True Healing

13th Sunday in Ordinary Time [B]

June 27, 2021

Mark 5:21-43

In today’s Gospel, we encounter two persons who are seeking healing. One is Jairus, the synagogue’s official, who wants his dying daughter healed, and the second one is a woman who desires to be cured of her incurable haemorrhage. Both have done almost everything but in vain. Then, as their last hope, they turn to Jesus. They humbly beg Jesus and trust that Jesus can work miracles.

Often, we can relate to the situations of Jairus and the woman. Perhaps, like Jairus, we are panicking when we know our little children are having fever and experiencing pain. Maybe, like the woman with a haemorrhage, we are battling a particular illness. We try almost everything, spending a lot of money and enduring painful treatments, yet we are not getting any better. We realize how limited and fragile we are. We have no one to turn to but God, and we become instantly pious and start praying different novenas, attending the mass, and healing services. The thing is that while some of us may receive miraculous healing, some may not.

One of the best times during my seminary years is when I was assigned to the hospital as an associate chaplain. I had to visit different patients and attend to their spiritual needs. There, I talked to several people battling cancers for years. I listened to several men and women who were losing their kidneys and had to undergo countless dialysis. Initially, I thought I possessed the gift of healing, but after several intense prayers of healing, not much happened. I realized that I did not have the unique gift of healing, and it was a bit frustrating to learn that the conditions were not getting better. I finally asked, “why didn’t God answer our prayers?”

Yet, as I journey together with them, each one has a story to share and has a face to show. They were not just a man with cancer or patient B21, but a real person with real name and real life. It is only when I see deeper in each story, in each tear, in each pain, I gradually discover the presence of God. God’s love is felt through the care of selfless family members. His hope is heard through the effort of tireless doctors and nurses. His presence is inside those people who continue to offer me a smile despite the pain they endure.

Jesus indeed healed Jairus’ daughter and the woman, but He did not come to cure every illness in the world. His healing is beyond mere physical wellness. He comes so that we receive salvation and eternal life. He comes so that we may touch and feel God’s love in our midst, and His graces empower us to love beyond our imagination. Indeed, we may not find physical healing, but we may discover what is truly essential in life. Wealth can quickly disappear, success can be instantly blown away, and physical appearance can deteriorate, but faith, hope and love remain. Indeed, we may not see our beloved getting better, but we are allowed to love, serve and sacrifice beyond human limitations. In sickness and even death, if we have faith in God, we grow and find the fullness of life.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Penyembuhan Sejati

Minggu Biasa ke-13 [B]
27 Juni 2021
Markus 5:21-43

Dalam Injil hari ini, kita menjumpai dua orang yang mencari kesembuhan. Yang pertama adalah Yairus, petugas sinagoga, yang ingin putrinya yang disembuhkan, dan yang kedua adalah seorang wanita yang ingin disembuhkan dari pendarahannya yang tak kunjung hilang. Keduanya telah melakukan hampir segalanya, tetapi tak ada hasilnya. Sebagai harapan terakhir, mereka berpaling kepada Yesus. Mereka dengan rendah hati memohon kepada Yesus dan percaya bahwa Yesus dapat melakukan mukjizat.

photocredit: Alex Green

Seringkali, kita dapat merasakan apa yang dialami oleh Yairus dan sang wanita itu. Mungkin, seperti Yairus, kita panik saat tahu anak kita yang masih kecil demam dan kesakitan. Mungkin, seperti wanita yang mengalami pendarahan, kita sedang berjuang melawan penyakit, dan kita mencoba hampir segalanya, menghabiskan banyak uang, dan menjalani perawatan yang menyakitkan, namun kita tidak menjadi lebih baik. Kita menyadari betapa terbatas dan rapuhnya kita. Kita tidak memiliki siapa pun untuk berpaling selain Tuhan, dan kita langsung menjadi saleh dan mulai berdoa novena, menghadiri misa, dan mengikuti layanan penyembuhan. Masalahnya adalah bahwa sementara beberapa dari kita mungkin menerima penyembuhan ajaib, beberapa mungkin tidak.

Salah satu pengalaman terbaik selama saya menjadi frater adalah ketika saya ditugaskan di rumah sakit sebagai asisten kapelan. Tugas saya adalah mengunjungi para pasien dan memenuhi kebutuhan spiritual mereka. Di sana, saya berbicara dengan beberapa orang yang berjuang melawan kanker selama bertahun-tahun. Saya mendengarkan beberapa pria dan wanita yang kehilangan ginjal dan harus menjalani cuci darah yang tak terhitung jumlahnya. Awalnya, saya pikir saya memiliki karunia penyembuhan, tetapi setelah beberapa doa penyembuhan yang intens, tidak ada yang terjadi. Saya menyadari bahwa saya tidak memiliki karunia khusus untuk menyembuhkan. Saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa bagi mereka. Saya akhirnya bertanya, “mengapa Tuhan tidak menjawab doa-doa kita?”

Namun, saat saya menemani mereka, masing-masing dari mereka memiliki cerita untuk dibagikan, dan memiliki wajah untuk ditunjukkan. Mereka bukan hanya seorang pria dengan kanker atau pasien di kamar B21, tetapi manusia yang nyata dengan nama pribadi dan kehidupan nyata. Hanya ketika saya melihat lebih dalam di setiap cerita, di setiap air mata, di setiap rasa sakit, saya secara bertahap menemukan kehadiran Tuhan. Kasih Tuhan dirasakan melalui kepedulian dan kasih anggota keluarga yang tidak mementingkan diri sendiri. Kasih-Nya didengar melalui upaya para dokter dan perawat yang tak kenal lelah. Kehadiran-Nya ada di dalam diri pribadi-pribadi yang terus memberikan saya senyuman meskipun rasa sakit yang mereka alami.

Yesus memang menyembuhkan putri Yairus dan wanita itu, tetapi Dia tidak datang untuk menyembuhkan setiap penyakit di dunia. Penyembuhan-Nya melampaui kesehatan fisik belaka. Dia datang agar kita menerima keselamatan dan hidup yang kekal. Dia datang agar kita dapat menyentuh dan merasakan kasih Tuhan di tengah-tengah kita, dan rahmat-Nya memberdayakan kita untuk mengasihi melampaui imajinasi kita. Memang, kita mungkin tidak menemukan penyembuhan fisik, tetapi kita menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup. Kekayaan dapat dengan mudah hilang, kesuksesan dapat lenyap, dan penampilan fisik dapat memburuk, tetapi Sabda Tuhan, kasih dan doa tetap ada selama-lamanya. Memang, kita mungkin tidak melihat orang-orang yang kita kasihi menjadi lebih baik, tetapi kita diberi kesempatan untuk mengasihi, melayani, dan berkorban di luar keterbatasan manusia. Dalam sakit dan bahkan kematian, jika kita memiliki iman kepada Tuhan, kita tumbuh dan menemukan kepenuhan hidup.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Lord of the Storms

The Lord of the Storms

12th Sunday in Ordinary Time [B]

June 20, 2021

Mark 4:35-41

In today’s Gospel, Jesus and His disciples crossed the sea of Galilea. The lake of Galilea was a body of fresh water in northern Israel. The lake provided a fish famously named after St. Peter and a connecting water highway to different towns around the lake. It has become the socio-economic center of Galilea. No wonder many people living here were fishermen, including some of Jesus’ disciples. Many of them spent their adult lives in and around the sea of Galilea. The lake was their home and their livelihood. However, there were times that the lake behaved in unpredictable ways and turned to be a place of great danger. Even Simon and James, the most seasoned fishermen, were powerless before the mighty storm. Their home soon may become their graveyard.

photocredit: emeliano arano

The disciples saw Jesus sleeping, and indeed, it was a weird scene to behold. Yet, the disciples instinctively woke their Master up and expressed their fear. Jesus responded to their call and ordered the wind and the sea to calm down. The sea and the wind immediately obeyed! Jesus proved Himself not just as the wonder-healer, but He is the Master of nature and creations. In the Old Testament, only God stands above the mighty waters. Only God can control and command the ocean because God is their creator. Seeing this phenomenal display of power, the disciples became more afraid. They were not only facing the storm, but they are encountering the Lord of the storms.

Often, we are like the apostles sailing through our familiar territory, yet we suddenly face unexpected and crushing storms. We believe that we are doing fine in our works or business, but surprisingly the pandemic hits us hard, and we are losing our financial stability. We used to have a great family and relatives, but suddenly, we must face a bitter reality that covid-19 kills one of our loved ones. We are having a wonderful and growing ministry and community, but now, we cannot gather and serve, and we are losing our direction.

We are afraid, and we are disoriented. Perhaps, we need to do what the apostles did: to call louder and cry harder to God. Yet, to our surprise, the Lord of all storms is just there with us in the same boat all along. He allows us to face mighty storms, to test our faith. Yet, He never leaves us but just appeared to be sleeping.

As a priest, the most challenging moment in my ministry is when I need to preach in a funeral mass for those people who die an untimely death. What should I say to the parents? What should I offer when God seems to be silent? What shall I bring when prayers seem unanswered? As I struggle with the mystery of suffering and death, Iike the pious Job, I ask the Lord for the answer. And just like to the disciples, Jesus’ response is, “Why are you afraid? Do you not yet have faith?” Through these times of crisis and trials, we are called to have even greater faith to see that even the most tremendous storms in our lives are under His command, and these take place as His providential care for us.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Tuhan dari Segala Badai

Minggu Biasa ke-12 [B]

20 Juni 2021

Markus 4:35-41

Dalam Injil hari ini, Yesus dan murid-murid-Nya menyeberangi danau Galilea. Danau Galilea adalah sebuah danau besar di Israel utara. Danau ini menjadi tempat berkembang biak ikan nila yang sering disebut sebagai ikan St. Petrus, Danau ini juga menjadi menghubung berbagai kota di sekitar danau tersebut. Karena hal-hal inilah, danau ini menjadi pusat sosial-ekonomi di Galilea. Tidak heran jika banyak orang yang tinggal di sini adalah nelayan, termasuk beberapa murid Yesus. Banyak dari mereka menghabiskan masa dewasa mereka di dan di sekitar danau Galilea. Danau pada dasarnya adalah rumah dan tempat mata pencaharian mereka. Namun, ada kalanya danau ini berperilaku tidak terduga dan berubah menjadi tempat bahaya besar. Bahkan Simon dan Yakobus, nelayan yang paling berpengalaman di antara para rasul, tidak berdaya menghadapi badai yang dahsyat itu. Danau yang adalah rumah mereka akan segera menjadi kuburan mereka.

Di tengah kepanikan para murid, mereka melihat Yesus yang tertidur. Namun, para murid secara naluriah membangunkan sang guru mereka dan mengungkapkan ketakutan mereka akan kematian. Yesus menanggapi panggilan mereka dan memerintahkan angin dan danau untuk tenang. Danau dan angin segera patuh! Yesus membuktikan diri-Nya bukan hanya sebagai penyembuh dan pelaku mujizat, tetapi Dia adalah Penguasa badai, alam semesta dan seluruh ciptaan. Dalam Perjanjian Lama, hanya Tuhan Allah yang berdiri di atas air yang perkasa [Kej 1:1-3]. Hanya Tuhan yang bisa mengendalikan dan memerintah lautan karena Tuhan adalah penciptanya [Maz 107]. Melihat kekuatan yang fenomenal ini, para murid justru menjadi lebih takut. Mereka tidak hanya menghadapi badai, tetapi mereka sedang berhadapan dengan Tuhan atas badai ini.

Seringkali, kita seperti para rasul yang sedang berlayar melalui wilayah yang kita kenal, namun tiba-tiba kita menghadapi badai yang tak terduga dan menghancurkan. Bisa dikatakn, sekarang kita berada di tengah-tengah badai pandemi Covid-19. Kita percaya bahwa kita baik-baik saja dalam pekerjaan atau bisnis kita, tetapi secara mengejutkan pandemi menghantam kita dengan keras dan kita kehilangan stabilitas finansial kita. Dulu kita memiliki keluarga dan kerabat yang dekat, namun tiba-tiba kita harus menghadapi kenyataan pahit bahwa covid-19 merenggut salah satu orang yang kita kasihi. Kita memiliki pelayanan dan komunitas di Gereja yang luar biasa dan berkembang, tetapi sekarang, kita tidak dapat berkumpul dan melayani, dan kita kehilangan arah.

Kita takut, dan kita bingung. Mungkin, kita perlu melakukan apa yang para rasul lakukan: berseru lebih keras kepada Tuhan. Namun, yang mengejutkan kita, Tuhan dari segala badai ini sebenarnya ada bersama kita di kapal yang sama menghadapi badai. Dia mengizinkan kita untuk menghadapi badai besar, untuk menguji iman kita. Namun, Dia tidak pernah meninggalkan kita, walaupun kadang tampak seperti sedang tidur.

Saat yang sulit dalam pelayanan saya sebagai seorang imam adalah ketika saya harus berkhotbah dalam misa pemakaman atau arwah bagi orang-orang yang meninggal secara tak terduga. Apa yang harus saya katakan kepada orang tua? Apa yang harus saya tawarkan ketika Tuhan tampaknya diam? Apa yang harus saya bawa ketika doa tampaknya tidak dijawab? Saat saya bergumul dengan misteri penderitaan dan kematian, seperti Ayub yang saleh, saya meminta jawaban dari Tuhan. Dan sama seperti para murid, jawaban Yesus adalah “Mengapa kamu takut? Apakah kamu belum memiliki iman?” Melalui masa krisis dan pencobaan ini, kita dipanggil untuk memiliki iman yang lebih besar lagi untuk melihat bahwa bahkan badai terbesar dalam hidup kita berada di bawah perintah-Nya dan ini terjadi sebagai pemeliharaan pemeliharaan-Nya bagi kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Mystery of the Kingdom of God

11th Sunday in Ordinary Time [B]
June 13, 2021
Mark 4:25-34

The Kingdom of God is arguably the core of Jesus’ gospel. At the beginning of Jesus’ public ministry, His first sentence was, “This is the time of fulfilment. The Kingdom of God is at hand. Repent, and believe in the gospel [Mar 1:15].” Jesus’ mission is certainly to express love, save us from our sins, and so we will be able to partake in the life of God. To achieve this mission, He was establishing the Kingdom of God. Since Jesus is God, we can say that the Kingdom of God is the Kingdom of Jesus. No wonders, we celebrate the solemnity of Christ the King because He is the head of the Kingdom of God.

Yet, the real question is, what is the Kingdom of God? We shall go back a little to the Old Testament. In 2 Samuel 7, David was planning to build the house of God, the Temple in Jerusalem, but God, through the prophet Nathan, told David that instead of David constructing God’s house, it was God who would build the house of David. God promised that God would establish the Kingdom of David’s son, and the throne of his Kingdom would reign forever. However, if we learn the history, we are aware that after Solomon, the Kingdom of David was divided and declining. The northern Kingdom was demolished in 721 BC by the Assyrian empire, and the southern Kingdom was destroyed in 587 BC by the Babylonian superpower. Many Israelites were exiled and deported far from their homeland. Where was the promise of God to David?

Thus, when Jesus came and preached the Kingdom, many Jews were asking, “Is this the promised Kingdom? Is He for the real deal or just another mad man?” To the public, Jesus did not give a straightforward answer but parables. These parables both hide and reveal the truth of the Kingdom of God. For those who hated Jesus, these parables were just bizarre stories. For those who expected Jesus to be the militaristic messiah, these parables were confusing. ‘The kingdom of God should be like a mighty cedar tree, not like a mustard!’ However, for those disciples who believed in Jesus, these parables revealed the great mystery of the Kingdom.

Introducing the Kingdom of God like a mustard seed indeed shocked the people who hoped for the empires like Egypt or Rome. Surprisingly, the Kingdom of Jesus indeed behaved like mustard. It began with Jesus and His small and imperfect companions, but it gradually and slowly filled the whole world. The Kingdom does not conquer other nations with military and political maneuvering, and, like its head, the Kingdom has been subjected to countless cruel persecutions. However, despite the setback and trials, the Kingdom continues to grow and become the most prominent human community on the earth.

As part of the Kingdom of God, this is excellent news. We do not have to believe that we are majestic oak tree or mighty cedar and think that we can do everything with our strength. Otherwise, when we fail, we will get depressed. Yet, if we consider ourselves nothing but mustard seeds, we allow trials and failures to be part of our lives and let God work wonders. That is how amazing our God is.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Misteri Kerajaan Allah

Minggu ke-11 pada Masa Biasa [B]
13 Juni 2021
Markus 4:25-34

Kerajaan Allah bisa dikatakan sebagai inti dari Injil Yesus. Di awal pelayanan Yesus, kalimat pertama-Nya adalah, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” [Mar 1:15].” Misi Yesus tentu saja untuk mengungkapkan kasih Allah, menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita, sehingga kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan Tuhan. Untuk mencapai misi ini, Dia mendirikan Kerajaan Allah. Karena Yesus adalah Allah, kita dapat mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah Kerajaan Yesus sendiri. Tidak heran, kita merayakan pesta Kristus Raja pada akhir masa liturgi, karena Dia adalah sungguh kepala Kerajaan Allah.

Namun, pertanyaan sebenarnya adalah apakah Kerajaan Allah itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan ke Perjanjian Lama. Dalam 2 Samuel 7, Daud berencana untuk membangun rumah Tuhan, Bait Allah di Yerusalem, tetapi Tuhan melalui nabi Natan, memberi nubuat kepada Daud bahwa alih-alih Daud yang membangun rumah Tuhan, Tuhanlah yang akan membangun rumah Daud. Tuhan berjanji bahwa Tuhan akan mendirikan kerajaan Daud, dan seorang anak Daud akan bertakhta akan memerintah selamanya. Namun, jika kita mempelajari sejarah, kita menyadari bahwa setelah Salomo, kerajaan Daud terpecah dan terus mengalami kemunduran. Kerajaan utara dihancurkan pada 721 SM oleh kekaisaran Asyur, dan kerajaan selatan dihancurkan pada 587 SM oleh negara adidaya Babel. Banyak orang Israel diasingkan dan dideportasi jauh dari tanah air mereka. Dimanakah janji Tuhan kepada Daud?

Jadi, ketika Yesus datang dan memberitakan Kerajaan, banyak orang Yahudi bertanya, “Apakah ini Kerajaan yang dijanjikan? Apakah Yesus ini benar atau hanya penyebar hoax?” Kepada publik, Yesus tidak memberikan jawaban langsung melainkan melalui perumpamaan. Perumpamaan ini menyembunyikan dan mengungkapkan kebenaran tentang Kerajaan Allah. Bagi mereka yang membenci Yesus, perumpamaan ini hanyalah cerita-cerita aneh. Bagi mereka yang mengharapkan Yesus menjadi Mesias dalam artian pemimpin militer atau politik, perumpamaan ini membingungkan. ‘Kerajaan Allah harus seperti pohon beringin yang perkasa, bukan seperti sesawi!’ Namun, bagi para murid yang percaya kepada Yesus, perumpamaan ini mengungkapkan misteri besar kerajaan Allah.

Memperkenalkan kerajaan Allah seperti biji sesawi pasti mengejutkan orang-orang yang mengharapkan kerajaan Allah seperti kerajaan Mesir atau kekaisaran Roma. Yang menakjubkan adalah, kerajaan Yesus benar-benar berperilaku seperti sesawi. Ini dimulai dengan Yesus dan murid-murid-Nya yang kecil dan tidak sempurna, tetapi secara bertahap dan perlahan memenuhi seluruh dunia. Kerajaan Allah ini tidak menaklukkan negara lain dengan manuver militer dan politik, dan pada kenyataannya, seperti sang Kepala, kerajaan ini telah mengalami penganiayaan kejam yang tak terhitung jumlahnya. Namun, terlepas dari penderitaan dan cobaan, kerajaan itu terus berkembang dan menjadi komunitas manusia terbesar di bumi ini.

Sebagai bagian dari kerajaan Allah, ini benar-benar kabar baik bagi kita. Kita tidak harus percaya bahwa kita adalah pohon beringin yang megah, dan berpikir bahwa kita dapat melakukan segalanya dengan kekuatan kita sendiri. Dengan pemikiran seperti ini, ketika kita gagal, kita akan tertekan dan kecewa. Namun, jika kita melihat diri kita seperti biji sesawi, kita membiarkan ujian dan kegagalan menjadi bagian dari hidup kita, dan membiarkan Tuhan mengerjakan keajaiban di dalam hidup kita, sama seperti Dia membangun kerajaan-Nya. Itulah betapa menakjubkannya Tuhan kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Fullness of Love

The Solemnity of the Body dan Blood of Christ [Corpus Christi] – B

June 6, 2021

Mark 14:12-16;22-26

The Solemnity of the Body and Blood of Christ or Corpus Christi is the estuary of all the great feasts we have celebrated. We started from the great Holy Week and culminated in the Easter Triduum. Forty days after Easter Sunday, we worship Christ, who ascended into Heaven, and then He sent the Holy Spirit among the disciples on the day of Pentecost. And, just last Sunday, we gave our most excellent adoration to the Holy Trinity. Now, we have Corpus Christi. But, why this feast?

photocredit: annie Theby

Guided by the Holy Spirit, the Church has recognized the importance of the solemnity of Corpus Christi. The entire economy of creation and salvation streams down to this mystery. God created the world so that the world may share in His love. However, men and women fell into sin and departed from God’s love. Yet, His love and mercy are infinitely bigger than our wickedness, and He commissioned His Son to take up human nature and live among us. Not only to become a human, but Jesus also offered Himself on the cross for our salvation. St. John perfectly summed up, “For God so loved the world, He sent His only begotten Son, so that everyone who believes in may not perish but may have eternal life [John 3:16].” However, it is not the end of God’s amazing love story! The risen Christ miraculously transformed into the Eucharist to become our daily bread. In the most blessed sacrament of the Eucharist, “the body and blood, together with the soul and divinity, of our Lord Jesus Christ and, therefore, the whole Christ is truly, really, and substantially contained [CCC 1374].”

For those without faith, this bread is just a white tasteless wafer, but for us, who are called to eternal life, the bread is no longer bread but the fullness of Christ. When Jesus is there, the Holy Trinity is there as well. When the Trinity is there, the entire angelic hosts and choirs of saints are there as well. Receiving the Eucharist is receiving the whole Heaven, the eternal life. This is the will of Christ Himself, “Amen, amen, I say to you, unless you eat the flesh of the Son of Man and drink his blood, you do not have life within you. Whoever eats my flesh and drinks my blood has eternal life, [Jn 6:53-54].”

The Eucharist is the proof of God’s love. It is not enough for God to become human, not enough for Him to die and rise for us, not enough for Him to open the gates of Heaven. He wants us to share His divine life and love now and here.

Yet, Heaven is meant to be shared. As Jesus shares His life and love in the Eucharist, we are invited to become little Eucharists in our daily lives. As Jesus nourishes us with His Body and Blood, do we nourish people with our body and blood? As parents, do we offer our bodies and blood to our children so that they may experience true heavens? Do we bring Heaven to our family and communities? Do we become the agent of love to our societies?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kepenuhan Kasih

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus [Corpus Christi] – B

6 Juni 2021

Markus 14:12-16; 22-26

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus atau dikenal dalam Bahasa Latin, ‘Corpus Christi’ adalah muara dari semua hari raya yang telah kita rayakan selama ini. Kita mulai beberapa bulan yang lalu, dari Pekan Suci dan mencapai puncaknya dalam Trihari Suci. Empat puluh hari setelah Minggu Paskah, kita memuliakan Kristus yang naik ke Surga, dan kemudian Dia mengutus Roh Kudus di antara para murid pada hari Pantekosta. Dan, Minggu lalu, kita memberikan pujian terbesar kita kepada Tritunggal Mahakudus. Sekarang, kita memiliki Corpus Christi. Tapi, mengapa hari raya dirayakan sekarang?

photocredit: Eric Mok

Dengan bimbingan Roh Kudus, Gereja telah mengakui betapa pentingnya kehadiran Yesus yang real di Ekaristi. Seluruh sejarah penciptaan dan keselamatan mengalir ke misteri ini. Tuhan menciptakan dunia agar dunia dapat berbagi dalam kasih-Nya. Sayangnya, pria dan wanita jatuh ke dalam dosa, dan menjauh dari kasih Tuhan. Namun, kasih dan kerahiman-Nya jauh lebih besar daripada kejahatan dan kelemahan kita, dan Dia mengutus Putra-Nya untuk mengambil kodrat manusia dan hidup di antara kita. Tidak hanya menjadi manusia, Yesus juga mempersembahkan diri-Nya di kayu salib untuk keselamatan kita. St. Yohanes dengan tepat menyimpulkan, “Karena begitu besar kasihAllah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakanAnak-Nyayang tunggal, supaya setiap orang yang percayakepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal [Yohanes 3:16].” Namun, ini bukan akhir dari kisah kasih Allah yang luar biasa! Kristus yang bangkit secara mujizat berubah menjadi Ekaristi, menjadi makanan kita. Dalam Sakramen Ekaristi mahakudus, tercakuplah “dengan sesungguhnya, secara real dan substansial tubuh dan darah bersama dengan jiwa dan ke-Allahan Tuhan kita Yesus Kristus dan dengan demikian seluruh Kristus.” – [KGK 1374]

Bagi mereka yang tidak beriman, roti ini hanyalah kerupuk putih yang hambar, tetapi bagi kita yang dipanggil untuk hidup yang kekal, roti itu bukan lagi roti, tetapi kepenuhan Kristus sendiri. Ketika Yesus ada di sana, Tritunggal Mahakudus juga ada di sana. Ketika Trinitas ada di sana, seluruh malaikat dan orang-orang kudus juga ada di sana. Menerima Ekaristi adalah menerima seluruh surga, hidup yang kekal. Inilah kehendak Kristus sendiri, “Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan dagingAnak Manusiadan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.[Yoh 6:53-54].”

Ekaristi adalah bukti kasih Allah. Tidaklah cukup bagi Tuhan untuk menjadi manusia, tidak cukup bagi Dia untuk mati dan bangkit bagi kita, tidak cukup bagi Dia untuk membuka gerbang surga. Dia ingin kita berbagi kehidupan dan kasih ilahi-Nya sekarang dan di sini.

Namun, kita perlu ingat bahwa surga bukan hanya untuk kita sendiri. Saat Yesus membagikan hidup dan kasih-Nya dalam Ekaristi, kita diundang untuk menjadi Ekaristi kecil dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagaimana Yesus memelihara kita dengan Tubuh dan Darah-Nya, apakah kita memelihara orang-orang dengan tubuh dan darah kita? Sebagai orang tua, apakah kita mempersembahkan tubuh dan darah kita kepada anak-anak kita agar mereka dapat mengalami kepenuhan hidup yang sesungguhnya? Apakah kita membawa surga bagi keluarga dan komunitas kita? Apakah kita menjadi agen kasih bagi masyarakat kita?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP