membuat Hawa percaya bahwa buah adalah sumber kebijaksanaan. Pencobaan pertama disebut dosa perut karena ia menyerang kedagingan kita yang lemah [kerakusan dan dosa seksual]. Yang kedua adalah dosa penglihatan karena melalui mata, kita melihat hal-hal yang tidak kita miliki, dan kita berhasrat untuk memilikinya [iri, posesif, dan mencuri]. Terakhir, tetapi yang paling ganas adalah dosa kesombongan. Godaan ini membuat orang berpikir bahwa mereka dapat melengserkan Tuhan dan menempatkan diri mereka sebagai tuhan-tuhan baru.

Ketika berhadapan dengan Yesus, iblis menerapkan teknik yang sama. Iblis menawarkan Yesus untuk menggunakan kuasa-Nya untuk memuaskan rasa lapar-Nya. Iblis membawa Yesus untuk melihat semua hal indah di dunia untuk dimiliki. Dan, iblis meminta Yesus untuk menunjukkan kuasa-Nya untuk menunjukkan keilahian dan otoritas-Nya kepada orang-orang. Namun, Yesus tidak jatuh ke dalam pencobaan, dan dengan demikian, membatalkan kegagalan Adam yang pertama.

Bagaimana cara Yesus melawan serangan iblis? Tiga hal: puasa dan pantang, amal, dan doa. Puasa dan pantang telah menjadi praktik kuno untuk mengontrol hasrat kita. Sementara iblis ingin kita jatuh ke dalam dosa kedagingan dan menikmati kesenangan tubuh, puasa dan pantang mengendalikan nafsu kita. Sementara iblis memengaruhi kita untuk mendapatkan lebih banyak dan memiliki barang-barang bahkan dengan mengorbankan orang lain, amal memungkinkan kita untuk bermurah hati dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Sementara iblis berusaha meyakinkan kita bahwa kita dapat menjadi penguasa dalam hidup kita, doa mengingatkan kita bahwa Tuhan itu ada, dan kita bukan Dia.

Masa Prapaskah ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk menyadari kelemahan manusia kita dan bagaimana iblis mengeksploitasi mereka. Namun, kita bukannya tanpa harapan; Yesus memberi kita rahmat-Nya untuk melawan pencobaan ini dan tiga praktik Prapaskah [puasa, pantang, amal, dan doa] sebagai senjata kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP