Hell is Real [so also Heaven]

26th Sunday in Ordinary Time [B]
September 26, 2021
Mark 9:38-43, 45, 47-48

For Jesus, hell is real. Jesus talks about hell with no hold barred. Jesus is unrestrained to tell what He hates deeply: hell and what causes people to go there. Like His contemporary, Jesus calls this awful reality ‘Gehenna.’ The word Gehenna itself comes from a Hebrew language that means ‘the valley of Hinnom’. What’s impressive, it was a real place located south of Jerusalem. People of Jerusalem and environs would dump their garbage and waste there and burn them. The fire was unquenched, the odor was unbearable, poisonous smoke filled the place, and things were decaying. What was more ominous was the same place had been a place of idolatrous worships and child sacrifices in the Old Testament’s time [2 Kgs 23:10]. Because of these, the prophets cursed the site and gradually became the epitome of a damned place.

Jesus used two powerful symbolism to explain what took place there: “their worm does not die, and the fire is not quenched.” Some thought these two things were happening in hell, but the Church recognizes that these imageries speak deeper. Worms are animals that are mainly responsible for the body’s decomposition. Inside the tomb, the worms feast on the dead body. Fire surely can be excellent and beneficial, but fire can also be the source of destruction and pain. If in Gehenna, these worms do not die and fire does not cease, this symbolizes perpetual corruption and misery.

Jesus loathed hell because it was diametrically opposed to God and His plan. If heaven is the union with God, then hell is the separation with God. If there is one thing that cuts our relationship with God is sin. Thus, no wonder that Jesus was furious with those who cause others to sin and our tendencies to evil. Jesus precisely came to the world to save us from hell, but if we deliberately sin against God, then we render His crucifixion and death useless.

Jesus uses the metaphor of amputation to save our souls from sin. Jesus teaches us that sins are like gangrenous wounds that will gradually spread throughout the body and destroy it entirely. It may start with small things, but it slowly grows big. A drastic measure has to be taken to save a life. We need to cut it before it goes wild and uncurable. What makes this sin even heinous is not only gangrenous but also highly contagious. Innocent yet spiritually weak may quickly get infected. No wonder Jesus is even more indignant with people who spread these spiritual diseases.

We need to cut it with true repentance and humble recognition that we are sinners. We escape hell by saying no to ourselves daily and saying yes to God. We return to grace by asking God’s mercy and His forgiveness in sacramental confession. We heal our wounds through a life of humble prayers. We start our journey to heaven by carrying our crosses daily and by loving deeply and truly.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Neraka itu Nyata [Begitu juga Surga]

Minggu Biasa ke-26 [B]

26 September 2021

Markus 9:38-43, 45, 47-48

Bagi Yesus, neraka itu nyata. Yesus berbicara tentang neraka tanpa keraguan. Yesus tidak ragu untuk mengatakan apa yang sangat Dia benci: neraka dan apa yang menyebabkan orang pergi ke sana. Seperti orang-orang pada zaman-Nya, Yesus menyebut kenyataan yang paling mengerikan ini sebagai ‘Gehenna’. Kata ‘Gehenna’ sendiri berasal dari Bahasa Ibrani yang secara harfiah berarti ‘lembah Hinom’. Lembah ini sungguh tempat nyata yang terletak di selatan Yerusalem pada zaman Yesus. Orang-orang Yerusalem dan sekitarnya akan membuang sampah, kotoran dan limbah mereka di sana dan membakarnya. Ini adalah gunung sampah  dimana api terus membara, bau menyengat, asap beracun memenuhi tempat itu, dan barang-barang terus membusuk. Yang lebih menakutkan adalah tempat yang sama untuk penyembahan berhala dan pengorbanan anak di zaman Perjanjian Lama [2 Raj 23:10]. Karena itu, tempat itu dikutuk oleh para nabi [Yer 7:31–32] dan kemudian menjadi lambang tempat terkutuk.

Yesus menggunakan dua simbolisme yang kuat untuk menjelaskan apa yang terjadi di sana, “di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam”. Beberapa orang mengira kedua hal ini adalah hal-hal yang sungguh terjadi di neraka, tetapi Gereja mengajarkan bahwa gambaran-gambaran ini berbicara sesuatu yang lebih dalam. Ulat adalah hewan yang terutama bertanggung jawab atas pembusukan tubuh. Di dalam kubur, cacing atau ulat hadir untuk mengurai jenasah. Api memang baik dan bermanfaat, tetapi api juga bisa menjadi sumber kehancuran dan sakit. Jika di dalam Gehenna, ulat-ulat ini tidak mati dan api tidak berhenti, ini melambangkan kerusakan dan penderitaan yang tiada akhir.

Yesus membenci neraka karena sangat bertentangan dengan Allah dan rencana-Nya. Jika surga adalah persatuan dengan Tuhan, maka neraka adalah pemisahan dengan Tuhan. Jika ada satu hal yang memutuskan hubungan kita dengan Tuhan adalah dosa. Jadi, tidak heran, Yesus sangat marah dengan orang-orang yang menyebabkan orang lain berdosa dan kecenderungan kita untuk berbuat dosa. Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari neraka, tetapi jika kita dengan sengaja berbuat dosa terhadap Allah, maka kita membuat penyaliban dan kematian-Nya sia-sia.

Yesus menggunakan metafora amputasi untuk menyelamatkan jiwa kita dari dosa. Yesus mengajarkan kepada kita bahwa dosa seperti luka gangren spiritual yang lambat laun akan menyebar ke seluruh tubuh dan menghancurkannya seluruhnya. Ini mungkin dimulai dengan hal-hal kecil, tetapi secara bertahap tumbuh besar. Tindakan drastis harus diambil untuk menyelamatkan nyawa. Kita harus memotongnya sebelum menjadi liar dan tidak dapat disembuhkan. Apa yang membuat dosa ini bahkan keji tidak hanya menyebar ke seluruh jiwa, tetapi juga sangat menular sehingga orang-orang yang imun rohaninya lemah dapat dengan mudah terinfeksi. Tak heran, Yesus malah semakin murka dengan orang-orang yang menyebarkan penyakit rohani ini.

Apa yang perlu kita lakukan? Kita perlu memotongnya dengan pertobatan sejati dan kerendahan hati bahwa kita adalah orang berdosa. Kita lolos dari neraka dengan mengatakan tidak kepada diri kita sendiri setiap hari dan mengatakan ya kepada Tuhan. Kita kembali kepada rahmat Allah dengan memohon belas kasihan Tuhan dan pengampunan-Nya dalam sakramen pengakuan dosa. Kita menyembuhkan luka kita melalui kehidupan doa yang sejati. Kita memulai perjalanan kita ke surga dengan memikul salib kita setiap hari dan dengan mengasihi secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus dan Anak-anak Kecil

Minggu ke-25 Waktu Biasa [B]
19 September 2021
Markus 9:30-37

Di antara banyak ciptaan hidup, bayi manusia adalah yang paling rentan. Setelah dilahirkan, beberapa spesies hewan dapat bertahan hidup sendiri dan bahkan langsung berburu. Bayi manusia yang ditinggalkan sendiri pasti akan mati. Anak kecil tidak hanya bergantung pada orang tuanya, tetapi mereka yang paling rentan terhadap berbagai penyakit. Tanpa gizi seimbang dan pengobatan yang tepat, bayi tidak akan tumbuh menjadi dewasa secara sempurna, melainkan akan mengalami pertumbuhan yang terhambat, mengindap berbagai penyakit, dan bahkan meninggal di usia dini. Menjadi bayi dan anak kecil, itu adalah tahap terlemah dari perkembangan manusia.

photocredit: alex Pasarelu

Tanpa perawatan dan perlindungan yang cukup dari orang dewasa, anak-anak dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan berbagai pelecehan. Mereka harus melewatkan pendidikan dan bekerja di tempat-tempat berbahaya tanpa istirahat dan upah yang cukup. Beberapa bahkan diculik dan dijual sebagai budak atau budak seks. Di daerah yang dilanda perang, anak laki-laki direkrut menjadi tentara anak-anak, dan dipaksa untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan.

Kita bersyukur bahwa dengan upaya nasional dan global untuk memerangi kekerasan terhadap anak, kita dapat berharap bahwa anak-anak kita akan tumbuh menjadi generasi yang lebih baik. Sekarang, mari kita kembali ke zaman Yesus. Kita dapat membayangkan bahwa kondisinya jauh lebih buruk bagi anak-anak. Angka kematian bayi sangat tinggi, dan anak-anak dengan pertumbuhan terhambat sangat banyak. Kita juga bisa membayangkan banyak anak kehilangan orang tua mereka lebih awal, karena kelaparan, bencana, dan perang. Banyak yang harus mengangkat pedang dan membunuh atau dibunuh. Yang terburuk di antara semuanya, anak-anak ditangkap dan ditumbalkan untuk dewa-dewa palsu. Ini adalah waktu terburuk untuk hidup bagi anak-anak.

Jadi, sikap Yesus untuk menyambut dan merangkul anak-anak kecil adalah sebuah gerakan revolusioner. Instruksi Yesus kepada murid-murid-Nya bahwa mereka perlu menerima dan melayani anak-anak dalam nama-Nya adalah radikal. Para murid tidak benar-benar melayani sesama sampai mereka melayani anak-anak kecil, yakni mata rantai terlemah dari masyarakat kita. Yesus sendiri mengerti bagaimana menjadi seorang anak kecil. Dia adalah bagian dari keluarga miskin Yusuf dan Maria. Ia lahir di sebuah gua kotor yang penuh dengan binatang. Dia mengalami menjadi lemah dan rentan di tangan Maria dan Yusuf. Mungkin, Yesus kecil kadang-kadang lapar karena Yusuf mungkin tidak membawa cukup makanan. Mungkin, Yesus harus membantu ayah angkatnya sebagai tukang kayu sejak usia dini. Jadi, Yesus dengan berani mengajarkan bahwa menyambut seorang anak kecil berarti menyambut Dia.

Ajaran radikal ini memiliki implikasi yang besar. Gereja dengan tegas mengajarkan kesucian hidup, dan membela kehidupan anak-anak kecil bahkan yang belum lahir. Mengikuti ajaran Yesus, kita sangat menentang aborsi atau pembunuhan bayi. Sejak awal, kita membangun panti asuhan untuk anak yatim, dan merawat pendidikan mereka. Banyak juga yang terlibat langsung dalam pelacakan dan pengungkapan perdagangan anak. Lebih dari itu, Gereja berusaha keras untuk membentuk dan melindungi keluarga Katolik, dan mempersiapkan pria dan wanita untuk menjadi ayah dan ibu, karena kita percaya keluarga adalah tempat terbaik untuk menyambut anak-anak, dan memastikan pertumbuhan mereka yang baik.

Menerima anak-anak kecil berarti menerima Yesus, dan mengasihi anak-anak kecil ini berarti mengasihi Kristus.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus and Little Children

25th Sunday in Ordinary Time [B]
September 19, 2021
Mark 9:30-37

Among many animal species, human infants are the most vulnerable. After birth, some animals can survive on their own and even go hunting. Human babies left by themselves will surely die. The little children depend on their parents, and their weak bodies are the most susceptible to various illnesses. Without balanced nutrition and proper medical treatment, infants will not grow into perfect maturity but will experience stunted growth, develop chronic sicknesses, and even die early. Being an infant and a little child is the weakest stage of human development.

photocredit: isaac quesada

Without enough care and protection from adults, children may fall victim to domestic violence and various abuses. Young boys and girls have to miss education and work in dangerous places without enough rest and payment. Some even were abducted and sold into slavery or became sex slaves. In war-torn areas, the boys are recruited into child soldiers and forced to commit atrocities and murders.

Our world surely has improved and become a better place for children. With national and global efforts to combat child abuses, we hope that our children will grow into a better version of our generation. Now, let us go back to the time of Jesus. We can imagine that conditions were a lot worse for children. The infant mortality rate was extremely high, and children with stunted growth were numerous. We can also imagine many children lost their parents early due to famine, disasters, and wars. Many had to wield a sword and either kill or be killed. Worst among all, children were caught and sacrificed to the false gods. These were the worst time to live for children.

Thus, Jesus’ gesture to welcome and embrace little children is a revolutionary. Jesus’ instruction to His disciples that they need to receive and serve children in His name is radical. The disciples do not truly serve others until they serve the weakest link of our society. Jesus Himself understood how it was to become a little one. He was part of a low-income family of Joseph and Mary. He was born in a dirty cave full of animals. He experienced being weak and vulnerable at the hands of Mary and Joseph. Perhaps, little Jesus occasionally got hungry because Joseph might not bring enough food. Perhaps, Jesus had to help his foster father as a carpenter at an early age. Thus, Jesus boldly taught that to welcome a little child is to welcome Him.

This radical teaching has a great implication. The Church firmly teaches the sanctity of life and defends the lives of little children, even the unborn. Following the teaching of Jesus, we strongly oppose abortions or the killing of babies. Since the beginning, many religious men and women have built shelters for orphans and cared for their educations. Many also are involved directly in tracking and exposing child trafficking. More than that, the Church is putting a lot her effort into forming and protect the Christian families and preparing men and women to become fathers and mothers because we believe family is the best place to welcome children and ensure their upbringing.

To accept little children is to accept Jesus, and to love these little ones is to love Christ.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tuntutan yang Mustahil

Minggu ke-24 Masa Biasa [B]
12 September 2021
Markus 8:27-35

Sekali lagi, kita menjumpai perkataan Yesus yang keras. Yesus mengumpulkan murid-murid-Nya dan orang-orang lain yang ingin mengikuti-Nya, dan mengatakan setidaknya tiga syarat jika mereka benar-benar berkomitmen kepada-Nya dan misi-Nya. Tiga kondisi ini adalah “sangkallah dirimu, pikul salibmu dan ikutlah Aku!” Persyaratan ini benar-benar menantang dan berat bagi semua murid Yesus dari segala zaman dan tempat. Namun, apa artinya kondisi-kondisi ini bagi para murid pertama Yesus?

Syarat pertama adalah menyangkal diri kita sendiri. Ini berarti mengatakan tidak pada diri kita sendiri, tetapi apa arti ‘menyangkal diri’ bagi Petrus, Yakobus, Yohanes dan mereka yang mendengarkan Yesus untuk pertama kalinya? Jika kita mempertimbangkan konteks sejarah, banyak murid dan pengikut Yesus mengharapkan Dia menjadi Mesias seperti raja Daud, seorang jenderal yang brilian, raja yang dominan secara politik. Yesus akan bergerak melawan pasukan Romawi dan dengan penuh kemenangan menginjak-injak mereka. Namun, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai Mesias yang akan menderita dan mati, dan oleh karena itu, mereka yang ingin mengikuti-Nya harus mengatakan tidak pada cita-cita dan harapan yang mereka junjung tinggi, tidak pada alasan awal mereka mencari Yesus.

Syarat kedua adalah memikul salib mereka. Ini biasanya berarti bahwa kita harus setia menanggung berbagai kesulitan dan pengorbanan dalam mengikuti Yesus. Namun, bagi Simon, Andreas, dan murid-murid lainnya, salib tidak memiliki arti lain selain menghadapi salah satu hukuman mati paling mengerikan dalam sejarah manusia. Mereka benar-benar harus mati dengan cara yang mengerikan dalam mengikuti Yesus.

Syarat ketiga adalah mengikuti Yesus. Hal biasa ini berarti bahwa kita tidak hanya percaya kepada Yesus, tetapi kita juga harus hidup sesuai dengan ajaran dan perintah-Nya. Yesus memberi tahu murid-murid-Nya pada kesempatan lain, “Tetapi orang yang mendengar dan tidak bertindak sama seperti orang yang membangun rumah di atas tanah tanpa dasar [Luk 6:49].” Namun, bagi Matius, Filipus, dan murid-murid pertamanya yang lain, mengikuti Yesus ini berarti secara harfiah berjalan bersama Yesus menuju Yerusalem. Di kota ini, Yesus akan menghadapi otoritas Yahudi dan penjajah Romawi, dan juga pertarungan terakhir-Nya dengan kekuatan kegelapan. Mengikuti Yesus berarti bahwa para murid memulai jalan salib mereka.

Pada dasarnya, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk mempersembahkan hidup dan bahkan mati untuk Yesus. Ini adalah permintaan yang gila, namun yang lebih gila lagi adalah murid-murid-Nya benar-benar mengikuti-Nya. Mereka melepaskan gagasan tentang mesias yang salah dan memeluk Yesus sebagai Mesias yang menderita. Mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan dengan Yesus ke Yerusalem, dan menyaksikan bagaimana Guru mereka disalibkan dan mati. Akhirnya, mereka sendiri memikul salib mereka dan menghadapi kematian yang mengerikan. Simon Petrus dan Andreas dipaku di kayu salib seperti Guru mereka, dan sisanya nasibnya tidak jauh berbeda. Bagaimana ini mungkin?

Jawabannya adalah bahwa meskipun tuntutan Yesus hampir tidak mungkin secara manusiawi, Tuhan memberikan rahmat yang diperlukan untuk memenuhi kondisi ini. Seperti yang Tuhan katakan kepada Paulus, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna [2 Kor 12:9].” Tanpa bantuan adikodrati, kemanusiaan kita yang lemah tidak akan mampu. Jika kemudian, para rasul yang mengandalkan rahmat Allah, dapat mempersembahkan hidup bagi Kristus dan mencapai hidup yang kekal, sekarang giliran kita untuk mengizinkan rahmat Allah bekerja di dalam kita sehingga Allah dapat melakukan keajaiban-keajaiban besar di dalam kita, dan akhirnya kita menerima kepenuhan. kehidupan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Impossible Demands

24th Sunday in Ordinary Time [B]
September 12, 2021
Mark 8:27-35

We encounter another Jesus’ hard saying. Jesus gathered His disciples and other people who wished to follow Him and said at least three conditions if they committed to Him and His mission. These three are “deny yourselves, carry your crosses and follow Me!” These requirements are genuinely challenging and demanding for all Jesus’ disciples from every age and place. Yet, what do these conditions mean for Jesus’ first followers?

The first condition is to deny ourselves. This means to say no to ourselves, but what does it mean for Peter, James, John, and those who listened to Jesus for the first time? Considering the historical context, many Jesus’ disciples and followers expected Him to be the Messiah-like King David, a brilliant general, a politically dominant king. Jesus would march against the Roman forces and triumphantly trample them. Yet, Jesus introduced Himself as the Messiah who would suffer and die. Therefore, those who wanted to follow Him must say no to the very ideal and expectation they held dear, not to the initial reason they look for Jesus.

The second condition is to carry their crosses. This usually means that we need to endure various hardships and sacrifices in following Jesus faithfully. However, for Simon, Andrew, and the rest of the disciples, the cross had no other meaning but to face one of the most gruesome capital punishments in human history. They literally must die in horrible ways in following Jesus.

The third condition is to follow Jesus. This ordinary means that we must not only say we believe in Jesus, but we need to live up also to His teachings and commandments. Jesus told his disciples on another occasion, “But the one who hears and does not act is like a man who built a house on the ground without a foundation [Luk 6:49].” However, for Matthew, Philip, and His other first disciples, following Jesus means walking with Jesus toward Jerusalem. In this city, Jesus would confront the Jewish authorities and the Roman colonizers and have a final showdown with the forces of darkness. To follow Jesus means that the disciples began their way of the cross.

Basically, Jesus was asking His disciples to offer their lives and die. This is a crazy demand, yet what more insane is that His disciples literally followed Him. They gave up the idea of the triumphalist Messiah and embraced Jesus as the suffering servant of the Lord. They decided to travel with Jesus to Jerusalem and witnessed how their Master crucified and died. Finally, they carried their crosses and faced horrible deaths. Simon Peter and Andrew were nailed on the cross like their Teacher, and the rest shared the same lot. How is this impossible?

The answer is that though Jesus’ demands are almost humanly impossible, God gives necessary grace to fulfill these conditions. As the Lord told Paul, “My grace is sufficient for you, for power is made perfect in weakness [2 Cor 12:9].” Without supernatural help, our frail humanity will stand a chance. If then, the apostles who relied on God’s grace could offer the lives for Christ and attain eternal life, it is now our turn to allow God’s grace to work in us so God may do great wonders in us, and we finally receive the fullness of life.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Miracle for a Better World

23rd Sunday in Ordinary Time [B]
September 5, 2021
Mark 7:30-37

A miracle is something extraordinary. Miracles make ordinarily impossible things possible. Yet, some miracles are more powerful and cause more wonder than others. In today’s Gospel, Jesus performed yet another stunning miracle. He healed a person with hearing and speech impairment. At first, the miracle seems familiar and another routine for Jesus, but we may discover remarkable details if we got closer to the story’s context.

photocredit: david knudsen

The person who begged for healing was struggling with several disabilities. The man was deaf, and if he could not hear sounds and voices since birth, he would not be able to speak as well. His speech impediment significantly worsened the condition. He could not say not only because he never heard a word but also his speech faculty had defects. It was an almost impossible case.

Another detail is that the way Jesus healed the man. He did not act the usual routines. He neither touch the afflicted person nor performs distant healing. His actions were somewhat ‘eccentric’. Mark described that Jesus placed His fingers inside man’s ears as if He tried to clear what blocked the hearing passages. He also spat on his hands and put his wet hands on the man’s tongue, as if He tried to soften what was dry and petrified. Jesus looked up to heaven and uttered ‘Ephatha!’ as if giving the command to various body parts that were tightly closed. Then, a remarkable miracle took place.

What happened was truly unique. The man could not only hear, but he could speak plainly. A man who was deaf since birth would need some time to learn how to say, but the great miracle was that Jesus infused the man with the gift of language. Jesus did heal not only the bodily infirmities but also enlighten the man with knowledge and understanding. It was a whole package miracle!

However, the miracle did not stop there. The effects of Jesus’ miracles ripple through the ages. We may not always see miracles of healing like in the Gospel, but we can always perform a miracle of love and mercy. As disciples of Christ, we continue to build a better place for people with disabilities. Now, our world may not be perfect, but it is a much better place for our afflicted brothers and sisters. If we see the bible, the early Church was concerned with how to take care of the most disenfranchised and how the apostles appointed seven deacons to minister to the poor widows. St. James, in his letter, denounced a practice in some ancient parishes that gave a seat to the rich and not to the poor [Jam 2:1-5]. The culture to help the poorest of the poor and even building structures like hospitals, shelters for the homeless, orphanages dramatically begins with Jesus and His Church. This spirit will continue until the age of time.

We thank our brothers and sisters who continue becoming the miracles of Christ for those people with disabilities. They spend time and resources to take care of abandoned babies, learn sign language to introduce Good News to the people who cannot hear, and create a better place for everyone.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mukjizat untuk Dunia yang Lebih Baik

Minggu Biasa ke-23 [B]
5 September 2021
Markus 7:30-37

Dalam Injil hari ini, Yesus melakukan mukjizat yang sungguh menakjubkan. Dia menyembuhkan seseorang yang tidak bisa mendengar dan mengalami gangguan berbicara. Jika dibaca sesaat, tampaknya mukjizat ini tidak berbeda dari mukjizat Yesus yang lain, tetapi jika kita melihat lebih dekat ke dalam konteks kisah ini, kita akan menemukan detail-detail yang luar biasa.

photocredit: Aswin

Yesus berhadapan dengan seorang pria yang tidak bisa mendengar atau tunarungu, dan jika dia tidak dapat mendengar suara sejak lahir, dia tentunya tidak akan dapat berbicara juga. Kondisinya diperparah oleh adanya gangguan pada kemampuannya berbicara. Dia tidak bisa berbicara bukan hanya karena dia tidak pernah mendengar sebelumnya, tetapi juga adanya cacat di bagian mulut atau lidahnya yang membuat dia kesulitan untuk membentuk kata. Bisa kita bayangkan penderitaan yang harus dihadapi orang ini.

Detail lainnya yang menarik adalah cara Yesus menyembuhkan orang ini. Yesus tidak melakukan rutinitas seperti biasanya dalam melakukan mukjizat. Dia tidak hanya menyentuh orang yang menderita atau melakukan penyembuhan jarak jauh. Gaya-Nya kali ini agak ‘anti mainstream’. Markus menggambarkan bahwa Yesus meletakkan jari-Nya di dalam telinga sang pria, seolah-olah Dia mencoba membersihkan apa yang menghalangi saluran pendengaran. Dia juga meludahi tangannya, dan meletakkan tangannya yang basah di lidah pria itu, seolah-olah Dia mencoba melunakkan apa yang kering dan membatu. Yesus menengadah ke langit dan mengucapkan ‘Efata!’ – seolah memberi perintah pada berbagai bagian tubuh yang tertutup rapat untuk terbuka. Kemudian, mukjizat yang luar biasa terjadi!

Apa yang terjadi benar-benar luar biasa. Pria itu tidak hanya bisa mendengar, tetapi dia bisa berbicara dengan jelas. Seorang pria yang tidak bisa mendengar sejak lahir akan membutuhkan beberapa waktu untuk belajar berbicara, tetapi mukjizat yang luar biasa adalah bahwa Yesus memberi orang ini karunia bahasa. Yesus tidak hanya menyembuhkan kelemahan dan cacat tubuh, tetapi juga menerangi manusia dengan pengetahuan dan pengertian. Itu adalah mukjizat seluruh paket!

Namun, mukjizat tidak berhenti di situ. Efek dari mukjizat Yesus terpancar selama berabad-abad. Kita mungkin tidak bisa melakukan mukjizat penyembuhan seperti dalam Injil, tetapi kita selalu dapat melakukan mukjizat cinta dan belas kasihan. Sebagai murid Kristus, kita diundang untuk terus membangun tempat yang lebih baik bagi orang-orang yang terpinggirkan secara khusus, para penyandang disabilitas. Jika kita melihat Alkitab, Gereja perdana juga fokus dengan bagaimana melayani mereka yang paling lemah, dan bagaimana para rasul menunjuk tujuh diakon untuk melayani para janda miskin [Kis 6]. St Yakobus dalam suratnya mengkritisi praktik di beberapa paroki kuno yang memberikan kursi kepada orang kaya dan bukan kepada orang miskin [Yakobus 2:1-5]. Budaya untuk membantu orang miskin dan terpinggirkan, dan bahkan membangun struktur seperti rumah sakit, tempat perlindungan bagi tunawisma, panti asuhan, secara dramatis dimulai dengan Yesus dan Gereja-Nya, dan semangat ini akan berlanjut sampai zaman.

Kita berterima kasih kepada saudara-saudari kita yang terus menjadi mujizat Kristus bagi mereka yang miskin, lemah dan para penyandang disabilitas. Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan waktu dan sumber daya untuk merawat bayi terlantar, yang belajar bahasa isyarat untuk memperkenalkan Kabar Baik kepada orang-orang yang tidak dapat mendengar, dan yang menciptakan tempat yang lebih baik bagi semua orang.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP