The unclean spirits

Fourth Sunday in Ordinary Time [B]

January 28, 2024

Mark 1:21-28

One of the highlights of Jesus’ ministry is the exorcism of the unclean spirits. Mark, the evangelist even, does not hesitate to write that expelling the unclean spirits is part of Jesus’ teaching with authority. Jesus’ authority does not only affect His human hearers but also controls the unclean spirits. Yet, who are these unclean spirits? Why does Jesus have authority over them? And how do they affect our lives?

Based on the revelation and the tradition, the Church teaches that these spirits are also God’s creation. By nature, they are spirits or angels. As a spirit, they are creatures without a body, and since they are not affected by material limitations, they are naturally superior to us humans. However, unlike the good angels that use their power to help humans, these spirits do the opposite. They wish to harm men and women. That’s why they are called the evil spirits.

If God is good, why did God create evil beings? In the beginning, God created them as good spirits. Yet, as creatures with freedom, they made a definitive choice to go against their Creator. Their rebellion against God made them fall from grace, and thus, they were called ‘the fallen angels.’ (see CCC 391-395)

Then, why do the unclean spirits obey Jesus? The answer is straightforward. Jesus is their Creator. Jesus’ authority is reflected in the Greek word chosen when Jesus drives away the demons, ‘φιμοω’ (read: phimoo). Ordinarily, this word is translated as ‘be quiet,’ but literally, it means ‘to put a muzzle.’ It is like a farmer who places a muzzle on the mouth of his rowdy ox and thus puts it under submission. The idea is that Jesus is extremely powerful to the point that He could easily put evil spirits that are beyond human comprehension under His control.

One interesting fact also is that Mark does not call these fallen angels ‘evil spirits’ but rather ‘unclean spirits’ (πνευμα ἀκάθαρτον – pneuma akatarton). In the Jewish context, to be unclean means to be ritually unfit for God. Something or someone impure cannot enter the Temple of God and, thus, cannot offer worship and become far from God. These spirits are unclean precisely because they are not fit for God and, thus, far from Him.

We can also see the uncleanliness as an effect of the evil spirits. One who is under the dominion of the evil spirits becomes unclean and, thus, is far from God. One who lives in sin and, thus, distant from God is under the influence of evil spirits to a certain extent. From here, we can understand that Jesus’ mission to drive out the unclean spirits is an integral part of His mission to make people holy and to unite people with God.

The discussion on the evil spirits is certainly vast and intriguing, but it suffices to say that Jesus is infinitely superior to the evil spirits. Therefore, to live with and in Jesus is the only way to drive away the unclean ones. It is also true that as we go closer to Jesus, the evil spirits will double their efforts, and in this situation, all the more we must cling to Jesus.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Roh-Roh Jahat dan Najis

Hari Minggu Keempat dalam Masa Biasa [B]

28 Januari 2024

Markus 1:21-28

Salah satu hal yang paling menarik dalam pelayanan Yesus adalah pengusiran roh-roh jahat. Markus, sang penulis Injil, bahkan tidak ragu-ragu menuliskan bahwa mengusir roh-roh jahat merupakan bagian dari pengajaran Yesus yang penuh otoritas. Otoritas Yesus tidak hanya mempengaruhi pendengar manusia, tetapi juga mengendalikan roh-roh jahat. Namun, siapakah roh-roh jahat itu? Mengapa Yesus memiliki otoritas atas mereka? Dan bagaimanakah pengaruhnya terhadap kehidupan kita?

Berdasarkan Kitab Suci dan tradisi, Gereja mengajarkan bahwa roh-roh ini juga merupakan ciptaan Allah. Pada dasarnya, mereka adalah roh atau malaikat. Sebagai roh, mereka adalah makhluk tanpa tubuh, dan karena mereka tidak terpengaruh oleh keterbatasan materi, mereka secara alamiah jauh unggul daripada kita manusia. Namun, tidak seperti malaikat baik yang menggunakan kekuatan mereka untuk membantu manusia, roh-roh ini justru melakukan sebaliknya. Mereka ingin mencelakakan manusia. Itulah mengapa mereka disebut sebagai roh-roh jahat.

Jika Allah itu baik, mengapa Allah menciptakan makhluk yang jahat? Pada awalnya, Allah menciptakan mereka sebagai roh-roh yang baik. Namun, sebagai makhluk yang memiliki kebebasan, mereka membuat pilihan yang definitif untuk menentang Pencipta mereka. Pemberontakan mereka terhadap Allah membuat mereka jatuh dari rahmat, dan oleh karena itu, mereka disebut “malaikat-malaikat yang jatuh”. (lihat KGK 391-395)

Lalu, mengapa roh-roh jahat bisa taat kepada Yesus? Jawabannya sangat mudah. Yesus adalah Pencipta mereka. Otoritas Yesus tercermin dalam kata Yunani yang dipilih ketika Yesus mengusir roh-roh jahat, ‘φιμοω’ (baca: phimoo). Biasanya, kata ini diterjemahkan sebagai ‘diam,’ tetapi secara harfiah, kata ini berarti ‘memasang moncong’ (alat yang dipasang di mulut binatang untuk membuatnya diam). Ini seperti seorang petani yang meletakkan moncong di mulut lembu yang gaduh sehingga membuatnya tunduk. Idenya adalah bahwa Yesus sangat berkuasa sampai-sampai Dia dapat dengan mudah menundukkan roh-roh jahat di bawah kendali-Nya.  

Satu fakta yang menarik adalah bahwa Markus tidak menyebut malaikat-malaikat yang jatuh itu sebagai ‘roh-roh jahat’, melainkan ‘roh-roh najis’ (πνευμα ἀκάθαρτον – pneuma akatarton). Dalam konteks Yahudi, najis berarti tidak layak bagi Allah secara ritual. Sesuatu atau seseorang yang najis tidak dapat masuk ke dalam Bait Allah dan, sebagai konsekuensi, tidak dapat mempersembahkan penyembahan dan menjadi jauh dari Allah. Roh-roh ini najis karena mereka tidak layak bagi Allah dan jauh dari-Nya.

Kita juga dapat melihat kenajisan sebagai efek dari roh-roh jahat. Orang yang berada di bawah kekuasaan roh-roh jahat menjadi najis dan jauh dari Allah. Orang yang hidup dalam dosa dan jauh dari Allah, berada di bawah pengaruh roh-roh jahat sampai batas tertentu. Dari sini, kita dapat memahami bahwa misi Yesus untuk mengusir roh-roh jahat merupakan bagian integral dari misi-Nya untuk membuat manusia menjadi kudus dan menyatukan manusia dengan Allah.

Pembahasan mengenai roh-roh jahat tentu saja sangat luas dan menarik, tetapi cukuplah untuk mengatakan bahwa Yesus jauh lebih unggul daripada roh-roh jahat ini. Oleh karena itu, hidup bersama dan di dalam Yesus adalah satu-satunya cara untuk mengusir roh-roh jahat. Juga benar bahwa ketika kita semakin dekat dengan Yesus, roh-roh jahat akan melipatgandakan usaha mereka, dan justru dalam situasi ini, kita harus semakin berpegang teguh pada Yesus.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

What is Gospel?

Third Sunday in Ordinary Time [B]

January 21, 2023

Mark 1:14-20

Jesus began His ministry by preaching, “The time has been fulfilled, the kingdom is at hand; repent and believe in the Gospel!” Yet, the question is, ‘What is the Gospel we need to believe in?’ Indeed, it is not the four written Gospels (Matthew, Mark, Luke, and John) since these were written years after Jesus’ death and resurrection. So, what is the Gospel here?

The most basic understanding of the Gospel is ‘the good news.’ It comes from the Greek word ‘ευαγγελιον’ (read: Evangelion). This word itself is composed of two elements: ‘ευ’ meaning ‘happy’ or ‘good,’ then ‘αγγελιον’ meaning ‘news.’ In the time of Jesus, the word ‘ευαγγελιον’ is not just any good news like “I passed the exam” or “I received a bonus.” The word is an imperial technical term to point to the emperor’s major victory or to the emperor’s birthday celebration. Every time ‘ευαγγελιον’ was announced, there would be great joy among the people because the enemy had been defeated, and now the residents of the empire may live in peace.

Jesus used the same imperial vocabulary but adjusted its content to His purpose. It was no longer about the good news about the Roman empire but about the Kingdom of God. It was no longer about the emperor’s glory but now about Jesus. Those living at that time may respond differently to Jesus’ Gospel. One could consider Jesus insane, delusional, or a liar, and thus, His Gospel was nothing but a laughable lie. Others might see Jesus as subversive; thus, His Gospel was a call to rebellion against the Roman empire. We recall also that this subversive understanding of the Gospel was later used to accuse Jesus before Pilate. Jesus was ‘the king of the Jews’ against the Roman emperor.

However, Jesus proved these assumptions were simply incorrect. Jesus did not preach empty words; He taught with authority and performed mighty miracles. Even the demons were obedient to His words. He was not also a revolutionary political fighter because His Kingdom is not of this world (see John 18:36), and how He refused to be made king by his supporters (see John 6:15). Jesus’ Kingdom is the Kingdom of God of holiness. The only way to enter is repentance (metanoia). The word metanoia presupposes a change of ‘mind’ or ‘lifestyle’ from a life of sins and far from God into a life according to God’s law and, thus, life with God.

Thus, from this perspective, we can say that ‘believe in the Gospel’ means that we believe in the Kingdom of God and Jesus, the king of the Kingdom, who saves us from sins and brings us back to God. And the way to believe is none other than repentance. To say, “I believe in Jesus,” yet we keep stealing other people’s money, is just nonsense. To say, “I trust in God,” but we keep breaking His laws and commandments, is useless. ‘

Another interesting fact! The actual Greek Mark used for ‘believe’ is ‘πιστεύετε’ (pisteuete), and grammatically, it is imperative mode in the present tense. In ancient Greece, this imperative presence means a command to do something, not one time but continuously. Thus, Mark wants to emphasize that belief is a continuous process rather than a one-time action. Belief in Jesus is something that is growing and dynamic rather than static.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Apa itu Injil?

Hari Minggu Ketiga dalam Masa Biasa [B]

21 Januari 2024

Markus 1:14-20

Yesus memulai misi-Nya dengan menyatakan, “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Namun, pertanyaannya adalah, “Injil apakah yang harus kita percayai?” Tentu saja, Injil yang dimaksud bukanlah keempat Injil tertulis (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) karena Injil-injil tersebut ditulis beberapa tahun setelah kematian dan kebangkitan Yesus. Jadi, apakah yang dimaksud dengan Injil di sini?

Pengertian paling dasar dari Injil adalah ‘kabar baik’. Kata ini berasal dari kata Yunani ‘ευαγγελιον’ (baca: Evangelion). Kata ini sendiri terdiri dari dua unsur: ‘ευ’ yang berarti ‘bahagia’ atau ‘baik’, lalu ‘αγγελιον’ yang berarti ‘berita’. Pada zaman Yesus, kata ‘ευαγγελιον’ bukanlah sembarang kabar baik seperti “Saya lulus ujian” atau “Saya menerima hadiah.” Kata ini adalah istilah teknis kekaisaran Roma untuk menunjukkan kemenangan besar kaisar atau perayaan ulang tahun kaisar. Setiap kali ‘ευαγγελιον’ diumumkan, akan ada sukacita besar bagi rakyat karena musuh telah dikalahkan, dan sekarang penduduk kekaisaran dapat hidup dengan tenang.

Yesus menggunakan kosakata kekaisaran yang sama tetapi menyesuaikan isinya dengan tujuan-Nya. Injil bukan lagi tentang kabar baik tentang kekaisaran Romawi, tetapi tentang Kerajaan Allah. Injil ini bukan lagi tentang kemenangan kaisar, tetapi tentang kemenangan Yesus. Mereka yang hidup pada masa itu mungkin akan merespons Injil Yesus dengan cara yang berbeda. Orang mungkin menganggap Yesus gila, atau bahkan pembohong, dan dengan demikian, Injil-Nya tidak lain adalah kebohongan yang menggelikan. Orang lain mungkin melihat Yesus sebagai seorang yang subversif-revolusioner, dan dengan demikian, Injil-Nya adalah sebuah seruan untuk memberontak terhadap kekaisaran Romawi. Kita juga ingat bahwa pemahaman subversif tentang Injil ini kemudian digunakan untuk menuduh Yesus di hadapan Pilatus. Yesus adalah ‘raja orang Yahudi’ yang menentang kaisar Romawi.

Namun, Yesus membuktikan bahwa anggapan ini tidak benar. Yesus tidak mewartakan Injil kata-kata kosong; Dia mengajar dengan penuh kuasa dan melakukan mukjizat-mukjizat yang dahsyat. Bahkan setan-setan pun taat kepada perkataan-Nya. Dia juga bukan seorang pejuang politik yang revolusioner karena Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (lihat Yoh 18:36), dan bagaimana Dia menolak untuk diangkat menjadi raja oleh para pendukung-Nya (lihat Yoh 6:15). Kerajaan Yesus adalah Kerajaan Allah yang kudus. Satu-satunya cara untuk masuk ke dalamnya adalah melalui pertobatan (metanoia). Kata metanoia mengandaikan adanya perubahan ‘pikiran’ atau ‘gaya hidup’ dari kehidupan yang penuh dengan dosa dan jauh dari Allah menjadi kehidupan yang sesuai dengan hukum Allah, dan dengan demikian, hidup bersama Allah.

Jadi, dari perspektif ini, kita dapat mengatakan bahwa ‘percaya kepada Injil’ berarti kita percaya kepada Kerajaan Allah dan Yesus, raja dari Kerajaan itu, yang menyelamatkan kita dari dosa-dosa dan membawa kita kembali kepada Allah. Dan bukti kita percaya tidak lain adalah dengan bertobat. Mengatakan, “Saya percaya kepada Yesus,” tetapi kita tetap mencuri uang orang lain, adalah omong kosong. Mengatakan, “Saya percaya kepada Tuhan,” tetapi kita tetap melanggar hukum dan perintah-Nya, adalah sia-sia.

Fakta menarik lainnya! Kata Yunani yang sebenarnya digunakan oleh Markus untuk ‘percaya’ adalah ‘πιστεύετε’ (pisteuete), dan secara tata bahasa, kata ini merupakan bentuk imperatif dalam bentuk waktu sekarang (present tense). Dalam bahasa Yunani kuno, bentuk imperatif ini berarti perintah untuk melakukan sesuatu, bukan hanya sekali tetapi terus menerus. Dengan demikian, Markus ingin menekankan bahwa percaya adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan bukannya sebuah tindakan yang dilakukan sekali saja. Percaya kepada Yesus adalah sesuatu yang bertumbuh dan dinamis, bukan statis.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Name and Holiness

2nd Sunday in the Ordinary Time [B]

January 14, 2024

John 1:35-42

At the beginning of John’s Gospel, we encounter three acts of naming. Firstly, when John the Baptist saw Jesus, he called Him ‘The Lamb of God’. Then, after staying for a day with Jesus, Andrew called Him the ‘Messiah’ or ‘Christ’ [meaning: the anointed one]. Lastly, after Jesus encountered Simon, Andrew’s brother, He named him ‘Cephas’ in Aramaic, or ‘Petros’ in Greek [meaning: rock]. Why the act of naming is important in the Gospel?

We recall that the act of naming fundamentally belongs to God. God is omnipotent, and so, with every name God uttered, that name became a reality, from nothing to something. “God said, ‘Let there be light!’ And, there was light.” Every time God named and created something, the ever-greater goodness took place. On the final day, God named ‘the seventh day’ as ‘holy.’ Holiness is when a name becomes a reality and that reality reaches its fullness and perfection according to God’s plan.

The Holy Spirit inspired John the Baptist to name Jesus as the Lamb of God. This brings forth the reality that Jesus would be ‘slaughtered’ and ‘consumed’ to save His people from the slavery of sin, like the Passover lamb that was slaughtered and eaten to protect the Israelites from death and liberate them from slavery in Egypt. The Holy Spirit also inspired Andrew to name Jesus as the Messiah. This reveals the reality that Jesus is the promised Anointed one who would fulfill the promises and prophecies of the Old Testament, especially as the King of the New Israel. Jesus’ name is holy because precisely in His name, God’s redemption plan reached its full reality. After all, He is the Word that was made flesh (see John 1:14).

When Jesus called Simon and gave him a new name, ‘Cephas,’ the new reality came into existence. Simon would become the rock where Jesus’ Church rested. Obviously, Simon was impulsive, short-tempered, and even cowardly. Yet, since Jesus named him, the name was part of Jesus’ divine plan. Jesus knew Simon was weak; Jesus allowed Simon to falter, yet Jesus also transformed and empowered him. The name that Jesus had planted at their first encounter finally became a full reality when Simon offered his life as a martyr of Christ in the city of Rome.

We believe that we exist not because of random chance, utterly unplanned, but because of God’s divine plan. We are in the world not only because of biological processes but because God gives us a name, from nothingness to reality. Indeed, God allows us to experience suffering and even failures, yet this is also part of His plan to make us holy.

Holiness is when the names God gave us become more and more reality. How? Like Simon, we do our best to follow His will in our lives, be more patient in suffering, and avoid anything that strays from Him.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Nama dan Kekudusan

Hari Minggu ke-2 dalam Masa Biasa [B]

14 Januari 2024

Yohanes 1:35-42

Di awal Injil Yohanes, kita menemukan tiga peristiwa pemberian nama. Pertama, ketika Yohanes Pembaptis melihat Yesus, ia menyebut-Nya ‘Anak Domba Allah’. Kemudian, setelah tinggal satu hari bersama Yesus, Andreas menyebut-Nya ‘Mesias’ atau ‘Kristus’ [artinya: yang diurapi]. Terakhir, setelah Yesus bertemu dengan Simon, saudara Andreas, Yesus menamai dia ‘Kefas’ dalam bahasa Aram, atau ‘Petros’ dalam bahasa Yunani [artinya: batu karang]. Mengapa tindakan memberi nama itu penting dalam Injil dan juga hidup kita?

Kita ingat bahwa tindakan pemberian nama pada dasarnya adalah milik Allah. Allah itu mahakuasa, sehingga dengan setiap nama yang diucapkan, nama tersebut menjadi kenyataan, dari tidak ada menjadi ada. “Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang! Maka jadilah terang.” Setiap kali Allah menamai dan menciptakan sesuatu, kebaikan yang lebih besar terjadi. Pada hari terakhir, Allah menamai ‘hari ketujuh’ sebagai hari yang ‘kudus’. Kekudusan adalah ketika sebuah nama menjadi sebuah kenyataan dan kenyataan itu mencapai kepenuhan dan kesempurnaannya sesuai dengan rencana Allah.

Roh Kudus mengilhami Yohanes Pembaptis untuk menamai Yesus sebagai Anak Domba Allah. Hal ini memunculkan realitas bahwa Yesus akan ‘disembelih’ dan ‘dimakan’ untuk menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan dosa, sama seperti anak domba Paskah yang disembelih dan dimakan untuk melindungi orang Israel dari kematian dan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Roh Kudus juga mengilhami Andreas untuk menamai Yesus sebagai Mesias. Hal ini mengungkapkan kenyataan bahwa Yesus adalah Yang Diurapi yang akan menggenapi janji-janji dan nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama, terutama sebagai Raja Israel Baru. Nama Yesus adalah nama yang kudus karena justru di dalam nama-Nya, rencana penebusan Allah mencapai kenyataan sepenuhnya. Bagaimanapun juga, Dia adalah Firman yang telah menjadi manusia (lihat Yohanes 1:14).

Ketika Yesus memanggil Simon dan memberinya nama baru, ‘Kefas,’ realitas baru pun muncul. Simon akan menjadi batu karang di mana Gereja Yesus bertumpu. Jelas sekali, Simon adalah orang yang impulsif, pemarah, dan bahkan pengecut. Namun, karena Yesus telah menamainya, nama itu adalah bagian dari rencana ilahi Yesus. Yesus tahu bahwa Simon lemah; Yesus mengizinkan Simon goyah bahkan menyangkal-Nya, tetapi Yesus juga mengubah dan memberdayakannya. Nama yang telah ditanamkan Yesus pada pertemuan pertama mereka akhirnya menjadi kenyataan ketika Simon mempersembahkan nyawanya sebagai martir Kristus di kota Roma.

Kita percaya bahwa kita ada bukan karena kebetulan, sesuatu yang sama sekali tidak direncanakan, tetapi karena rencana ilahi. Kita ada di dunia bukan hanya karena proses biologis, tetapi karena Tuhan memberi kita nama, dari ketiadaan menjadi ada. Memang, Tuhan mengijinkan kita mengalami penderitaan dan bahkan kegagalan, namun ini juga merupakan bagian dari rencana-Nya untuk menjadikan kita kudus.

Kekudusan adalah ketika nama-nama yang Tuhan berikan kepada kita menjadi semakin nyata. Bagaimana caranya? Seperti Simon, kita melakukan yang terbaik untuk mengikuti kehendak-Nya dalam hidup kita, menjadi lebih sabar dalam penderitaan, dan menghindari apa pun yang menyimpang dari-Nya.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Magi and the Truth

The Epiphany of the Lord
January 7, 2024
Matthew 2:1-12 [B]

The Christmas season ends with the feast of Epiphany. This ancient feast is associated with the story of the Magi from the East who visited the child Jesus in Bethlehem. The story is a fitting conclusion to the Christmas season since the Magi represented the nations of the world who came and worshiped the newborn king. Jesus was born not only to be the Messiah of the Jews but also the Savior of the nations.

The identity of the Magi remains largely a mystery. The earliest depiction in the Basilica of the Nativity in Bethlehem presented them dressed in Persian clothes (presently Iran). But, some fathers of the Church believed that they were Chaldeans (now Iraq). Others still argued that they were coming from northern Syria because they were thought to be the descendants of Baalam (see Num 22). Finally, we are not really sure. The Bible describes them as ‘Magos’; in the Bible itself, ‘Magos’ has ambiguous meanings. The word Magos can be negatively associated with a sorcerer, one who practiced magic and even to earn money and fame (see Acts 13:6). Yet, the term can also be translated as a sage or wise man, one who dedicated himself in search of Truth.

The Church’s traditions tend to see the Magi as the wise men from the East. These were people who offered their lives in search of the Truth. Yet, living two millennia before us, they did not enjoy the fruits of scientific revolutions and methods. They had to rely on limited resources and information, often mixed with myths and superstitions. They did not have chemistry yet, but rather alchemy (protoscience that aims to transform one material into something else like gold or medicine). They did not yet understand astronomy principles but contended with astrology (a pseudo-science that reads the celestial bodies and how they relate to human fates). The majority of their literature probably dealt with magic rather than true science.

However, despite their limitations, God recognized their sincere effort and thus led them to the Truth himself through the star. After all, God placed in their hearts the profound thirst for Truth. They proved their commitment as they left their palaces’ comfort and embarked on a long, dangerous journey. We are also not sure what Baltazar, Melchior, and Gaspar (as the tradition calls them) truly experienced when they discovered Jesus, the Truth. We are confident that the Magi are the symbols of humanity in search of Truth for God Himself.

Like the Magi, God also created us as beings that possess a fundamental hunger for Truth. Unfortunately, this hunger for Truth does not find its fulfillment because of sins. The sin of laziness poisons our desire for Truth and chains us in our comfort zones. The sin of lust turns our desire for Truth into carnal desire. The sin of pride makes us believe that we already possess the Truth and we do not need God’s grace. Learning from the Magi, we recognize that sciences are also parts of God’s providence to lead us into ultimate Truth to Himself.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Orang Majus dan Kebenaran

Hari Raya Penampakan Tuhan – Epifani [B]
7 Januari 2024
Matius 2:1-12

Masa Natal berakhir dengan perayaan Epifani. Perayaan kuno ini erat hubungannya dengan kisah orang Majus dari Timur yang mengunjungi bayi Yesus di Bethlehem. Kisah ini merupakan penutup yang tepat untuk masa Natal karena orang Majus mewakili bangsa-bangsa di dunia yang datang dan menyembah raja yang baru lahir. Yesus lahir bukan hanya sebagai Mesias bagi orang Yahudi, tetapi juga Juruselamat bagi semua bangsa.

Identitas orang Majus masih menjadi misteri besar. Lukisan paling awal di Basilika Kelahiran Yesus di Bethlehem menampilkan mereka mengenakan pakaian Persia (sekarang Iran). Namun, beberapa bapa Gereja percaya bahwa mereka adalah orang Kasdim (sekarang Irak). Yang lain berpendapat bahwa mereka berasal dari Suriah utara karena mereka dianggap sebagai keturunan Baalam (lihat Bil. 22). Alkitab menggunakan kata ‘Magos’, dan di dalam Alkitab sendiri, kata ‘Magos’ memiliki arti yang ambigu. Kata Magos dapat diasosiasikan secara negatif dengan tukang sihir, untuk mendapatkan uang dan ketenaran (lihat Kisah13:6). Namun, istilah ini juga dapat diterjemahkan sebagai orang bijak, mereka yang mendedikasikan dirinya untuk mencari Kebenaran.

Tradisi Gereja cenderung melihat orang Majus sebagai orang bijak dari Timur. Mereka adalah orang-orang yang memberikan hidup mereka untuk mencari Kebenaran. Namun, hidup dua milenium sebelum kita, mereka tidak menikmati metode ilmiah dan ilmu pengetahuan modern. Mereka harus mengandalkan sumber daya dan informasi yang terbatas, yang sering kali bercampur dengan mitos dan takhayul. Mereka belum mengenal ilmu kimia, melainkan alkimia (proto-sains yang bertujuan untuk mengubah suatu bahan menjadi bahan lain seperti emas atau obat-obatan). Mereka belum memahami prinsip-prinsip astronomi, namun mereka lebih banyak berkutat pada astrologi (ilmu semu yang membaca benda-benda langit dan bagaimana hubungannya dengan nasib manusia). Mayoritas literatur mereka mungkin lebih banyak membahas tentang ilmu gaib daripada ilmu pengetahuan yang benar.

Namun, terlepas dari keterbatasan mereka, Tuhan melihat upaya tulus mereka, dan dengan demikian menuntun mereka kepada Kebenaran sejati melalui bintang-Nya. Bagaimanapun juga, Tuhan jugalah menempatkan kehausan yang mendalam akan Kebenaran di dalam hati mereka. Mereka membuktikan komitmen mereka ketika mereka meninggalkan kenyamanan istana mereka dan memulai perjalanan yang panjang dan berbahaya. Kita juga tidak yakin apa yang sebenarnya dialami oleh Baltazar, Melkior, dan Gaspar (sebagaimana tradisi menyebutnya) ketika mereka menemukan Yesus, Sang Kebenaran. Namun, kita yakin bahwa orang Majus adalah simbol dari umat manusia yang sedang mencari Kebenaran untuk Tuhan sendiri.

Seperti orang Majus, Tuhan juga menciptakan kita sebagai makhluk yang memiliki rasa lapar yang mendalam akan Kebenaran. Sayangnya, rasa lapar akan Kebenaran ini sering kali tidak terpenuhi karena dosa. Dosa kemalasan meracuni hasrat kita akan Kebenaran dan membelenggu kita dalam zona nyaman. Dosa hawa nafsu mengubah keinginan kita akan Kebenaran menjadi keinginan daging. Dosa kesombongan membuat kita percaya bahwa kita telah memiliki kebenaran dan kita tidak membutuhkan rahmat Allah. Belajar dari orang Majus, kita menyadari bahwa ilmu pengetahuan juga merupakan bagian dari penyelenggaraan Allah untuk menuntun kita ke dalam Kebenaran yang hakiki.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP