The Mystery of Faith

13th Sunday in Ordinary Time [B]

June 30, 2024

Mark 5:21-43

Faith is fundamental to our salvation but is also one of the most misunderstood concepts. The stories of the healing of Jairus’ daughter and the woman with haemorrhage help us better understand the meaning of faith and how we need to live our faith.

The most basic understanding of faith is a belief in God, or for us Christians, a belief in Jesus Christ. This primary sense of faith relies heavily on our intellectual acceptance of the presence of God and Jesus as His only begotten Son, our Savior. However, how about those people with no opportunity to intellectually recognize Jesus? Like for example, Jairus’ daughter was gravely ill and eventually died. She was not able to have faith in her mind that Jesus would go to save her. Yet, she was saved from death, not because of her faith, but the faith of her father. St. James reminds us also that even the demons believed and knew well that God exists, but the intellectual faith does not save them.

The second type of faith is faith of conviction. This kind of faith involves not only intellectual recognition of God but also vigorous conviction and deep trust. This kind of faith is usually expressed in solid emotions and visible bodily actions like shouting the name of Jesus or bowing down in prayers. Yet again, St. Paul reminds us that this kind of faith does not bring salvation. He writes, “If I have all faith, so as to remove mountains, but have not love, I am nothing (1 Cor 13:2).”

Finally, the third class of faith is faith working through love. This faith not only accepts God intellectually and is profoundly hopeful but also manifests itself in works of charity. Compared to the previous two, this faith is more demanding yet also saving. We can see this from Jairus’s faith. His profound love for his daughter propels him to believe in Jesus, and in turn, his faith in Jesus empowers him to seek and beg for Jesus’ miraculous healing.

The story of the woman with a haemorrhage is more interesting. She seems to have a second type of faith or the faith with conviction. She sincerely believed that she would be healed if she touched Jesus, but if we go deeper, we find her faith goes beyond convictions. When she decides to approach Jesus, she does not immediately grab Jesus’ body or feet. Instead, she carefully selects to touch the tassel of Jesus’ clock. Why? The woman is aware that she has the flow of blood, and this makes her ritually impure, and anyone she touches may be contaminated by this impurity (see Lev 15:25-30). Therefore, by not making immediate contact with Jesus, the woman shows excellent care to preserve the purity of Jesus. This simple detail can show us her love for Jesus despite her limitations. Then, Jesus recognizes the true faith of the woman, and she is made well.

Do we have the saving faith? What kind of faith do we have, and how do we grow? Do we manifest our faith in God in love for Jesus and our neighbours?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Misteri Iman

Hari Minggu ke-13 dalam Masa Biasa [B]

30 Juni 2024

Markus 5:21-43

Iman adalah hal yang sangat penting bagi keselamatan kita, tetapi juga merupakan salah satu konsep yang paling sering disalahpahami. Kisah kesembuhan anak perempuan Yairus dan perempuan yang mengalami pendarahan membantu kita untuk lebih memahami arti iman dan bagaimana kita harus menghidupi iman kita.

Pengertian iman yang paling mendasar adalah sebuah kepercayaan kepada Allah, atau bagi kita orang Kristen, kepercayaan kepada Yesus Kristus. Pengertian iman yang paling mendasar ini sangat bergantung pada penerimaan intelektual atau akal budi kita akan keberadaan Allah dan Yesus sebagai Putra-Nya yang tunggal, Juruselamat kita. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenal Yesus secara intelektual? Misalnya, putri Yairus yang sakit parah dan akhirnya meninggal. Dia tidak dapat memiliki kepercayaan dalam pikirannya bahwa Yesus akan datang untuk menyelamatkannya. Namun, ia diselamatkan dari kematian, bukan karena imannya, tetapi karena iman ayahnya. St. Yakobus juga mengingatkan kita bahwa bahkan roh-roh jahat pun percaya dan mengetahui dengan baik bahwa Allah itu ada, tetapi iman intelektual tidak menyelamatkan mereka.

Jenis iman yang kedua adalah iman dengan keyakinan. Iman jenis ini tidak hanya melibatkan pengenalan intelektual akan Allah tetapi juga keyakinan yang kuat dan mendalam. Iman seperti ini biasanya diekspresikan dalam emosi yang kuat dan tindakan tubuh yang terlihat seperti meneriakkan nama Yesus atau bersujud dalam doa. Namun sekali lagi, Santo Paulus mengingatkan kita bahwa iman seperti ini tidak membawa keselamatan. Ia menulis, “Jika aku mempunyai segala iman, sehingga dapat memindahkan gunung-gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, maka aku tidak ada artinya” (1 Kor. 13:2).

Akhirnya, jenis iman yang ketiga adalah iman yang bekerja melalui kasih. Iman ini tidak hanya menerima Allah secara intelektual dan penuh pengharapan, tetapi juga diwujudkan dalam perbuatan kasih. Dibandingkan dengan dua iman sebelumnya, iman ini lebih sulit diwujudkan, tetapi juga menyelamatkan. Kita dapat melihat hal ini dari iman Yairus. Kasihnya yang mendalam kepada putrinya mendorongnya untuk percaya kepada Yesus, dan pada gilirannya, imannya kepada Yesus memberdayakannya untuk mencari dan memohon kesembuhan mukjizat Yesus sebagai bentuk kasih terhadap putrinya.

Kisah wanita yang mengalami pendarahan lebih menarik. Ia tampaknya memiliki jenis iman yang kedua atau iman dengan penuh keyakinan. Ia dengan tulus percaya bahwa ia akan disembuhkan jika ia menyentuh Yesus, tetapi jika kita menyelidiki lebih dalam, kita akan menemukan bahwa imannya lebih dari sekadar keyakinan. Ketika ia memutuskan untuk mendekati Yesus, ia tidak langsung memegang tubuh atau kaki Yesus. Sebaliknya, ia dengan hati-hati memilih untuk menyentuh rumbai jubah Yesus. Mengapa? Perempuan itu sadar bahwa ia memiliki pendarahan, dan ini membuatnya najis, dan siapa pun yang disentuhnya dapat terkontaminasi oleh kenajisan ini (lihat Im. 15:25-30). Oleh karena itu, dengan memastikan bahwa dia tidak bersentuhan langsung dengan Yesus, wanita itu menunjukkan perhatian yang sangat baik untuk menjaga kemurnian Yesus. Detail sederhana ini dapat menunjukkan kepada kita kasihnya kepada Yesus terlepas dari keterbatasannya. Kemudian, Yesus mengenali iman yang benar dari perempuan itu, dan ia pun sembuh.

Apakah kita memiliki iman yang menyelamatkan? Iman seperti apakah yang kita miliki, dan bagaimana kita bertumbuh? Apakah kita mewujudkan iman kita kepada Allah dalam kasih kepada Yesus dan sesama kita?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Love of Christ urges us.

12th Sunday in Ordinary Time

June 23, 2024

2 Cor 5:14-17

The relationship between St. Paul and the Church in Corinth is complicated. St. Paul was the first missionary to preach the Gospel in Corinth and establish the Church there. Yet, after St. Paul left for another mission, some members of the Church began to disobey Paul and discredit him. In his second letter, St. Paul tried to address this issue, both with tears and joy. What is the problem? How, then, did Paul answer this issue?

Corinth was one of the major cities in ancient Greece, and its strategic location made it wealthy and a major trading hub in the Roman Empire. This situation made the city attractive to many people, including Christian missionaries and preachers. When St. Paul left the city to preach in other places, other so-called ‘apostles’ came and began to teach the Christians in Corinth. Some of them seemed to intentionally discredit Paul by saying that he was not a true apostle. They would cite some proofs like Paul preached a different Gospel, Paul was not a real Israelite, and Paul was not accepting support from the Church (a preacher or missionary was expected to receive their living from the Church). Yet, now Paul was asking for donations.

In his letter, Paul defended himself. He only preached the true Gospel (2 Cor 11:1-6). He is a true Israelite from the tribe of Benjamin and, in fact, from the Pharisees’ group. And, often, he did not receive support from the Corinthians, but instead worked as a tent maker because he did not want to become a burden to the Church (2 Cor 11:7-10). Yet, Paul further explained that the donation he sought was not for himself but for the Church in Jerusalem (2 Cor 8:9).

Paul defended further his apostolic ministry that he received from God for the building of the Church. He was facing persecution both from the Jews and the Greeks; he was beaten in the Synagogue and jailed by Roman leaders. The angry mobs targeted him. Jews opposed Paul because he preached Jesus Christ. The Greeks hated Paul because he drew many people away from the pagan temples. Paul also experienced life-threatening dangers in his journeys: robbers, unfriendly weather, and shipwrecks. Beyond that, he also worked during the days to support himself and preached during the night, and his energy was restlessly spent to deal with various concerns of the Church (see 2 Cor 11:23-29). Paul explained why he was doing all these things: ‘The love of Christ urges us (2 Cor 5:14).’

Christ’s love is enormous; it empowers Paul to do the impossible: love like Jesus. Paul is not the only one who receives this overwhelming love of Jesus but all of us. Jesus loves us dearly to the point of giving up His life for us so that we may become a new creation in Him (2 Cor 5:17). Now, the question is whether we will accept this divine love and make it fruitful in our lives. Are we courageous enough to love like Jesus, as exemplified by St. Paul? Are we ready to face dangers and difficulty in preaching the Gospel? Are we willing to labour day and night for the people Jesus loves?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kasih Kristus menguasai kita.

Hari Minggu ke-12 dalam Masa Biasa

23 Juni 2024

2 Korintus 5:14-17

Hubungan antara Santo Paulus dan Gereja di Korintus cukup rumit. Paulus adalah misionaris pertama yang mengabarkan Injil di kota Korintus dan mendirikan Gereja di sana. Namun, setelah Santo Paulus pergi untuk misi lain, beberapa anggota Gereja mulai tidak menaati Paulus dan mendiskreditkannya. Dalam suratnya yang kedua, Santo Paulus mencoba untuk mengatasi masalah ini. Apakah masalahnya? Lalu, bagaimana Paulus menjawab masalah ini?

Korintus adalah salah satu kota besar di semenanjung Akaya (Yunani kuno), dan lokasinya yang strategis membuat kota ini kaya dan menjadi pusat perdagangan utama di Kekaisaran Romawi. Situasi ini membuat kota ini menarik bagi banyak orang, termasuk para misionaris dan pewarta Injil. Ketika Santo Paulus meninggalkan kota itu untuk mewartakan Injil di tempat lain, orang-orang yang disebut sebagai ‘rasul’ datang dan mulai mengajar umat Kristiani di Korintus. Beberapa di antara mereka tampaknya sengaja menjelekkan nama Paulus dengan mengatakan bahwa ia bukan rasul sejati. Mereka menunjukkan beberapa bukti seperti Paulus mewartakan Injil yang berbeda, Paulus bukanlah orang Israel asli, dan Paulus tidak menerima dukungan dari Gereja (seorang pewarta atau misionaris diharapkan untuk menerima nafkah dari Gereja). Namun, sekarang Paulus meminta sumbangan dari Gereja di Korintus.

Dalam suratnya, Paulus membela diri. Dia hanya memberitakan Injil yang benar (2 Kor. 11:1-6). Dia adalah orang Israel sejati dari suku Benyamin dan, pada kenyataannya, dari kelompok Farisi. Dan, seringkali, ia tidak menerima dukungan dari Gereja di Korintus, dan bekerja sebagai pembuat tenda karena ia tidak ingin menjadi beban bagi Gereja (2 Kor. 11:7-10). Namun, Paulus lebih lanjut menjelaskan bahwa sumbangan yang ia cari bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Gereja di Yerusalem (2 Kor. 8:9).

Paulus membela lebih lanjut pelayanan kerasulannya yang ia terima dari Allah untuk menumbuhkan Gereja-Nya. Dia menghadapi penganiayaan baik dari orang Yahudi maupun Yunani; dia dipukuli di Sinagoga dan dipenjara oleh karena penghakiman orang-orang Yunani dan Romawi. Banyak orang yang marah dan mengincarnya. Orang-orang Yahudi menentang Paulus karena ia memberitakan Yesus Kristus. Orang-orang Yunani membenci Paulus karena ia menarik banyak orang dari kuil-kuil dewa-dewi kuno. Paulus juga mengalami bahaya yang mengancam nyawanya dalam perjalanannya: perampok, cuaca yang tidak bersahabat, dan kapal karam. Selain itu, ia juga bekerja di siang hari untuk menghidupi dirinya sendiri dan berkhotbah di malam hari, dan tenaganya dihabiskan dengan penuh kegelisahan untuk menangani berbagai masalah Gereja (lihat 2 Korintus 11:23-29). Paulus menjelaskan mengapa ia melakukan semua hal ini: “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami (2 Kor. 5:14).”

Kasih Kristus sanggatlah besar; kasih itu memberdayakan Paulus untuk melakukan hal yang mustahil, yakni mengasihi seperti Yesus. Bukan hanya Paulus yang menerima kasih Yesus yang luar biasa ini, tetapi juga kita semua. Yesus sangat mengasihi kita sampai-sampai Ia menyerahkan nyawa-Nya untuk kita sehingga kita dapat menjadi ciptaan baru di dalam Dia (2 Kor. 5:17). Pertanyaannya adalah apakah kita mau menerima kasih ilahi ini dan menjadikannya berbuah dalam hidup kita? Apakah kita cukup berani untuk mengasihi seperti Yesus, seperti yang dicontohkan oleh Santo Paulus? Apakah kita siap menghadapi bahaya dan kesulitan dalam memberitakan Injil? Apakah kita bersedia bekerja keras siang dan malam untuk orang-orang yang dikasihi Yesus?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Man and the Seed

11th Sunday in Ordinary Time [B]
June 16, 2024
Mark 4:26-34

There is something ‘unusual’ in Jesus’ parable. I am not a farmer, but I can sense that the parable’s man seemed clueless about what he was doing. He simply threw the seed and went away sleeping. What is really happening here? What does Jesus want to teach us through this parable?

Though man’s way can be a valid way of cultivating a plant, it is not the best way of farming. Good farmers will ensure that the seed will grow well through constant care. They would choose the best type of seeds for the season. Seeds for spring are different from those for autumn. Then, they will prepare the soil and scatter the seeds, considering the proper spacing. Enough water is also crucial for the healthy growth of the plant. Farmers also always watch for things that may destroy their harvest, like wild animals, pests, and thieves.

However, the man in the parable just sown the seed and went away. He did not act like a good farmer. What’s really happening here? To answer this, we must look closely at the text. Jesus never described the man as a farmer. Jesus said, ’a man’ (Greek: ἄνθρωπος, Anthropos). Another interesting thing is that Jesus described the man not as ‘planting the seed’ but ‘throwing the seed’ (Greek: βάλλω, ballo). From this information, we can safely conclude that the man in the parable did not intend to cultivate the seed but rather to throw it away. Yet, despite being rejected, the seed mysteriously grew and bore fruits.

Then, the kingdom of God is a rejected seed that has survived and even produced a large harvest. This kingdom of God may refer to Jesus, the King of the Kingdom, who was rejected by the elders and crucified by the Romans and yet rose from the dead and became the source of salvation for those who believe. The kingdom of God may also point to the Church as the body of Christ that was initially persecuted severely, and both her leaders and her members were tortured and martyred. Yet, eventually, the Church grows exponentially into the most significant human community in the world.

The parable also speaks to us, especially when facing suffering and our faith is challenged. For some people, just being the disciples of Christ, we must endure hatred, discrimination, violence, and even death threats. For others, being part of the Catholic Church, our faith is questioned and ridiculed. However, the spiritual danger also threatens those practicing their faith in peace. We may take our faith for granted when things are safe and easy. We go to the Church just because everyone is going to the Church or because we feel good about it. Our understanding of our faith becomes very shallow. Another danger is that we become arrogant and self-righteous, looking down on other Christians and thus failing to love them. We turn to be ‘the man’ in the parable who rejected the seed.

For those who are like ’a rejected seed’, we have faith that God works in mysterious ways to bring us growth in suffering. Yet, at the same time, as we grow in faith, we must be careful not to become like ‘the man’ who throws a rejected seed.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Manusia dan Benih

Minggu ke-11 dalam Masa Biasa [B]
16 Juni 2024
Markus 4:26-34

Ada sesuatu yang ‘tidak biasa’ dalam perumpamaan Yesus kali ini. Saya bukan seorang petani, tetapi saya dapat merasakan bahwa orang dalam perumpamaan ini sepertinya tidak mengerti apa yang sedang ia lakukan. Dia hanya melemparkan benih dan pergi tidur. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang Yesus ingin ajarkan kepada kita melalui perumpamaan ini?

Meskipun cara pria dalam perumpamaan dapat menjadi cara untuk menanam tanaman, itu bukanlah cara terbaik untuk bertani. Petani yang baik akan memastikan bahwa benih akan tumbuh dengan baik melalui perawatan yang konstan. Mereka akan memilih jenis benih terbaik untuk musim tersebut. Benih untuk musim semi berbeda dengan benih untuk musim gugur. Kemudian, mereka akan menyiapkan tanah dan menebarkan benih, dengan mempertimbangkan jarak yang tepat. Air yang cukup dan juga pupuk sangat penting untuk pertumbuhan tanaman yang sehat. Para petani juga selalu memperhatikan hal-hal yang dapat merusak hasil panen mereka, seperti binatang buas, hama, dan pencuri.

Namun, orang dalam perumpamaan itu hanya menabur benih dan pergi. Ia tidak bertindak seperti seorang petani yang baik. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Untuk menjawabnya, kita harus melihat dengan seksama teks ini. Yesus tidak pernah menggambarkan orang itu sebagai seorang petani. Yesus berkata, ‘seorang manusia’ (Yunani: ἄνθρωπος, Anthropos). Hal lain yang menarik adalah bahwa Yesus tidak menggambarkan orang itu sebagai ‘penabur benih’, melainkan ‘melempar benih’ (bahasa Yunani: βάλλω, ballo). Dari informasi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa orang dalam perumpamaan ini tidak bermaksud untuk menanam benih, melainkan membuangnya. Namun, meskipun ditolak, benih itu secara misterius tumbuh dan menghasilkan buah.

Maka, Kerajaan Allah adalah benih yang ditolak yang bertahan dan bahkan menghasilkan panen yang besar. Kerajaan Allah ini dapat merujuk kepada Yesus, sang Raja Kerajaan Allah, yang ditolak oleh para tua-tua dan disalibkan oleh bangsa Romawi, namun bangkit dari kematian dan menjadi sumber keselamatan bagi mereka yang percaya. Kerajaan Allah juga dapat menunjuk kepada Gereja sebagai tubuh Kristus yang pada awalnya dianiaya dengan kejam, dan para pemimpin serta anggotanya disiksa dan menjadi martir. Namun, pada akhirnya, Gereja bertumbuh menjadi komunitas manusia yang paling besar di dunia.

Perumpamaan ini juga berbicara kepada kita, terutama ketika menghadapi penderitaan dan iman kita ditantang. Bagi sebagian orang, dengan menjadi murid-murid Kristus, kita harus menanggung kebencian, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan ancaman kematian. Bagi yang lain, sebagai bagian dari Gereja Katolik, iman kita dipertanyakan dan diejek. Namun, bahaya rohani juga mengancam mereka yang beriman dalam situasi damai. Kita mungkin menganggap remeh iman kita ketika segala sesuatunya aman dan mudah. Kita pergi ke Gereja hanya karena semua orang pergi ke Gereja atau karena kita merasa ‘senang’. Pemahaman kita tentang iman kita menjadi sangat dangkal. Bahaya lainnya adalah kita menjadi sombong dan merasa paling benar, memandang rendah orang-orang Kristen lainnya dan dengan demikian gagal untuk mengasihi mereka. Kita berubah menjadi ‘orang’ dalam perumpamaan yang membuang benih.

Bagi kita yang seperti ‘benih yang ditolak’, kita memiliki iman bahwa Allah bekerja dengan cara yang misterius untuk membawa kita bertumbuh dalam penderitaan. Namun, pada saat yang sama, ketika kita bertumbuh dalam iman, kita harus berhati-hati agar tidak menjadi seperti ‘orang yang menolak dan membuang benih’ di dalam perumpamaan.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Adam and Us

10th Sunday in Ordinary Time [B]

June 9, 2024

Genesis 3:9-15

The story begins with a question from the Lord to Adam, “Where are you?” Yet, this is a strange question. Wasn’t God aware of where Adam was? But He is God, and He is supposed to know everything! Does it demonstrate ‘ignorance of God,’ or is there something deeper in the question?

Firstly, we must recognize that the language of the early chapters of Genesis is much different from the rest of the Bible. The Church recognizes that “the account of the fall in Genesis 3 uses figurative language but affirms a primeval event, a deed that took place at the beginning of the history of man (CCC 390).” Scholars agree that the sacred author used an ‘anthropomorphic language,’ that is, God is described to act and behave like a human person. Thus, God is painted as one who strolled around the garden and suddenly noticed the absence of Adam and Eve.

Moving beyond ‘anthropomorphic language,’ God’s question to Adam is not about geographical location. God certainly knew well where Adam was. Nothing can hide from Him. Yet, the question remains true because God was not asking for a geographical position but rather a personal relationship. “Where are you in relation to me? Are you with me or against me? Are you on my side or the serpent’s side?”

Adam answered, “I was afraid.”  The original relationship between God and men was based on love and true honor. Yet, after sin, fear dominates. Adam no longer saw God as a loving father but a vengeful judge. Thus, he ran away and hid himself because he was fully aware of the judgment that awaited him. He was naked before the Lord, and he realized without God, he was nothing.

God then asked, “Did you eat from the tree?” Surely, God knew Adam had trespassed His law, but He phrased the fact in a rhetorical question as God solicited Adam’s confession. Unfortunately, instead of confessing and asking for forgiveness, Adam blamed the woman. Yet, on closer look, Adam was not exactly blaming the woman, “The woman you gave me, she gave me the fruit.” Indirectly, Adam blamed God! Adam deserves nothing but a miserable death, but did He die there and then? No! God rather pointed out to Adam that his refusal of God’s love had led him to hardship and suffering.

What would have happened if Adam had owned his sin and asked God’s mercy? Perhaps Adam and his descendants would have lived in a better world. Yet, Adam was too arrogant to beg forgiveness, and he and his descendants must walk through the valley of tears till the arrival of Jesus Christ.

Surely, it is pointless to blame Adam for our conditions, but we can always learn from this primordial story. Sin is what separates us from God and distorts our loving relationship into a nightmare. Either we see ourselves as fearful slaves or rebellious renegades. Yet, often, like Adam, our father, we are too arrogant to confess and blame others, situations, or, finally, God. Yet, on the other side of the story, we learn who our God is. He was not a vengeful god who would instantly obliterate Adam, but rather a loving father who patiently educates his rebellious son. He was not a cruel lord who would punish but a merciful God who wanted his stray children to return to Him through the arrival of His Son.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Adam dan Kita

Minggu ke-10 dalam Masa Biasa [B]

9 Juni 2024

Kejadian 3:9-15

Bacaan pertama kita dimulai dengan sebuah pertanyaan dari Tuhan kepada Adam, “Di manakah engkau?” Namun, ini adalah pertanyaan yang aneh. Bukankah Tuhan seharusnya mengetahui di mana Adam berada? Apakah ini menunjukkan ‘ketidaktahuan Tuhan’, atau ada sesuatu yang lebih dalam dari pertanyaan tersebut?

Pertama, kita harus menyadari bahwa bahasa pasal-pasal awal kitab Kejadian jauh berbeda dengan bagian Alkitab lainnya. Gereja mengajarkan, “kisah kejatuhan dalam Kejadian 3 menggunakan bahasa kiasan tetapi menegaskan sebuah peristiwa purba, sebuah perbuatan yang terjadi pada awal sejarah manusia (KGK 390).” Para ahli Kitab Suci sepakat bahwa penulis kitab suci menggunakan ‘bahasa antropomorfis’, yaitu Allah digambarkan bertindak dan berperilaku seperti manusia pada bab ini. Dengan demikian, Allah digambarkan sebagai seseorang yang berjalan-jalan di taman dan tiba-tiba menyadari ketidakhadiran Adam dan Hawa.

Beranjak dari ‘bahasa antropomorfis’, pertanyaan Tuhan kepada Adam sebenarnya bukanlah tentang lokasi geografis. Allah pasti tahu persis di mana Adam berada. Toh, tidak ada yang bisa disembunyikan dari-Nya. Tuhan tidak menanyakan posisi geografis Adam, melainkan hubungan pribadi Adam dengan Tuhan. “Di manakah engkau dalam hubungan dengan-Ku? Apakah engkau bersama-Ku atau melawan-Ku? Apakah engkau berada di pihak-Ku atau di pihak ular itu?”

Adam menjawab, “Aku takut.”  Hubungan primitif antara Allah dan manusia sebenarnya didasarkan pada kasih dan rasa hormat yang sejati. Namun, setelah dosa, rasa takut mendominasi. Adam tidak lagi melihat Allah sebagai Bapa yang penuh kasih, tetapi sebagai hakim yang penuh dendam. Oleh karena itu, dia melarikan diri dan menyembunyikan diri karena dia sepenuhnya sadar akan penghakiman yang menunggunya. Dia telanjang di hadapan Tuhan karena dia menyadari bahwa tanpa Tuhan, dia bukan apa-apa.

Tuhan kemudian bertanya, “Apakah engkau memakan buah pohon itu?” Tentunya, Tuhan tahu Adam telah melanggar hukum-Nya, tetapi Tuhan mengungkapkan fakta tersebut dalam sebuah pertanyaan retoris karena Tuhan ingin mendengarkan pengakuan Adam. Sayangnya, bukannya mengakui dan meminta maaf, Adam malah menyalahkan sang perempuan. Namun, jika dilihat lebih dekat, Adam tidak benar-benar menyalahkan sang perempuan, “Perempuan yang Engkau berikan kepadaku, dialah yang memberikan buah itu kepadaku.” Secara tidak langsung, Adam sebenarnya menyalahkan Tuhan! Sungguh keterlaluan! Adam pantas menerima kematian saat itu juga! Namun, apakah dia langsung mati? Tidak! Allah mengizinkan Adam untuk terus hidup dan juga menunjukkan Adam bahwa penolakan Adam terhadap kasih Allah telah membawanya kepada kesulitan dan penderitaan yang tidak perlu.

Apa yang akan terjadi jika Adam mengakui dosanya dan memohon ampun kepada Allah? Mungkin Adam dan keturunannya akan hidup di dunia yang lebih baik. Namun, Adam terlalu angkuh untuk memohon pengampunan, dan dia dan keturunannya (kita) harus berjalan melalui lembah duka sampai kedatangan Yesus Kristus.

Tentu saja, tidak ada gunanya menyalahkan Adam atas kondisi kita, tetapi kita selalu bisa belajar dari kisah purba ini. Dosa adalah hal yang memisahkan kita dari Tuhan dan mengubah hubungan kasih kita menjadi mimpi buruk. Entah kita melihat diri kita sebagai budak yang melakukan sesuatu karena takut dihukum, atau seorang pemberontak yang terus melawan dan melanggar hukum. Namun, sering kali, seperti Adam, kita terlalu arogan untuk mengakui dosa kita dan bahkan menyalahkan orang lain, situasi, dan, pada akhirnya, Tuhan. Namun, kabar gembiranya adalah kita semakin belajar siapa Allah kita. Dia bukanlah Tuhan pendendam yang langsung melenyapkan Adam, melainkan seorang ayah yang penuh kasih yang dengan sabar mendidik anaknya yang keras kepala. Dia bukanlah Tuhan yang kejam yang akan menghukum sesuka hatinya, melainkan Tuhan yang penuh belas kasihan yang menginginkan anak-anak-Nya yang tersesat untuk kembali kepada-Nya melalui kedatangan Putra-Nya.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Our Worship in the Eucharist

Solemnity of Corpus Christi [B]

June 2, 2024

Mark 14:12-16, 22-26

We are celebrating the solemnity of Corpus Christi, or the Body and Blood of Jesus Christ. Through this feast, the Church reminds us of the infinite value of the Eucharist. St. John Paul II once wrote, “The Eucharist, as Christ’s saving presence in the community of the faithful and its spiritual food, is the most precious possession which the Church can have in her journey through history.” (Ecclesia de Eucharistia, 9). In this reflection, I invite everyone to appreciate this most precious gift; hopefully, we may be more worthy of receiving the Eucharist, and be transformed.

Many of us have been going to the Eucharist for years and even decades. Still, unfortunately, instead of growing in respect and appreciation, some of us are losing true devotion and even becoming disrespectful towards the Eucharist. We skip the Sunday masses without valid reasons. We think it is enough to attend the Mass during Easter and Christmas. We are late to participate in the mass with proper justification. We are busy and distracted with many things in the Eucharist and look for any opportunity to use our gadgets. Some no longer bother to attend the Mass and no longer consider it something meaningful. Some of us still receive the holy Communion in unworthy conditions.

However, these improper things are done not only by the lay people, but also us, the priests. Some offer the Eucharist in inappropriate manners. On one extreme, some treat the Mass just like a performance or theatre; thus, we act excessively, break the rites to entertain the people and seek ovation. On another extreme, some of us are just too lazy to celebrate the Holy Mass; thus, we unjustifiably come late or do not prepare the homily and for the celebration itself. These are abuses, plain and simple. This is grave because these misconducts may cause the sheep to stray away, and the shepherds are responsible for this loss of souls.

Indeed, there are many reasons, but instead of blaming each other, I would like to focus on one thing. We need to recognize and appreciate what the Eucharist is. In most straightforward words, the Eucharist is Jesus Christ Himself. To celebrate worthily, the Eucharist means to offer our due worship to Jesus Christ, the true God. To receive communion is to receive Jesus Himself. The Eucharist is primarily about God, not us and how we get entertained. Therefore, the way we honor (or dishonor) God in the Eucharist will significantly affect our salvation. Indeed, the Eucharist is necessary for our salvation precisely because the Eucharist is about God, who loves us and wants us to be holy like He is holy.

The good news is that we are still on time. We can apply the principle “lex orandi, est lex credendi, est lex vivendi.” (literally, the law of praying is the law of believing, is the law of living). This means how we pray and worship will shape our beliefs, and in turn, our beliefs will form our lives. If we faithfully follow the right ways of worship, with the right intentions and disposition, the right gestures and actions, and with an effort to avoid distractions, we deepen our faith in God. Then, as we have deep faith in God, we will live in ways that will please the Lord.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kita dan Ekaristi

Hari Raya Corpus Christi [B]

2 Juni 2024

Markus 14:12-16, 22-26

Hari ini, kita merayakan hari raya Corpus Christi, atau hari raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Melalui perayaan ini, Gereja mengingatkan kita akan nilai Ekaristi yang tanpa batas. Santo Yohanes Paulus II pernah menulis, “Ekaristi, sebagai kehadiran Kristus yang menyelamatkan dalam komunitas umat beriman dan makanan rohaninya, merupakan harta paling berharga yang dapat dimiliki Gereja dalam perjalanannya melalui sejarah.” (Ecclesia de Eucharistia, 9). Dalam refleksi ini, saya mengundang semua untuk menghargai berkat yang paling berharga ini; semoga kita menjadi lebih layak untuk menerima Ekaristi, dan juga menjadi lebih kudus karenanya.

Banyak dari kita yang telah menghadiri Ekaristi selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Namun, sayangnya, alih-alih bertumbuh dalam rasa hormat dan devosi, beberapa dari kita kehilangan devosi yang sejati dan bahkan menjadi tidak hormat terhadap Ekaristi. Kita melewatkan misa-misa hari Minggu tanpa alasan yang sah. Kita merasa cukup menghadiri misa pada saat Paskah dan Natal saja. Kita terlambat mengikuti misa dengan alasan yang tidak tepat. Kita sibuk dan terganggu dengan banyak hal dalam Ekaristi dan mencari kesempatan untuk menggunakan gadget kita. Beberapa orang tidak lagi mau repot-repot menghadiri Misa dan tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti. Beberapa dari kita masih menerima Komuni Kudus dalam kondisi yang tidak layak.

Namun, hal-hal yang tidak pantas ini tidak hanya dilakukan oleh umat awam, tetapi juga oleh kami, para imam. Beberapa mempersembahkan Ekaristi dengan cara-cara yang tidak pantas. Di satu sisi, ada yang memperlakukan Misa seperti sebuah pertunjukan atau teater; dengan demikian, kami bertindak berlebihan, melanggar ritus (tata ibadat yang benar) hanya untuk menghibur umat dan mencari tepuk tangan. Di sisi lain, beberapa dari kami terlalu malas untuk merayakan Misa Kudus; oleh karena itu, kita secara tidak adil datang terlambat atau tidak mempersiapkan homili dan bahkan mempersembahkan misa secara ugal-ugalan. Ini adalah pelanggaran! Ini sangat serius karena pelanggaran-pelanggaran ini dapat menyebabkan domba-domba tersesat, dan para gembala bertanggung jawab atas hilangnya jiwa-jiwa ini.

Memang, ada banyak alasan, tetapi alih-alih saling menyalahkan, saya ingin fokus pada satu hal. Kita perlu mengenali dan menghargai apa itu Ekaristi. Dengan kata-kata yang paling sederhana, Ekaristi adalah Yesus Kristus sendiri. Menerima komuni berarti menerima Yesus sendiri. Ekaristi terutama adalah tentang Allah, bukan tentang kita dan bagaimana kita dihibur. Oleh karena itu, cara kita menghormati (atau menghina) Allah dalam Ekaristi akan secara signifikan memengaruhi keselamatan kita. Memang, Ekaristi diperlukan untuk keselamatan kita justru karena Ekaristi adalah tentang Allah, yang mengasihi kita dan ingin kita menjadi kudus seperti Dia yang kudus.

Kabar baiknya adalah kita masih memiliki waktu untuk bertobat. Kita dapat menerapkan prinsip “lex orandi, est lex credendi, est lex vivendi.” (secara harfiah, hukum berdoa adalah hukum percaya, adalah hukum hidup). Ini berarti cara kita berdoa dan beribadah akan membentuk kepercayaan kita, dan pada gilirannya, kepercayaan kita akan membentuk hidup kita. Jika kita dengan setia mengikuti cara-cara beribadah yang benar, dengan niat dan disposisi batin yang benar, gerakan dan tindakan yang benar, dan dengan upaya untuk menghindari gangguan, kita memperdalam iman kita kepada Tuhan. Kemudian, saat kita memiliki iman yang dalam kepada Tuhan, kita akan hidup dengan cara-cara yang berkenan pada Tuhan. Semakin kita beribadah dengan benar, semakin dalam iman kita. Begitu juga sebaliknya, semakin kita beribadah dengan salah, semakin dangkal iman kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP