Keraguan dan Iman

Minggu Kedua Paskah [B] – Minggu Kerahiman Ilahi

11 April 2021

Yohanes 20: 19-31

Tomas, salah satu rasul Yesus, disebut sebagai ‘orang yang ragu’. Sikap skeptisnya muncul ketika dia tidak hadir pada pertemuan rasul hari Minggu, dan dia melewatkan hal terpenting yang terjadi pada hari Minggu: kebangkitan Yesus. Dari sini, kita dapat memetik pelajaran penting: jangan absen pada misa hari Minggu!

Menjadi skeptis atau ragu adalah bagian dari kodrat manusia kita. Bahkan skeptisisme pada tahap tertentu itu sehat dan perlu. Ketika kita menemukan klaim atau informasi yang tidak biasa, kita tidak langsung mempercayai hal itu dan juga meragukannya. Keraguan mengundang kita untuk menyelidiki dan memverifikasi kebenaran klaim tersebut. Ketika semua keraguan dihilangkan, kita bisa yakin akan kebenaran hal tersebut.

Ada klaim-klaim yang memang tidak boleh diterima begitu saja dan harus diverifikasi. Jika seorang laki-laki dituduh mencuri, ia berhak mendapatkan proses hukum, dan berdasarkan bukti-bukti, hakim yang berwenang akan menjatuhkan keputusan. Tidak hanya di dalam pengadilan, bidang ilmu alam dan sosial juga memiliki metode-metode ilmiah yang ketat untuk membuktikan sebuah hipotesis. Gereja juga mengadopsi sikap yang sama. Ketika Gereja menerima klaim bahwa seseorang telah melihat Tuhan atau Perawan Maria, Gereja tidak langsung percaya dan akan menyelidikinya. Apakah orang tersebut mengalami masalah kejiwaan, atau hanya berhalusinasi? Apakah roh jahat itu terlibat? Apakah wahyu pribadi bertentangan dengan ajaran Gereja? Setelah menghilangkan keraguan, Gereja akan menyatakan posisinya atas klaim tersebut.

Kembali ke Thomas, pada awalnya, keraguan Thomas tampaknya sesuatu yang wajar karena dia mendengar klaim spektakuler kebangkitan Yesus dari para rasul yang lain. Sebagai seorang Yahudi, Tomas mungkin percaya pada kebangkitan orang mati, tapi ini akan terjadi pada akhir zaman. Kebangkitan Yesus sungguh tidak terduga. Karena itu, Thomas meminta bukti. Namun, jika kita melihat kata-kata Yesus kepada Tomas setelah Dia menunjukkan luka-luka-Nya, “… jangan engkau tidak percaya [Yunani: apistis] lagi, melainkan percayalah. [Yoh 20:27]. ” Yesus menunjukkan bahwa apa yang terjadi pada Tomas bukanlah keraguan yang alami, tetapi ketidak percayaan yang disengaja.

Sementara keraguan alami dapat dihilangkan melalui proses verifikasi untuk mencapai kebenaran obyektif, di sisi lain, keyakinan adalah keputusan bebas untuk menerima klaim tertentu itu benar. Masalahnya adalah apa yang kita dipercaya tidak selalu sesuai dengan kebenaran obyektif. Jadi, ketika seseorang sudah memutuskan untuk menerima klaim tertentu sebagai kebenaran subyektifnya, dia tidak akan melepaskan klaim tersebut betapa pun salahnya hal itu. Idealnya, keyakinan kita sesuai dengan realitas objektif. St Thomas Aquinas secara sederhana menyatakan bahwa kebenaran adalah korespondensi [kecocokan] antara pikiran dan realitas.

Setelah Yesus menunjukkan kepada Thomas luka-luka-Nya sebagai bukti kebangkitan-Nya, Yesus menuju ke langkah berikutnya dan yang paling penting. Dia meminta Thomas untuk percaya. Thomas akhirnya menerima kebenaran kebangkitan sebagai miliknya sendiri. Yesus memang Tuhan dan Allah, tetapi hanya ketika Thomas menerima kebenaran ini sebagai miliknya, dia bisa berkata, ‘Ya Tuhanku dan Allahku.’

Dalam hidup ini, kita mungkin sama seperti Tomas. Kita mungkin mempelajari kebenaran iman Katolik sejak kita muda, tetapi apakah kita benar-benar mempercayai dan menghidupinya? Kita mungkin mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan kita, tetapi apakah kita benar-benar percaya dan berpegang pada Dia pada saat pencobaan dan kesulitan? Kita mungkin berkata bahwa Tuhan telah menebus kita, tetapi apakah kita hidup seperti orang-orang tertebus?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Leave a comment