Takut

Minggu ke-12 dalam Masa Biasa [A]

25 Juni 2023

Matius 10:26-33

Takut adalah salah satu emosi manusia yang paling mendasar dan primitif. Rasa takut dapat didefinisikan sebagai reaksi emosional dan fisiologis terhadap bahaya atau ancaman yang dirasakan. Pada manusia dan banyak hewan, bagian kuno dari otak kita yang disebut amigdala memainkan peran penting dalam mengatur rasa takut. Ketika potensi ancaman terhadap kehidupan kita dirasakan, amigdala melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Hormon-hormon ini meningkatkan kewaspadaan kita dan memperkuat tubuh kita, dan dengan demikian, meningkatkan peluang kita untuk menyelamatkan hidup kita. Amigdala (dan rasa takut) bertanggung jawab atas kelangsungan hidup kita.

Akan tetapi, ada masalah besar. Otak kita, tidak seperti otak hewan, jauh lebih kompleks dan pintar. Amigdala hanyalah bagian yang kecil dari sistem yang lebih besar. Seiring dengan semakin majunya otak kita, pemahaman kita akan rasa takut pun semakin rumit. Kita tidak hanya takut pada bahaya fisik di depan mata kita, seperti api atau hewan buas, tapi juga pada potensi ancaman dan bahaya yang sebenarnya belum ada, atau bahkan tidak akan pernah ada. Dalam batas-batas tertentu, jenis ketakutan ini sesuatu yang normal, tetapi saat ketakutan ini berlebihan, ini menjadi permasalahan serius dalam hidup kita. Ketakutan ini muncul dalam berbagai bentuk seperti ‘overthinking,’ ‘comfort zone’, dan ‘insecurity (minder)’. Ketakutan ini melumpuhkan kita dan bahkan menekan pertumbuhan otentik kita.

Apa yang Yesus ajarkan kepada kita tentang rasa takut? Kita sering membaca dalam Injil bahwa Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Jangan takut!” Namun, apakah ini berarti Yesus ingin kita menekan emosi kita? Apakah Yesus memerintahkan kita untuk bersikap gegabah dan mengabaikan rasa takut sama sekali? Injil hari ini memberi kita kebijaksanaan yang lebih dalam tentang ajaran Yesus tentang rasa takut. Yesus berkata, “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam Gehena (mat 10:28).” Yesus tidak meminta kita untuk mati rasa terhadap semua jenis takut, melainkan untuk mengetahui apa atau siapa yang benar-benar harus kita takuti.

Yesus sangat memahami bahwa rasa takut adalah emosi dasar manusia. Rasa takut memiliki tujuan penting untuk bertahan hidup; tanpa rasa takut, spesies manusia sudah lama punah. Oleh karena itu, membedakan antara objek ketakutan yang nyata dan yang semu sangat penting untuk menangani rasa takut kita dengan benar. Namun, Yesus mengingatkan kita bahwa kita bukan hanya makhluk duniawi tetapi terutama makhluk yang diciptakan untuk Tuhan. Oleh karena itu, kita perlu lebih takut pada hal-hal yang akan memisahkan kita dari Allah, terutama dosa. Ya, secara alamiah kita takut akan hal-hal yang membahayakan tubuh kita, tetapi kita harus lebih takut akan hal-hal yang membahayakan jiwa kita, bahkan jika hal-hal tersebut memberikan kenyamanan dan keamanan bagi tubuh kita. Ajaran Yesus selaras dengan hikmat Perjanjian Lama: takutlah akan Tuhan (lihat Pkh. 12:13; Mzm. 34:9). Kita tidak takut kepada Tuhan karena Dia menakutkan, tetapi kita takut kehilangan Dia untuk selama-lamanya.

Sekarang, saatnya kita mengevaluasi hidup kita. Apa saja objek takut yang semu dalam hidup kita yang menghalangi kita untuk bertumbuh dan mengasihi Tuhan dan sesama kita? Apakah kita lebih takut pada hal-hal yang membahayakan kehidupan duniawi kita atau hal-hal yang menjauhkan kita dari kehidupan kekal? Apakah kita siap untuk menghadapi rasa takut kita demi Yesus?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Fear

12th Sunday in Ordinary Time [A]
June 25, 2023
Matthew 10:26-33

Fear is one of the most basic and primitive human emotions. Fear can be defined as an emotional and physiological reaction to perceived dangers or threats. In humans and many animals, an archaic part of our brain called the amygdala plays an important role in regulating fear. When potential threats to our lives are perceived, the amygdala releases stress hormones like cortisol and adrenalin. These hormones heighten our alertness and strengthen our bodies, and thus, increase our chances of survival. The amygdala (and its fear) is responsible for our survival.

However, there is a big problem. Our brains, unlike animal brains, are much more complex and advanced. Amygdala is just a very small part of a bigger system. As our intellect goes sophisticated, our understanding of fear is getting complicated. We are afraid not only of physical danger before our eyes, like fire, explosion, and venomous animals but also of potential threats and dangers that do not exist yet. Here comes the problem. We fear something that is not a real danger or even something that is not real. This fear manifests in different forms like ‘overthinking,’ ‘staying in your comfort zone,’ and ‘insecurity.’ This fear paralyzes us and even suppresses our authentic growth.

How does Jesus teach us about fear? We often read in the Gospel that Jesus said to His disciples, “Do not fear!” Yet, what does it mean ‘to have no fear’? Does it mean Jesus wants us to repress our emotions? Does Jesus instruct us to be reckless and disregard fear altogether? Today’s Gospel gives us a deeper insight into Jesus’ teaching on fear. Jesus said, “And do not be afraid of those who kill the body but cannot kill the soul; rather, be afraid of the one who can destroy both soul and body in Gehenna.” Jesus did not ask us to be numb to all kinds of fear but rather to know what or who we must truly fear.

Jesus knows well that fear is fundamental emotion of a human person. Fear serves the critical purpose of survival; without it, the human species would have ceased to exist long ago. Thus, distinguishing between the real objects of fear and the fake ones is imperative in properly handling our fear. However, Jesus reminds us that we are not simply earthly beings but primarily beings created for God. Consequently, we must fear the most things that will separate us from God. Yes, we are naturally afraid of those things that harm our bodies, but we must fear those things that harm our souls more, even if these things give us comfort and security from bodily harm. Jesus’ teaching is in harmony with Old Testament’s wisdom: one must fear the Lord (see Ecc 12:13; Psa 34:9). We do not fear the Lord because He is fearsome, but we fear that we may lose Him for eternity.

Now, it is our time to reflect and evaluate our lives. What are the false objects of fear in our lives prevent us from growing and loving God and our neighbors? Do we fear more those things that harm our earthly lives or those that put us away from eternal life? Are we ready to face our fear for the sake of Jesus?

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ekaristi dan Manna

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (Corpus Christi)
11 Juni 2023
Yohanes 6:51-58

Hari ini, Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, atau juga disebut Hari Raya Corpus Christi (bahasa Latin yang berarti “Tubuh Kristus”). Melalui hari Minggu ini, Gereja mengundang seluruh umat beriman untuk merenungkan sekaligus merayakan salah satu misteri dan mukjizat agung iman Katolik, yaitu kehadiran Yesus Kristus yang nyata dalam setiap Ekaristi. Seperti yang kita dengar dari Injil Yohanes, Yesus benar-benar memberikan Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan yang nyata, dan mereka yang makan Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya akan memiliki hidup yang kekal (Yohanes 6:51). Namun, apakah kita benar-benar memakan Tubuh dan Darah Yesus? Apakah itu berarti kita memakan daging manusia, dan dengan demikian, kita melakukan kanibalisme?

Ya, kita memang makan dan minum Tubuh dan Darah Kristus, tetapi kita tidak melakukan tindakan kanibalisme. Mengapa demikian? Cara termudah untuk menjawab tuduhan ini adalah dengan pergi ke Gereja dan mengamati liturgi Ekaristi itu sendiri. Dalam perayaan misa, tidak ada orang yang memakan daging mentah atau vampir yang menghisap darah segar. Tidak ada yang bersifat kanibal sama sekali dalam Ekaristi. Jadi, di manakah Tubuh dan Darah Kristus? Jawabannya mungkin sedikit rumit. Roti dan anggur yang dipersembahkan dan dikonsekrasikan oleh imam bukan lagi roti dan anggur biasa. Ya, apa yang terlihat tetap sama, tetapi kodratnya berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus yang sesungguhnya. Dalam perspektif ini, kita mengambil bagian dalam Yesus bukan dengan cara kanibal, melainkan dengan cara ekaristi.

Namun, ada hal yang lebih menarik lagi jika kita membaca perkataan Yesus dengan seksama. Ketika Yesus menjelaskan tentang realitas Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan yang sejati, Yesus membuat perbandingan tipologis dengan Manna yang diterima bangsa Israel di padang gurun. Apakah Manna itu? Banyak dari kita beranggapan bahwa Manna hanyalah sejenis roti biasa. Namun, jika kita membaca dengan seksama Kitab Keluaran 16, reaksi orang Israel yang melihat dan mengambil Manna itu sangat terkejut karena mereka tidak pernah melihat makanan semacam itu sebelumnya. Faktanya, kata Manna berasal dari bahasa Ibrani מָן הוּא (baca: man hu; Kel 16:15), yang secara harafiah berarti “apakah ini?” Orang Israel ragu-ragu, tetapi Musa meyakinkan mereka bahwa ini adalah roti yang datang dari surga untuk menopang mereka dalam perjalanan melalui padang gurun.

Dari perbandingan tipologis ini, Yesus ingin kita melihat Tubuh-Nya seperti Manna dalam Perjanjian Lama. Sebagaimana Manna adalah makanan sejati yang berasal dari surga, demikian juga Tubuh Yesus adalah makanan sejati yang berasal dari surga. Sebagaimana Manna adalah makanan yang menopang perjalanan bangsa Israel di padang gurun, demikian juga Tubuh Yesus adalah makanan yang menopang perjalanan kita di bumi. Sebagaimana Manna terlihat seperti roti biasa, namun pada kenyataannya merupakan sesuatu yang melampaui pemahaman bangsa Israel, demikian juga Tubuh Kristus terlihat seperti roti biasa, namun pada kenyataannya merupakan rahmat terbesar yang melampaui pemahaman kita.

Kita bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan Tubuh dan Darah-Nya, seluruh diri-Nya kepada kita sebagai roti kehidupan yang menyehatkan dan melestarikan kita di lembah duka ini. Ekaristi menjadi bukti kasih-Nya, bahwa Dia akan menyertai kita sampai akhir zaman.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Eucharist and Manna

Solemnity of the Body and Blood of Christ (Corpus Christi)
June 11, 2023
John 6:51-58

Today, the Church is celebrating the solemnity of the Body and Blood of Christ, or sometimes also called the Feast of Corpus Christi (Latin for ‘the Body of Christ’). Through this Sunday, the Church invites all the faithful to reflect as well as to celebrate another great mystery and miracle of Catholic faith, that is, the real presence of Jesus Christ in every Eucharist. As we heard from the Gospel of John, Jesus truly gave His Body and Blood as real food, and those who eat His Body and drink His Blood will have eternal life (John 6:51). But, do we really eat the Body and Blood of Jesus? Does it mean we are eating human flesh, and thus, we are committing cannibalism?

Yes, We are eating and drinking the Body and Blood of Christ, but we do not commit any act of cannibalism. Why so? The easiest way to answer this accusation is simply by going to the Church and observe the liturgy of the Eucharist itself. In the celebration of the mass, neither we see people eating raw meat nor vampires sucking fresh blood. Nothing cannibalistic at all in the Eucharist. So, where are the Body and Blood of Christ? The answer may be a bit complex. The bread and the wine that are offered and consecrated by the priest are no longer ordinary bread and wine. Yes, the appearance remains the same, but the nature is transformed into the real Body and Blood of Christ. In this perspective, we partake in Jesus not in cannibalistic manner, but rather in the eucharistic manner.

However, there is even something more fascinating if we carefully read Jesus’ words. When Jesus explains about the reality of His Body and Blood as true food, Jesus makes a typological comparison to the manna that the Israelites received in the desert. What is manna? Many of us assume that Manna is just another type of bread. Yet, if we read closely the Book of Exodus 16, the reaction of the Israelites who saw and took the manna was utter surprise because they never saw that kind of food before. In fact, the word manna comes from the Hebrew words מָן הוּא (read: man hu), and it simply means “what is this?” The Israelites were hesitant, but Moses assured them that this was the bread that came from heaven to sustain them in their journey through the desert.

From this typological comparison, Jesus wants us to liken His Body like the manna of the Old Testament. As manna is a real food from heaven, and so also Jesus’ Body is a real food from heaven. As manna is a food that sustained the Israelites’ journey in desert, so also Jesus’ Body is a food that sustains us in our journey on earth. As Manna appears like ordinary bread, but in reality something that defies the understanding of sons of Israel, and so also the Body of Christ appears like ordinary bread, but in reality, it is the greatest gift that goes beyond our comprehension.

We give thanks the Lord for giving us His Body and Blood, His whole self to us as the bread of life that nourishes and sustains us in this valley of tears. The Eucharist becomes His proof of love, that He will be with us until the end of time.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengapa Kita Percaya kepada Tritunggal Mahakudus

Hari Raya Tritunggal Mahakudus
4 Juni 2023
Yohanes 3:16-18

Pada hari Minggu setelah Pentekosta, Gereja merayakan misteri dari segala misteri, yaitu Tritunggal Mahakudus, Satu Allah dalam Tiga Pribadi, Bapa, Putra dan Roh Kudus. Tidak diragukan lagi, kebenaran ini sangat sulit untuk dipahami, apalagi dijelaskan. Namun, mengapa Gereja bersikeras untuk mengajarkan hal ini dan bahkan merayakan misteri ini? Mengapa Gereja tidak mengajarkan sesuatu yang lebih sederhana daripada misteri Tritunggal, dan mungkin, Gereja dapat memperoleh lebih banyak pengikut?

Gereja tidak dapat mengubah ajaran tentang Tritunggal Mahakudus. Mengapa? Karena ini adalah kebenaran Injil! Seandainya Gereja memproklamasikan versi Allah yang telah dipermudah, Gereja akan berada dalam kesalahan besar dan kehilangan identitasnya sebagai Gereja yang didirikan oleh Kristus. Kenyataannya, ada upaya-upaya untuk mengubah misteri ini sejak awal sejarah Gereja. Ada beberapa teolog yang mengusulkan bahwa Allah itu hanya satu satu pribadi (bukan tiga), dan Dia hanya menampakkan diri dalam berbagai ‘mode’ ketika berhadapan dengan ciptaan. Dia adalah Bapa ketika Dia menciptakan dunia, Putra ketika Dia menyelamatkannya, dan Roh Kudus ketika Dia menguduskannya. Ajaran ini secara tradisional disebut sebagai modalisme, dan Gereja menolak tegas ajaran ini.

Ajaran lain mengatakan bahwa Bapa adalah satu-satunya Allah, sementara Yesus (dan Roh Kudus) bukanlah ilahi, dan dengan demikian tidak ada ‘Tritunggal’. Salah satu pencetus pandangan ini adalah Arius dari Aleksandria dari abad ke-4 Masehi. Dia mengatakan bahwa Yesus bukanlah ilahi, melainkan makhluk ciptaan yang dikaruniai kekuatan super. Pada masa itu, hal ini menjadi kontroversi besar, dan kesederhanaan ajaran Arius menarik banyak orang. Gereja tahu bahwa ajaran ini tidak benar dan dengan tegas menyatakannya sebagai ajaran yang salah, dan karena itu Gereja harus mengalami penganiayaan. Banyak umat beriman memilih mati daripada meninggalkan misteri Tritunggal Mahakudus.

Mengapa kita tidak memilih ajaran tentang Tuhan yang lebih sederhana? Mengapa Gereja mempertahankan kebenaran yang sangat kompleks dan sulit tentang Tritunggal Mahakudus? Ajaran-ajaran yang sederhana mungkin menarik dan mudah diterima, tetapi bukan berarti ajaran-ajaran yang lebih kompleks secara otomatis salah atau tidak relevan. Sebagai contoh, penjumlahan dan pengurangan adalah hal yang paling mendasar dan paling sederhana dalam matematika, tetapi matematika juga mengandung aljabar dan geometri yang kompleks. Apakah ini berarti kita dapat dengan mudah mengabaikan aljabar dan menganggapnya salah karena terlalu rumit untuk kita pahami? Tentu saja tidak! Kebenaran tidak berubah meskipun kita tidak menyukainya atau mengabaikannya. Kebenaran tetap ada meskipun kita mencoba untuk menggantinya.

Bagi Gereja, misteri Tritunggal Mahakudus bukanlah satu kebenaran di antara kebenaran lainnya, melainkan kebenaran dari segala kebenaran. Bahkan, kebenaran inilah yang menyelamatkan. Seperti halnya mempelajari kebenaran matematika yang dapat membantu kita dalam membangun rumah dan dengan demikian, meningkatkan kehidupan kita. Demikian pula mempelajari dan menghayati kebenaran tertinggi, misteri Tritunggal, dapat membawa kita lebih dekat kepada kehidupan kekal. Akan tetapi, jika kita mempercayai dan mengajarkan pemahaman yang salah tentang Allah kita, hal ini dapat menyesatkan kita dan bahkan membahayakan keselamatan jiwa kita. Inilah sebabnya mengapa kita senantiasa percaya, mengajarkan dan menghidupi misteri Tritunggal Mahakudus.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Why We Believe in the Holy Trinity

The Most Holy Trinity

June 4, 2023

John 3:16-18

On Sunday after Pentecost, the Church celebrates the mystery of all mysteries, the Most Holy Trinity. Doubtless, this truth is most challenging to understand, let alone to explain. Yet, why does the Church insist on teaching this and even celebrate the mystery? Why doesn’t the Church teach something more straightforward than the mystery of the Trinity, and perhaps, the Church could have gained more followers?

The Church cannot change the teaching of the Holy Trinity. Why? It is the truth of the Gospel! Had the Church proclaimed watered-down versions of God, the Church would be in grave error and lose its identity as the Church founded by Christ. In fact, there have been attempts to change this mystery since the beginning of the Church’s history. Some theologians proposed that God is one, but He appeared in different modes when dealing with creation. He was the Father when He created the world, the Son when He saved it, and the Holy Spirit when He sanctified it. This teaching is traditionally called modalism. The Church rejected this teaching.

Another teaching says that the Father is the only God, while Jesus (and the Holy Spirit) are not divine, and thus there is no ‘Trinity’. One of the proponents of this view is Arius of Alexandria from the fourth century AD. He said that Jesus was not divine, but a created being gifted with superpowers. In his own words about Jesus, “There was time that he was not.” At that time, it was a huge controversy, and the simplicity of his teaching attracted a lot of people. The Church declared it a false teaching, and because of that, the Church had to endure persecution. Many faithful chose death rather than renounce the mystery of the Holy Trinity.

Why don’t we go for the simpler teaching of God? Why does the Church stand for the highly complex and difficult truth of the Holy Trinity? Simple teachings may be attractive and easy to accept, but it does not mean that more complex teachings are automatically false or irrelevant. For example, addition and subtraction are foundational and simplest in mathematics, but the same mathematics also contains complex algebra and geometry. Does it mean we can easily ignore algebra and dismiss it as false because it is too complex to understand? Certainly not! The truth does not change even if we do not like it or ignore it. The truth remains, even though we try to water it down.

For the Church, the mystery of the Holy Trinity is not just any truth but the truth of all truths and the mystery of all mysteries. In fact, it is the truth that saves. Studying mathematical truths can help us in building houses and, thus, improve our lives, so researching and living the ultimate reality, the mystery of the Trinity, can bring us closer and closer to eternal life. However, the opposite is also true. If we believe and teach the wrong understandings of our God, this may lead us astray and put our souls in a precarious situation. This is why we constantly believe, teach, and live the mystery of the Holy Trinity.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP