Understanding the Purity Law

22nd Sunday in Ordinary Time [B]

September 1, 2024

Mark 7:1-8, 14-15, 21-23

The Pharisees criticized Jesus and His disciples for not washing their hands before meals. This criticism was not from genuine concern for their hygiene but rather to judge Jesus’s observance of the purity law, primarily based on the elders’ interpretations. Yet, what is the purity law? Why is it so important for the Pharisees? Then, why did Jesus choose not to observe it?

Though not strictly about morality, the purity law is integral to the Torah. The purity laws determine whether a Jew is ritually clean or unclean. When Jews are ‘pure,’ they would be allowed to enter the Temple premises in Jerusalem and then to offer sacrifice. When they can offer sacrifice, they worship the Lord God and receive blessings like the forgiveness of sins and communion with God and fellow Jews. A Jew can become impure through physical contact with various things like dead bodies, bodily discharges (menstrual blood, male semen), certain animals (pigs, camels, certain insects, etc) and skin illness (leprosy). If they are impure, they need to perform ritual cleansing, typically by washing themselves with water. Thus, the purity law intends to ensure that they enter the holy place worthily.

However, in the time of Jesus, the purity laws extended beyond the Temple and even governed their daily lives. Purity laws became their identity marker, which made them different from other nations. Thus, the Jews needed to be clean most of the time, even if they were far from the Temple, and the one group that promoted this rigorously was the Pharisees. The purity laws also expanded beyond the Torah as the respected teachers and the rabies added their interpretations. The purity law became a complex and tedious system that strangled simple people rather than help them be worthy of the Temple, the dwelling place of the Lord.

Jesus recognized the true intention of the purity law, and thus, Jesus did not follow the excesses imposed by the Pharisees. However, Jesus did not only challenge the excessive teachings of the Pharisees, He also declared that the purity law has served its purpose. If the purpose of the purity laws is to guard unworthy people entering the Temple because it is the Lord’s holy place, but now Jesus, the Lord made flesh, is walking around. He touched the lepers and made it cleaned. He was touched by the woman with the flow of blood, which made her pure. Finally, Jesus would die on the cross, and His body would be the source of impurity, and yet, He resurrected, and His body became the source of holiness.

Jesus is the Emmanuel, the Lord with us. There is no need for the purity law. Yet, Jesus also teaches us firmly that though we no longer are bound by the purity law, to sin or to be separated from God remains our choice to make. Now, every second of our lives, every place we go, and everything we do is either the opportunity to be with Jesus or to be far from Him.

Surabaya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Questions for reflection:

Do we recognize God’s presence in our lives? Where and when do we realize God’s presence in our lives? Are we aware that God is with us? Are we aware that every choice is an opportunity to glorify Him? Do we box God only in the Church or in prayer times? Are we aware that sins make us defile and far from God? Do we know that we cannot receive the holy communion when we persist in our grave sins? Do I go to confession regularly?

Memahami Hukum Tahir-Najis

Hari Minggu ke-22 dalam Masa Biasa [B]

1 September 2024

Markus 7:1-8, 14-15, 21-23

Orang-orang Farisi mengkritik Yesus dan murid-murid-Nya karena tidak membasuh tangan sebelum makan. Kritik ini bukan berasal dari kepedulian mereka terhadap higenitas, melainkan untuk menghakimi ketaatan Yesus pada hukum tahir-najis, terutama berdasarkan tradisi para tua-tua. Namun, apakah hukum tahir-najis itu? Mengapa hal itu begitu penting bagi orang Farisi? Lalu, mengapa Yesus memilih untuk tidak mematuhinya?

Meskipun tidak sepenuhnya tentang moralitas (tentang tindakan yang baik atau salah), hukum tahir-najis merupakan bagian integral dari Taurat. Hukum tahir-najis menentukan apakah seorang Yahudi secara ritual bersih (tahir) atau kotor (najis). Artinya, ketika orang Yahudi tahir, mereka akan diizinkan untuk memasuki area Bait Allah di Yerusalem dan kemudian mempersembahkan kurban. Ketika mereka dapat mempersembahkan kurban, mereka menyembah Tuhan Allah dan menerima berkat-berkat seperti pengampunan dosa dan persekutuan dengan Tuhan dan sesama orang Yahudi. Seorang Yahudi dapat menjadi najis melalui kontak fisik dengan berbagai hal seperti mayat, cairan tubuh (darah menstruasi, air mani pria), hewan tertentu (babi, unta, serangga tertentu, dll) dan penyakit kulit (kusta). Jika mereka menjadi najis, mereka harus melakukan ritual pemurnian, biasanya dengan membasuh diri dengan air. Dengan demikian, hukum tahir-najis bermaksud untuk memastikan bahwa mereka dapat memasuki tempat kudus dengan layak.

Namun, pada zaman Yesus, hukum tahir-najis meluas hingga ke luar Bait Allah dan bahkan mengatur kehidupan sehari-hari mereka. Hukum tahir-najis menjadi penanda identitas bangsa Yahudi, yang membuat mereka berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, orang Yahudi harus selalu tahir, bahkan ketika mereka berada jauh dari Bait Allah, dan satu kelompok yang paling ketat menerapkannya adalah orang Farisi. Hukum tahir-najis juga berkembang dan menjadi kompleks karena para guru atau para rabbi menambahkan interpretasi mereka. Hukum tahir-najis menjadi sebuah sistem yang rumit yang mencekik orang-orang sederhana dan bukannya membantu mereka untuk menjadi layak bagi Bait Allah, tempat kediaman Tuhan.

Yesus menyadari tujuan sebenarnya dari hukum tahir-najis, dan dengan demikian, Yesus tidak mengikuti ekses yang dipaksakan oleh orang-orang Farisi. Namun, Yesus tidak hanya menentang ajaran orang Farisi yang berlebihan, Dia juga menyatakan bahwa hukum tahir-najis telah mencapai tujuannya. Jika tujuan dari hukum tahir-najis adalah untuk menjaga orang-orang yang tidak layak memasuki Bait Allah karena Bait Allah adalah tempat kudus Tuhan, tetapi sekarang, Yesus, Tuhan yang telah menjadi manusia, tidak lagi berada di Bait Allah, tetapi di tengah-tengah umat-Nya. Dia menyentuh orang kusta dan membuatnya menjadi tahir. Dia menjamah perempuan dengan pendarahan dan membuatnya menjadi tahir. Akhirnya, Yesus akan mati di kayu salib, dan tubuh-Nya akan menjadi sumber kenajisan, namun Dia bangkit, dan tubuh-Nya menjadi sumber kekudusan.

Yesus adalah Imanuel, Tuhan beserta kita. Tidak ada lagi hukum tahir-najis. Namun, Yesus juga mengajarkan dengan tegas bahwa meskipun kita tidak lagi terikat oleh hukum tahir-najis, berbuat dosa atau terpisah dari Allah tetap menjadi pilihan kita. Sekarang, setiap detik dalam hidup kita, setiap tempat yang kita datangi, dan semua yang kita lakukan adalah kesempatan untuk bersama dengan Yesus atau jauh dari-Nya.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:

Apakah kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita? Di mana dan kapan kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita? Apakah kita sadar bahwa Tuhan menyertai kita? Apakah kita sadar bahwa setiap pilihan adalah kesempatan untuk memuliakan Dia? Apakah kita mengotak-kotakkan Tuhan hanya di Gereja atau di waktu-waktu doa? Apakah kita sadar bahwa dosa-dosa membuat kita najis dan jauh dari Allah? Apakah kita tahu bahwa kita tidak dapat menerima perjamuan kudus ketika kita bertahan dalam dosa-dosa berat kita? Apakah saya pergi ke pengakuan dosa secara teratur?

Be Subordinate to Your Husband(?)

21st Sunday in Ordinary Time [B]

August 25, 2024

Ephesus 5:21-32

In his letter to the Ephesians, St. Paul instructed wives to be subordinate to their husbands, not only in matters of economics or raising children but in everything. St. Paul’s teaching seems wrong and even sexist to modern readers. Are not women and men equal? Why did wives have to obey men in everything? Are the women mere slaves of their husbands?

Firstly, we need to know Paul’s historical context. At this time, women were indeed considered not equal to men. Save for some exceptional females, women were treated as the property of men. While men were working outside, women stayed at home. Wives were to take care of the house, give birth to the children, and raise them. Generally, women had no right to inheritance and no political rights. It was just a bad time for women to live.

Paul recognized this situation and challenged it. How? He wrote the letter addressed to wives! Women did not receive letters, and if they did, the letter must be addressed to their husbands. By this simple act alone, Paul not only challenged the cultural mentality of his time but also affirmed God’s original purpose. “So God created man in his own image, in the image of God he created him; male and female he created them (Gen 1:27).” Both men and women were created in God’s image and, thus, share the same dignity as God’s children.

Yet, Paul also acknowledged that though men and women are equal in dignity, they have different roles and functions. Biologically, men are physically stronger and, thus, are responsible for protecting and providing. In comparison, women possess the character to give and nurture life. Both men and women are complementary to each other. At the same time, this mutual relationship creates a community, marriage and family. Like other groups or communities, marriage presupposes order and hierarchy to function properly. St. Paul’s word ‘subordinating’ finds its true meaning in this understanding. To be subordinated means to be under the proper order. Thus, St. Paul began with a statement to both husband and wife, “Be subordinate to one another out of reverence for Christ!” because both must be under proper order.

Here comes Paul’s unique contribution. Husband and wife are like a relationship between Jesus and the Church, His bride. Like Jesus, husbands are the heads and figures of authority. Yet, Paul also reminded us that the order that governs Jesus and His Church is love. So also, the authority given to men is to love their women. Men love their wives to the point of dying, and only with dying can they lead their wives in holiness. Without dying, men’s authority turns to a reign of terror, and women are rebelling. Marriage becomes unhappy and even collapses. Only when men and women are subjecting themselves to the order of love will they reach the purpose of marriage, which is a way of holiness.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

For husbands: how do you love your wife? Will you die for your wife? To what do you die? Pride, anger, selfishness? Do you hurt your wife? Do you apologize to your wife when you do something wrong? Do you lead your wife to holiness? How do you lead your wife into holiness? Are you a good head/leader of the family?

For wives: how do you love your husbands? Do you obey your husband? Do you help him to be a good husband and father? How do you help your husband in living in holiness? Do you hurt your husband (and how)?

Tunduklah pada Suamimu (?)

Hari Minggu ke-21 dalam Waktu Biasa [B]
25 Agustus 2024
Efesus 5:21-32

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Santo Paulus memerintahkan para istri untuk tunduk pada suami mereka, tidak hanya dalam hal ekonomi atau membesarkan anak tetapi dalam segala hal. Ajaran Santo Paulus ini tampak ketinggalan zaman, tidak relevan lagi dan bahkan salah. Bukankah perempuan dan laki-laki itu setara? Mengapa para istri harus taat kepada suami dalam segala hal? Apakah para wanita hanyalah budak dari suami mereka?

Pertama, kita perlu mengetahui konteks historis dari Paulus. Pada masa itu, wanita memang dianggap tidak setara dengan pria. Kecuali beberapa perempuan yang luar biasa, perempuan diperlakukan sebagai milik laki-laki. Sementara pria bekerja di luar, wanita tinggal di rumah. Para istri harus mengurus rumah, melahirkan anak, dan membesarkan mereka. Umumnya, perempuan tidak memiliki hak atas warisan, apalagi memiliki hak politik. Itu adalah waktu yang buruk bagi perempuan untuk hidup.

Paulus menyadari situasi ini dan menantangnya. Bagaimana? Dia menulis surat yang tidak hanya ditujukan kepada suami, tetapi juga ditujukan kepada para istri! Pada waktu itu, wanita tidak menerima surat, dan jika mereka menerima surat, surat itu harus melalui suami mereka. Dengan tindakan sederhana ini, Paulus tidak hanya menantang mentalitas budaya pada masa itu`, tetapi juga menegaskan tujuan awal Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut citra-Nya, menurut citra Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27).” Baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut citra Allah, dan dengan demikian, memiliki martabat yang sama sebagai anak-anak Allah.

Namun, Paulus juga mengakui bahwa meskipun pria dan wanita memiliki martabat yang sama, mereka memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Secara biologis, pria secara fisik lebih kuat dan, dengan demikian, bertanggung jawab untuk melindungi dan menafkahi. Sebagai perbandingan, perempuan memiliki karakter untuk memberi dan memelihara kehidupan. Baik pria maupun wanita saling melengkapi satu sama lain. Pada saat yang sama, hubungan timbal balik ini menciptakan sebuah komunitas kecil bernama pernikahan, dan keluarga. Dan, seperti kelompok atau komunitas lainnya, pernikahan mengandaikan adanya tatanan dan hirarki agar dapat berfungsi dengan baik. Kata ‘tunduk’ yang digunakan oleh Santo Paulus dalam bahasa Yunani adalah ‘ὑποτάσσω (hupotasso)’ yang secara harafiah berarti ‘di bawah pada sebuah tatanan’. Oleh karena itu, ‘tunduk’ berarti berada di bawah tatanan yang tepat. Tidak heran jika Santo Paulus memulai dengan sebuah perintah kepada suami dan istri, “Hendaklah kamu tunduk yang satu kepada yang lain sebagai tanda hormatmu kepada Kristus!” karena keduanya, suami dan istri, harus berada di bawah tatanan yang benar. Namun, tatanan macam apa?

Di sinilah kontribusi unik Paulus. Suami dan istri adalah seperti hubungan antara Yesus dan Gereja, mempelai-Nya. Seperti Yesus, suami adalah kepala dan figur otoritas. Namun, Paulus juga mengingatkan kita bahwa tatanan yang mengatur Yesus dan Gereja-Nya adalah kasih. Demikian juga, otoritas yang diberikan kepada para pria adalah untuk mengasihi istri mereka. Pria mengasihi istri mereka sampai mati, dan hanya dengan kematian mereka dapat memimpin istri mereka dalam kekudusan. Tanpa mati terhadap diri mereka sendiri, otoritas pria berubah menjadi tatanan yang penuh teror, dan wanita akan memberontak. Pernikahan menjadi tidak bahagia dan bahkan runtuh. Hanya ketika pria dan wanita menundukkan diri mereka pada tatanan kasih, mereka akan mencapai tujuan pernikahan, yaitu kekudusan.

Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk direnungkan:
Untuk para suami: bagaimana Engkau mengasihi istrimu? Apakah Engkau rela mati untuk istrimu? Siap mati untuk Kesombongan, kemarahan, keegoisan? Apakah pernah Engkau menyakiti istrimu? Apakah Engkau meminta maaf kepada istrimu ketika Engkau melakukan kesalahan? Apakah Engkau memimpin istrimu ke dalam kekudusan? Bagaimana Engkau memimpin istrimu ke dalam kekudusan? Apakah Engkau seorang kepala/pemimpin keluarga yang baik?

Untuk para istri: bagaimana Engkau mengasihi suamimu? Apakah Engkau menaati suamimu? Apakah Engkau menolong suamimu untuk menjadi suami dan ayah yang baik? Bagaimana Engkau menolong suamimu untuk hidup dalam kekudusan? Apakah Engkau pernah menyakiti hati suamimu?

Why Mary was Assumed into Heaven?

The Assumption of the Blessed Virgin Mary

August 15, 2024 [B]

Luke 1:39-56

Today, the Church is celebrating the great feast of the Assumption of our Blessed Virgin Mary. Through this celebration, the Church reminds us that Mary, the mother of our Lord, when the course of her life ended, was assumed both her soul and body into the heavenly glory. Yet, a question may arise: why did Mary have to go up into heaven with her soul and body immediately after her death, while the rest of us must wait until the final judgment? Is it unfair?

The reason is love. St. Thomas Aquinas teaches that love seeks the union with the beloved (see ST. I.II. q.28 a.1). In a simple way, when we love someone, we wish that we are always close to that person, and we are closer, we can have more opportunity to love. The more we love the more we are united, the more we are united, the more we love. A good example would be loving parents. They always desire to be close to their children because they can love them even more by protecting, providing, and educating them.

So also, those who love God seek to be with and please God. When we initially love God, we begin spending time in prayer and attending the Eucharist every Sunday. We start reading the Bible and learning about our faith. Yet, as we grow in love, we spend more time with the Lord, in prayers, hear the Mass more often, and are involved in ministries and community. However, we realize also that our unity with God is not perfect in this world. We need to work or go to school. We need to take care of our family. We need to attend to endless worldly affairs. Our hearts and love are divided.

However, one person loves God totally and undividedly, even in this world. She is Mary. Her life is wholly dedicated to loving Jesus, even from before His birth to the very end, the cross. She is never separated from Jesus in her life on earth. And thus, when she passed from this earth, her immense love, perfected by God’s grace, drew not only her soul but also her body into that union with God.

Mary’s assumption teaches us that union with God in heaven begins with our love here on earth. The more we love God here on earth, the easier we are drawn to heaven. Yet, how do we love God more if we also must take care of earthly matters? Indeed, we cannot pray all the time, but we can always please God by doing good and avoiding sins in everything we do. Through good moral life, we are united with God even daily. Though we are not always aware of God every second, we know that our lives and actions are oriented to God.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

What do you have in mind when you hear the Assumption of Mary? What do you understand about this Marian dogma? What are the other three Marian dogmas? Do you have any special relationship with Mary? How do you see her?

How do you love God? How intense is your love for God? How do you improve your love for God? Do you pray often? How do you pray? Do you live a good moral life? Do you please God in your daily actions? Are you aware of God’s laws? Is there any sin that you are struggling with now?

Kenapa Maria Diangkat ke Surga?

Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga

15 Agustus 2024 [B]

Lukas 1:39-56

Hari ini Gereja merayakan hari raya Maria Diangkat ke Surga. Melalui perayaan ini, Gereja mengingatkan kita bahwa Maria, bunda Tuhan kita, ketika perjalanan hidupnya berakhir di bumi, jiwa dan raganya diangkat ke dalam kemuliaan surgawi. Namun, sebuah pertanyaan mungkin muncul: mengapa Maria harus naik ke surga dengan jiwa dan raganya segera setelah kematiannya, sementara kita semua, harus menunggu sampai penghakiman terakhir? Bukankah ini sedikit tidak adil?

Alasannya adalah kasih. Santo Thomas Aquinas mengajarkan bahwa kasih mencari persatuan dengan yang dikasihi (lihat ST. I.II. q.28 a.1). Secara sederhana, ketika kita mengasihi seseorang, kita berharap agar kita selalu dekat dengan orang tersebut, dan dengan menjadi dekat, kita dapat memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengasihi. Semakin kita mengasihi, semakin kita dipersatukan, dan semakin kita dipersatukan, semakin kita mengasihi. Contoh yang baik adalah orang tua yang baik. Mereka selalu ingin dekat dengan anak-anak mereka karena dengan dekat, mereka dapat lebih mengasihi anak-anak mereka dengan cara melindungi, menyediakan, dan mendidik anak-anak mereka.

Demikian juga, mereka yang mengasihi Allah berusaha untuk bersama dengan Allah. Ketika kita mulai mengasihi Allah, kita mulai meluangkan waktu untuk berdoa dan menghadiri Ekaristi setiap hari Minggu. Kita mulai membaca Alkitab dan belajar tentang iman kita. Ketika kita bertumbuh dalam kasih, kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan Tuhan, lebih banyak waktu dalam doa, lebih sering mendengarkan Misa, terlibat dalam pelayanan dan dalam komunitas. Namun, kita juga menyadari bahwa kesatuan kita dengan Tuhan tidaklah sempurna di dunia ini. Kita perlu bekerja atau bersekolah. Kita perlu mengurus keluarga kita. Kita perlu mengurus urusan duniawi yang tak ada habisnya. Hati dan kasih kita pun terbagi.

Namun, ada satu orang yang mengasihi Allah secara total dan tidak terbagi bahkan di dunia ini. Dia adalah Maria. Hidupnya sepenuhnya didedikasikan untuk mengasihi Yesus, bahkan sejak sebelum kelahiran-Nya hingga akhir hayat-Nya di kayu salib. Dia tidak pernah terpisah dari Yesus dalam kehidupannya di dunia. Dan dengan demikian, ketika ia meninggal dunia, kasihnya yang luar biasa, yang disempurnakan oleh rahmat Allah, tidak hanya menarik jiwanya tetapi juga tubuhnya ke dalam persatuan dengan Allah.

Diangkatnya Maria ke surga mengajarkan kepada kita bahwa persatuan dengan Allah di surga dimulai dengan kasih kita di bumi. Semakin kita mengasihi Allah di bumi ini, semakin mudah kita ditarik ke surga. Namun, bagaimana kita dapat mengasihi Allah lebih dalam jika kita juga harus mengurus hal-hal duniawi? Memang, kita tidak dapat berdoa setiap saat, tetapi kita dapat selalu menyenangkan hati Allah dengan berbuat baik dan menghindari dosa dalam segala hal yang kita lakukan. Kita juga dapat mengasihi Allah melalui kasih terhadap sesama. Melalui kehidupan moral yang baik, kita dipersatukan dengan Tuhan bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kita tidak selalu sadar akan Tuhan setiap saat, kita tahu bahwa hidup dan tindakan kita berorientasi pada Tuhan.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Apa yang ada di benak Saya ketika Saya mendengar Maria Diangkat ke Surga? Apa yang Saya pahami tentang dogma Maria ini? Apakah tiga dogma Maria yang lain? Apakah Saya memiliki hubungan khusus dengan Maria?

Bagaimanakah Saya mengasihi Allah? Seberapa kuatkah kasih Saya kepada Allah? Bagaimana Saya meningkatkan kasih Saya kepada Allah? Apakah Saya sering berdoa? Bagaimana cara Saya berdoa? Apakah Saya menjalani kehidupan moral yang baik? Apakah Saya menyenangkan hati Allah dalam tindakan Saya sehari-hari? Apakah Saya mengetahui hukum-hukum Allah? Apakah ada dosa yang sedang Saya hadapi sekarang?

Beyond Track Records

19th Sunday in Ordinary Time [B]

August 11, 2024

John 6:41-51

One of the ways to evaluate somebody is by looking at their track records. These records can be positive like their academic achievements, acquired skills, or excellent work experiences, but it can be also negative likes poor performances or engaged in unethical behaviour. Judging someone by their track records are natural and legitimate, but when we treat these tract records as the absolute measure, we may destroy somebody else’s life and future. This what

The reason why many Jews rejected Jesus was not only because His claim that He was the bread of life was outrageous, but also because He was a son of poor carpenter. Certainly, many were struggling with the truth of consuming Jesus’ flesh, some Jews recognized Jesus’ family background and came to believe that it was impossible for a poor carpenter from insignificant village Nazareth to tell the truth.  

However, it is only half of the story. Before Jesus made any stunning claim, Jesus proved Himself to be credible as He performed an extraordinary miracle, feeding more than five thousand people. Yet, some people readily forget that sign because they were not able to abandon their prejudices and surpass their religious preconceptions. Thus, they judged Jesus as either liar or lunatic.

While it is true that track records can speak volumes, it does not mean that a person cannot change. If someone is poor economically, does not mean that he will stay poor forever. We have a lot of stories of billionaires who started from zero, even below zero. J.K. Rowling, Jan Koum, and Steve Jobs to mention few. This truth is even more evident in the life of faith. Sinners and even Christ’s enemies that were touched by the grace and love of God transformed into saints. We have St. Paul who used to persecute early Christians, St. Augustine who used to live sins, and Bl. Bartolo Longo who used to be a satanic priest.

This gives us an important lesson that there is nothing impossible for God, and for those who are open to the grace and love of God. When we deal with difficult persons in our families or communities, do we immediately judge them to be hopeless case, or do we exert more effort to help, listen or at least to pray for them? When we see someone fall into sins, do we condemn them or do we spend more time to correct them, or at least pray for their conversion? When we see ourselves as unworthy of God, do we succumb into despair, or do we pray harder and beg for God’s mercy?

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Melampaui Rekam Jejak

Minggu ke-19 dalam Masa Biasa [B]

11 Agustus 2024

Yohanes 6:41-51

Salah satu cara untuk menilai seseorang adalah dengan melihat rekam jejaknya. Rekam jejak ini bisa sesuatu yang positif seperti prestasi akademis, keterampilan yang dimiliki, atau pengalaman kerja yang baik, tetapi bisa juga negatif seperti kinerja yang buruk atau terlibat dalam perilaku yang tidak etis. Menilai seseorang dari rekam jejaknya adalah hal yang wajar dan sah-sah saja, namun ketika kita memperlakukan rekam jejak ini sebagai ukuran absolut, kita bisa menghancurkan hidup dan masa depan orang lain. Inilah yang juga yang dialami oleh Yesus.

Alasan mengapa banyak orang Yahudi menolak Yesus bukan hanya karena klaim-Nya bahwa Dia adalah roti hidup yang sulit diterima oleh akal budi, tetapi juga karena Dia adalah anak seorang tukang kayu yang miskin. Tentu saja, banyak yang bergumul dengan kebenaran tentang memakan daging Yesus, namun beberapa orang Yahudi mengenali latar belakang keluarga Yesus dan percaya bahwa mustahil bagi seorang tukang kayu miskin dari desa kecil di Nazaret untuk mengatakan hal-hal tersebut. 

Namun, ini hanyalah separuh dari cerita. Sebelum Yesus membuat klaim yang menakjubkan ini, Yesus membuktikan bahwa diri-Nya dapat dipercaya dengan melakukan mukjizat yang luar biasa, yaitu memberi makan lebih dari lima ribu orang. Namun, beberapa orang dengan mudah melupakan tanda itu karena mereka tidak dapat meninggalkan prasangka mereka dan menjadikan ‘rekam jejak’ Yesus yang terbatas sebagai satu-satunya alat ukur. Oleh karena itu, mereka menghakimi Yesus sebagai pembohong atau orang gila.

Meskipun benar bahwa rekam jejak dapat berbicara banyak, bukan berarti seseorang tidak dapat berubah. Jika seseorang miskin secara ekonomi, bukan berarti dia akan tetap miskin selamanya. Kita memiliki banyak kisah miliarder yang memulai dari nol. Sebut saja JK Rowling, Jan Koum, dan Steve Jobs. Kebenaran ini bahkan lebih nyata lagi dalam kehidupan iman. Orang-orang berdosa dan bahkan musuh-musuh Kristus yang tersentuh oleh rahmat dan kasih Allah berubah menjadi orang-orang kudus. Kita memiliki Santo Paulus yang dulunya menganiaya Gereja perdana, Santo Agustinus yang dulunya hidup dalam dosa, dan Beato Bartolo Longo yang dulunya adalah seorang pendeta setan.

Hal ini memberi kita pelajaran penting bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, dan bagi mereka yang terbuka pada rahmat dan kasih Tuhan. Ketika kita menghadapi orang-orang yang sulit dalam keluarga atau komunitas kita, apakah kita langsung menghakimi mereka sebagai orang yang tidak memiliki harapan, atau apakah kita mengerahkan lebih banyak usaha untuk membantu, mendengarkan atau setidaknya berdoa untuk mereka? Ketika kita melihat seseorang jatuh ke dalam dosa, apakah kita mengutuk mereka atau kita meluangkan lebih banyak waktu untuk mengoreksi mereka, atau setidaknya mendoakan pertobatan mereka? Ketika kita melihat diri kita sendiri tidak layak di hadapan Allah, apakah kita menyerah dalam keputusasaan, atau apakah kita berdoa lebih keras dan memohon belas kasihan Allah?

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Two Breads that We Need

18thSunday in Ordinary Time [B]

August 4, 2024

John 6:24-35

We are created as creatures of body and soul. Thus, to survive and thrive, our body and soul must be nourished. Feeding our bodies is quickly done through bread or other physical foods. Yet, how do we nurture our souls? What kind of ‘food’ do we need to give to our soul so that it will not perish?

For us Catholics, the answer is obvious. The Body of Christ in the Eucharist is the bread of heaven that nourishes our souls. As Jesus Himself declared, “Very truly I tell you, unless you eat the flesh of the Son of Man and drink his blood, you have no life in you (John 6:53).”  However, the real challenge is that we are often tempted, just like people of Israel, to prioritize only the earthly bread. How many of us choose to skip Sunday Mass for work or leisure?

Another challenge is that we often confuse the true living bread with the worldly things that only satisfy our bodies. We tend to equate spiritual things with emotional things. After all, both come ‘from inside’, forgetting that emotional needs remain part of bodily constitutions. Thus, we thought we were spiritually nourished when we felt emotionally charged through different religious experiences. Admittedly, to attend the Mass and to receive the Holy Communion is not always an emotion-filled experience. Yes, some of us feel incredible sensations during the Eucharist, but many are enduring ‘dryness.’ The Mass does not seem to satisfy our deepest longing.  No wonder some begin looking for other options, places, or activities that give us more sensations. We are treating religious activities as no different from other emotionally satisfying events.

The last challenge is trading our spiritual food for our bodily needs. We seek Jesus so that He may satisfy our physical needs. We go to the Church and ask Jesus to heal our sickness, solve our financial problems, or resolve our family issues. Indeed, it is okay to bring our problems to the Lord. After all, He also takes care of us. But, sometimes, we become preoccupied with our problems and then forget the real purpose of the Eucharist, which is to feed our souls. It is like the Jewish people in the Gospel who wanted to make Jesus king because of their stomach and political needs and not for the divine bread.

So, how do we know that our soul is growing through the bread of life? The answer is charity. We know our grace is working in us when we can love more and sacrifice more. We become more patient with difficult people around us. We anticipate the needs of others. We continue to do good things even without recognition. Our souls can only grow and do great things when the bread of life constantly nourishes us.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dua Roti

Minggu ke-18 dalam Masa Biasa [B]

4 Agustus 2024

Yohanes 6:24-35

Kita diciptakan sebagai makhluk yang terdiri dari raga dan jiwa. Oleh karena itu, untuk bertahan hidup dan berkembang, tubuh dan jiwa kita harus diberi makan. Memberi makan tubuh kita dengan cepat dilakukan melalui roti, nasi atau makanan fisik lainnya. Namun, bagaimana kita memelihara jiwa kita? ‘Makanan’ seperti apa yang harus kita berikan kepada jiwa kita agar jiwa kita tidak binasa?

Bagi kita umat Katolik, jawabannya sudah jelas. Tubuh Kristus dalam Ekaristi adalah roti surga yang memelihara jiwa kita. Seperti yang dinyatakan oleh Yesus sendiri, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu (Yohanes 6:53).”  Namun, tantangan yang sebenarnya adalah bahwa kita sering tergoda, seperti halnya bangsa Israel, untuk memprioritaskan roti duniawi. Berapa banyak dari kita yang memilih untuk tidak ikut Misa Minggu untuk bekerja atau bersantai?

Tantangan lainnya adalah bahwa kita sering mencampuradukkan roti hidup yang sejati dengan roti duniawi. Kita cenderung menyamakan hal-hal rohani dengan hal-hal emosional. Kita lupa bahwa kebutuhan emosional tetap merupakan bagian dari konstitusi tubuh kita. Dengan demikian, kita mengira bahwa kita telah disentuh secara rohani ketika kita merasa terisi secara emosional melalui berbagai pengalaman keagamaan. Harus diakui, menghadiri Misa dan menerima Komuni kudus tidak selalu menjadi pengalaman yang penuh emosi. Ya, beberapa dari kita merasakan sensasi yang luar biasa selama Ekaristi, tetapi banyak dari kita yang mengalami ‘kekeringan’. Misa tampaknya tidak memuaskan kerinduan kita yang terdalam.  Tidak heran jika sebagian dari kita mulai mencari pilihan, tempat, atau kegiatan lain yang memberi kita lebih banyak sensasi. Kita memperlakukan kegiatan-kegiatan keagamaan tidak berbeda dengan acara-acara pemuas emosi lainnya.

Tantangan terakhir adalah menukar makanan rohani kita dengan kebutuhan jasmani kita. Kita mencari Yesus agar Dia dapat memenuhi kebutuhan jasmani kita. Kita pergi ke Gereja dan meminta Yesus untuk menyembuhkan penyakit kita, menyelesaikan masalah keuangan kita, atau menyelesaikan masalah keluarga kita. Memang, tidak apa-apa untuk membawa masalah kita kepada Tuhan. Bagaimanapun juga, Dia juga memelihara kita. Namun, terkadang, kita menjadi sibuk dengan masalah-masalah kita dan kemudian melupakan tujuan Ekaristi yang sesungguhnya, yaitu untuk memberi makan jiwa kita. Hal ini seperti orang-orang Yahudi dalam Injil yang ingin menjadikan Yesus sebagai raja karena kebutuhan perut dan politik mereka dan bukan karena roti ilahi.

Jadi, bagaimana kita tahu bahwa jiwa kita bertumbuh melalui roti kehidupan? Jawabannya adalah kasih. Kita tahu bahwa rahmat bekerja di dalam diri kita ketika kita dapat mengasihi lebih banyak dan berkorban lebih besar. Kita menjadi lebih sabar terhadap orang-orang yang sulit di sekitar kita. Kita mengantisipasi kebutuhan orang lain. Kita terus melakukan hal-hal yang baik bahkan tanpa dihargai. Jiwa kita hanya dapat bertumbuh dan melakukan hal-hal besar ketika roti kehidupan terus menerus memberi kita makan.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP