Kasih Sejati dan Bagaimana Kita Mengetahuinya

Minggu ke-30 dalam Masa Biasa [A]

29 Oktober 2023

Matius 22:34-40

Cinta (atau Kasih) adalah salah satu kata yang paling sering digunakan, tetapi juga paling sering disalahpahami, bahkan disalahgunakan. Beberapa orang menggunakan kata ini untuk memanipulasi orang lain dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Beberapa orang dapat dengan mudah mengatakan “apakah kamu tidak mencintaiku lagi?” untuk mempertahankan pasangannya dalam relasi yang toxic dan penuh kekerasan.  Beberapa orang lainnya akan dengan mudah mengatakan, ‘ini karena kami saling mencintai,’ untuk membenarkan perilaku dosa mereka. Demi ‘cinta’ pada negara dan ras mereka, beberapa orang menganiaya kelompok atau etnis lain. Demi ‘cinta’ kepada Tuhan dan agama, beberapa orang meledakkan diri mereka sendiri dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, termasuk anak-anak. Namun, ini bukanlah cinta yang sejati, dan tentunya, bukan itu yang Yesus maksudkan ketika Dia mengajarkan perintah kasih. Jadi, apa yang Yesus maksudkan dengan kasih yang sejati?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami terlebih dahulu Injil kita hari ini.  Untuk memahaminya, kita memerlukan sedikit konteks. Ketika orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus tentang perintah terbesar dalam Hukum Taurat, mereka mengharapkan Yesus memilih satu dari berbagai peraturan dan perintah dalam Hukum Musa. Tradisi Yahudi menghitung ada 613 perintah dalam Hukum Musa. Dari sekian banyak kemungkinan jawaban, Yesus memilih, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Bagi banyak dari kita, jawaban Yesus ini tampaknya revolusioner, dan bahkan meninggalkan hukum Musa. Kita sering berpikir bahwa Perjanjian Lama adalah tentang Sepuluh Perintah Allah, sedangkan Perjanjian Baru adalah tentang Hukum Kasih. Namun, ini jauh dari kebenaran.

Jawaban Yesus sejatinya diambil langsung dari inti dari Perjanjian Lama. Jawaban-Nya berasal dari Ulangan 6:4-6. Dalam tradisi Yahudi, ayat-ayat ini disebut ‘Shema’. Ayat-ayat ini sangat sakral bagi orang Israel, dan mereka akan mengucapkannya beberapa kali dalam sehari sebagai doa dasar mereka. Kita mungkin bisa menyamakan ‘Shema’ ini dengan doa Bapa Kami. Namun, Yesus tidak berhenti sampai di situ. Dia juga menambahkan perintah terbesar kedua, “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Sekali lagi, ini juga berasal dari Perjanjian Lama (lihat Imamat 19:18).

Hal yang revolusioner dari jawaban Yesus bukanlah mengenai sumber dari pernyataan-Nya, tetapi orientasi yang sebenarnya dari semua perintah dalam Hukum Musa. Kita melakukan segala sesuatu karena kasih kita kepada Allah. Pada saat yang sama, perintah Yesus yang paling utama ini juga menjelaskan dan memberikan orientasi yang tepat tentang bagaimana kita mengasihi orang lain. Kasih kepada sesama adalah manifestasi esensial dari kasih kepada Allah dan ini dilakukan demi kasih kepada Allah (lihat KGK 1822). Cara sederhana untuk mengetahui bahwa cinta kita bagi sesama adalah cinta sejati adalah dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah tindakan saya berkenan kepada Allah?” Jika jawabannya tidak, tentu saja tindakan kita bukanlah sebuah kasih yang sejati.

Oleh karena itu, kita tidak dapat menggunakan kata ‘cinta’ sebagai pembenaran atas perilaku dan gaya hidup berdosa kita. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengasihi seseorang, tetapi pada kenyataannya, kita justru menjauhkannya dari Tuhan. Juga, menyakiti orang lain, apalagi yang tidak bersalah, atas nama kasih kepada Tuhan juga merupakan tindakan yang salah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

True Love and How We Know It

30th Sunday in Ordinary Time [A]
October 29, 2023
Matthew 22:34-40

Love is arguably the most used but also the most misunderstood and even misused. Some people use this word to manipulate others and get what they want. Men or women can say, ‘Don’t you love me?’ to keep their partners in a toxic and abusive relationship. Some others will easily utter, ‘This is because we love each other,’ to justify their sinful behaviors. For the ‘love’ of their country and race, some men persecute another ethnic group and burn their villages. For the ‘love’ of God and religion, some men blow themselves up and kill innocent people, including children. Yet, this is not the real love, and surely not what Jesus meant when He taught the commandment of love. So, what does Jesus mean by true love?

To answer the question, we need to understand first our gospel today. To understand it, we need a bit of context. When the Pharisees asked Jesus about the greatest commandment in the Law, they expected Jesus to select one from among various regulations and commandments in the Law of Moses. Jewish traditions counted there are 613 precepts in the Law of Moses. From among many possible answers, Jesus chose, “You shall love the Lord your God with all your heart, and with all your soul, and with all your mind.” For many of us Christians, Jesus’ answer seems to be revolutionary and breaks away from the Law of Moses. We often think that the Old Testament is about the Ten Commandments, but the New Testament is about the Law of Love. Yet, this is far from the truth.

Jesus’ answer is straight from the heart of the Old Testament. His answer is from Deut 6:4-6. In Jewish tradition, it is called ‘Shema’. These verses are sacred for the Israelites, and they would recite these words several times a day as their basic prayer. We may think of ‘Shema’ as a prayer of Our Father in the Catholic Church. However, Jesus did not stop there. He also added the second greatest commandment, “You shall love your neighbor as yourself.” Again, this is also coming from the Old Testament (see Lev 19:18).

What is revolutionary about Jesus’ answer is not about the sources of His statements but the true orientation of all precepts in the Law of Moses. We do all things because of our love of God. At the same time, Jesus’ greatest commandment clarifies and gives proper orientation on how we love others. The love for others is the essential manifestation of the love for God and is made for the love for God (see CCC 1822). A simple way to do this is by asking the question, “Is my action pleasing to God?” If the answer is not, surely our action is not a true love.

Therefore, we cannot use ‘love’ as a justification for our sinful behaviors and lifestyles. We cannot say that we love someone, but in reality, we bring them far from God. It is also totally false to kill innocent people in the name of love for God.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Berikanlah kepada Allah apa yang menjadi milik Allah

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [A]

22 Oktober 2023

Matius 22:15-21

“Karena itu, berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah (Mat. 22:21).” Banyak orang memahami perkataan Yesus ini sebagai persetujuan-Nya untuk membayar pajak dan, dengan demikian, untuk mendukung dan menghormati para pemimpin pemerintahan yang telah terpilih secara adil. Meskipun banyak dari kita yang tidak nyaman mengetahui bahwa uang hasil jerih payah kita diambil, kita dapat menghibur diri kita dengan mengetahui bahwa uang kita digunakan untuk mendanai berbagai proyek pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Memang, tidak ada yang salah dengan melihat pernyataan Yesus dalam sudut pandang ini, namun kita tidak boleh mengabaikan bagian kedua dari perkataan Yesus.

Yesus juga berkata bahwa kita harus memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah. Apakah ini berarti kita harus membayar ‘pajak’ kepada Tuhan seperti halnya kita membayar pajak kepada negara? Jawabannya adalah ya! Kita harus ingat bahwa kita bukan hanya warga dari kerajaan atau bangsa-bangsa di dunia ini, tetapi juga warga negara Kerajaan Allah. Untuk menjadi warga negara yang baik, kita harus berkontribusi pada pembangunan negara. Biasanya, kita melakukan ini dengan membayar pajak, tetapi kita juga diharapkan untuk menaati hukum negara dan terlibat dalam berbagai praktik bernegara yang baik. Demikian pula halnya dengan warga negara yang baik dari Kerajaan Allah. Kita juga berkontribusi kepada Kerajaan Allah dengan menaati hukum-hukum Kerajaan dan mempersembahkan apa yang menjadi milik Allah. Lalu pertanyaannya adalah, “Apa yang menjadi milik Allah yang harus kita berikan kepada Allah?” Apakah “mata uang” Kerajaan Allah? Untuk menjawabnya, kita harus kembali ke Injil hari ini.

Ketika Yesus berhadapan dengan orang-orang Farisi yang berusaha menjebak-Nya, Dia mengambil sebuah koin Romawi. Dia menunjukkannya kepada orang-orang di sekeliling-Nya dan bertanya, “Gambar dan tulisan siapakah yang ada di sana?” Mereka menjawab, “Kaisar.” Kemudian, Dia berkata, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar…” Dasar dari kepemilikan adalah adanya “gambar” (dalam bahasa Yunani, εἰκών – eikon). Koin tersebut adalah milik Kaisar karena memiliki gambarnya. Dengan demikian, membayar pajak sama saja dengan mengembalikan koin yang sejak awal adalah milik Kaisar dan Kekaisaran Romawi. Namun, Yesus tidak berhenti sampai di situ. Dia juga mengajarkan, “berikanlah kepada Allah apa yang menjadi milik Allah.” Dan apa yang menjadi milik Allah? Jawabannya adalah mereka yang memiliki gambar Allah. Kembali ke Kejadian 1:26, kita menemukan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan oleh karena itu, kita adalah milik Allah. Satu-satunya “mata uang” Kerajaan Allah adalah jiwa kita, hidup kita.

Namun, kita juga harus ingat bahwa kewajiban kita kepada Tuhan melebihi kewajiban kita kepada manusia. Jika kita tidak membayar pajak dan tidak mematuhi hukum negara, kita mungkin akan mendapat masalah dengan pemerintah. Namun, jika kita tidak memberikan apa yang menjadi milik Allah, kita dapat kehilangan jiwa kita selamanya. Yang pertama berkaitan dengan kelangsungan hidup kita di dunia ini, sedangkan yang kedua berkaitan dengan keselamatan kekal.

Apakah kita menjalani hidup kita sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah dengan menghindari gaya hidup yang berdosa? Apakah kita mempersembahkan pekerjaan kita sehari-hari, usaha kita sehari-hari untuk kemuliaan Allah? Apakah kita menyatukan secara rohani tubuh kita dengan Tubuh Kristus di dalam Ekaristi untuk menjadi persembahan yang paling layak? 

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Render to God what belongs to God

29th Sunday in Ordinary Time [A]
October 22, 2023
Matthew 22:15-21

“Render therefore to Caesar the things that are Caesar’s, and to God the things that are God’s (Mt 22:21).” Many people understand Jesus’ words as His approval to pay taxes and, thus, to support and honor duly elected or appointed leaders of governments. Though many of us are not comfortable knowing that our hard-earned money is deducted, we can comfort ourselves with the knowledge that our money is used to fund the various governments’ projects. Hopefully, these projects are for the welfare of the people. Indeed, there is nothing wrong with seeing Jesus’ statement in this light, yet we must remember the second half of Jesus’ words.

Jesus also said that we must render to God what belongs to God. Does it mean we must pay ‘taxes’ to God just like we submit it to the government? Surprisingly, the answer is yes. We must remember that we are not just citizens of the kingdoms or nations of this world but also the citizens of the Kingdom of God. To become a good citizen of a country, we must contribute to the development of the country. Typically, we do this by paying taxes, but we are also expected to obey the laws of the land and be involved in various good practices. So, it is the same with a good citizen of the Kingdom of God. We also contribute to the Kingdom of God by obeying the laws of the Kingdom and offering what belongs to God. Then the question is, ‘What belongs to God that we need to render to God?’ What is the currency of the Kingdom of God? To answer this, we must go back to today’s Gospel.

When Jesus was dealing with the Pharisees who attempted to entrap Him, He took a Roman coin. He showed it to those around Him and asked, “Whose image and inscription are there?” They readily answered, “Caesar.” Then, He said, “render to Caesar what belongs to Caesar…” The basis of ownership is the presence of “image.” The coin belongs to Caesar because it bears his image. Thus, paying tax is simply giving back to the coins that, since the beginning, belonged to Caesar and the Roman Empire. Yet, Jesus did not stop there. He taught also, “render to God what belongs to God.” And what belongs to God? The answer is those who possess the image of God. Going back to Genesis 1:26, we discover that we were created in the image of God, and therefore, we belong to God. The only currency of the Kingdom of God is our souls, our lives.

However, we must also remember that our obligation to God surpasses our obligations to men. If we do not pay our taxes and disobey the country’s laws, we may be in trouble with the government. However, if we do not give what is God’s to God, we may lose our souls forever. While the first concerns our survival, the second concerns our eternal destiny.

Do we live our lives as a pleasing offering to God by avoiding sinful lifestyles? Do we offer our daily works, our daily efforts for the glory of God? Do we unite spiritually our bodies with the Body of Christ in the Eucharist to be the worthiest sacrifice?

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rahasia Kebahagian

Minggu ke-28 dalam Masa Biasa [A]
15 Oktober 2023
Matius 22:1-14
Filipi 4:12-14, 19-20

Paulus mengakhiri suratnya kepada jemaat di Filipi dengan membagikan salah satu rahasia terbesarnya, “sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan…. Aku telah belajar rahasia menghadapi kelimpahan dan kelaparan, kelimpahan dan kekurangan. (Flp. 4:11-12).” Paulus membagikan rahasia menghadapi segala situasi dalam hidupnya, dan rahasia ini membawanya pada kebahagiaan. Lalu, apa rahasia kebahagiaannya?

Seringkali, kita percaya bahwa kebahagiaan berarti mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita bahagia ketika kita mendapatkan banyak uang atau harta benda. Kita akan sangat senang jika mendapatkan smartphone terbaru atau bisa membeli mobil baru. Kita gembira ketika kita berhasil dalam pekerjaan, bisnis, atau relasi kita. Kita yang aktif terlibat di Gereja merasa senang ketika kita mengetahui bahwa pelayanan dan kerasulan kita menghasilkan buah. Namun, ini berbeda dengan apa yang dimaksud Santo Paulus dengan kebahagiaan. Kata yang ia gunakan adalah ‘αὐτάρκης’ (autarkes), dan kata ini berarti ‘puas, cukup’. Sukacita bukanlah memiliki semua yang kita inginkan, tetapi merasa puas dan cukup dengan apa yang kita miliki.

Terlebih lagi, sang rasul menulis, “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan (Flp. 4:12).” Ia mengingatkan kita bahwa kita tidak hanya tahu bagaimana bertahan dan bertekun di masa-masa sulit dan cobaan, tetapi juga bagaimana menavigasi jalan kita di masa-masa kelimpahan. Pada hari Minggu sebelumnya, saya telah menulis tentang nasihat Santo Paulus di masa penderitaan, tetapi Santo Paulus juga memiliki nasihat untuk kita yang hidup dalam kelimpahan. Tentu saja, tidak ada yang salah dengan menikmati hal-hal duniawi dan kesuksesan, tetapi hal-hal ini juga dapat membawa kita kepada dua hal yang menghancurkan jiwa kita, yakni keserakahan dan kesombongan.

Keserakahan. Karena harta benda duniawi ini memberi kita kenyamanan dan kesenangan, mereka dapat menjebak kita ke dalam keterikatan yang berlebihan terhadap hal-hal yang bersifat sementara ini. Kita menjadi kecanduan pada kesenangan yang ditimbulkannya dan menginginkan kesenangan yang lebih dan lebih lagi. Kemudian, kita diperbudak karena kita menghalalkan segala cara untuk mencapai hal-hal duniawi ini. Kita menipu, mencuri, dan bahkan memanipulasi orang lain. Paulus sendiri memperingatkan kita, “Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan” (1 Tim. 6:10).

Kesombongan. Kelimpahan dapat menyebabkan sifat buruk lain yang sangat berbahaya, yaitu kesombongan. Ketika kita memperoleh banyak hal melalui kerja keras, kita mulai berpikir bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas pencapaian-pencapaian ini. Kita menganggap diri kita hebat dan memandang rendah orang lain. Kita lupa bahwa apa yang kita miliki adalah berkat Tuhan dan hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri.

Jadi, apa rahasia Santo Paulus untuk menghadapi dua sifat jahat ini dan akhirnya mendapatkan kebahagiaan sejati? Dia menulis, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. (Filipi 4:13)” Ya, Tuhan menguatkan kita untuk bertekun di masa pencobaan, tetapi kita juga harus “di dalam Kristus” di masa kelimpahan. Apa artinya? Pertama, “berada di dalam Kristus” pada masa kelimpahan berarti kita memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa kesuksesan dan harta benda kita pada dasarnya adalah berkat Tuhan. Ini adalah obat untuk melawan kesombongan. Kedua, “berada di dalam Kristus” pada masa kelimpahan berarti kita selalu mempertimbangkan apakah tindakan kita akan menyenangkan hati Yesus. Apakah mencuri uang akan menyenangkan hati Yesus? Apakah belanja dan pengeluaran yang berlebihan akan menyenangkan Yesus? Ini adalah obat untuk melawan keserakahan. Singkatnya, jika kita ingin bahagia, hiduplah di dalam Kristus, jalani hidup yang kudus.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Secret of Happiness

28th Sunday in Ordinary Time [A]

October 15, 2023

Matthew 22:1-14

Phil 4:12-14, 19-20

St. Paul ended his letter to the Philippians by sharing one of his greatest secrets, “I have learned, in whatever state I am, to be content …I have learned the secret of facing plenty and hunger, abundance and want. (Phil 4:12).” St. Paul is giving away the secret of facing all situations in his life, which leads him to happiness. Then, what is his secret of happiness?

Often, we believe that happiness means that we get what we want. We are happy when we earn a lot of money or material possessions. We would be thrilled if we got the latest smartphone or could buy a brand-new car. We are ecstatic when we succeed in our work, business, or relationship. Those actively engaging in the Church are pleased when we know our ministries and apostolates bear fruits. Yet, this is different from what St. Paul means by happiness. The word he used is ‘αὐτάρκης’ (autarkes), and this word means ‘contented, sufficient.’ Joy is not possessing all we desire but being contented with what we have.

Moreover, the apostle wrote, “I know how to be abased, and I know how to abound (Phil 4:12).” He reminded us that not only do we have to know how to endure and persevere in times of hardships and trials, but also to navigate our ways in time of abundances. On previous Sundays, I have written about St. Paul’s advice in times of suffering, but St. Paul also had advice for us living in abundance. Certainly, there is nothing wrong with this enjoyment of earthly things and success, but these things also may lead us to greed and pride.

Greed. Since these earthly possessions provide us comfort and pleasure, they may trap us into inordinate attachment toward these temporary things. We become addicted to the fun they induce and want more and more of it. Then, we turn to be enslaved as we justify all means to achieve these worldly things. We cheat, we steal, and even we manipulate others. St. Paul himself warns us, “The love of money is the root of evil (1 Tim 6:10).”

Pride. Abundance may lead to another very dangerous vice, that is pride. As we gain many things through hard work, we begin to think we are solely responsible for these achievements. We think highly of ourselves and look down on others. We forget that what we have are God’s blessings and rely solely on our strength.

So what is St. Paul’s secret to true happiness? He wrote, “I can do all things in Him who strengthens me. [Phil 4:13]” Yes, the Lord strengthens us to persevere in the time of trials, but we must be “in Christ” also in the time of abundance. What does it mean? Firstly, to be in Christ in a time of abundance means we put humility to recognize that our success and possessions are primarily God’s blessings. This is a remedy against pride. Secondly, to be in Christ in a time of abundance means always considering whether our actions will please Jesus. Will stealing money be pleasing to Jesus? Will excessive spending be pleasing to Jesus? This is a remedy against greed. In short, if we want to be happy, live in Christ, live a holy life.

We can do all things, both in times of suffering and abundance, in Him who strengthens us.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Janganlah Khawatir

Hari Minggu ke-27 dalam Masa Biasa [A]
8 Oktober 2023
Matius 21:33-43
Filipi 4:6-9

Di akhir suratnya, Santo Paulus memerintahkan jemaat di Filipi untuk tidak khawatir. Nasihatnya tampak menghibur, namun jika kita perhatikan dengan saksama, Santo Paulus tidak hanya memberikan nasihat tetapi sebuah perintah. “Janganlah kamu kuatir! (Fil 4:6)” Namun, apakah mungkin untuk bebas dari kecemasan atau kekhawatiran? Apakah kecemasan itu? Apakah kecemasan memiliki tujuan dalam hidup kita? Dan, apa nasihat Santo Paulus untuk mengatasi kecemasan ini?

Kecemasan adalah respons alami terhadap stres atau ancaman yang dirasakan. Kecemasan memicu reaksi psikologis dan fisiologis. Kekhawatiran menyebabkan keadaan emosi yang kompleks yang ditandai dengan kegelisahan, ketakutan, kegugupan, dan bahkan kemarahan. Secara fisik, kecemasan dapat menyebabkan jantung berdebar, berkeringat dingin, tegang otot, sakit perut, dan banyak lagi. Kecemasan itu sendiri tidak berbahaya dan dapat memiliki tujuan yang baik. Kekhawatiran mendorong kita untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik saat menghadapi situasi yang rumit dan tak terduga. Namun, seringkali kecemasan cenderung berlebihan, melumpuhkan, dan bahkan bisa berujung pada gangguan mental. Kemudian, ketika kesehatan mental kita terganggu karena kecemasan yang berlebihan, maka jalan terbaik adalah berkonsultasi dengan ahlinya seperti psikiater yang kompeten. Namun, ketika tingkat kecemasan masih dalam rentang emosi yang sehat, nasihat Santo Paulus dapat sangat membantu kita untuk meredakan kecemasan. Jadi, apa saja nasihat Santo Paulus untuk kita?

Pertama, Santo Paulus menulis, “Akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang sedap didengar, semua yang manis,… pikirkanlah semuanya itu” (Flp. 4:8). Singkatnya, Santo Paulus menasihati kita untuk memikirkan hal-hal yang baik, daripada berfokus pada hal-hal yang buruk. Paulus menyadari bahwa faktor penting yang menyebabkan dan mempertahankan kecemasan adalah apa yang kita lihat, nilai dan terus kita pikirankan. Kata Yunani untuk khawatir adalah ‘μεριμνάω’ (- merimnao), dan kata ini mungkin terkait dengan kata Yunani ‘μνήμη’ (mneme), yang berarti memori. Jadi, apa yang kita simpan dalam memori kita akan mempengaruhi kita secara psikologis dan fisik. Hebatnya, fakta kuno ini tidak jauh berbeda dengan data psikiatri modern, yang mengidentifikasi bahwa fungsi kognitif kita memainkan peran penting dalam kecemasan.

Namun, ini bukan hanya tentang ‘berpikir positif’, tetapi juga melihat kehidupan melalui lensa iman. Paulus juga mengatakan bahwa untuk mengatasi kecemasan yang berlebihan, kita harus menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan dalam doa dan bersyukur (lihat Flp. 4:6). Ya, menghadapi masalah dan kesulitan dapat menyebabkan kecemasan. Namun, dengan membawanya kepada Tuhan dalam doa-doa kita, kita belajar untuk percaya bahwa Tuhan akan menjaga kita.

Yang lebih penting lagi, kita perlu belajar dari Santo Paulus. Ketika menulis surat ini, ia sedang dibelenggu, dianiaya, dan menghadapi kemungkinan eksekusi. Kondisi-kondisi ini merupakan penyebab kecemasan yang berat bagi Paulus. Namun, Paulus tetap bersyukur dan bahkan bersukacita atas kondisinya. Karena ia tahu betul bahwa penderitaannya adalah bagian dari penyelenggaraan Allah dan pada akhirnya akan bermanfaat bagi Gereja (lihat Kol. 1:24; Flp. 1:21). Oleh karena itu, ia tidak berlarut-larut dalam kecemasan berlebihan atau melarikan diri dengan menyangkal imannya. Ia dengan berani menerima situasinya dan mengucap syukur kepada Allah.

Kesimpulannya, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan yang berlebihan: pikirkanlah hal-hal yang baik dan percayalah akan pemeliharaan Tuhan atas diri kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Have no Anxiety

27th Sunday in Ordinary Time [A]
October 8, 2023
Matthew 21:33-43
Phil 4:6-9

At the end of his letter, St. Paul commanded the Church in Philippi to have no anxiety. His advice seems friendly and comforting, yet if we look carefully, St. Paul was not simply giving counsel but a command. “Have no anxiety!” Yet, is it possible to be free from anxiety? What is anxiety? Does it serve any purpose in our lives? And, what was St. Paul’s advice to handle anxiety?

Kelly Sikkema

Anxiety is a natural response to stress or a perceived threat. Anxiety triggers both psychological and physiological reactions. Anxiety causes a complex emotional state characterized by uneasiness, fear, nervousness, and even anger and excitement. Physically, anxiety may lead to palpitation, breaking into a cold sweat, muscle tension, stomachache, and many others. Anxiety itself is not harmful and can serve a good purpose. Anxiety encourages us to prepare ourselves better when facing complex and unexpected situations. Yet, often, anxiety tends to be excessive, paralyzing, and may even lead to mental disorders. Then, when our mental health has suffered because of excessive anxiety, the best course will be consulting experts like competent psychiatrists. Yet, when the level of anxiety is within the healthy range of emotions, St. Paul’s advice may greatly benefit us in moderating our anxiety. So, what are St. Paul’s counsels for us?

Firstly, St. Paul wrote, “Finally, brethren, whatever is true, whatever is honorable, whatever is just, whatever is pure, whatever is lovely,… think about these things (Phil 4:8).” In short, St. Paul advised us to think of good things, rather than to focus on the worse possible outcomes. St. Paul recognized that the essential factor that causes and sustains anxiety is what we perceive and keep entertaining in our thoughts. The Greek word for anxiety is ‘μεριμνάω’ (- merimnao), and this word may be related to the Greek word ‘μνήμη’ (mneme), which means memory. What we keep in our memories will affect us both psychologically and physically. Amazingly, this fact is not far from modern psychiatry, which identifies that our cognitive function plays an essential role in anxiety.

Yet, it is not only about ‘thinking positive,’ but to see lives through the lens of faith. St. Paul also said that to counter excessive anxiety, we must offer our concerns to God in prayers and be grateful (see Phil 4:6). Yes, facing problems and difficulties may cause anxiety. Still, by bringing them to God in our prayers, we learn to trust that God will take care of us. More importantly, we need to learn from St. Paul. When writing this letter, he was in chains, persecuted, and facing the possibility of execution. These conditions were severe causes of heavy anxiety for Paul. Yet, Paul was thankful and even rejoicing in his conditions. Why? He knew well that even his sufferings were part of God’s providence and would be eventually beneficial for the Church (see Col 1:24; Phil 1:21). Thus, he did not drown himself in anxiety or run away by denying the faith. He courageously embraced his situations and offered his thanksgiving to God.

In conclusion, there are two things to counter excessive anxiety: think of the good things and have faith in God’s care for us.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertobatan dan Keselamatan

Minggu ke-26 dalam Masa Biasa [A]

1 Oktober 2023

Matius 21:28-32

Dari konteks Alkitab, kita dapat dengan mudah memahami makna perumpamaan tentang dua putra pemilik kebun anggur. Anak yang awalnya menolak untuk taat kepada ayahnya tetapi akhirnya berubah hati melambangkan orang-orang Yahudi yang berdosa di depan umum, seperti pemungut cukai dan pelacur. Mereka memang orang berdosa, tetapi akhirnya mereka bertobat ketika mereka mendengar khotbah Yohanes dan Yesus. Anak yang pada awalnya mengiyakan ajakan ayahnya, tetapi pada kenyataannya tidak pergi ke kebun anggur, melambangkan para penatua dan pemimpin Israel. Mereka mendengar khotbah Yohanes dan Yesus, tetapi mereka tidak menghiraukan dan bahkan menganiaya mereka.

akira hojo

Namun, perumpamaan ini bukan hanya untuk para penatua dan pemimpin Israel pada zaman Yesus, tetapi juga untuk kita, yang memanggil Yesus sebagai Tuhan, pergi ke Gereja setiap hari Minggu, dan bahkan terlibat dalam banyak pelayanan. Perumpamaan ini sederhana dan mudah dimengerti, tetapi yang dipertaruhkan adalah keselamatan kekal kita. Pesannya jelas: setiap orang harus bertobat dan menaati kehendak Allah. Baik orang yang jauh dari Tuhan maupun mereka yang mengaku dirinya beriman dan religius, semuanya harus berjuang untuk menjadi kudus.

Kita mungkin bertanya, “Apakah tidak cukup hanya dibaptis secara Katolik?” Apakah tidak cukup baik untuk menghadiri misa setiap hari Minggu? Apakah pelayanan-pelayanan kita memiliki arti di hadapan Allah? Tentu saja, semua itu penting dalam kehidupan Kristiani kita dan juga melakukan kehendak Allah. Namun, orang-orang Farisi dan para tua-tua Yahudi pada masa Yesus melakukan hal yang kurang lebih sama. Mereka disunat saat masih bayi (seperti pembaptisan) dan belajar membaca Taurat (Kitab Suci orang Yahudi) sejak kecil. Mereka pergi ke sinagoge (tempat doa orang Yahudi) pada hari Sabat dan juga mempersembahkan kurban ketika mereka berada di Yerusalem. Mereka mungkin juga terlibat dalam banyak kegiatan keagamaan di komunitas mereka. Apa yang kita lakukan tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi! Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Dari perumpamaan ini, kita mengerti bahwa elemen kuncinya adalah melakukan kehendak Bapa dan kehendak-Nya yaitu berbalik dari dosa (atau pertobatan) dan berbalik kepada Allah (atau kekudusan). Ya, kita dibaptis secara Katolik, tetapi apakah kita yakin bahwa iman Katolik adalah iman yang menyelamatkan, dan kita siap untuk membagikannya? Ya, kita pergi ke Gereja setiap hari Minggu, tetapi apakah kita menyembah Allah yang benar atau pergi ke Gereja untuk mencari kenyamanan dan keuntungan pribadi? Ya, kita aktif dalam banyak komunitas dan pelayanan, tetapi apa gunanya jika kita menjadi sombong dan angkuh terhadap orang lain yang tidak dapat melayani seperti kita? Ya, kita menyebut diri kita sebagai pengikut Kristus, tetapi mungkin diam-diam kita tidak mau melepaskan perilaku dosa kita.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Pertama, dalam tradisi Katolik, kita memiliki pemeriksaan batin harian, dan ketika dilakukan dengan benar, hal ini membantu kita untuk menyadari tindakan-tindakan kita dan motif di belakangnya. Kedua, bacaan rohani memperkaya jiwa kita. Kita dapat memilih dari Alkitab, kisah dan tulisan dari orang-orang kudus, atau Katekismus Gereja Katolik. Ketiga, kita mengaku dosa secara teratur. Kita tidak boleh membiarkan dosa-dosa menumpuk di dalam hati kita dan lambat laun menumpulkan hati nurani kita. Sakramen pengakuan dosa memberikan pengampunan dan mempertajam perasaan kita akan apa yang berkenan kepada Allah dan apa yang tidak. Tentu saja, ada hal-hal lain yang dapat kita lakukan, tetapi pada dasarnya, jika kita tidak sungguh-sungguh bertobat dari dalam hati kita, kita dapat kehilangan keselamatan kekal kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP