Road to Emmaus, Road Back to God

3rd Sunday of Easter

April 26, 2020

Luke 24:13-35

emmaus 10The two disciples went back home to Emmaus. One of them was Cleopas, and his companion probably was his wife. Perhaps they got afraid of the Roman and Jewish authorities who might go after them after they killed Jesus, the leader. Or maybe, they just got their hope and expectation shattered when Jesus, their expected Messiah, was crucified.

Cleopas and his wife were doing what we usually do in times of sadness and troubles. They told stories and tried to make sense of what had happened. Yet, the thing did not go right. Their dialogue did not make them better. Instead, they became so depressed, and they even failed to recognize Jesus, who was very close. Indeed, we need someone to share our stories, but when this person is not prepared, despite his goodwill, our stories can go from bad to worse. We need to remember that the first dialogue in the Bible took place in the garden of Eden between Eve and the serpent.

Fortunately, Jesus intervened at the right moment. Jesus brought in the missing piece. Jesus offered the word of God. The couple was so blessed because they experienced the first-ever Bible study, and it was Jesus Himself who guided them. Yet, Jesus made it clear that they knew their scriptures, but they were lack of faith. When we read the Bible without faith, it is nothing more than a lovely and inspiring novel or an ancient and mysterious text. Only with faith, we encounter God who is telling His stories. No wonder Jesus said to them that the scriptures are about Him because Jesus is the same God who was present in the creation, who led the Hebrew peoples in their exodus, and who sent prophets to guide the Israelites in the promised land.

Cleopas and his wife remind us of the first couple who also failed to have faith in God, Adam, and Eve. After the first dialogue with Satan that led them to doom, they deserved nothing but death. Yet, God did not allow death to overcome them immediately, but instead He made them leather cloth as a sign of His protection, as well as the sign of the first blood sacrifice. When they left the beautiful garden as a consequence of their choice, it was also the last time we heard about what happened inside the garden. Why? God was no longer in the garden. He was following Adam and Eve. God did not wish they wondered even farther but guided them back to paradise. As God journeyed with Adam and Eve, he also walked with Cleopas and his wife, as they make their way to the new Eden. In the end of their journey, they recognized Jesus when He took bread, blessed, broke and shared it. These were the eucharistic gestures. They entered the new Paradise, the celebration of the Eucharist.

Our stories in life, even in the most destressing moment like now, make sense when God enters into the pictures with His stories. The journey to Emmaus sheds a brighter light on the purpose of the Holy Mass. In the Mass, we always begin with the reading of the scriptures because we are invited to see our little stories in God’s greatest stories. When we find the meaning of our lives in God, that is the time we discover Jesus alive and fresh in the breaking of the bread.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Emaus: Perjalanan kembali kepada Tuhan

Minggu Paskah ke-3

26 April 2020

Lukas 24: 13-35

road to emmaus
Rowan LeCompte (American, 1925–2014) and Irene Matz LeCompte (American, 1926-1970), “Third Station of the Resurrection: The Walk to Emmaus” (detail), 1970. Mosaic, Resurrection Chapel, National Cathedral, Washington, DC. Photo: Victoria Emily Jones. Tags: woman

Kedua murid pulang ke Emaus. Salah satunya adalah Kleopas, dan temannya mungkin adalah istrinya sendiri [lih. Yoh 19:25]. Mungkin mereka takut pada otoritas Romawi dan Yahudi yang mungkin mengejar mereka setelah mereka menghabisi Yesus, sang pemimpin. Atau mungkin, mereka merasa harapan dan mimpi mereka hancur ketika Yesus, sang Mesias yang mereka harapkan, telah disalibkan.

Kleopas dan istrinya melakukan apa yang biasanya kita lakukan di saat kesedihan dan kesulitan melanda hidup kita. Mereka saling berbagi cerita dan mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, bagi Kleopas dan istrinya, hal ini tidak berjalan dengan baik. Dialog yang terjadi tidak membuat mereka lebih baik. Sebaliknya, mereka menjadi lebih sedih, dan mereka bahkan tidak bisa mengenali Yesus, yang sebenarnya sangat dekat. Memang, kita membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita kita, tetapi ketika orang ini tidak siap, terlepas dari niat baiknya, kondisi kita bisa menjadi semakin buruk. Kita perlu ingat bahwa dialog pertama dalam Alkitab terjadi di taman Eden antara Hawa dan sang ular!

Yesus turun tangan pada saat yang tepat. Yesus membawa bagian penting yang hilang. Yesus membawa Sabda Allah. Pasangan ini sangat diberkati karena mereka mengalami Bible Study yang pertama, dan Yesus sendirilah yang membimbing mereka. Namun, Yesus menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tahu Kitab Suci, tetapi mereka kurang iman. Ketika kita membaca Alkitab tanpa iman, buku ini tidak lebih dari sebuah novel yang indah atau sebuah teks kuno yang penuh misteri. Hanya dengan iman, kita bisa bertemu Tuhan yang menceritakan kisah-Nya di dalam Kitab Suci ini. Tidak heran Yesus berkata kepada mereka bahwa Kitab Suci adalah tentang Dia karena Yesus adalah Allah yang sama yang hadir dalam penciptaan, yang memimpin bani Ibrani dalam eksodus mereka, dan yang mengutus para nabi untuk membimbing orang Israel di tanah terjanji.

Kleopas dan istrinya mengingatkan kita tentang pasangan pertama yang juga gagal untuk beriman kepada Allah. Mereka adalah Adam dan Hawa. Setelah dialog pertama dengan Setan yang membawa mereka pada malapetaka, mereka sebenarnya layak menerima kematian. Namun, Tuhan tidak membiarkan kematian merenggut mereka dengan segera, tetapi sebaliknya Dia membuat bagi mereka pakaian dari kulit sebagai tanda perlindungan-Nya. Ketika mereka meninggalkan taman Eden yang indah sebagai konsekuensi dari pilihan mereka, itu juga terakhir kali kita mendengar tentang apa yang terjadi di dalam taman tersebut. Mengapa? Tuhan tidak ada lagi di taman itu. Dia mengikuti Adam dan Hawa yang pergi dari Eden. Tuhan tidak ingin mereka pergi lebih jauh dari-Nya tetapi dengan sabar membimbing mereka kembali ke surga. Tuhan tidak hanya membimbing dan menemani Adam dan Hawa, Dia juga berjalan dengan Kleopas dan istrinya, dan membimbing mereka ke sebuah tempat di mana mereka menemukan ke Eden yang baru. Mereka mengenali Yesus saat Dia mengambil, memberkati, memecah-mecah dan memberikan roti kepada mereka. Mereka mengenali Yesus saat Ekaristi kudus pertama setelah kebangkitan. Ekaristi adalah Firdaus yang baru.

Kisah-kisah kita dalam kehidupan, bahkan yang paling buruk sekalipun seperti di masa pandemi ini, hanya sungguh bermakna ketika Allah menjadi bagian dari cerita kita. Perjalanan ke Emaus memberi pengertian yang lebih dalam tentang tujuan Misa Kudus. Dalam Misa, kita selalu memulai dengan membaca Kitab Suci karena kita diundang untuk melihat kisah-kisah kecil kita dalam kisah-kisah terbesar Allah. Ketika kita menemukan makna hidup kita di dalam Allah, itulah saatnya kita menemukan Yesus sungguh hidup dalam liturgi Ekaristi.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Divine Mercy

Second Sunday of Easter [A]

April 19, 2020

John 20:19-31

ViaDolorosa0181The second Sunday of Easter is also known as the Divine Mercy Sunday. The liturgical celebration of the Divine Mercy Sunday is declared in the year 2000 by Pope St. John Paul II who had a strong devotion to the Divine Mercy revealed to St. Faustina. Though the feast itself is something recent, the truth of divine mercy is fundamental in the Bible and Sacred Tradition. If there is one prevailing character of God, it is not other than mercy. In the Old Testament, there are at least two Hebrew words that can be translated as mercy. One is rāḥam and the other is ḥeṣedh.

The word Raham is closely related to a woman’s womb. It is the feeling and action that flow from the womb, the source and nurturer of new life. Mercy comes from the realization that we belong to the same womb, that we are siblings. Thus, when one of our brothers is suffering or struggling with a difficulty, we easily empathize with him and are moved to alleviate his hardship. Yet, mercy can be also understood as a maternal impulse towards someone who has come from her womb. It is the genuine yearning that moves a mother to do anything for her children. Mercy in this sense, I believe, is more proper to God. He cannot but be merciful and embrace our sufferings and even weakness because we are coming from God’s spiritual womb. No wonder, the Church dare asserts that we are God’s children.

The word “Hesedh” is also a powerful word and it may mean a steadfast love or a relentless fidelity to a covenant. Our God is a person who is unthinkably bold to tie Himself to a covenant with weak humans like Adam and his descendants. Because of this, the Bible is nothing but a story of a faithful God who gives Himself to unfaithful men and women. From Adam who failed to his duty to guard the garden, down to Peter who denied Jesus three times, humanity is terribly disloyal, but God remains faithful and offers His forgiveness to rebuild the shattered relationship.

The choice of the Second Sunday of Easter to be the Divine Mercy is an excellent decision because the Gospel speaks powerfully how God’s mercy operates. The risen Jesus appeared to the disciples and gave them the authority to forgive sins. This is the story of the institution of the sacrament of reconciliation. Forgiveness is the first and foremost manifestation of mercy. Though the authority to forgive belongs properly to God, the risen Christ has willed that this authority is shared with His apostles. Since the apostles are the first bishops, the same power is handed down to their successors. And the bishops shared this divine power and responsibility to their co-workers, the priests.

The Gospel begins with the disciples who were afraid. They were afraid for many reasons, but one of the strongest reasons was that they were afraid of Jesus. They have abandoned and been unfaithful to Him, and they heard that Jesus has risen. They thought that it was the time of judgment, time to get even. Yet, Jesus appeared and His first word is not a word of anger or judgment, but “peace” or “shalom”. The disciples should no longer be afraid and be at peace because despite their unfaithfulness because they have been forgiven.

The Easter season begins with the assurance that God is merciful and offering us the forgiveness we do not deserve. And this season invites us to forgive more because we are forgiven, to become the apostles of peace because we have received peace from Jesus.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kerahiman Ilahi

Minggu Kedua Paskah [A]

19 April 2020

Yohanes 20: 19-31

confession at streetHari Minggu Paskah kedua juga dikenal sebagai Minggu Kerahiman Ilahi. Perayaan Minggu Kerahiman Ilahi ditetapkan pada tahun 2000 oleh St. Yohanes Paulus II yang memiliki devosi khusus kepada kerahiman Ilahi yang diwahyukan kepada St. Faustina. Meskipun perayaan liturgi ini sendiri adalah sesuatu yang baru, kebenaran akan kerahiman Ilahi adalah sesuatu yang mendasar dalam Alkitab dan Tradisi Suci. Jika ada satu karakter Allah yang paling penting, ini tidak lain adalah kerahiman-Nya. Dalam Perjanjian Lama, setidaknya ada dua kata Ibrani yang dapat diterjemahkan sebagai kerahiman. Yang satu adalah rāḥam dan yang lainnya adalah ḥeṣedh.

Kata “Raham” terkait erat dengan rahim wanita. “Raham” adalah perasaan dan tindakan yang mengalir dari rahim yang adalah sumber dan pemelihara kehidupan baru. Kerahiman datang dari kesadaran bahwa kita berasal dari rahim yang sama, bahwa kita bersaudara. Maka, ketika salah satu saudara kita menderita atau bergulat dengan kesulitan, kita dengan mudah berempati dan tergerak untuk meringankan kesulitannya. Namun, “raham” dapat juga dipahami sebagai perasaan keibuan terhadap seseorang yang telah datang dari rahimnya. Perasaan tulus inilah yang menggerakkan seorang ibu untuk melakukan segalanya untuk anak-anaknya. Kerahiman dalam pengertian ini lebih pantas bagi Tuhan. Dia tidak bisa tidak berbelas kasih dan merangkul penderitaan dan bahkan kelemahan kita karena kita datang dari “rahim rohani” Tuhan. Tidak heran, Gereja berani mengajarkan bahwa kita adalah anak-anak Allah.

Kata “Hesedh” juga merupakan kata yang penting dan ini bisa berarti kasih yang teguh atau kesetiaan yang tak kenal batas. Tuhan kita adalah pribadi yang sangat berani mengikat diri-Nya pada sebuah perjanjian dengan manusia yang lemah seperti Adam dan keturunannya. Karena itu, jika kita rangkum isi Alkitab, ini tidak lain adalah sebuah kisah tentang Allah yang setia yang memberikan diri-Nya kepada manusia yang tidak setia. Dari Adam yang gagal menjalankan tugasnya untuk menjaga taman, sampai ke Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali, umat manusia terkenal sebagai makhluk yang sulit untuk setia. Namun, Tuhan tetap setia dan memberikan pengampunan-Nya untuk membangun kembali hubungan yang hancur karena ulah manusia ini.

Pilihan Minggu Kedua Paskah untuk menjadi Minggu kerahiman Ilahi adalah keputusan yang sangat tepat karena Injil berbicara bagaimana kerahiman Ilahi beroperasi. Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid dan memberi mereka wewenang untuk mengampuni dosa. Ini adalah kisah tentang institusi sakramen rekonsiliasi. Pengampunan adalah manifestasi pertama dan utama dari kerahiman. Meskipun otoritas untuk mengampuni adalah milik Allah, Kristus yang bangkit telah menghendaki bahwa otoritas ini dibagikan kepada para rasul-Nya. Karena para rasul adalah para uskup pertama, kuasa yang sama diberikan kepada penerus mereka. Dan para uskup membagikan kuasa Ilahi dan tanggung jawab ini kepada rekan kerja mereka, para imam.

Injil dimulai dengan para murid yang takut. Mereka takut karena banyak sebab, tetapi salah satu alasan terkuat adalah mereka takut kepada Yesus. Mereka telah meninggalkan dan tidak setia kepada-Nya, dan mereka mendengar bahwa Yesus telah bangkit. Mereka berpikir bahwa ini adalah saat penghakiman, saat untuk membalas dendam. Namun, Yesus menampakkan diri dan kata-kata pertamanya bukanlah kata kemarahan atau penghakiman, tetapi “damai” atau “shalom”. Para murid seharusnya tidak lagi takut dan damai karena terlepas dari ketidaksetiaan mereka karena mereka telah diampuni.

Masa Paskah dimulai dengan jaminan bahwa Allah berbelas kasih dan menawarkan kepada kita pengampunan yang tidak pantas kita terima. Dan masa ini mengundang kita untuk lebih mengampuni karena kita telah diampuni, dan untuk menjadi rasul perdamaian karena kita telah menerima kedamaian dari Yesus.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Empty Tomb

Easter Sunday

April 12, 2020

John 20:1-9

ViaDolorosa0203Today is the day of resurrection. Today is the day Jesus has conquered sin and death. Today is the day of our victory. No wonder among the liturgical celebration of the Church, Easter is the grandest, the longest and the most spectacular. It is the time that the churches are flooded with the faithful. It is the time that parishioners got involved in many activities, practices, and services. It is the time when families gather and celebrate. It is the time the priests receive more blessings!

However, something strange this year. Our Easter celebration is silent and simple. It is like an empty tomb, quiet and dark. And like the empty tomb, our churches are also empty, the pews are without people, and our buildings are darker. This Easter, we do not hold burning candles in our hands. This Easter, we do not sing together the Exultet. This Easter, we still do not receive the holy communion.

We may be like Mary Magdalene or Peter who discovered the empty tomb. Mary Magdalene was confused and at a loss when she saw the empty tomb. She was weeping before the tomb because she thought the body of Jesus has been stolen. She loved Jesus so much, but she had to see His Lord tortured, crucified and buried. It was a painful and crushing experience to see someone she loved dying like an animal. As if not enough with all the pain, this time, the body was missing. Peter did not fare better. After he had told his Master that he would give his life for Him, less than a few hours, he denied Jesus, not once, not twice, but thrice. He realized that he was a coward, and this brought pain and terrible humiliation. To make things worse, he discovered the tomb empty and he failed to understand.

This year is different because God has invited us to go deeper into the tomb. In previous years, we may be dazzled by the shining angel. We focus ourselves on various preparations, on the beautiful songs, on the floral decorations, on a joyous atmosphere, or perhaps on the priests! But this year, God calls our attention to the empty tomb, to endure the silence, to bear the darkness, and to reflect deeper on how Jesus resurrected.

Jesus did not put a spectacular show on how He conquered death. Jesus did not take any selfies when He returned from the dead! Rather, Jesus rose in the secret of the cave. Jesus won over death in the silence of the tomb. Jesus saved us in the hidden and mysterious way. Yet, this is the resurrection, and this is the most beautiful moment in human history.

This year Easter gives us a powerful lesson. God has risen even in the empty tombs of our lives. God is alive even we are far from the church we love and serve. God is alive even when we feel the most powerless inside our homes. God is alive even when we are struggling with many difficulties caused by this pandemic.

Perhaps, it is the time we reflect more on how God works gently in our lives. Perhaps, it is the time to rethink our priorities in life and to place God in the center. Perhaps, it is the time to appreciate the people who love, to reconcile with people who are close to us.

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

 

Kubur Kosong

Minggu Paskah

12 April 2020

Yohanes 20: 1-9

empty-tomb-29306808Hari ini adalah hari kebangkitan Yesus. Hari ini adalah hari Yesus mengalahkan dosa dan maut. Hari ini adalah hari kemenangan kita. Tidak mengherankan di antara perayaan liturgi Gereja, Paskah adalah yang termegah, terpanjang dan paling spektakuler. Inilah saatnya gereja dibanjiri oleh umat beriman. Inilah saatnya umat paroki terlibat dalam banyak kegiatan, persiapan, dan pelayanan. Inilah saatnya keluarga berkumpul dan merayakan. Inilah saatnya para imam menerima lebih banyak berkat!

Namun, sesuatu yang aneh tahun ini. Perayaan Paskah kita sunyi dan sederhana. Hal ini seperti sebuah makam kosong, sunyi dan gelap. Dan seperti makam kosong, gereja-gereja kita juga kosong, bangku tanpa umat, dan bangunan kita lebih gelap. Paskah ini, kita tidak memegang lilin yang menyala di tangan kita. Paskah ini, kita tidak bernyanyi bersama Exultet. Paskah ini, kita masih belum menerima komuni suci.

Kita mungkin seperti Maria Magdalena atau Petrus yang menemukan makam kosong. Maria Magdalena bingung dan bingung ketika dia melihat makam kosong itu. Dia menangis di depan kuburan karena dia pikir tubuh Yesus telah dicuri. Dia sangat mengasihi Yesus, tetapi dia harus melihat Tuhannya disiksa, disalibkan dan dikuburkan. Itu adalah pengalaman yang menyakitkan dan menghancurkan untuk melihat seseorang yang dikasihinya mati seperti binatang. Seolah tidak cukup dengan semua rasa sakit, kali ini, tubuh itu hilang. Petrus juga mengalami hal sama. Setelah dia memberi tahu Gurunya bahwa dia akan memberikan hidupnya untuk-Nya, kurang dari beberapa jam, dia menyangkal Yesus, tidak hanya sekali, tidak dua kali, tetapi tiga kali. Dia menyadari bahwa dia adalah seorang pengecut, dan ini membawa rasa sakit dan penghinaan yang mengerikan. Untuk memperburuk keadaan, dia menemukan makam itu kosong dan dia gagal untuk mengerti.

Tahun ini berbeda karena Tuhan telah mengundang kita untuk masuk lebih dalam ke dalam kubur. Pada tahun-tahun sebelumnya, kita mungkin terpesona oleh malaikat yang bersinar. Kita memfokuskan diri pada berbagai persiapan, pada lagu-lagu indah, pada dekorasi bunga, pada suasana gembira, atau mungkin pada para imamnya! Tetapi tahun ini, Tuhan meminta perhatian kita pada makam kosong, untuk sendiri dalam kesunyian, hening dalam kegelapan, dan untuk merenungkan lebih dalam tentang bagaimana Yesus bangkit.

Yesus tidak menunjukkan pertunjukan yang spektakuler tentang bagaimana Ia menaklukkan maut. Yesus tidak mengambil foto narsis apa pun ketika Ia kembali dari kematian! Sebaliknya, Yesus bangkit dalam rahasia gua. Yesus menang atas maut dalam keheningan kubur. Yesus menyelamatkan kita dengan cara yang tersembunyi dan misterius. Namun, ini adalah kebangkitan, dan ini adalah momen paling indah dalam sejarah manusia.

Tahun Paskah ini memberi kita pelajaran yang kuat. Tuhan telah bangkit bahkan di kuburan kosong kehidupan kita. Tuhan itu hidup bahkan kita jauh dari gereja yang kita cintai dan layani. Tuhan itu hidup bahkan ketika kita merasakan yang paling tidak berdaya di dalam rumah kita. Tuhan itu hidup bahkan ketika kita berjuang dengan banyak kesulitan yang disebabkan oleh pandemi ini.

Mungkin, inilah saatnya kita lebih banyak merenungkan bagaimana Tuhan bekerja dengan lembut dalam hidup kita. Mungkin, inilah saatnya untuk memikirkan kembali prioritas kita dalam hidup dan menempatkan Tuhan sebagai prioritas kita. Mungkin, inilah saatnya untuk menghargai orang-orang yang mencintai, untuk berdamai dengan orang-orang yang dekat dengan kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Getsemani

Jumat Agung

10 April 2020

Yohanes 18 – 19

Jesus praysJika ada satu hal yang menyatukan orang-orang dari berbagai negara, bahasa, dan agama, ini adalah penderitaan. Dengan coronavirus yang menyebar sangat cepat, orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, muda dan tua, kaya dan miskin, dan bangsawan dan rakyat jelata, dan awam dan klerus jatuh tersungkur dan gemetar. Memang, virus mikroskopis ini telah meluluh lantahkan kehidupan banyak orang. Orang-orang sakit kerah, rumah sakit kewalahan, kota-kota terisolasi, keluarga-keluarga terpisah, pekerja-pekerja menganggur, pemerintah-pemerintah tak berdaya, dan gereja-gereja kosong. Penderitaan memaksa kita untuk mengakui kelemahan manusiawi kita dan semua yang kita banggakan, ternyata hampa.

Saya mendengar semakin banyak pertanyaan dari beberapa teman dan umat, “Kapan ini akan berakhir? Aku rindu untuk melakukan rutinitas, kapan kita dapat kembali ke Gereja? Apakah kita akan selamat? Apakah kita akan mati? Di manakah Tuhan dalam masa yang paling sulit ini?” Sebagai seorang imam yang bekerja di sebuah paroki, adalah tugas saya untuk menguatkan umat Allah di saat-saat pencobaan ini, namun saya tidak bisa begitu saja memberikan kata-kata penghiburan namun tidak berisi. Saya tidak bisa hanya mengatakan, “itu akan segera berakhir” meskipun, mereka tahu bahwa itu tidak akan berakhir secepat itu. Adalah kebohongan ketika saya memberi tahu orang-orang, “Tidak apa-apa, jangan khawatir.” Sementara saya sendiri berjuang dengan rasa sakit dan kekecewaan. Ini adalah tahun pertamaku sebagai romo, namun, saya mendapati diri saya terasingkan dari orang-orang yang saya layani. Realitas yang paling menyakitkan adalah bahwa saya tidak dapat merayakan Pekan Suci, waktu yang paling suci dengan orang-orang yang saya kasihi, dan umat yang saya cintai.

Pada saat kebingungan, kesakitan, dan penderitaan ini, saya ingin mengajak Anda semua untuk melihat salib, namun dari balik salib itu, mari kita bersama Yesus dalam sakratul maut-Nya.. Yesus bersama dengan ketiga murid-Nya, pergi ke bukit Zaitun, dan ke bagian bawah bukit ini, ada sebuah taman yang disebut Getsemani. Nama Getsemani berarti “tempat memeras zaitun” dan tempat ini menjadi salah satu penyuplai minyak zaitun bagi kota Yerusalem. Zaitun sendiri adalah minyak yang banyak kegunaannya namun juga berharga. Minyak ini digunakan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti bumbu makanan dan membakar lampu. Minyak berfungsi sebagai obat dan mengurapi orang sakit. Itu juga digunakan untuk tujuan sakral. Minyak zaitun dipersembahkan sebagai bagian dari kurban harian di Bait Suci [Bil. 28: 5]. Dan para imam seperti Harun dan raja-raja seperti Daud diurapi dengan minyak zaitun. Dengan berbagai kegunaan, dari rumah tangga hingga penggunaan sakral, tidak mengherankan bahwa dalam tradisi Yahudi kuno, pohon zaitun disebut sebagai pohon kehidupan di tengah taman Eden.

Namun, untuk menghasilkan minyak, buah zaitun harus dihancurkan dan diperas. Pertama, buah akan digiling oleh batu kilangan besar. Kedua, setelah hancur menjadi bubur, ini diperas untuk mengekstraksi minyak. Buah dari pohon kehidupan harus dihancurkan untuk menghasilkan kehidupan itu sendiri. Dan Yesus mengerti bahwa Dia adalah pohon kehidupan baru, dan Dia harus dihancurkan terlebih dahulu untuk menghasilkan kehidupan yang benar.

Yesus menghadapi saat yang mengerikan dalam hidup-Nya dan Dia memiliki semua pilihan untuk menghadapinya. Yesus bisa saja lari, Dia bisa memanggil pasukan malaikat untuk membela-Nya, atau Dia bisa dengan mudah menempatkan orang lain untuk disalibkan. Namun, Yesus memilih untuk merangkul salib dan kematian-Nya karena Dia tahu ini adalah cara yang berbuah. Hanya melalui penderitaan dan kematian, Dia dapat mengasihi kita sampai akhir, dan kita mungkin memiliki hidup yang berlimpah.

Dalam menghadapi penderitaan kita, kita dipanggil seperti Yesus untuk merangkulnya, dan bahkan dihancurkan olehnya, sehingga kehidupan sejati dapat mengalir. Memang benar bahwa pada tahun pertama saya sebagai seorang imam, Tuhan memiliki rencana yang berbeda untuk saya, dan saya tidak dapat merayakan Minggu Suci dengan umat yang saya kasihi, tetapi Dia bahkan memberi saya hadiah berharga untuk berpartisipasi dalam penderitaan dan kematian-Nya secara lebih penuh.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Olive

Good Friday

April 10, 2020

John 18 – 19

jesus prays 2If there is one thing that unites people from different nations, languages, and religions, that is the experience of suffering. With the ultra-fast spreading coronavirus, covid-19, people with different backgrounds, young and old, rich or poor, and noblemen or commoners, and laypeople or clergy fall in their knees and tremble. Indeed, this microscopic virus has shattered countless lives. People are dying, hospitals are overwhelmed, cities are isolated, families are separated, workers are jobless, governments are at loss, and churches are empty. Pope Francis notes that “we are just one the same boat”, and this boat is sinking. Suffering forces us to admit our human frailty and all that we are proud of, are a mere breath.

I heard more and more questions from some of my friends, “When is it going to end? We miss to do our ordinary routine, when can we go back to the Church? Are we going to survive? Are we going to die? Where is God in this most troubling time?” As a priest working in a parish, it is our duty to strengthen the people of God in this moment of trials, yet I cannot simply offer a consoling yet untrue words. I cannot simply say, “it is going to end soon” though, at the back of their minds, they know that it is not. It is a plain lie when I tell people, “It is fine, don’t worry.” While I am myself struggling with pain and disappointment. This is my first year as a priest, yet, I find myself exiled from the people of I serve. The most painful reality is that I cannot celebrate the Holy Week, the most sacred time with the people I love and care for.

At this moment of confusion, pain, and suffering, I would like to invite all of you to see the cross, and yet before the cross, let us be with Jesus on His agony in the garden. Jesus together with His three disciples, went to the mount of Olivet, and to the part of this mount, the garden called Gethsemane. The name Gethsemane means “olive press” and some of the olive oil needed by the city of Jerusalem came from this place. Olive itself is a basic and yet precious oil. It is used for daily household needs like cooking, seasoning, and burning the lamp. Since it has a therapeutic effect, the oil serves as a medicine. It is also used for sacred purposes. Olive oil is offered as part of daily sacrifice in the Temple [Num 28:5]. And the priests like Aaron and kings like David were anointed with olive oil. With a wide range of utilities, from household to sacred use, no wonder that in ancient Jewish traditions, the olive tree was considered as the tree of life in the middle of the garden of Eden.

However, to produce the oil, the fruits have to be two-step crushing process. Firstly, the fruits shall be ground by a huge millstone. Secondly, the olive pulp shall be squeezed to extract the oil. The fruits of the tree of life have to be crushed to produce life itself. And Jesus understood that He is the new tree of life, and He has to be crushed first to yield the true life.

Jesus is facing the horrifying time in His life and He has all the options to deal with it. Jesus could have run, He could have summoned the legions of angels to defend Him, or He could simply place someone else to be crucified. Yet, Jesus chooses to embrace His cross and death because He knows this is the most fruitful way. Only through suffering and death, He can love us to the end, and we may have life abundantly.

In the face of our suffering, we are called like Jesus to embrace it, and even be crushed by it, so that true life may flow. It is true that in my first year as a priest, God has a different plan for me, and I cannot celebrate the Holy Week with the people I serve, but He gives me even a precious gift to participate in His suffering and death more fully.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hosanna

Palm Sunday of the Lord’s Passion

April 5, 2020

Matthew 21:1-11 and Matthew 26:14—27:66

palm at homeToday, we are celebrating the Palm Sunday of the Lord’s Passion. In many countries, today is a big celebration where people excitedly throng the Church. I remember when I was still studying in the Philippines, the faithful would pack almost all the 11 masses in our Church, Santo Domingo Church. It was a festive celebration as many people were carrying palm branches of a coconut tree.

However, something bizarre takes place this year. The churches in many countries are temporarily closed, the faithful are asked to avoid gathering, including the Holy Eucharist, and people are confused about what to do with the Celebration of the Holy Week. A parishioner once painfully asked me, “Father, since the Church is closed, what shall I do with the palm branches I have?” Surely, there is always a pastoral solution to any problem that the faithful have. Yet, the real issue is not so much about how to clear up the confusion, but how to deal with the deep pain of losing what makes us Catholics. No palm in our hands, no kissing of the crucifix, and no Body of Christ.

Reflecting on our Gospels’ today, we are somehow like the people of Jerusalem who welcomed Jesus and shouted, “Hosanna!” The Hebrew word “Hosanna” literally means “save us!” or “give us salvation!” It is a cry of hop `e and expectation. We need to remember that the people of Israel during this time was were under the Roman Empire’s occupations. Commonly, lives were hard and many people endured heavy taxation under severe punishment. Many faithful Jews were anticipating the promised Messiah, who like David, would restore the lost twelve tribes of Israel, deliver them from the grip of the Romans and bring them into a glorious kingdom. They saw Jesus as a charismatic preacher, miraculous healer, and nature conqueror, and surely, Jesus could be the king that would turn the Roman legions upside down. We need to remember also the context of the Gospel that in few days, the Jewish people would celebrate the great feast of Passover, and thousands of people were gathered in Jerusalem. With so much energy and euphoria, a small incident could ignite a full-scale rebellion. And Jesus was at the center of this whirlpool.

Jesus is indeed a king and savior, but He is not the kind of king that many people would expect. He is a peaceful king, rather than a warmonger, that is why He chose a gentle ass rather than a strong horse. His crown is not shining gold and diamond, but piercing thorns. His robe is not purple and fine-linen, but skin full of scars. His throne is neither majestic nor desirable, but a cross.

We may be like people of Jerusalem, and we shout “Hosanna!” to Jesus, expecting Him to save us from this terrible pandemic, to bring our liturgical celebrations back, and to solve all our problems. However, like people of Jerusalem, we may get it wrong. Jesus is our Savior, but He may save us in the way that we do not even like.

The challenge is whether we lose patience and dismiss Jesus as a preacher of fake news, rather than good news, or endure the humiliation with Him; whether we get discouraged and begin to shout, “Crucify Him!” or we stand by His cross. The challenge is whether we get bitter and start mocking the church authorities for their incompetence handling the crisis or we continue to support them in time of trial; whether we are cursing the grim situations or we begin to spread the light however small it is.

Why does God allow us to endure this terrible experience, or to be more precise, why does God allow Himself to endure this terrible experience? Let us wait at the Good Friday.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hosanna

Minggu Palma Mengenang Sengsara Tuhan

5 April 2020

Matius 21: 1-11 dan Matius 26: 14—27: 66

palm n crossHari ini, kita merayakan Minggu Palma. Di banyak negara, hari ini adalah perayaan besar dan umat dengan penuh semangat memenuhi Gereja. Saya ingat waktu masih kecil saya selalu paling semangat ikut perarakan romo yang memasuki Gereja dan kami mengikutinya dengan membawa daun palma kami masing-masing.

Namun, sesuatu yang memilukan terjadi tahun ini. Gereja-gereja di banyak negara ditutup sementara, umat beriman diminta untuk tidak berkumpul, termasuk menghadiri Ekaristi suci, dan orang-orang bingung apa yang harus dilakukan dengan Perayaan Pekan Suci. Seorang umat paroki bertanya dengan sedih kepada saya, “Romo, karena Gereja ditutup, apa yang harus saya lakukan dengan cabang-cabang palma yang saya petik?” Tentunya, selalu ada solusi pastoral untuk hal-hal ini, tetapi masalah sebenarnya bukan tentang bagaimana mengatasi kebingungan, tetapi bagaimana menghadapi kepedihan yang mendalam karena kehilangan apa yang membuat kita menjadi Katolik. Tidak ada palma di tangan kita, tidak ada ciuman kaki salib, dan tidak ada Tubuh Kristus.

Orang-orang Yerusalem yang menyambut Yesus dan berteriak, “Hosanna!” Kata Ibrani “Hosanna” secara harfiah berarti “selamatkan kami!” atau “beri kami keselamatan!” Itu adalah seruan harapan. Kita perlu ingat bahwa orang-orang Israel pada masa ini berada di bawah pendudukan Kekaisaran Romawi. Umumnya, kehidupan itu sulit dan banyak orang menanggung pajak berat dan peraturan yang membebankan. Banyak orang Yahudi yang setia mengharapkan Mesias yang dijanjikan, yang seperti Daud, akan memulihkan dua belas suku Israel yang hilang, membebaskan mereka dari cengkeraman bangsa Romawi dan membawa mereka ke kerajaan yang mulia. Mereka melihat Yesus sebagai pewarta karismatik, penyembuh ajaib, dan penakluk alam yang ganas, dan tentunya, Yesus bisa menjadi raja yang akan menjungkirbalikkan pasukan Romawi. Kita perlu mengingat juga konteks Injil hari ini, bahwa dalam beberapa hari, orang-orang Yahudi akan merayakan pesta besar Paskah, dan ribuan orang berkumpul di Yerusalem. Dengan begitu banyak energi dan euforia, insiden kecil bisa memicu pemberontakan skala besar. Dan Yesus berada di pusat pusaran ini.

Yesus memang seorang raja dan penyelamat, tetapi Ia bukan raja yang diharapkan banyak orang. Dia adalah raja damai, bukan jendral perang, itulah sebabnya Dia memilih keledai yang lembut daripada kuda yang kuat. Mahkotanya bukan emas dan berlian yang bersinar, tetapi duri yang tajam. Jubahnya bukan kain halus ungu, tetapi kulit yang penuh luka. Takhta-Nya tidak megah, tetapi sebuah salib yang hina.

Kita mungkin seperti orang-orang di Yerusalem, dan kita berteriak “Hosanna!” kepada Yesus, mengharapkan Dia untuk menyelamatkan kita dari pandemi yang mengerikan ini, untuk mengembalikan perayaan liturgi kita, dan untuk menyelesaikan semua masalah kita. Namun, seperti orang-orang Yerusalem, kita mungkin keliru. Yesus adalah Juru Selamat kita, tetapi Dia mungkin menyelamatkan kita dengan cara yang bahkan tidak kita sukai.

Tantangannya adalah apakah kita kehilangan kesabaran dan mengatakan bahwa Yesus sebagai pewarta hoax, dan bukan kabar baik, atau menanggung penghinaan dengan-Nya; apakah kita berkecil hati dan mulai berteriak, “Salibkan Dia!” atau kita berdiri di dekat salib-Nya. Tantangannya adalah apakah kita menjadi pahit dan mulai mengejek otoritas gereja karena ketidakmampuan mereka menangani krisis, atau kita terus mendukung mereka pada masa pencobaan; apakah kita mengutuk situasi yang suram, atau kita mulai menyebarkan cahaya sekecil apa pun itu.

Mengapa Tuhan membiarkan kita menanggung pengalaman mengerikan ini, atau lebih tepatnya, mengapa Allah membiarkan diri-Nya menanggung pengalaman mengerikan ini? Mari kita tunggu jawabannya di Jumat Agung.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP