The Law, Traditions and Heart

22nd Sunday in Ordinary Time [B]
August 29, 2021
Mark 7:1-23

The Pharisees came to scrutinize Jesus, and these were not just ordinary Galilean Pharisees who often debated with Jesus. They were the leading Jewish authority, and they came to pass judgment on Jesus: whether Jesus is an orthodox Jew or a false prophet. Yet, we may ask, who are these Pharisees who often collided with Jesus and His disciples? The pharisaic movement was one of the Jewish religious movements in first-century Palestine. Though not always in a good relationship, they were contemporaries with other groups like the Sadducees, Zealots, and Essenes. However, Pharisees were the most popular because many of their members were Jewish laypeople compared to other groups.

photocredit: priscilla du preez

What is unique to the Pharisees? We need to understand first about the ceremonial purity in the Old Testament. The Law of Moses commanded those men and women who were entering the sacred place like the Temple to be ceremonially clean. If they were in contact with dead bodies, they became unclean and could not enter the holy ground. Thus, they were required to do ceremonial washing to clean this impurity. The purpose of this ceremonial purity is not about morality [what is right or wrong] but to train the Israelites to see and honor the sacred places as God’s dwellings.

The Pharisees were zealous for the Law, and they were responsible for bringing this ceremonial purity to the context of the Israelite household. They wanted to be ceremonially clean, not only in the Temple but also when they entered their houses, when they ate and drank, and even when they went to bed. The thing was that Moses never gave laws about this pharisaic thing. Thus, as a solution, the teachers or the rabbi came up with their set of rules and regulations. Eventually, these became the (pharisaic) traditions of the elders.

Going back to Jesus, we note that what the Pharisees from Jerusalem discovered was Jesus did not observe those traditions. They did not find any shred of evidence that Jesus violated the Law of Moses. Indeed, Jesus was fulfilling the Law. Jesus then criticized the Pharisees for being over-zealous on traditions to the expense of the Word of God. Jesus reminded the true essence of the Law, which is the formation of the heart. The laws and the traditions are good if they bring us closer to God. They become twisted when they chain us and keep us far from God. It would be useless if we are ceremonially clean, but our hearts are impure and sinful.

Jesus’ reminder to the Pharisees is always timely and proper to us. Do we keep our religion as mere collections of traditions, rituals, and customs that keep us from the Lord? Do we read the Word of God to help us understanding and loving the Lord better or simply to put up a show? Do we gather images, statues, and other religious articles just for collections, or do these help us honor God who perfects His creatures? Do we get involved in various services and ministries to feel good about it or serve our brothers and sisters in need?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hukum Allah, Tradisi dan Hati

Minggu Biasa ke-22 [B]
29 Agustus 2021
Markus 7:1-23

Orang-orang Farisi datang untuk menyelidiki Yesus, dan ini bukan hanya orang-orang Farisi dari Galilea yang sering berdebat dengan Yesus. Mereka adalah otoritas Yahudi terkemuka di Yerusalem, dan mereka datang untuk menghakimi Yesus: apakah Yesus adalah seorang Yahudi yang ortodoks atau seorang nabi palsu. Namun, kita mungkin bertanya-tanya siapakah orang-orang Farisi yang sering berdebat dengan Yesus dan murid-murid-Nya? Gerakan Farisi adalah salah satu gerakan dan kelompok keagamaan Yahudi di Palestina abad pertama. Mereka sezaman, meskipun tidak selalu dalam hubungan yang baik, dengan kelompok lain seperti Saduki, Zelot, dan Eseni. Namun, dibandingkan dengan kelompok lain, orang Farisi adalah yang paling populer dan banyak anggotanya adalah orang awam Yahudi.

photocredit: jametlene

Apa yang membuat orang-orang Farisi unik? Kita perlu memahami terlebih dahulu tentang hukum nahir dan najis dalam Perjanjian Lama. Hukum Musa memerintahkan para pria dan wanita yang memasuki tempat suci seperti Bait Allah untuk bersih atau tahir. Sebagai contoh, jika mereka bersentuhan dengan tubuh yang mati, mereka menjadi najis dan tidak diizinkan memasuki tempat suci. Oleh karena itu, mereka diharuskan melakukan ritual pembasuhan dengan air untuk membersihkan kenajisan mereka. Tujuan dari hukum tahir-najis ini bukan tentang moralitas [apa yang benar atau salah], tetapi untuk melatih bangsa Israel untuk menghormati tempat-tempat suci sebagai tempat tinggal Tuhan.

Kontribusi orang-orang Farisi ini adalah mereka bertanggung jawab untuk membawa hukum tahir-najis ini ke dalam konteks rumah tangga dan kehidupan sehari-hari orang Israel. Mereka ingin tahir, tidak hanya di Bait Allah, tetapi juga ketika mereka memasuki rumah mereka, ketika mereka makan dan minum, dan bahkan ketika mereka pergi tidur. Masalahnya adalah Musa tidak pernah memberikan hukum tentang hal-hal ini. Jadi, sebagai solusi, para guru atau rabi mengajarkan dan membuat aturan tentang hal-hal yang tidak ada di Kitab Suci untuk mendukung hidup tahir ini. Akhirnya, aturan-aturan inilah yang disebut sebagai tradisi para penatua.

Kembali kepada Yesus, kita perhatikan bahwa apa yang ditemukan oleh orang-orang Farisi dari Yerusalem adalah Yesus tidak menjalankan tradisi itu. Mereka justru tidak menemukan sedikit pun bukti bahwa Yesus melanggar Hukum Musa. Sungguh, Yesus menggenapi Hukum dengan setia. Yesus kemudian mengkritik orang-orang Farisi karena terlalu fokus pada tradisi dengan mengorbankan Firman Tuhan. Yesus mengingatkan hakekat Taurat yang sebenarnya, yaitu pembentukan hati. Hukum dan tradisi akan menjadi baik jika membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Mereka menjadi batu sandungan ketika mereka merantai kita dan menjauhkan kita dari Tuhan. Tidak ada gunanya jika kita secara seremonial bersih, tetapi hati kita tidak murni dan kotor penuh dosa.

Peringatan Yesus kepada orang Farisi selalu tepat dan relevan bagi kita. Apakah kita menjalankan agama kita hanya sebagai kumpulan tradisi, ritual, dan adat istiadat yang menjauhkan kita dari Tuhan? Apakah kita membaca Firman Tuhan untuk membantu kita memahami dan mengasihi Tuhan lebih baik atau hanya untuk pamer? Apakah kita mengumpulkan gambar, patung dan benda-benda keagamaan lainnya hanya untuk tujuan koleksi, ataukah ini membantu kita untuk memuliakan Tuhan yang telah menyempurnakan ciptaan-Nya? Apakah kita terlibat dalam berbagai pelayanan hanya untuk merasa senang dan dipuji, atau benar-benar melayani saudara-saudari kita yang membutuhkan? Apakah hati kita sungguh untuk Tuhan atau masih terus dipenuhi dengan hal-hal buruk?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amazing Faith

21st Sunday in the Ordinary Time [B]
August 22, 2021
John 6:60-69

For the past five Sundays, we have listened to John chapter 6. Jesus introduced Himself as the bread of life, and His flesh and blood are authentic food for eternal life. Today’s Gospel serves as the summit of our journey through John 6, and the Gospel begins with the response of Jesus’ listeners, “It is a hard saying.”

photocredit: Nathan Dumlao

Jesus’ teaching this time is hard saying because it runs contrary to the essential Jewish tenets. It shocked their Jewish faith. To offer His flesh as food, is as appalling as cannibalism. Presenting His blood as a real drink is even blasphemous because it directly hits God’s commandment against eating blood [Lev 17:10]. Yet, Jesus did not waver.

Jesus’ followers were facing a tough decision. They had seen Jesus performing miracles, healing the sick and feeding thousands. Many of them were expecting that Jesus would be the Messiah like King David. However, things did not go smoothly according to their plans. If they accepted Jesus as the Messiah, they had to take Jesus’ words and indeed eat His body and blood. Eventually, many could not accept Jesus’ tough teaching, and perhaps, they considered Him another lunatic or even possessed man.

Fortunately, not everyone deserted Jesus. Peter, representing the twelve disciples, said that they believed in Jesus’ words. Peter might not be different from the rest of the crowd who failed the grasp Jesus’ hard teachings. Yet, Peter accepted Jesus’ hard teachings because he accepted who Jesus is, the Holy One of God. It is impossible for Jesus, the Holy One of God, to tell a lie. What the divine Son of God said must be real and true, however mysterious it may be. This is Peter’s faith, and this should be our faith.

Many aspects of our life and faith remain big question marks for us. We may not be able to understand the reality of the Trinity. We may still scratch our heads every time a priest speaks about the two natures of Christ. We may still feel dizzy every time a preacher explains about the transubstantiation. Yet, despite these hard sayings, we believe.

If we can have faith in Jesus despite the hard saying, we can have the same faith also despite hard lives. If we can say Yes to Jesus in the Eucharist, we shall be able to say Yes to Jesus in our lives, however, broken and disfigured it may be. This time of Pandemic, we often ask why God allows this terrible time and suffering. If we do not have the Eucharistic faith, we can easily fall into despair. Yet, we trust that God is in control with true faith, and He has a great plan for us. We might not understand the meaning of the suffering we endure, but we know it will make sense someday.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Iman yang Mengagumkan

Minggu ke-21 Waktu Biasa [B]
22 Agustus 2021
Yohanes 6:60-69

Selama lima hari Minggu terakhir, kita telah mendengarkan Yohanes bab 6. Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai roti kehidupan, dan tubuh dan darah-Nya adalah makanan sejati untuk hidup yang kekal. Injil hari ini hadir sebagai puncak dari perjalanan kita melalui Yohanes 6, dan Injil dimulai dengan tanggapan dari pendengar Yesus, “Itu adalah perkataan yang keras. Siapa yang sanggup mendengarkannya.”

photocredit: Josh Applegate

Ajaran Yesus kali ini sulit diterima karena bertentangan dengan prinsip dasar agama Yahudi. Bahkan hal ini benar-benar mengejutkan iman Yahudi mereka. Mempersembahkan daging-Nya sendiri sebagai makanan sama menjijikkannya dengan kanibalisme. Memberikan darah-Nya sebagai minuman bahkan merupakan penghujatan karena secara frontal melanggar perintah Tuhan untuk tidak makan darah [Im 17:10]. Namun, Yesus bergeming.

Pengikut Yesus menghadapi dilema. Mereka telah melihat Yesus melakukan mukjizat, menyembuhkan orang sakit dan memberi makan ribuan orang. Banyak dari mereka mengharapkan bahwa Yesus akan menjadi Mesias seperti Raja Daud. Namun, hal-hal tidak berjalan lancar sesuai dengan rencana mereka. Jika mereka menerima Yesus sebagai Mesias, mereka harus menerima perkataan Yesus dan memang memakan tubuh dan darah-Nya. Pada akhirnya, banyak yang tidak dapat menerima ajaran Yesus yang keras dan mungkin, mereka menganggap Dia sebagai orang gila atau bahkan orang yang kerasukan.

Hal yang menarik adalah tidak semua orang meninggalkan Yesus. Petrus, mewakili kedua belas murid, mengatakan bahwa mereka percaya pada kata-kata Yesus. Petrus mungkin tidak berbeda dari orang banyak yang gagal memahami ajaran Yesus yang keras. Namun, Petrus dapat menerima ajaran Yesus yang keras karena ia menerima siapa Yesus, yakni Yang Kudus dari Allah. Mustahil bagi Yesus, Yang Kudus dari Allah untuk berbohong. Apa yang dikatakan Putra Allah yang Ilahi pastilah nyata dan benar, betapapun misteriusnya hal itu. Ini adalah iman Petrus, dan ini harus menjadi iman kita.

Ada banyak aspek kehidupan dan iman kita yang masih menjadi tanda tanya besar bagi kita. Kita mungkin tidak dapat memahami realitas Trinitas. Kita mungkin masih menggaruk-garuk kepala setiap kali seorang imam berbicara tentang dua kodrat Kristus. Kita mungkin masih merasa pusing setiap kali seorang pengkhotbah menjelaskan tentang transubstansiasi. Namun, terlepas dari perkataan keras ini, kita percaya.

Jika kita dapat memiliki iman kepada Yesus terlepas dari perkataan yang sulit, kita dapat memiliki iman yang sama juga meskipun kehidupan yang sulit. Jika kita dapat mengatakan YA kepada Yesus dalam Ekaristi, kita akan dapat mengatakan YA kepada Yesus dalam hidup kita, betapa pun sulitnya hidup ini. Di masa Pandemi ini, kita sering bertanya-tanya mengapa Tuhan mengizinkan masa dan penderitaan yang mengerikan ini. Jika kita tidak memiliki iman Ekaristi, kita dapat dengan mudah jatuh ke dalam keputusasaan. Namun, dengan iman seperti Petrus, kita percaya bahwa Tuhan memegang kendali, dan Dia memiliki rencana yang besar bagi kita. Kita mungkin tidak mengerti arti dari penderitaan yang kita alami, tetapi kita tahu bahwa itu akan masuk akal suatu hari nanti.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ibu Kita di Surga

Hari Raya Asumsi [B]

15 Agustus 2021

Lukas 1:39-56

Selain ibu saya, Bunda Maria adalah perempuan pertama dan paling penting dalam hidup saya. Saya mengenalnya sangat awal dalam hidup, dan devosi saya terus tumbuh sejak saat itu. Ketika saya pindah ke Filipina untuk formasi Dominikan, saya menyaksikan devosi yang hidup dan membara dari orang-orang Filipina terhadap Bunda kita, namun pada saat yang sama, saya juga merasakan serangan yang ganas terhadap sang Bunda. Bagaimana mungkin orang-orang yang menyebut dirinya pengikut Yesus berani menyerang ibu-Nya? Bagi saya, itu tidak terpikirkan! Biasanya, tuduhan yang sering saya dengar adalah, “Mengapa berdoa kepada Maria? Mengapa begitu menghormatinya seolah-olah dia adalah tuhan?” Jelas bagi kita, umat Katolik, bahwa Maria layak mendapat kehormatan besar karena perannya dalam misteri keselamatan, tetapi juga jelas bagi kita bahwa dia adalah seorang manusia.

Pada awalnya saya ingin membelanya habis-habisan, namun ketika saya membawa ini dalam doa, saya bertanya kepada Bunda Maria, apa yang akan dia lakukan terhadap mereka yang menyerang dan mengejeknya? Dia menjawab, “Saya terus berdoa dan mengasihi mereka. Mereka juga anak-anakku.” Jawabannya membuka mata, dan saya mulai memasuki dialog dengan mereka untuk memahami alasan di balik kebencian mereka terhadap Maria. Salah satu alasan yang saya temukan adalah bahwa bagi mereka, iman pada dasarnya adalah “tentang Yesus dan saya.” Yesus adalah penyelamat dan Tuhan pribadi saya, dan hanya Dia saja sudah cukup. Maria dan orang-orang kudus lainnya adalah penghalang, Gereja dan sakramen tidak diperlukan, dan tradisi adalah beban yang tidak perlu. Ini adalah iman saja [sola fide] yang paling murni.

Saya setuju bahwa iman harus murni, tetapi tidak individualistis. Saya percaya kepada Yesus sebagai penyelamat pribadi saya, tetapi Dia juga memanggil kita ke dalam persekutuan orang-orang kudus. Jika kita meneliti Alkitab, Tuhan memanggil orang-orang dalam konteks keluarga: Adam dan Hawa, Nuh dan keluarganya, Abraham dan Sarah, Israel dan anak-anaknya, Musa bersama Harun dan Mariam, dan Daud dengan keluarganya. Sebenarnya, kata kunci ‘perjanjian’ yang menyatukan seluruh Alkitab berarti sumpah agung untuk membangun sebuah ikatan keluarga. Yesus sendiri memanggil kedua belas murid untuk menjadi figur bapa dalam kerajaan-Nya, yakni keluarga Allah.

Jika Tuhan memanggil kita ke dalam sebuah keluarga, kita tidak sendirian dalam perjalanan menuju Yesus ini. Kita memiliki saudara dan saudari di surga yang mendukung kita, dan membantu kita dengan cara yang luar biasa. Kita juga memiliki saudara dan saudari di bumi ini, dan merupakan tanggung jawab kita untuk mendukung dan membimbing mereka dalam perjalanan ini. Dogma Maria diangkat ke surga menyatakan bahwa, kita bukan hanya realitas duniawi, tetapi bagian dari keluarga surgawi, dan kabar yang menggembirakan adalah bahwa kita memiliki ibu yang baik di surga.

Saat Maria mengantisipasi kebutuhan pasangan di Kana bahkan sebelum mereka menyadarinya, Maria menjadi perantara bagi kita bahkan sebelum kita menyadarinya. Saat Maria dengan setia mengikuti Putranya di bumi, Maria dengan setia menemani kita dalam perjalanan duniawi kita. Saat Maria berdiri kokoh di samping salib Putranya, Maria juga berdiri di samping kita dalam pencobaan hidup ini.

Bunda Maria, doakanlah kami!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Our Mother in Heaven

The Solemnity of the Assumption [B]

August 15, 2021

Luke 1:39-56

Together with my mother, Blessed Virgin Mary are the women in my life. I knew her very early in my life, and my devotion has continued to grow since then. When I moved to the Philippines for my Dominican formation, I witnessed the lively and vibrant devotion of the Filipinos toward our Lady. Yet, at the same time, I experienced the ferocious assault against her. How come people who call themselves followers of Jesus dare to attack His mother? For me, it was unthinkable! Usually, the usual accusations are, “Why pray to Mary? Why honor her so much as if she is a god?” It is clear for us Catholics that Mary deserves incredible honor because of her role in the mystery of salvation, but it is also clear that she is a human.

photocredit: Kelly Sikkema

In the beginning, I was more than eager to defend her, yet as I brought this in prayer, I ask our Lady, what would she do to those who attack and mock her? She answered, “I continue to pray and love them. They are also my children.” Her answer was an eye-opener, and I began to enter their shoes to seek the reason behind their hatred toward Mary. One of the reasons I discovered is that for them, faith is basically “about Jesus and I.” Jesus is my personal savior and Lord, and He alone is enough. Mary and other saints are obstacles, the Church and the sacraments are not needed, and the traditions are unnecessary burdens. It is faith alone at its purest.

I do agree that faith needs to be pure but not simplistic and individualistic. I believe in Jesus as my personal savior, but He also calls us into a communion of saints. If we survey the Bible, God calls people in the context of a family: Adam and Eve, Noah and his family, Abraham and Sarah, Israel and his children, Moses together with Aaron and Mariam, and David with his family. The keyword ‘testament’ or ‘covenant’ that unites the entire Bible means a solemn oath to build a family. Jesus Himself called the twelve disciples to be the father figures in His kingdom, His family of God.

If God calls us into a family, we are not alone in this journey toward Jesus. We have our brothers and sisters in heaven who are cheering for us and helping us in ways we could never imagine. We also have brothers and sisters here on earth, and it is our responsibility to support and guide them in this journey. The dogma of the Assumption tells us that we are not just earthly realities but belong to a heavenly family, and what is more edifying is that we have a good mother in heaven.

As Mary anticipated the couple’s needs in Cana before they even noticed, Mary intercedes for us even before we realize. As Mary faithfully followed her Son on earth, Mary loyally accompanies us in our earthly journey. As Mary firmly stood before the cross of her Son, Mary also stands beside us in these trials of life.

Our Blessed Mother, pray for us!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

St. Dominic’s Prayer

The Solemnity of St. Dominic de Guzman

August 8, 2021

Mat 28:16-20

Today, the Dominican family is celebrating the solemnity of St. Dominic de Guzman, the founder and father of the Order of Preachers. This year’s celebration is extraordinary because we also commemorate the 800th anniversary of Dominic’s death. We call it dies Natalis, the day of birth. It is the birthday of the saint in heaven. Indeed, it has been 800 years since the death of St. Dominic, and the Order he founded is growing vital and ever young.

The Order of Preachers may not be the biggest congregation in the Catholic Church [we have only around six thousand brothers], but indeed, we continue to be blessed with vocations. In Indonesia alone, we have a good number of young brothers in the formation. In the Philippines, the formation house is packed with brothers.

Why is the reason behind this growth? Indeed, there are many overlapping reasons, yet may I highlight one of those: the prayer of St. Dominic himself. At his deathbed, St. Dominic promised his brothers, “Do not weep, for I shall be more useful to you after my death and I shall help you then more effectively than during my life.” [his words are powerful that they are quoted in CCC 956]

His prayers have been proved effective. The Order has been through thick and thin of the world and Church’s history, and it is not always glorious. The Order also shares some painful past and memories. There are times that the Order seemed to collapse under its weight or split into smaller and quarreling factions. Yet, the Order can overcome those. I do believe that the reason cannot be explained by purely human strength. It is God’s mercy and Dominic’s great love for his brothers and sisters.

What is impressive is that St. Dominic is not alone. He is also joined by other Dominican saints, like St. Thomas Aquinas, St. Martin de Porres, St. Catharine of Siena, and countless Dominicans who have entered heaven. Every day, the prayers are getting stronger and louder as more holy people join their chorus.

The Order of Preachers is a family and community, and what is marvelous is that the members are not limited to those who are here on earth but those in heaven. Our brothers and sisters in heaven are doing even more amazing things for us. I am maybe alone here preaching, but my heavenly family members are supporting and cheering for me. I am perhaps alone in my study time, but the Dominican saints are at the forefront in guiding me. The letter of Hebrews speaks of the cloud of heavenly witness surrounding us [Heb 12:1], and I know some of them. We may be small, but our strength is not only here on earth. The more excellent works are done in heaven for the sake of the Order and the salvation of souls.

Many of us may not be a member of Dominican Order, but we are part of a larger family of God, the Church. We have one Father in heaven, and there is no other greatest joy for a father to see his children helping and loving one another. As we help and love our brothers and sisters here on earth, we shall not forget to give thanks to our brothers and sisters in heaven who constantly love and support us till we meet them in heaven.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Doa St. Dominikus

Hari Raya St. Dominikus de Guzman

8 Agustus 2021

Mat 28:16-20

Hari ini, keluarga Dominikan merayakan hari raya St. Dominikus de Guzman, pendiri dan bapak Ordo Pewarta. Perayaan tahun ini sangat khusus karena kita juga memperingati 800 tahun wafatnya Dominikus. Ini adalah ‘Dies Natalis’, hari kelahirannya di surga. Dan 800 tahun sejak kematian St. Dominikus, Ordo yang ia dirikan semakin kuat dan muda.

Ordo Pewarta mungkin bukan kongregasi terbesar di Gereja Katolik, [kita hanya memiliki sekitar enam ribu saudara], tetapi tentu saja, kita terus diberkati dengan panggilan-panggilan baru. Di Indonesia sendiri, kita memiliki banyak frater-frater dalam formasi. Di Filipina, rumah formasi Dominikan dipadati oleh frater-frater.

Apa alasan di balik pertumbuhan ini? Tentu saja, ada banyak alasan yang bisa dikemukakan, namun saya dapat menyodorkan satu alasan: doa St. Dominikus sendiri. Di saat kematiannya, St Dominikus berjanji kepada saudara-saudaranya, “Jangan menangis, karena saya akan lebih berguna bagimu setelah kematian saya dan saya akan membantumu di sana lebih baik daripada selama saya hidup.” [kata-katanya ini bahkan dikutip dalam KGK 956]

Doa-doanya terbukti berfaidah. Ordonya telah menjadi bagian sejarah panjang dunia dan Gereja, dan tidak semuanya baik. Ordo juga ambil bagian dari beberapa peristiwa kelam dan memori yang menyakitkan. Bahkan, ada kalanya Ordo tampak runtuh karena bebannya sendiri atau terpecah menjadi faksi-faksi yang lebih kecil. Namun, Ordo dapat mengatasinya. Saya percaya bahwa penjelasannya tidak dapat dijelaskan dengan kekuatan manusia saja. Ini adalah belas kasihan Tuhan dan cinta Dominikus yang besar bagi saudara-saudaranya.

Yang sungguh menakjubkan bahwa St. Dominikus tidak sendirian. Dia berdoa bersama dengan orang-orang kudus Dominikan lainnya, seperti St Thomas Aquinas, St Martin de Porres, St Katarina dari Siena, dan banyak Dominikan yang telah masuk surga. Setiap hari, doa-doa mereka semakin kuat dan riuh, karena semakin banyak orang suci bergabung dengan paduan suara mereka ini.

Ordo Pewarta adalah sebuah keluarga dan komunitas, dan yang menakjubkan adalah bahwa anggotanya tidak terbatas pada mereka yang ada di bumi, tetapi juga mereka yang di surga. Saudara-saudari kita di surga melakukan hal-hal yang lebih menakjubkan lagi bagi kita. Saya mungkin sendirian di sini saat saya memberi renungan, tetapi anggota keluarga surgawi saya mendukung dan menyemangati saya. Saya mungkin sendirian dalam waktu belajar, tetapi para kudus Dominikan berada di garis depan dalam membimbing saya. Surat Ibrani berbicara tentang awan para saksi surgawi yang mengelilingi kita [Ibr 12:1], dan sebagai anggota Ordo, saya mengenal beberapa di antara mereka. Kita mungkin kecil, tapi kekuatan kita bukan hanya di dunia ini. Bahkan, pekerjaan yang lebih besar dilakukan di surga demi Ordo, Gereja dan keselamatan jiwa.

Banyak dari kita mungkin bukan anggota Ordo Dominikan, tetapi kita adalah bagian dari keluarga Allah yang lebih besar, Gereja. Ordo St. Dominikus hanya sebuah cerminan dari Gereja Kristus. Kita memiliki satu Bapa di surga, dan tidak ada sukacita yang lebih besar bagi seorang ayah kecuali melihat anak-anaknya saling membantu dan mengasihi. Selama kita membantu dan mengasihi saudara-saudara kita di bumi ini, tidak lupa kita bersyukur kepada saudara-saudara kita di surga yang senantiasa mengasihi dan mendukung kita, sampai kita bertemu di surga.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Food for Eternal Life

18th Sunday in Ordinary Time [B]

August 1, 2021

John 6:24-35

The people were looking for Jesus because they wanted to eat the bread more. They wished that their stomach would be filled. Jesus reminded them that they should not seek food that perishes but for food that endures eternal life. Unfortunately, people failed to understand. They thought it was like Old Testament’s manna constantly given to the Israelites in the wilderness for forty years. There would be bread for every day for the rest of their lives.

photocredit: finding dan

Going back to the Old Testament, we listen to the story of the Israelites who complained because they were hungry. However, just a few hours before, they just witnessed how God parted the red sea and destroyed the mighty Egyptian force through Moses. They knew well how God brought the Egyptians to their knees. Yet, when their stomachs were empty, they forgot all of this and demanded the return to the land of slavery. They even accused God of plotting their death in the wilderness. When it comes to survival instinct, the Israelites were too eager to embrace slavery rather than stay loyal to the God of freedom.

Jesus reminds us that there is more to life than filling our stomachs. Indeed, it is essential to eat and nourish our bodies, but even this physical food is also coming from God’s providence. Often, we are too preoccupied to look for earthly bread in its various forms, successful careers, political influence, fame, and wealth. We seek these things to the point that we are willing to go back to the slavery of sin and abandon the God of freedom.

This time of the pandemic, we might find ourselves in the position of the Israelites. Some of us are hungry because we are just losing our economic stability. Some of us are battling sickness. Some of us are losing our beloved family members. Some of us cannot do what we used to love to do. Some of us cannot go to the Church and do our services. In these dire needs, we are facing the temptation to complain against the Lord. We may get disappointed and angry with the Lord. We are more ready to abandon the Lord. We easily forget the mighty deeds the Lord has wrought in our lives. Like our ancestors, the Israelites, we are absorbed in our sufferings and blaming God for our misfortunes. We forget our God who allows this suffering is the God who controls the forces of nature.

Let us learn from the saints. Ignatius of Loyola is one of the excellent examples. He used to be a man who hungered for worldly glory. He put his life in the line to prove his gallantry in the siege of Pamplona. Yet, when his legs were severely wounded and permanently limped, his ambitions were scattered. Yet, at the same time, he read the lives of Christ and the saints, and he realized that the greater glory that the world could ever offer. The true path of grandeur is to work for the greater glory of God. He left everything and worked for the food that will not perish. Eventually, he ended up as a saint.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Makanan untuk Kehidupan Kekal

Minggu Biasa ke-18 [B]

1 Agustus 2021

Yohanes 6:24-35

Banyak orang mencari Yesus karena mereka ingin makan roti lebih banyak, mereka berharap perut mereka kenyang. Namun, Yesus mengingatkan mereka agar mereka tidak mencari makanan yang dapat binasa, melainkan makanan yang bertahan untuk hidup yang kekal. Sayangnya, mereka gagal untuk paham. Mereka mengira makanan yang Yesus beri seperti manna Perjanjian Lama yang terus-menerus diberikan kepada orang Israel di padang gurun selama empat puluh tahun. Mereka mengira bahwa akan ada roti bagi mereka setiap hari secara cuma-cuma. Perut mereka selalu terisi dan mereka selalu dijauhkan dari penderitaan. Namun, ini bukanlah roti yang Yesus tawarkan.

photocredit: ian dooley

Kembali ke Perjanjian Lama, kita mendengarkan kisah orang Israel yang mengeluh karena lapar. Namun, hanya beberapa jam sebelumnya, mereka baru saja menyaksikan bagaimana Tuhan melalui Musa membelah laut merah dan menghancurkan kekuatan besar Mesir. Mereka tahu betul bagaimana Tuhan membuat orang Mesir bertekuk lutut dengan 10 tulah. Namun, ketika perut mereka kosong, mereka melupakan semua ini, dan menuntut kembali ke tanah perbudakan. Mereka bahkan menuduh Tuhan merencanakan kematian mereka di padang gurun. Dalam hal naluri bertahan hidup, orang Israel terlalu bersemangat untuk memilih perbudakan, daripada tetap setia kepada Tuhan kemerdekaan.

Yesus mengingatkan kita bahwa hidup ini lebih dari sekadar mengisi perut kita. Memang, makan dan memelihara tubuh kita adalah hal yang sangat penting, tetapi bahkan makanan fisik ini juga berasal dari pemeliharaan Tuhan. Seringkali, kita terlalu sibuk mencari roti duniawi dalam berbagai bentuknya, karier yang sukses, pengaruh politik, ketenaran, dan kekayaan. Kami mencari hal-hal ini sampai kami bersedia kembali ke perbudakan dosa, dan meninggalkan Tuhan kebebasan.

Saat pandemi ini, kita mungkin menemukan diri kita berada di posisi orang Israel. Beberapa dari kita lapar karena kita baru saja kehilangan stabilitas ekonomi kita. Beberapa dari kita sedang berjuang melawan penyakit. Beberapa dari kita kehilangan anggota keluarga tercinta. Beberapa dari kita tidak dapat melakukan apa yang dulu suka dilakukan. Beberapa dari kita tidak dapat pergi ke Gereja dan melakukan pelayanan kita. Dalam kebutuhan yang mendesak ini, kita menghadapi godaan untuk mengeluh kepada Tuhan. Kita mungkin kecewa dan marah kepada Tuhan. Kita lebih siap untuk meninggalkan Tuhan. Kita dengan mudah melupakan perbuatan-perbuatan besar yang Tuhan telah lakukan dalam hidup kita. Seperti nenek moyang kita, orang Israel, kita tenggelam dalam penderitaan kita, dan menyalahkan Tuhan atas kemalangan kita. Kita melupakan Tuhan kita yang membiarkan penderitaan ini adalah Tuhan yang mengendalikan kekuatan alam.

Mari kita belajar dari orang-orang kudus. Ignatius dari Loyola adalah salah satu contoh yang sangat baik. Dia dulunya adalah seorang pria yang haus akan kemuliaan duniawi. Bahkan, dia mempertaruhkan nyawanya hanya untuk membuktikan kegagahannya dalam mempertahankan benteng Pamplona. Namun, ketika kakinya terluka parah, dan menjadi pincang secara permanen, ambisinya hancur. Namun, pada saat yang sama, dia membaca kehidupan Kristus dan orang-orang kudus, dan dia menyadari bahwa kemuliaan yang lebih besar yang tidak dapat ditawarkan dunia. Jalan keagungan yang sebenarnya adalah bekerja untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar. Dia meninggalkan segalanya dan bekerja untuk makanan yang tidak akan binasa. Akhirnya, dia berakhir sebagai santo.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP