Holy Families

Feast of the Holy Family [B]

December 27, 2020

Luke 2:22-40

We are celebrating the feast of the Holy Family, and indeed, we are celebrating not only the family of Jesus, Mary, and Joseph but every human family. Through this liturgical celebration, the Church is inviting us to recognize the importance and the value of our family. Not only acclaiming the fundamental worth of family, but we are also invited to embrace and celebrate family lives.

At a human level, many social experts have understood that healthy and thriving societies begin in robust families. The families do not only fill the communities with human populations, but they provide an environment where children can grow into physically and psychologically mature men and women. A healthy and mature adult turns to be an asset to society.

From the perspective of faith, the Church always considers family as the basic unit of society and the Church herself. In his apostolic exhortation, Familiaris Consortio, Pope St. John Paul II affirmed the family’s fundamental role as the intimate community of life and love. In the family, husband and wife learn to love each other deeper and deeper every day. In the family, parents offer unconditional and sacrificial love for their children. In the family, the children learn to give honor and respect to their parents and their brothers and sisters. Because only in love, human persons find their true fulfillment as God’s image who is Love.

The Scriptures also give premium to family life. To honor our mother and father is one of the Torah’s highest commandments [Exo 20:]. Sirach even claimed that honoring our parents can atone for our sins [Sir 3:3]. St. Paul himself, in his letter to the Colossians, instructed each member of the family on how to behave [see Col 3:12-21].

Yet, going back to Jesus, we discover that for Him, a family is indeed indispensable. As God, Jesus could have come to us directly from heaven. He did not need human aid. Yet, He chose to be born of the virgin Mary, and through the angel, instructed Joseph to become the husband of Mary and, thus, His foster father. When He became man, He entered a human family and grew through Joseph and Mary’s guidance and protection. Jesus has become part of a family, and His presence sanctified His human family. This is a poignant message for all that family is a school of holiness because Jesus is present.

We also admit that family life is not always smooth and sweet. Moments of frustrations, misunderstanding, anger, and sadness often come and struck us. Various problems ranging from economic stability to emotional immaturity beset our familial relationship. However, these ugly situations may be transformed into means of holiness if Jesus is present among us. Raising children can be tough and even irritating, but we can offer this cross to the Lord as prayer. A relationship with our spouse can be filled with misunderstanding, but before we vent our emotions, we may pause a moment and ask the Lord the best course of action we shall take. Thus, through these difficulties, we are made closer to the Lord.

We thank the Lord for the gift of life, love, and family.

Happy feast day of the Holy Family!

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Keluarga-Keluarga Kudus

Pesta Keluarga Kudus [B]

27 Desember 2020

Lukas 2: 22-40

Kita merayakan pesta Keluarga Kudus, namun kita tidak hanya merayakan keluarga Yesus, Maria dan Yusuf, tetapi setiap keluarga di dunia. Melalui perayaan liturgi hari ini, Gereja mengundang kita untuk menyadari pentingnya dan berharganya keluarga kita. Tidak hanya menghargai nilai dasar keluarga, kita diundang untuk merangkul dan merayakan kehidupan keluarga.

Di tingkat manusia, banyak ahli sosial telah memahami bahwa masyarakat yang sehat dan berkembang dimulai dari keluarga yang kokoh. Keluarga tidak hanya mengisi komunitas dengan populasi manusia, tetapi juga menyediakan lingkungan di mana anak-anak dapat tumbuh menjadi pria dan wanita yang dewasa secara fisik dan psikologis. Manusia-manusia dewasa yang sehat dan mapan menjadi aset masyarakat dan bangsa.

Dari perspektif iman, Gereja selalu memandang keluarga sebagai unit dasar tidak hanya masyarakat tetapi Gereja itu sendiri. Dalam Seruan Apostoliknya, Familiaris Consorsium, Paus St. Yohanes Paulus II menegaskan peran fundamental keluarga sebagai “komunitas hidup dan kasih”. Dalam keluarga, suami dan istri belajar untuk saling mencintai semakin dalam setiap harinya. Dalam keluarga, orang tua memberikan kasih tanpa pamrih dan pengorbanan untuk anak-anak mereka. Di dalam keluarga, anak-anak belajar untuk menghormati dan menyayangi orang tua serta saudara-saudara mereka. Karena hanya dalam kasih, manusia menemukan pemenuhan sejatinya sebagai citra Tuhan yang adalah Kasih.

Alkitab juga sangat menghargai kehidupan keluarga. Menghormati ibu dan ayah kita adalah salah satu perintah tertinggi dalam Hukum Taurat [Kel 20]. Sirach bahkan mengklaim bahwa menghormati orang tua kita dapat menghapus dosa-dosa kita [Sir 3:3]. St. Paulus sendiri dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, memberikan instruksinya kepada setiap anggota keluarga tentang bagaimana berperilaku yang baik sebagai anggota keluarga [lihat Kol 3: 12-21].

Kembali kepada Yesus, kita menemukan bahwa bagi Dia, keluarga memang sangat esensial. Sebagai Tuhan, Yesus bisa saja datang kepada kita langsung dari surga. Dia tidak membutuhkan bantuan manusia untuk menebus manusia. Namun, Dia memilih untuk dilahirkan dari perawan Maria, dan melalui malaikat, Dia menginstruksikan Yusuf untuk menjadi suami Maria dan dengan demikian, menjadi ayah angkat-Nya. Ketika Yesus menjadi manusia, Dia memasuki keluarga manusia, dan tumbuh melalui bimbingan dan perlindungan Yusuf dan Maria. Yesus telah menjadi bagian dari sebuah keluarga, dan kehadiran-Nya menguduskan keluarga manusia-Nya. Ini adalah pesan penting bagi semua keluarga bahwa keluarga akan menjadi sekolah kekudusan karena Yesus hadir.

Kita akui juga bahwa kehidupan keluarga tidak selalu mulus dan manis. Saat-saat frustrasi, kesalahpahaman, amarah dan kesedihan seringkali datang dan menghantam kita dengan keras. Berbagai masalah mulai dari stabilitas ekonomi hingga ketidakdewasaan emosional melanda hubungan kekeluargaan kita. Namun, situasi buruk ini dapat diubah menjadi sarana kekudusan jika Yesus hadir di antara kita. Membesarkan anak bisa jadi sulit dan bahkan menjengkelkan, tetapi kita bisa mempersembahkan salib ini kepada Tuhan sebagai doa. Hubungan dengan pasangan kita dapat dipenuhi dengan kesalahpahaman, tetapi sebelum kita melampiaskan emosi kita, kita mungkin berhenti sejenak dan bertanya kepada Tuhan tindakan terbaik yang akan kita ambil. Dengan demikian, melalui kesulitan-kesulitan ini, kita menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Kita berterima kasih atas karunia kehidupan, kasih dan keluarga.

Selamat Pesta Keluarga Kudus!

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Emmanuel

Christmas – Mass during the Night [B]

December 24, 2020

Luke 2:1-14

Christmas is one of the most beautiful and joyous times of the year. Christmas is the time to gather with the families and friends and to have an exchange of gifts. Christmas is the time to put up Christmas trees, place Nativity scenes, and play Christmas songs. Surely, Christmas is the time when families once again go to the church together.

However, this year, things do not go as we want them to be. The pandemic caused by Covid-19 continues to plague our societies, and it significantly affects how we do things and relate with one another. Some of us can no longer go home because of our nature of professions or travel restrictions. Some of us will not attend the beautiful Christmas vigil liturgy because the Church remained closed. Some of us have no special meals on the table because the poor economy hits us hard. For some of us, it is just a lonely and sad Christmas because some of our family members are sick or even have passed away.

Is this still a Christmas? In these difficult situations, all the more, we are invited to reflect on the mystery of Incarnation. The drama of salvation begins with a little baby with His poor parents. Joseph was David’s son, yet he was no more than a poor carpenter, who cannot even provide a decent place for his wife to give birth. Mary was a young mother who had to endure unimaginable shame and various threats to her life. And, at the center of Christmas is the baby boy who is God and yet chose to be born in the most unworthy place of all, a cave filled with animals. He did not opt for much grander places like a royal palace or a magnificent castle. He did not decide to be wrapped with a purple royal garment, but a simple linen cloth. He did not select a golden and comfortable bed, but an unhygienic stone manger.

Looking at the circumstances, Jesus’ birth is not that impressive, but this is what makes the mystery of Incarnation touch every human heart. He did not come as an imposing and authoritarian king like Augustus. He did not come as a shrewd military leader like Julius Caesar. He did not come as a smart politician like Herod. God comes to us as the weakest baby in the humblest place. He is a God who radically loves us and wills to embrace even our weak nature.

Christmas reminds us that Jesus is with us when we are broken by economic conditions; Jesus is with us when we cannot be with our loved ones. Jesus is with us when we are losing our family members. The first Christmas points to us that God does not always spare us from suffering, but He promises to be with us in these terrible times.

One of my friends just lost his father due to Covid-19. It was sudden and untimely death. And what made it very painful is they could not give the last farewell for him as the remain brought immediately to the cemetery. When I had a chance to talk to him, I discovered he could accept the death, and then I asked him the reason. He narrated to me that before his father was admitted to the hospital, he gave his father a brown scapular. He also learned that his father passed away when he was praying the rosary. He believed that his father was not alone when he died; God is with him. Indeed, Jesus is the Emmanuel: God is with us.

Merry Christmas!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: debby hudson

Immanuel

Malam Natal [B]

24 Desember 2020

Lukas 2: 1-14

Natal adalah salah satu masa terindah dan menggembirakan. Natal adalah waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan para sahabat, dan juga bertukar hadiah. Natal adalah waktu memasang pohon Natal, merancang Gua Natal, dan memutar lagu-lagu Natal. Pastinya, Natal adalah saat keluarga pergi ke gereja bersama-sama.

Namun, tahun ini, banyak hal tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Pandemi yang disebabkan oleh Covid-19 terus menghantam masyarakat kita, dan memengaruhi secara signifikan cara kita melakukan sesuatu dan berelasi satu sama lain. Beberapa dari kita tidak bisa lagi pulang karena profesi kita atau pembatasan perjalanan. Beberapa dari kita tidak akan dapat menghadiri liturgi malam Natal yang indah karena Gereja tetap tutup. Beberapa dari kita tidak memiliki makanan spesial di atas meja karena ekonomi yang buruk memukul kita dengan keras. Bagi sebagian dari kita, ini adalah Natal yang dingin dan menyedihkan karena beberapa anggota keluarga kita sakit atau bahkan telah meninggal dunia.

Apakah ini masih Natal? Dalam situasi sulit ini, semakin kita diundang untuk merenungkan misteri Inkarnasi. Drama keselamatan dimulai dengan seorang bayi kecil dengan orang tua-Nya yang miskin. Yusuf adalah putra Daud, namun dia tidak lebih dari seorang tukang kayu yang sederhana, yang bahkan tidak dapat menyediakan tempat yang layak bagi istrinya untuk melahirkan. Maria adalah seorang ibu muda, yang harus menanggung rasa malu yang tak terbayangkan dan berbagai ancaman terhadap hidupnya. Dan, di tengah Natal adalah bayi laki-laki yang adalah Tuhan sendiri, tetapi memilih untuk dilahirkan di tempat yang paling tidak layak, sebuah gua yang dipenuhi dengan binatang. Dia tidak memilih tempat yang sangat megah seperti istana atau kastil yang megah. Ia tidak memilih untuk dibungkus dengan pakaian kerajaan berwarna ungu, melainkan kain linen sederhana. Dia tidak memilih tempat tidur emas dan nyaman, tetapi palungan batu yang tidak higienis.

Melihat keadaannya, kelahiran Yesus memang tidak terlalu mengesankan, tapi inilah yang membuat misteri Inkarnasi menyentuh hati setiap manusia. Dia tidak datang sebagai raja yang mendominasi dan otoriter seperti kaisar Agustus. Dia tidak datang sebagai pemimpin militer yang lihai seperti Julius Caesar. Dia tidak datang sebagai politikus yang cerdas seperti Herodes. Tuhan datang kepada kita sebagai bayi terlemah di tempat yang paling rendah. Dia adalah Tuhan yang sangat mengasihi kita, dan ingin merangkul bahkan kodrat kita yang lemah kita.

Natal mengingatkan kita bahwa Yesus menyertai kita ketika kita bergulat dengan kondisi ekonomi; Yesus menyertai kita saat kita tidak bisa bersama orang yang kita cintai. Yesus menyertai kita saat kita kehilangan anggota keluarga kita. Natal pertama menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan tidak selalu melepaskan kita dari penderitaan, tetapi Dia berjanji untuk selalu menyertai kita di saat-saat yang sulit ini.

Salah satu teman saya baru saja kehilangan ayahnya karena Covid-19. Hal ini adalah kematian yang tiba-tiba dan terlalu cepat. Yang membuatnya sangat menyakitkan adalah mereka tidak bisa memberikan perpisahan terakhir karena jenazah segera dikubur. Ketika saya memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya, saya melihat dia sudah dapat menerima kepergian ayahnya. Sayapun menanyakan alasannya. Dia menceritakan kepada saya bahwa sebelum ayahnya dirawat di rumah sakit, dia dapat memberikan skapulir coklat kepada ayahnya. Dia juga mengetahui bahwa ayahnya meninggal ketika dia berdoa rosario. Dia percaya bahwa ayahnya tidak sendirian ketika dia meninggal, Tuhan menyertainya. Sungguh, Yesus adalah Imanuel, Tuhan beserta kita.

Selamat Natal!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: debby hudson

Mary’s Fiat

Fourth Sunday in Ordinary Time [B]

December 20, 2020

Luke 1:28-36

Christmas is fast approaching, and the Church is inviting us to reflect on the story of the Annunciation. Allow me to once more focus on the Blessed Virgin’s Fiat. To appreciate her answer to God’s will and plan, we need to see at least two things. Firstly, it is her historical and social context. Secondly, it is the language analysis of her response.

Mary was a young girl. According to tradition, she was around 13 or 14 years old when she got married. For many of us, living in urban settings, Mary’s marriage was remarkably too early. But, this kind of practice was nothing but expected. Lives were hard, and many people died too young due to sickness, famine, calamity, or wars. To sustain a healthy number of populations, young girls were prepared for the duty of motherhood.

Mary was betrothed to Joseph from the family of David. In the Jewish community, betrothal is the first formal step in a Jewish marriage. The exchange of vows was done in this betrothal. Mary and Joseph were spouses in the eye of Jewish law and society, except for the intimate relationship. The couple had to wait around one year before the bride moved to the house prepared by the groom from the betrothal. Usually, there was a light procession from the bride’s original place to the new house, where the wedding ceremony and reception would occur.

Legally, Mary was Joseph’s wife, and if something wrong happened, it was judged to be adultery. The Law of Moses abhors adultery since it reflects Israel’s infidelity toward Yahweh, breaking the sacred covenant. Thus, for those who were unfaithful, severe punishment awaited them. In Deu 20:22, the Torah explicitly stated that if a betrothed woman commits adultery, she and the man shall be stoned to death.  As a good Jew, Mary was aware of this terrible consequence when archangel Gabriel announced the glad tiding. If she gave her affirmation, she might face certain, untimely death. Nobody would believe her if she tried to defend her supernatural virginal conception. “She must be insane!” some would say. However, despite this imminent horrible future, Mary accepted her mission.

Now, why did she say her Fiat? I used to think that Mary’s fiat is about surrendering everything to God.  She did not understand, but her faith enabled her to trust in God’s providence. In the face of ominous dangers, to have this kind of faith is extremely remarkable. However, as I read more about this Fiat, I discover that Mary’s Fiat is more than an act of self-surrender. The Greek word used by Mary is “genomai.” This word is rather special because it expresses not an act of submission but an act of longing. This tiny detail spells the great difference. Mary did not just submit to the will of God, but she longed to do it. She was not passively accepting her fate but rather proactively fulfilling God’s plan in her. There were no traces of fear, doubt, and worry. Her yes was driven by passion, hope, and eagerness. Despite bleak tomorrow, she knew that she was about to depart into an unimaginably amazing journey. For her, the Lord’s plan is always the best and the only way to reach our utmost potential.

Do we have what it takes to have Mary’s Fiat?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: Phil hearing

Fiat Maria

Minggu Keempat di Waktu Biasa [B]

20 Desember 2020

Lukas 1: 28-36

Natal semakin dekat dan Gereja mengundang kita sekali lagi untuk merenungkan kisah Kabar Sukacita. Izinkan saya untuk sekali lagi fokus pada “Fiat” atau jawaban Ya Perawan Maria [Fiat sendiri berasal dari bahasa Latin, artinya “terjadilah”]. Untuk mengerti lebih dalam jawaban Maria atas kehendak dan rencana Tuhan, kita perlu melihat setidaknya dua hal. Pertama, konteks sejarah dan sosialnya, dan kedua adalah analisis bahasa dari tanggapan Maria.

Maria adalah seorang gadis muda. Menurut tradisi, dia berusia sekitar 13 atau 14 tahun saat menikah dengan Yusuf. Bagi banyak dari kita yang tinggal di lingkungan perkotaan, pernikahan semacam ini terlalu dini. Tapi, praktik semacam ini tidak hanya wajar tetapi dibutuhkan. Kehidupan pada zaman itu sangat sulit, dan banyak orang meninggal dalam usia muda karena penyakit, kelaparan, bencana atau perang. Untuk menopang jumlah populasi yang sehat, gadis-gadis muda harus dipersiapkan untuk menjalankan tugas seorang  ibu.

Injil menjelaskan bahwa Maria “bertunangan” dengan Yusuf dari keluarga Daud. Kata pertunangan sebenarnya kurang tepat, karena tidak menggambarkan realitas yang terjadi. Dalam komunitas Yahudi, ada dua tahap pernikahan. Tahap pertama adalah pertukaran janji antara pria dan wanita. Dengan pertukaran janji ini, Maria dan Yusuf sudah menjadi pasangan suami istri di mata hukum dan masyarakat Yahudi. Dari pertukaran janji ini, pasangan ini harus menunggu sekitar satu tahun sebelum pengantin wanita memasuki rumah yang telah disiapkan oleh pengantin pria. Biasanya, tahap kedua ini dimulai dengan prosesi cahaya dari tempat asal pengantin wanita ke rumah barunya yang menjadi tempat berbagai ritual upacara pernikahan dan resepsi akan dilangsungkan.

Secara hukum, Maria adalah istri Yusuf, dan jika Maria tidak setia, hal ini dianggap perzinaan. Hukum Taurat membenci perzinaan karena hal ini mencerminkan ketidaksetiaan Israel terhadap Yahwe, sebuah pelanggaran dari perjanjian suci. Karena itu, bagi mereka yang tidak setia, hukuman berat menanti mereka. Dalam Ulangan 20:22, Hukum Taurat secara eksplisit menyatakan bahwa jika seorang wanita yang telah mengikrarkan janji nikah dan melakukan perzinaan, dia dan pria itu akan dilempari batu sampai mati. Sebagai seorang Yahudi yang baik, Maria menyadari konsekuensi yang mengerikan ini, ketika malaikat agung Gabriel menyatakan kepadanya sebuah kabar gembira. Jika dia memberikan persetujuannya, besar kemungkinannya Maria akan menghadapi kematian yang mengenaskan. Tentunya, siapa yang akan mempercayai Maria jika dia mencoba menjelaskan bahwa bayi yang dikandungannya adalah karena kuasa Roh Kudus. Orang-orang akan berkata, “Dia pasti sudah gila!”. Namun, meski masa depan mengerikan menunggunya, Maria tetap menerima misinya.

Sekarang mengapa dia mengatakan Fiat? Saya dulu berpikir bahwa Fiat Maria adalah tentang menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Dia tidak mengerti tetapi imannya memungkinkan dia untuk percaya dan berpasrah kepada Tuhan. Dalam menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya, iman seperti ini sanggatlah luar biasa. Namun, saat saya membaca lebih banyak tentang Fiat ini, saya menemukan bahwa Fiat Maria lebih dari sekadar tindakan penyerahan atau pasrah diri. Kata Yunani yang digunakan Maria adalah “genomai”. Kata ini istimewa karena sejatinya tidak mengungkapkan penyerahan, tetapi kerinduan.

Detail kecil ini menunjukkan perbedaan yang besar. Maria tidak hanya sekedar tunduk pada kehendak Tuhan, tetapi dia berhasrat untuk berpartisipasi dalam pemenuhannya. Dia tidak pasif menerima takdirnya, melainkan secara proaktif memenuhi rencana Tuhan dalam dirinya. Tidak ada jejak ketakutan, keraguan dan kekhawatiran. Fiat Maria didorong oleh semangat, harapan, dan keinginan kuat. Meskipun hari esok suram, dia tahu bahwa dia akan berangkat ke perjalanan yang luar biasa tak terbayangkan bersama Tuhan. Bagi Maria, rencana Tuhan selalu merupakan rencana terbaik, dan satu-satunya jalan untuk mencapai potensi terbaik kita, keselamatan kita.

Apakah kita melihat seperti Maria melihat? Apakah kita memiliki iman seperti Maria? Apakah Fiat Maria adalah Fiat kita juga?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photo credit: arni svanur

 

 

Rejoice Always!

Gaudete Sunday. 3rd Sunday of Advent [B]

December 13, 2020

John 1:6-8, 19-28

This Sunday is special. We are still in the season of Advent, and yet we see a different liturgical color. It is a rose color [not pink!]. This beautiful color symbolizes joy and hope, and it is in line with the spirit of the third Sunday of Advent, the Gaudete Sunday. Gaudete is a Latin word meaning “Rejoice!” The name is rooted in the introit or the opening antiphon of the Mass, from Phil 4:4-5, “Rejoice in the Lord always; again I will say, Rejoice. 5 Let your gentleness be known to everyone. The Lord is near” In the second reading, St Paul reiterates the motif, “Rejoice always. Pray without ceasing. In all circumstances give thanks, for this is the will of God for you in Christ Jesus. [1 The 5:16].”

Yet, the real question is, “Is the Church too naïve in inviting us to rejoice in these difficult times?” This deadly and fast-spreading virus covid-19 has devastated practically the entire planet. While it does not physically destroy the earth like a nuclear bomb, it does kill countless people. It slows down the economy and forces many governments, even the strongest, to panic and struggle. The number of victims keeps increasing, and there is no sign of abating. Indeed, we are going to have a different experience of Christmas this year. Indeed, covid-19 is not the only thing that makes our day so bad. Personal issues, family problems, conflicts in the community, and many other things are still haunting our lives. How do you expect us to rejoice? If we examine the words of St. Paul in 1 Thes 5:16, we discover that to rejoice is not an option, but God’s will for us! It gives us more reason to ask how it is possible?

The key is to understand joy neither as a simple absence of pain nor bodily and emotional pleasure. The Greek word is “kaire” and Angel Gabriel uses the same word to address Mary [Luk 1:28]. If we look at the life of Mary, she does not have a fairy-tale-kind life. Her life will turn upside-down, a sword will pierce her soul, and she will see her son die on the cross. Nothing pleasurable and sensational about that! Yet, she says, “My spirit rejoices in God my savior [Luk 1:47]! Mary is able to discover something precious despite tons of ugly things in her life. She discovers Jesus.

In 1 The 5:16, rejoice cannot be separated from unceasing prayer and giving thanks in all circumstances. That is another key. Through prayer, we are connected to God, and in prayer, we learn to see God and His plan in our lives. Sometimes, we can only see good things in good time, but the Gospel has told us the opposite: there is God in the dirty manger, and even there is God on the horrible cross. When we see God in these broken pieces of lives, we cannot but give thanks. And, when we are always grateful, we are inspired to rejoice.  That is the spirit of Christmas, and we are trained in the school of Gaudete Sunday.

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Bersukacitalah Selalu!

Minggu Gaudete. Minggu ke-3 Adven [B]

13 Desember 2020

Yohanes 1: 6-8, 19-28

Minggu ini cukup istimewa. Kita masih dalam masa Adven, namun kita melihat warna liturgi yang berbeda. Itu adalah warna mawar atau merah muda. Warna indah ini melambangkan kegembiraan dan harapan, dan ini sejalan dengan semangat Minggu Adven ketiga, Minggu Gaudete. Gaudete adalah kata Latin yang berarti “Bersukacitalah!” Nama ini berakar pada introit atau antiphon pembukaan Misa, dari Filipi 4: 4-5, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!  Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat !” Dalam bacaan kedua, Santo Paulus mengulangi motif yang sama, “Bersukacitalah senantiasa.  Tetaplah berdoa.  Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. [1 Tesalonika 5:16]. ”

Namun, pertanyaan sebenarnya adalah “Apakah Gereja tidak naif dalam mengajak kita untuk bersukacita di masa-masa sulit ini?” Virus covid-19 yang mematikan dan cepat menyebar ini praktis telah meluluh lantahkan seluruh planet. Meskipun tidak menghancurkan bumi secara fisik seperti bom nuklir, hal ini membunuh banyak orang. Virus ini memperlambat ekonomi dan memaksa banyak pemerintah, bahkan yang terkuat sekalipun, menjadi panik dan bergulat. Jumlah korban terus meningkat dan tidak ada tanda-tanda mereda. Pastinya, kita akan mengalami pengalaman Natal yang berbeda tahun ini. Natal yang tidak lagi ceria. Tentunya, covid-19 bukanlah satu-satunya hal yang membuat hidup kita jadi buruk. Masalah pribadi, masalah keluarga, konflik di masyarakat dan banyak hal lainnya masih menghantui kehidupan kita. Bagaimana Gereja mengharapkan kita untuk bersukacita? Jika kita meneliti perkataan Santo Paulus dalam 1 Tes 5:16, kita menemukan bahwa bersukacita bukanlah pilihan, tetapi kehendak Tuhan bagi kita! Ini memberi kita lebih banyak alasan untuk bertanya bagaimana mungkin?

Kuncinya adalah memahami sukacita bukan hanya sebagai ketiadaan rasa sakit atau kesenangan fisik dan emosional. Kata Yunaninya adalah “kaire” dan ini adalah kata yang sama digunakan oleh Malaikat Gabriel untuk memanggil Maria [Luk 1:28]. Jika kita melihat kehidupan Maria, dia tidak memiliki kehidupan yang penuh dengan kesuksesan duniawi. Hidupnya berantakan saat Yesus hadir, pedang menembus jiwanya dan dia melihat putranya sendiri mati di kayu salib. Tidak ada yang sensasional tentang hidup Maria! Namun, Bunda Maria mampu berkata, “… Hatiku bergembira karena Allah, Juru selamatku [Luk 1:47]! Maria dapat menemukan sesuatu yang berharga di tengah-tengah banyak hal buruk dalam hidupnya. Dia menemukan Yesus.

Dalam 1 Tesalonika 5:16, bersukacita tidak lepas dari doa yang tak henti-hentinya dan mengucap syukur dalam segala keadaan. Itu adalah kunci kedua untuk bersukacita. Melalui doa, kita terhubung dengan Tuhan, dan dalam doa, kita belajar untuk melihat Tuhan dan rencana-Nya dalam hidup kita. Kadang-kadang, kita hanya mau melihat hal-hal yang baik pada saat yang baik, tetapi Injil mengatakan sebaliknya: ada Tuhan di palungan yang kotor dan bahkan ada Tuhan di salib yang mengerikan. Saat kita melihat Tuhan bahkan dalam kegelapan hidup kita, kita akan dimampukan untuk mengucap syukur. Dan, saat kita selalu bersyukur, kita terinspirasi untuk bersukacita. Inilah semangat Natal, dan kita dilatih di sekolah Minggu Gaudete.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: @stevenkyleadair

Mark and His Gospel

Second Sunday of Advent [B]

December 6, 2020

Mark 1:1-8

On the second Sunday of Advent, we are reading from the beginning of the Gospel of Mark. After all, this is the beginning of liturgical year B, and it is fitting to start with the first chapter of Mark. Yet, unlike Matthew and Luke, Mark has neither infancy narratives nor the childhood stories of Jesus. Mark commences his Gospel with John the Baptist, who announces the repentance and the coming of Christ.

Mark, among the four gospels, is arguably the least popular. This happens for understandable reasons. Mark is the shortest Gospel, and it has only 16 chapters and around fifteen thousand Greek words. [Matthew has around twenty-three thousand while Luke has twenty-five thousand]. Many stories in Mark are also found in Matthew and Luke, but many materials in Matthew or Luke are absent in Mark. Thus, people who read Matthew tend to skip Mark because they believe they have read Mark. This is certainly unfortunate because Mark has its characters and emphasis.

Mark is action-oriented Gospel. It immediately starts with a man of action, John the Baptist. Mark presents Jesus as someone who always in the move and is active. Mark does not write much about Jesus’ preaching but focuses on what Jesus does. He preaches the good news, heals the sick, exorcises the demons, does miracles, calls disciples, and travels a lot. Mark’s Gospel is also fast-paced, yet, despite the fast-moving events, Mark often paints more details in his accounts, like the Gerasene demoniac story [Mar 5:1-20].

The traditional symbol for Mark is a lion. He acquires this symbol because his Gospel starts with John, who boldly preaches repentance, just like a lion. Yet, the Gospel of Mark itself displays the character of a lion: it delivers his point powerfully and effectively. Mark was not the twelve disciples of Jesus, and he might be an eyewitness, especially when Jesus was arrested [Mark 14:51]. The Acts of Apostles calls him John Mark, a companion of Paul and Barnabas in their missionary journey. Still, unfortunately, Mark became a source of disagreement between Paul and Barnabas [Act 15:39]. Yet, he finally reconciled with Paul [Col 4:10]. Along the way, he turned to be the companion and disciple of St. Peter in Rome [1 Pet 5:13]. Later, in the early second century, Papias, bishop of Hierapolis, testified that Mark was the interpreter of Peter and wrote down Peter’s teachings of Jesus. Because of Peter’s authority, we understand why Mark’s Gospel was selected as one of the canonical gospels.

What can we learn from Mark and his Gospel, especially this season of Advent? Mark gives us an example that we can approach Jesus in our unique characters. While Mark is writing about Jesus, he does not have to compose like John. Like Mark, we do not have to be someone else in loving God. While the saints serve as role models, we are invited to love Him with our unique personalities and ways. While we are united in one Church, our personalities do not disappear but rather enhanced in serving one another. Unless we recognize who we are fundamentally in Christ, we are going to fail to love authentically.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: samantha-sophia

Markus dan Injilnya

Minggu Kedua Adven [B]

6 Desember 2020

Markus 1: 1-8

Pada Minggu kedua Adven, kita membaca dari awal Injil Markus. Kita ingat bahwa ini adalah awal dari tahun liturgi B sehingga awal Injil Markus adalah bacaan yang tepat. Namun, tidak seperti Matius dan Lukas, Markus tidak memiliki narasi kelahiran maupun kisah masa kecil Yesus. Markus memulai Injilnya dengan Yohanes Pembaptis yang mewartakan pertobatan dan kedatangan Kristus.

Markus di antara keempat Injil, bisa dibilang paling tidak populer. Mengapa? Markus adalah Injil terpendek dan hanya memiliki 16 bab dan sekitar lima belas ribu kata Yunani. [Matius memiliki sekitar dua puluh tiga ribu sedangkan Lukas memiliki dua puluh lima ribu]. Banyak cerita dalam Markus juga ditemukan dalam Matius dan Lukas, tetapi banyak materi dalam Matius atau Lukas tidak ada dalam Markus. Jadi, orang yang membaca Matius cenderung melewatkan Markus karena mereka yakin mereka telah membaca Markus. Hal ini tentunya sangat disayangkan karena Markus memiliki karakter dan penekanan tersendiri.

Markus adalah Injil yang berorientasi pada tindakan. Injil ini dimulai dengan Yohanes Pembaptis, “man of action”. Markus menampilkan Yesus sebagai seseorang yang selalu bergerak dan aktif. Markus tidak banyak menulis tentang pengajaran Yesus, tetapi berfokus pada apa yang Yesus lakukan. Yesus memberitakan kabar baik, menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, melakukan mukjizat, memanggil murid dan mengunjungi banyak tempat. Injil Markus juga bergerak cepat, namun, meskipun bergerak cepat, Markus sering menuliskan lebih banyak detail dalam ceritanya di bandingkan Matius atau Lukas, seperti kisah orang yang dirasuki roh jahat di Gerasa [Mar 5: 1-20].

Lambang tradisional Markus adalah seekor singa. Dia memperoleh simbol ini karena Injilnya dimulai dengan Yohanes yang dengan berani memberitakan pertobatan, layaknya seekor singa. Namun, Injil Markus sendiri menampilkan karakter seekor singa: Injil ini menyampaikan pesannya dengan kuat dan efektif. Markus sendiri bukanlah dua belas rasul Yesus, dan ada kemungkinan bahwa dia adalah menjadi saksi mata, terutama ketika Yesus ditangkap [Markus 14:51]. Dari Kisah Para Rasul, nama lengkapnya adalah Yohanes Markus yang pada awalnya adalah rekan Paulus dan Barnabas dalam perjalanan misionaris mereka. Namun, sayangnya, Markus menjadi sumber ketidaksepakatan antara Paulus dan Barnabas [Kis 15:39]. Akhirnya dia berdamai dengan Paulus [Kol 4:10]. Markus kemudian menjadi pendamping dan murid St. Petrus di Roma [1 Pet 5:13]. Menurut kesaksian Papias, uskup Hierapolis, pada awal abad kedua, Markus adalah penerjemah dari St. Petrus dan menuliskan ajaran Petrus tentang Yesus secara akurat tapi tidak secara kronologis. Karena otoritas Petrus inilah, Injil Markus dipilih sebagai salah satu Injil kanonik.

Apa yang dapat kita pelajari dari Markus dan Injilnya terutama pada masa Adven ini? Markus memberi kita teladan bahwa kita dapat melayani Yesus dengan kepribadian kita yang unik. Saat Markus menulis tentang Yesus, dia tidak menulis seperti Yohanes. Saat Lukas mengutip Markus, dia tidak sekedar menjiplak Markus, tetapi menulis dengan gayanya sendiri. Seperti Markus, kita tidak harus menjadi orang lain dalam mengasihi Tuhan. Sementara para kudus memberikan teladan, kita diundang untuk mengasihi Dia dengan kepribadian dan cara kita yang unik dan terbaik. Saat kita menjadi bagian dalam satu Gereja, kepribadian kita tidak hilang, melainkan ditingkatkan dalam melayani satu sama lain. Kecuali kita mengenali siapa kita secara fundamental di dalam Kristus, kita akan gagal untuk mengasihi secara otentik.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP