Tuhan tidak akan Cemburu

Minggu Biasa ke-31 [B]
31 Oktober 2021
Markus 12:28-34

Beberapa hari yang lalu, saya memberikan seminar tentang rosario, dan saya menerima pertanyaan yang cukup sulit, “Bagaimana jika devosi kita kepada Santa Perawan Maria membuat kita mencintai Maria lebih daripada Yesus?” Reaksi pertama saya adalah bahwa kasih kita kepada Yesus harus terbesar dibandingkan kepada siapa pun atau apa pun. Saya tidak mungkin salah dengan memberikan jawaban itu. Namun, dalam hati saya tidak puas dengan jawaban saya. Jika mencintai Yesus adalah satu-satunya hal yang penting, mengapa kita harus mencintai Bunda-Nya, mengapa kita harus menghormati St Yosef, ayah angkat-Nya, dan mengapa kita harus melayani Gereja-Nya? Kemudian, saya menyadari bahwa dengan logika ini, saya dapat mengatakan bahwa seorang suami tidak harus mencintai istrinya sepenuhnya, cukup cinta Yesus; seorang ibu tidak harus merawat anak-anaknya secara total, cukup cinta Yesus; seorang imam tidak harus melayani umatnya dengan penuh komitmen, cukup cinta Yesus. Logika ini mungkin menyesatkan.

photocredit: debby hudson

Injil hari ini menceritakan tentang Yesus yang mengajar kita yang pertama dan terutama dari semua hukum: Mengasihi Allah dengan segenap hati kita, dengan segenap jiwa kita, dengan segenap akal budi kita, dan dengan segenap kekuatan kita, dan kedua, untuk mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Sangat menarik bahwa Yesus tidak mengatakan bahwa mengasihi Tuhan dengan apa yang kita miliki saja sudah cukup. Dia menambahkan perintah kedua, untuk mengasihi sesama kita, dan Hukum kedua tidak dapat dipisahkan dari Hukum pertama. Kenapa? Kuncinya adalah bahwa mengasihi sesama kita adalah bagian tak terpisahkan dari mengasihi Tuhan.

Kasih kita kepada Bunda Maria, seperti kasih kita kepada keluarga dan teman-teman kita, tidak bertentangan dengan kasih kepada Kristus. St. Yusuf, St Padre Pio, St. Dominikus tidak bersaing dengan Tuhan dalam memenangkan cinta kasih kita. Kasih kita kepada sesama sejatinya adalah ekspresi kasih kita kepada Yesus. St. Bernard dari Clairvaux, dalam tulisannya ‘On the Love of God’, menulis bahwa jenis kasih tertinggi adalah mengasihi diri kita sendiri dan sesama demi Tuhan. Sederhananya, semakin kita mengasihi Bunda Maria, semakin kita mencintai keluarga kita, dan semakin kita mengasihi Yesus. Jika kita masuk lebih dalam ke dalam Alkitab, kita akan menemukan bahwa Allah adalah kasih [1 Yoh 4:8]. Tuhan tidak sedang bersaing dengan keluarga dan teman-teman kita, dan merasa cemburu ketika terkadang kita memprioritaskan anak-anak kita. Kenapa? Karena Tuhan adalah kasih itu sendiri yang mengikat kita dengan orang yang kita cintai. Semakin kita secara otentik mengasihi sesama kita, semakin besar Tuhan di hati kita.

Bagaimana kita menerapkan kebenaran ini dalam kehidupan kita sehari-hari? Memang ada kalanya kita harus memilih antara Tuhan dan hal-hal lain, seperti negara. St Thomas More, ketika dia akan dieksekusi, berkata, “hamba raja yang baik, tetapi Tuhan adalah yang pertama.” Namun, ini adalah kasus luar biasa. Sebagian besar, untuk mengasihi Tuhan dan untuk mengasihi sesama berjalan bersama-sama. Setiap hari Minggu, kita dapat membawa anak-anak kita ke Gereja dan beribadah bersama sebagai keluarga. Setiap malam, pasangan suami-istri bisa berdoa bersama. Pada bulan Oktober, keluarga dan komunitas dapat berdoa rosario bersama. Semakin dekat kita dengan satu sama lain, semakin dekat kita dengan Bunda Maria, dan tentunya semakin dekat lagi dengan Tuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

God will not be Jealous

31st Sunday in Ordinary Time [B]
October 31, 2021
Mark 12:28-34

A few days ago, I gave a seminar on the rosary, and I received a tricky question, “What if our devotion to the Blessed Virgin Mary make us love Mary than Jesus?” Honestly, my instinctive reaction was that our love for Jesus should be greatest to anyone or anything. I could not be wrong with that answer. However, the same question bothers me. If to love Jesus is the only thing matters, why should we love His Mother, why we should honor St. Joseph, His foster father, and why should we serve His Church? Then, I realized that with this logic, I could say that a husband does not have to love his wife totally, just Jesus; a mother does not have to take care of her children fully, just Jesus; a priest does not have to serve his people committedly, just Jesus. This logic may be misleading.

photocredit: Francesco Alberti

Today’s Gospel tells us Jesus, who teaches us the first of all commandments: To love God with all our hearts, with all our souls, with all our minds, and with all our strength, and secondly, to love our neighbors like ourselves. Interestingly, Jesus does not say only to love God with what we have is enough. He adds the second commandment: love our neighbors, and the Second Law is inseparable from the First Law. The key is that to love our neighbors is part and parcel of loving God.

Our love for the Blessed Virgin Mary, like our love for our family and friends, is not in opposition to Christ. St. Joseph, St. Padre Pio, St. Dominic are not competing with God in winning our loves. Our love for our neighbors is an expression of the love of Jesus. St. Bernard of Clairvaux, in his treatise ‘On the Love of God’, wrote that the highest kind of love is to love ourselves and others for God’s sake. To put it simply, the more we love the Blessed Virgin, the more we love our family, and the more we love Jesus. If we go deeper into the Bible, we will discover that God is love [1 John 4:8]. God is not competing with your family and friends and feeling jealous when sometimes you prioritize your kids. God is the love that binds us with our loved ones. The more we authentically love our neighbors, the greater God is our hearts.

How do we apply this truth in our daily lives? Indeed, there are times, we need to choose between God and other things, like the state. St. Thomas More, when he was about to be executed, said, “the king’s good servant, but God’s first.” Yet, these are exceptional cases. Most of the time, to love God and to love our neighbors go together. During Sundays, we can bring our children to the Church and worship together as a family. Every night, couples can spend time together in prayer of thanksgiving. In October, families, and communities can pray together the rosary. We are growing closer to each other, closer to our Mother, and even closer to God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

True Vision

30th Sunday in Ordinary Time [B]
October 24, 2021
Mark 10:46-52

The story of Bartimaeus is arguably one of the most compelling and beautiful stories in the Gospel. It speaks of a man crushed by unimaginable hardship who relentlessly seeks redemption and meaning in his life. He has to live with blindness and has been struggling with darkness his entire life. Things get worse as a society, and perhaps his family rejects him as a failure. Instead of getting proper help as a person with disabilities, he must face the cruel reality of discrimination. To survive, he must beg from those people who go in and out of the city of Jericho. I do not think that Bartimaeus is some lazy guy who squanders the government’s social program. He is genuinely a victim of an oppressive system. He is the wrong man in the wrong place and at the wrong time.

photocredit: ryoji Iwata

When Jesus is passing by, Bartimaeus does what he does best: to beg. He recognizes Jesus as the Son of David, the long-awaited Messiah, and begs for pity. Jesus hears his cry for help and calls him. However, something is interesting takes place. Jesus asks him, “what do you want me to do for you?” at first glance, the question seems silly. Of course, Bartimaeus longs to see! Yet, why does Jesus ask that question despite the apparent fact?

Jesus certainly knows what Bartimaeus needs, yet Jesus, as a good teacher, guides him to articulate his deepest desire. Then the miracle happens on a much deeper level. Bartimaeus no longer calls Jesus, ‘Son of David,’ a royal Messiah, and powerful king, but he addresses Jesus as ‘Rabouni’ [my teacher]. Bartimaeus is not simply longing for a perfect 20/20 vision, but fundamentally an intimate communion with Jesus: from a respectful yet distant relation between king and his subject to a warm and empowering friendship between a master and His disciple.

Thus, Bartimaeus’ second request, ‘I want to see,’ must be understood in this light. When his eyes are opened, the first person he sees will be no other than Jesus, his beloved master. His vision is meaningless unless it is to see Jesus. His deepest desire is to see Jesus and to be with Jesus. No wonder if the story ends with Bartimaeus following Jesus in His way.

The story of Bartimaeus is impactful and classic because his story is ours as well. We are blinded by many things that make our souls destitute and lamentable. We are chasing things that impoverish our spiritual lives. We may have the best the world can offer, but we know that we are missing something.

Beato Carlo Acutis famously said, “We are born original, yet many die as photocopies.” We are all born as God’s beautiful and unique image, but as we grow as ‘photocopies’ of celebrities, we watch on TV. We are looking up to social media influencers who parade their sports cars and wealth. We are imitating ‘charismatic’ public figures who do not live virtuous lives. We are blinded and soon die as ugly ‘photocopies.’ Thus, following the lead of the excellent teacher, we need to articulate what our deepest longing in this life is. Hopefully, like St. Thomas Aquinas, we will be able to say, “Nothing but you, O Lord!”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
photocredit: ryoji iwata

Visi Sejati

Minggu ke-30 Masa Biasa [B]
24 Oktober 2021
Markus 10:46-52

Kisah Bartimeus adalah salah satu kisah yang paling indah dalam Injil. Cerita ini berkisah tentang seorang pria yang dihancurkan oleh kesulitan hidup yang tak terbayangkan, namun dia tanpa henti mencari penebusan dan makna hidupnya. Dia harus hidup dengan kebutaan dan berjuang dengan kegelapan sepanjang hidupnya. Segalanya menjadi lebih buruk karena masyarakat dan mungkin keluarganya menolaknya dan melihat dia sebagai kegagalan. Alih-alih mendapatkan bantuan yang layak sebagai penyandang disabilitas, ia harus menghadapi diskriminasi yang kejam. Untuk bertahan hidup ia harus mengemis dari orang-orang yang keluar masuk kota Yeriko. Bartimaeus bukanlah seorang pengemis malas yang menyia-nyiakan program sosial pemerintah. Dia benar-benar korban dari sistem yang tidak adil pada zamannya.

Minggu ke-30 Masa Biasa [B]
24 Oktober 2021
Markus 10:46-52

Kisah Bartimeus adalah salah satu kisah yang paling indah dalam Injil. Cerita ini berkisah tentang seorang pria yang dihancurkan oleh kesulitan hidup yang tak terbayangkan, namun dia tanpa henti mencari penebusan dan makna hidupnya. Dia harus hidup dengan kebutaan dan berjuang dengan kegelapan sepanjang hidupnya. Segalanya menjadi lebih buruk karena masyarakat dan mungkin keluarganya menolaknya dan melihat dia sebagai kegagalan. Alih-alih mendapatkan bantuan yang layak sebagai penyandang disabilitas, ia harus menghadapi diskriminasi yang kejam. Untuk bertahan hidup ia harus mengemis dari orang-orang yang keluar masuk kota Yeriko. Bartimaeus bukanlah seorang pengemis malas yang menyia-nyiakan program sosial pemerintah. Dia benar-benar korban dari sistem yang tidak adil pada zamannya.
photocredit: riccardo annandale

Ketika Yesus melewati Yeriko menuju Yerusalem, Bartimeus melakukan apa yang biasa dilakukan: mengemis. Dia mengakui Yesus sebagai Anak Daud, Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu, dan memohon belas kasihan. Yesus mendengar teriakan minta tolong dan memanggilnya. Namun, ada hal menarik yang terjadi. Yesus bertanya kepadanya, “Apa yang kamu ingin aku lakukan bagimu?” Tampaknya, pertanyaan ini tampak konyol. Tentu saja, Bartimeus ingin melihat! Namun, mengapa Yesus menanyakan pertanyaan itu meskipun faktanya sudah jelas?

Yesus tentu tahu apa yang dibutuhkan Bartimeus, namun Yesus, sebagai guru yang baik, membimbingnya untuk mengartikulasikan keinginannya yang terdalam. Yesus memampukan Bartimeus untuk bersuara. Kemudian mukjizat terjadi di tingkat yang jauh lebih dalam. Bartimeus tidak lagi menyebut Yesus, ‘Anak Daud,’ seorang Mesias dan raja yang berkuasa, tetapi dia menyebut Yesus sebagai ‘Rabouni’ [guruku]. Bartimeus tidak hanya merindukan penglihatan mata yang sempurna, tetapi sejatinya persekutuan yang intim dengan Yesus: dari hubungan yang saling menghormati namun jauh antara raja dan rakyatnya, menjadi persahabatan yang hangat dan memberdayakan antara seorang guru dan murid-Nya.

Jadi, permintaan kedua Bartimeus, ‘Saya ingin melihat’, harus dipahami dalam konteks ini. Ketika matanya terbuka, orang pertama yang dilihatnya tidak lain adalah Yesus, gurunya yang terkasih. Penglihatannya tidak ada artinya kecuali untuk melihat Yesus. Keinginan terdalamnya adalah untuk melihat Yesus dan bersama Yesus. Tak heran jika cerita berakhir dengan Bartimeus mengikuti Yesus di jalan-Nya.

Kisah Bartimeus sangat indah dan tergolong kisah klasik karena cerita ini adalah milik kita juga. Kita dibutakan oleh banyak hal yang membuat jiwa kita melarat dan menyedihkan. Kita mengejar hal-hal yang memiskinkan kehidupan rohani kita. Kita mungkin memiliki yang terbaik yang dapat ditawarkan dunia, tetapi kita tahu bahwa kita kehilangan yang paling penting.

Beato Carlo Acutis pernah berkata, “Kita dilahirkan sebagai orisinal, namun banyak yang mati sebagai fotokopian.” Kita semua dilahirkan sebagai citra Tuhan yang indah dan unik, tetapi kita tumbuh sebagai ‘fotokopi’ selebriti yang kita tonton di TV. Kita mengidolakan influencer media sosial yang memamerkan mobil sport dan kekayaan mereka. Kita meniru tokoh masyarakat yang ‘karismatik’ tetapi tidak hidup berbudi luhur. Kita dibutakan dan akhirnya mati sebagai ‘fotokopi’ yang jelek. Jadi, mengikuti petunjuk sang guru yang baik, kita perlu mengartikulasikan apa kerinduan terdalam kita dalam hidup ini. Mudah-mudahan, seperti St. Thomas Aquinas, kita akan dapat berkata, “Tidak ada yang lain selain Engkau, ya Tuhan!”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kuasa Terbesar

Minggu Biasa ke-29 [B]
17 Oktober 2021
Markus 10:35-45

Yakobus dan Yohanes sedang mencari posisi yang paling berharga di kerajaan Yesus. Duduk di sebelah kanan dan di sebelah kiri raja berarti memerintah bersama dengan raja itu sendiri. Kembali ke Perjanjian Lama, orang yang duduk di sebelah kanan Raja Solomon tidak lain adalah sang ibu, Batsyeba. Ibu ratu sangat dihormati oleh raja sendiri dan dia memiliki kekuatan yang sangat besar [1 Sam 1 – 2].

photocredit: ravi roshan

Apa yang membuat kisah Injil ini lebih menarik adalah bahwa Yakobus dan Yohanes berusaha mengambil posisi ini dengan cara yang cerdik. Mereka langsung pergi kepada Yesus, dan memanfaatkan kesempatan ketika murid-murid yang lain sedang sibuk dengan hal-hal lain. Tentunya, ketika murid-murid lain menyadari rencana mereka, mereka menjadi marah. Mengapa? Mereka juga menginginkan posisi yang sama, dan juga kekuatan yang menyertainya.

Mengapa para murid terobsesi dengan kekuasaan dan posisi? Mengapa kita sangat menginginkan kekuasaan? Secara sederhana, kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan orang lain. Ketika kita memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang perlu kita lakukan dan apa yang ingin kita lakukan, kita kuat dan berkuasa. Ketika kita dapat mengontrol dan mempengaruhi orang lain, kita bahkan menjadi lebih kuat dan berkuasa. Ketika kita kuat dan berkuasa, kita memegang kendali, dan ketika kita memegang kendali, kita merasa sebuah kepuasan dan kenikmatan. Tidak heran jika kita menginginkan kekuasaan.

Apakah kekuasaan sesuatu yang buruk? Sama sekali tidak! Seperti hal-hal lain di dunia ini, kekuasaan adalah sarana dan dapat memiliki tujuan yang baik. Dengan kekuasaan, kita dapat melakukan hal-hal yang membuat kita tumbuh dan mencapai potensi maksimal kita. Dengan kekuasaan, kita dapat membantu orang lain dan masyarakat untuk mencapai kemajuan, kemakmuran, dan kebaikan bersama. Dengan kekuasaan, kita dapat mencegah orang lain menyakiti diri sendiri dan orang lain. Namun, seperti hal-hal duniawi lainnya, kekuasaan rentan terhadap penyalahgunaan. Kekuatan yang sama dapat digunakan untuk memanipulasi dan menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain.

Yesus memahami dengan baik dinamika kekuasaan. Dia sendiri tidak mengajarkan bahwa kekuatan itu jahat, atau sesuatu yang harus dihilangkan. Sebaliknya, Dia menunjukkan tujuan kekuasaan yang sebenarnya. Yesus menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah tentang memiliki kekuatan militer atau ekonomi. Kekuasaan yang sejati adalah untuk saling melayani. Yesus bahkan mengajarkan hal yang lebih radikal bahwa orang yang paling bebas dan paling berkuasa adalah orang yang dengan bebas menyerahkan hidupnya agar orang lain dapat memiliki hidup sepenuhnya. Kekuatan sejati bukanlah tentang memiliki dan mengumpulkan lebih banyak kekuatan dan kendali, melainkan tentang memberi dan memberdayakan orang lain. Kekuasaan menghancurkan ketika di dalam hati kita diperbudak oleh dosa.

Apa yang menakjubkan tentang kekuasaan adalah bahwa hampir setiap orang memilikinya. Sekarang, kembali kepada kita untuk menggunakan kekuasaan ini untuk melayani sesama atau untuk menghancurkan mereka. Seorang ibu dapat menggunakan kekuasaannya atas bayi di dalam kandungannya dengan merawat bayinya, namun ibu yang sama dapat menggunakan kekuasaannya untuk membinasakan dan menggugurkan kandungannya. Seorang imam dapat menggunakan kuasanya untuk menguduskan umatnya dan mendidik mereka di jalan Tuhan, atau ia dapat menggunakannya untuk memperoleh kehidupan yang lebih nyaman, dan bahkan popularitas. Yesus mengingatkan kita bahwa tidak ada kuasa yang lebih besar dari pada seseorang yang dengan rela memberikan hidupnya agar orang lain dapat hidup sepenuhnya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Greatest Power

29th Sunday in Ordinary Time [B]
October 17, 2021
Mark 10:35-45

James and John are seeking second-most prized positions in the kingdom. To be seated at the king’s right and left means to co-reign with the king himself. Going back to the Old Testament, one who was seated at the right of King Salomon was no other than his queen-mother, Bathsheba. The king himself highly respected the queen-mother, and she was wielding considerable power [1 Sam 1 – 2].

photocredit: jasmin staab

What makes this episode more intriguing is that James and John attempt to grap this position by the shrewd plot. They go directly to Jesus and seize the opportunity when the rest of the disciples are busy with other things. Indeed, when the other disciples are aware of their plot, they become indignant. Why? They also desire the same spot and the power it brings.

Why is it that the disciples are obsessed with power and position? Why do we want power so badly? Simply put, power is the ability to control oneself and others. When we can do what we need to do and what we want to do, we are powerful. When we can control and influence others, we are even more powerful. When we are powerful, we are in control, and when we are in charge, we feel good about ourselves. No wonder if we want power.

Is power something terrible? Not at all! Like other things in this world, power may serve a good purpose. With power, we can perform things that make us grow and achieve our fullest potential. With power, we can help others, and the community achieves progress, prosperity, and the common good. With power, we can prevent others from harming themselves and others. However, like other earthly things, power is susceptible to abuse. The same power can be used to manipulate and destroy ourselves and others.

Jesus understands well the dynamics of power. He does not teach that power is evil, nor something to be eliminated. Instead, He points out the true purpose of power. Jesus shows that power is not about having military might or economic forces. The genuine use of power is to serve one another. Jesus even goes one step further that the freest and most powerful man is the one who freely gives up his life so that others may have life to the fullest. True power is not about having and accumulating more power and control but giving and empowering others. Power corrupts when inside our hearts are slaved by sins.

What is impressive about power is that practically everyone has it. Now, it is up to us to use this power to serve others or to destroy them. A mother may exercise her power over her baby in her womb by taking care of the baby, but the same mother may use her power to destroy and abort it. A priest can exercise his power to sanctify his people and educate them in the ways of the Lord, or he can use them to gain a more comfortable life and even popularity. Jesus reminds us that there is no greater power than one who freely offers his life so that others may live to the fullest.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
photocredit: jasmin staab

Yesus dan Orang Kaya

Minggu Biasa ke-28 [B]
10 Oktober 2021
Markus 10:17-27

Ketika seorang kaya datang dan memohon untuk kehidupan kekal, Yesus menyebutkan dua prinsip paling mendasar dari agama Yahudi: ‘Shema’ dan Sepuluh Perintah Allah. Shema adalah kata Ibrani pertama dalam “Dengarlah, hai orang Israel, TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa…” [Ul 6:4]. Shema telah menjadi doa dasar dan pernyataan kredo bagi orang-orang Yahudi sejak zaman Yesus. Seorang Yahudi yang baik akan mendaraskan ‘Shema’ setidaknya tiga kali sehari. Yesus sedikit memodifikasi Shema ketika Dia berkata, “…Hanya Tuhan saja yang baik.” Yesus juga menyebutkan Sepuluh Perintah Allah, setidaknya paruh keduanya. Yesus menekankan kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menghindari hal-hal jahat bagi sesama.

photocredit: amirali

Yesus mengajarkan pria itu bahwa menjalankan Shema dan melakukan perintah Tuhan adalah apa yang perlu dia lakukan untuk mendapatkan hidup yang kekal. Namun, ada sebuah kejutan yang menarik dalam cerita ini. Orang kaya itu mengatakan bahwa dia telah melakukan hal-hal itu sejak dia masih muda. Sekarang, alih-alih merasa puas dengan pencapaiannya, dia merasa ada sesuatu yang hilang. Meskipun melakukan apa yang dituntut Hukum Allah dan percaya pada satu Tuhan Allah yang benar, pria itu tidak menemukan apa yang benar-benar ia rindukan. Dia berharap Yesus memberikan jawabannya, sebuah mata rantai yang hilang.

Yesus mengenali ketulusan pria itu dan mengasihinya. Yesus menawarkan kepadanya bagian terakhir yang akan memecahkan teka-teki hidupnya: mengikuti Yesus. Namun, Yesus juga tahu persis satu hambatan besar untuk mengikuti-Nya dan memperoleh hidup yang kekal. Orang ini terikat pada kekayaannya. Jadi, solusinya adalah secara radikal melepaskan diri dari kekayaan, seperti ‘unta melalui lubang jarum’.

Apakah kekayaan itu jahat? Sama sekali tidak! Harta benda adalah baik karena ini juga diciptakan oleh Tuhan dan berkat Tuhan. St Paulus mengingatkan kita bahwa yang jahat bukanlah kekayaan itu sendiri, tetapi cinta akan uang [1 Tim 6:10]. Kekayaan itu baik jika berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan, dan bukan tujuan akhir itu sendiri. Jika kita membaca Injil, kita juga akan melihat bagaimana Yesus mengizinkan diri-Nya dan pelayanan-Nya didukung oleh pria dan wanita yang kaya.

Mengikuti Yesus berarti menggunakan kekayaan kita untuk melayani Tuhan dan membantu orang lain terutama yang miskin. Mengikuti Yesus berarti kita menyadari bahwa kekayaan adalah berkat Tuhan. Mengikuti Yesus berarti mengakui bahwa mengejar harta benda duniawi tanpa Allah pasti akan kehilangan Allah, sumber segala kekayaan.

Namun, keputusan untuk mengikuti Yesus dan menjadikan prioritas kita yang lain seperti uang, ketenaran, dan kesuksesan sebagai sarana daripada tujuan adalah pilihan yang radikal. Harta duniawi ini sering memberi kita kesenangan dan perasaan aman instan. Dengan banyak uang, kita dapat melakukan apa yang kita inginkan, dan kita dapat memiliki apa yang kita mau. Namun, kesenangan dan keamanan ini hannyalah fatamorgana. Pada tahun 2008, krisis keuangan melanda banyak negara, dan banyak ekonomi runtuh. Paus Emeritus Benediktus XVI mengingatkan kita, “mereka yang hanya mencari kesuksesan, karier atau uang sedang membangun di atas pasir.” Benar, kekayaan tanpa Tuhan, tidak lain adalah ‘pasir’.

Kita mencari dahulu Kerajaan Allah, dan sisanya akan diberikan. Kita mengikuti Yesus terlebih dahulu, dan hal-hal lain akan mengikuti.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus and the Rich

28th Sunday in Ordinary Time
October 10, 2021
Mark 10:17-27

When the rich man begged for eternal life from Jesus, He mentioned the two most fundamental tenets of the Jewish religion: the ‘Shema’ and the Ten Commandments. Shema is the first Hebrew is ‘Hear O Israel, the Lord is God, the Lord alone…” [Deu 6:4]. Shema has become a basic prayer and creedal statement for the Jewish people since Jesus’ time. A good Jew will recite ‘Shema’ at least thrice a day. Jesus slightly modified Shema when He said, “…Only God alone is good.” Jesus also recited the Ten Commandments, at least the second half of it. Jesus emphasized the rich man’s obligations to do good and avoid harm to others.

Jesus seemed to tell the man that living the Shema and doing the Lord’s commandment was what he needed to do to gain eternal life. However, there was an intriguing twist in the story. The rich man said that he had done that since he was young. Now, instead of feeling satisfied with his accomplishment, he felt something remained missing. Despite doing what the Law required and believing in one true God, he did not find what he was honestly longing for. He expected Jesus to give him the answer, the missing link.

Jesus recognized the sincerity of the man and loved him. Jesus offered him the final piece that would solve his life’s puzzle: to follow Jesus. Yet, through His divine wisdom, Jesus was able also to identify one enormous obstacle to follow Jesus and gain eternal life. This man was attached to his wealth. Thus, the solution was to radically detach himself from the wealth, like ‘camel through an eye of a needle.

Is wealth evil? Not at all! Material possessions are good because this too is created by God and God’s blessing. St. Paul reminded us that evil is not the richness itself but the love of money [1 Tim 6:10]. Wealth is good if it serves as a means to an end and not the end itself. Jesus allowed Himself and His ministry to be supported by resourceful men and women.

To follow Jesus means using our wealth to serve God and help others, especially the poor. To follow Jesus means that we recognize that richness is God’s blessing to be shared. To follow Jesus is acknowledging that pursuit of earthly possessions without God is bound to lose God, the source of all wealth.

However, following Jesus and making our other priorities like money, fame, and success as means rather than the end is a radical choice. These earthly possessions often give us an instant pleasure and feeling of security. With a lot of money, we can do what we want and have what we desire. Yet, these pleasures and security are nothing but a mirage. In 2008, the financial crisis hit many countries hard, and many economies collapsed. Pope Emeritus Benedict XVI reminded us, “those who seek success, career or money are building on sand.” True, wealth without God is nothing but a ‘sand’.
We seek first the Kingdom of God, and the rest will follow. We follow Jesus first, and the other things will fall into place.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
photocredit: vince gx

Mengapa Yesus Membenci Perceraian

Minggu ke-27 Masa Biasa
3 Oktober 2021
Markus 10:2-16

Beberapa orang menuduh Gereja ‘kolot’ karena mengajarkan pernikahan Katolik adalah monogami dan tidak terceraikan. Kita dikecam karena tidak peka dan tidak fleksibel terhadap berbagai masalah pernikahan yang mengguncang pasangan dan menuntut perceraian. Gereja Katolik disalahkan atas pernikahan yang tidak bahagia karena kita menolak untuk mendengarkan tuntutan masyarakat pasca-modern.

photocredit: John Appelagate

Namun, banyak yang lupa bahwa perceraian, perzinahan, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga lebih tua dari Yesus dan Gereja yang Dia dirikan. Hal-hal mengerikan ini telah terjadi sejak awal umat manusia. Apa yang ‘kolot’ dan menyebabkan ketidakbahagiaan tidak lain adalah dosa. Ajaran Yesus tentang pernikahan adalah radikal karena Dia melibas berbagai tembok tebal dosa dan kembali ke rencana awal Tuhan.

Ketika orang Farisi menguji Yesus dan mengungkit masalah perceraian. Mereka berharap bahwa Yesus akan berpihak pada pandangan konservatif tentang perceraian atau yang lebih terbuka. Lagi pula, Musa mengizinkan perceraian. Namun, Yesus memanfaatkan momen itu untuk mengajarkan kebenaran sejati. Dia mencabut izin perceraian yang diberikan Musa. Yesus tahu betul bahwa Musa terpaksa mengeluarkan peraturan itu karena ketegaran hati dan dosa.

Yesus mengingatkan orang-orang Farisi tentang rencana awal Allah bagi pria dan wanita. Dengan mengutip Kitab Kejadian, Yesus mengajarkan bahwa pria dan wanita tidak dapat menemukan kebahagiaan sejati baik dalam ‘binatang’ atau benda, atau dalam memanipulasi pria atau wanita lain. Yesus, sebagai pencipta pernikahan, menegaskan kembali bahwa hanya dengan ‘meninggalkan ayah dan ibu’ dan ‘menjadi satu dengan istrinya’, manusia dapat menjadi satu tubuh yang utuh. Ini adalah bahasa simbolis bahwa pria dan wanita dapat menemukan kebahagiaan sejati dengan memberikan diri mereka sepenuhnya kepada satu sama lain.

Pernikahan monogami adalah institusi ilahi dan manusiawi untuk melindungi dan mendorong pasangan untuk memberikan hidup mereka sepenuhnya dan untuk mencintai secara radikal. Suami diundang untuk menjadi pria yang lebih dewasa, dan berperan sebagai pelindung, penyedia, dan pemimpin. Istri dipanggil untuk lebih mencintai, dan menjadi seseorang yang benar-benar merawat dan mendidik. Saat mereka saling memberi lebih banyak, semakin mereka tumbuh dan semakin mereka menemukan kembali diri mereka sendiri, dan semakin mereka menemukan sukacita.

Dengan pasangan yang lebih dewasa dan penuh kasih, pernikahan menjadi tempat terbaik untuk tumbuh bagi anak-anak kita. Di sinilah mereka diterima, dilindungi, dan dicintai. Di sinilah mereka belajar nilai-nilai terbaik pertama dalam hidup mereka: kasih, kesetiaan, keadilan, komitmen, dan pengorbanan.

Beberapa orang mengatakan bahwa pernikahan semacam ini terlalu rumit dan terlalu sulit untuk menjadi kenyataan. Namun, sejatinya ini adalah simple dan sangat indah. Yang membuat pernikahan menjadi rumit dan sulit adalah dosa. Kekerasan dalam rumah tangga menciptakan luka yang dalam dan traumatis, dan anak-anak kita tumbuh sebagai orang dewasa yang penuh kekerasan. Perzinaan menghancurkan kesetiaan dan kepercayaan, dan membentuk anak-anak menjadi seseorang yang tidak percaya diri. Perceraian melukai hubungan manusia secara permanen, dan membawa anak-anak kita ke dalam kekacauan.

Memang benar bahwa kehidupan pernikahan bisa sangat sulit, tetapi suami dan istri tidak pernah sendirian. Allah yang memanggil mereka ke dalam persekutuan, akan memberikan rahmat yang diperlukan. Dan dengan kasih karunia Tuhan, bahkan cobaan dan kesulitan dalam pernikahan dapat berubah menjadi kesempatan cinta dan pertumbuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Why Jesus Hates Divorce

27th Sunday in Ordinary Time
October 3, 2021
Mark 10:2-16

Some people accuse the Church of being old-fashioned because Catholic marriage is a monogamous and permanent union. We are denounced for being insensitive and inflexible to various marriage problems that rock the spouses and demand divorce. The Catholic Church is blamed for the unhappy marriages because we refuse to hear the demands of the post-modern societies.

photocredit: Sandy Millar

However, many forget that divorce, adultery, infidelity, and domestic violence are older than Jesus and the Church He founded. These awful things have been taking place since the dawn of humanity. What is old-fashioned and causing unhappiness is nothing but sin. Jesus’ teaching on marriage is radical because He bulldozes various thick walls of sins and returns to the original plan for God.

When the Pharisees tested Jesus and brought up the issue of divorce, they would expect that Jesus would like to take a side either with the conservative view of divorce or the more relaxed one. After all, Moses permitted divorce. Yet, Jesus seized the moment and dropped the bomb. He did not take a side, but He revoked Moses’ permit on divorce. Jesus knew well that Moses had been forced to issue that regulation because of the hardness of hearts.

Jesus reminded the Pharisees of the original plan of God for men and women. By quoting the Book of Genesis, Jesus taught that man and woman could find true happiness neither in ‘animals’ nor things nor manipulate another man or woman. Jesus, as the creator of marriage, reiterated that only by ‘leaving their father and mother’ and ‘be one with his wife’ can a man be one whole body. This is a powerful language that man and woman can find true wholeness by giving themselves totally to each other.

Monogamous marriage is a divine and human institution to protect and encourage spouses to give their lives entirely and love radically. Husbands are invited to become more mature men and assume the role of protector, provider, and leader. Wives are called to be more loving and to become someone who genuinely nurtures and educates. As they give each other more, the more they grow and the more they rediscover themselves, and the more they find greater joy.

With more mature and loving couples, marriage becomes the best place to grow for our children. It is where they are received, protected, and loved. Here, they learn the first best values in their lives: love, fidelity, justice, commitment, and sacrifice.

Some people say that this kind of marriage is too complicated and too beautiful to be true. Yet, it is pure and simply beautiful. What makes things in marriage complicated and challenging is sin. Domestic violence creates deep and traumatic wounds, and our children may grow as violent adults. Adultery destroys fidelity and trust and forms the children into someone who is distrustful. Divorce injures human relations permanently and leads our children into turmoil.

While it is true that marriage life can be extremely tough, husbands and wives are not never alone. God who calls them into communion will provide the necessary grace. And with God’s grace, even the trials and hardship in marriage can turn into an occasion of love and growth.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP