Advent: Are We Ready?

1st Sunday of Advent [C]

December 1, 2024

Luke 21:25–28, 34–36

The first Sunday of Advent marks the beginning of the new liturgical year of the Church. Advent, which means “the arrival,” is a time to prepare for the coming of Christ, both His first coming in Bethlehem, over 2000 years ago, and His second coming at the end of time. Basically, through this season, the Church teaches us to wait. Yet, how do we prepare ourselves to wait for Christ?

There are three key steps in this preparation:

First. Knowing who is coming. The most basic thing to prepare the arrival of someone is to know who they are. The preparation we make to welcome a close friend into our home is vastly different from the preparation to welcome a country’s president. The person coming will dictate overall planning, the resources needed, and the level of effort involved. The more important the person, the greater resources we commit. Advent reminds us that the one who is coming is Jesus! If Jesus is God, then all our lives, time, strength, and hearts are devoted to welcome Him.

Second. Knowing the reason of the coming. The nature of our preparations also depends on the reason of the visit. If a friend comes to borrow a book, we simply make the book available. But if a relative from another town is visiting for several days, we prepare the space for her stay, buy or cook necessary food, and ensure everything she may need. Advent teaches us that Jesus comes at the end of time to bring final judgement. He will be just both to the righteous and the wicked. Surely, we do not want to be numbered among evil-doers. So, our preparation is to become a righteous by faithfully doing what is pleasing to Him.

Third. Knowing the time of the coming. The timing of arrival also shapes our preparations. A mother who knows the expected date of her child’s birth can plan accordingly. Parents who are expecting the arrival of their daughter after study abroad, will go to the airport ahead of time, and perhaps bringing small, lovely gifts. However, Advent tells us a different story. While the Bible assures us that Jesus surely will come, it also makes clear that we are not to know when Jesus comes. Therefore, we must live as though Jesus is coming at any moment. Every second of our lives is an opportunity to make ourselves ready to stand before Him.

Advent season is rightly called as the time of expectation. Through this season, the Church teaches us how to expect Jesus’ coming in our lives.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

One crucial element in our preparation is the Eucharist. The Mass is often referred to as “Jesus’ third coming”.  Jesus is present sacramentally, and the way we approach the Mass is most likely how we will face Jesus in the final judgement. Do we receive Jesus worthily in the Eucharist? What kind spiritual preparation we do before we go the mass? Do we approach Jesus in the Eucharist with eagerness and devotion or do we feel lazy and uninspired?

Adven: Sudahkah Kita Siap?

Hari Minggu Pertama Masa Adven [C]

1 Desember 2024

Lukas 21:25-28, 34-36

Minggu pertama Adven menandai dimulainya tahun liturgi baru Gereja. Adven, yang berarti “kedatangan”, adalah waktu untuk mempersiapkan kedatangan Kristus, baik kedatangan-Nya yang pertama di Betlehem, lebih dari 2000 tahun yang lalu, maupun kedatangan-Nya yang kedua di akhir zaman. Pada dasarnya, melalui masa ini, Gereja mengajarkan kita untuk menantikan Yesus. Namun, bagaimana kita mempersiapkan diri kita untuk menantikan Kristus?

Ada tiga langkah kunci dalam persiapan ini:

Pertama. Mengetahui siapa yang akan datang. Hal yang paling mendasar untuk mempersiapkan kedatangan seseorang adalah dengan mengetahui siapa mereka. Persiapan yang kita lakukan untuk menyambut seorang teman dekat datang ke rumah kita sangat berbeda dengan persiapan untuk menyambut seorang presiden sebuah negara. Orang yang datang akan menentukan keseluruhan perencanaan, sumber daya yang dibutuhkan, dan tingkat usaha yang diperlukan. Semakin penting orang tersebut, semakin besar sumber daya yang kita sediakan. Masa Adven mengingatkan kita bahwa Dia yang akan datang adalah Yesus! Jika Yesus adalah Tuhan, maka seluruh hidup, waktu, kekuatan, dan hati kita akan dikhususkan untuk menyambut Dia.

Kedua. Mengetahui alasan kedatangannya. Bentuk persiapan kita juga tergantung pada alasan kunjungan. Jika seorang teman datang untuk meminjam buku, kita cukup menyediakan buku tersebut. Tetapi jika seorang kerabat dari kota lain berkunjung selama beberapa hari, kita mempersiapkan tempat untuk menginap, membeli atau memasak makanan yang diperlukan, dan memastikan segala sesuatu yang mungkin ia perlukan. Masa Adven mengajarkan kepada kita bahwa Yesus datang di akhir zaman untuk membawa penghakiman terakhir. Dia akan berlaku adil kepada orang benar dan orang jahat. Tentunya, kita tidak ingin dimasukkan dalam golongan orang-orang jahat. Jadi, persiapan kita adalah menjadi orang benar dengan setia melakukan apa yang berkenan kepada-Nya.

Ketiga. Mengetahui waktu kedatangannya. Waktu kedatangan juga membentuk persiapan kita. Seorang ibu yang mengetahui tanggal perkiraan kelahiran bayinya dapat mempersiapkan diri dengan baik. Orang tua yang menantikan kedatangan anak perempuannya setelah belajar di luar negeri, akan pergi ke bandara lebih awal, dan mungkin membawa hadiah kecil. Namun, Adven menceritakan kisah yang berbeda. Meskipun Kitab Suci menyatakan bahwa Yesus pasti akan datang, Kitab Suci juga menjelaskan bahwa kita tidak akan tahu kapan Yesus akan datang. Oleh karena itu, kita harus hidup seolah-olah Yesus akan datang setiap saat. Setiap detik dalam hidup kita adalah kesempatan untuk mempersiapkan diri kita untuk berdiri di hadapan-Nya.

Masa Adven disebut sebagai masa penantian. Melalui masa ini, Gereja mengajarkan kita untuk menantikan kedatangan Yesus dalam hidup kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Salah satu elemen penting dalam persiapan kita adalah Ekaristi. Misa sering disebut sebagai “kedatangan Yesus yang ketiga kalinya”.  Yesus hadir secara sakramental, dan sikap kita dalam mengikuti Misa tidak akan berbeda dengan sikap kita saat menghadapi Yesus pada penghakiman terakhir. Apakah kita menerima Yesus dengan layak dalam Ekaristi? Persiapan rohani seperti apa yang kita lakukan sebelum menghadiri misa? Apakah kita menghampiri Yesus dalam Ekaristi dengan penuh semangat dan devosi atau kita merasa malas dan tidak terinspirasi?

Jesus, Our King

Solemnity of Christ the King [B]

November 24, 2024

John 18:33b-37

In today’s world, the concept of kingship might feel weird and even obsolete. Many of us live in democratic societies, where we elect persons we like to be our leaders and choose someone else when we feel they are no longer fit for the office. We value our freedom and ensure our leaders will not take our freedom. The pomp and grandeur of royalty—palaces, castles, robes, and noble ceremonies—are often viewed as relics of the past. Yet, as Christians, we are called to reflect on and embrace the kingship of Jesus. How can we truly appreciate Jesus’ identity as our King?

First, Jesus, the King who serves. Yes, Jesus is King, but unlike any other. Gabriel, the archangel, announced his royal birth, “He will reign over the house of Jacob forever, and of his kingdom there will be no end (Luk 1:33).” Yet, Jesus revealed how He was going to be a king, “For the Son of Man came not to be served but to serve, and to give his life a ransom for many (Mar 10:45).” Here, the roles are reversed. Instead of demanding service from His subjects, Jesus serves His people with unparalleled humility. His ultimate act of service was offering Himself on the cross for our salvation. Even now, as the risen King in heaven, Jesus continues to serve by interceding for us before the Father (Heb 7:25).

Second, Jesus, the King of the universe. Though Jesus was born as a Jew and prophesied as the Messiah of Israel, His dominion is universal. After His resurrection, Jesus told His disciples, “All authority in heaven and earth has been given to me. (Mat 28:18)” Jesus is not only King of all men but also of all things. From the biggest stars to the smallest sub-atomic particle and even realities that modern science has yet to discover, all are within His governance and providence. Not only visible realities but also invisible beings are under Jesus. Then again, since Jesus’ kingship is about service, Jesus also serves all things by sustaining their existence, otherwise, all things will collapse to nothingness.

Third, Jesus is our King. Jesus’ kingship is not distant or abstract—it is deeply personal. As the King of all creation, He governs everything for our good because He knows and loves each of us dearly. The intricate design of the universe, from the laws of physics to the fine-tuned conditions that allow life on earth, reflects His loving care. Our bodies, composed of countless atoms and cells, are held together under His command. The visible cosmos and even spiritual beings are under His commands to protect and lead us to true happiness.

While we are often consumed with our daily concerns, the King is taking care of us through His governance of the universe, both visible and invisible. His kingship is nothing but love, service and care.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Questions for reflections:

What is your concept of a king? Do you see Jesus as a king? What kind of King? Or, are you more comfortable with other titles of Jesus, such as the good shepherd? Do we follow Jesus our King? How do we serve our King? Do we obey Him, or do we rebel against Him? Do we also care for other creations because they serve the same King as us? Do we thank the angels for guarding us?

Yesus, Raja Kita

Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam [B]

24 November 2024

Yohanes 18:33b-37

Di zaman sekarang, konsep raja mungkin terasa aneh dan bahkan ketinggalan zaman. Banyak dari kita hidup dalam masyarakat yang demokratis, di mana kita memilih orang-orang yang kita sukai untuk menjadi pemimpin kita, dan memilih yang lain ketika kita merasa bahwa mereka tidak lagi cocok untuk memimpin. Kemegahan dan keagungan kerajaan-istana, benteng, jubah, dan upacara-upacara kebangsawanan-sering kali dipandang sebagai peninggalan masa lalu. Namun, Gereja memanggil kita untuk merenungkan dan menerima Yesus sebagai Raja. Bagaimana kita dapat benar-benar menghargai identitas Yesus sebagai Raja kita?

Pertama, Yesus adalah raja yang melayani. Ya, Yesus adalah raja, tetapi tidak seperti raja-raja lainnya. Gabriel, sang malaikat agung, mengumumkan kelahiran-Nya sebagai raja, “Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan (Luk. 1:33).” Namun, Yesus menyatakan bagaimana Dia akan menjadi raja, “Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mar 10:45).” Alih-alih menuntut pelayanan dari umat-Nya, Yesus melayani umat-Nya dengan kerendahan hati yang luar biasa. Tindakan pelayanan-Nya yang paling utama adalah mengorbankan diri-Nya di kayu salib demi keselamatan kita. Bahkan sekarang, sebagai Raja yang telah bangkit di surga, Yesus terus melayani dengan menjadi pengantara kita di hadapan Bapa (Ibr. 7:25).

Kedua, Yesus, raja semesta. Meskipun Yesus dilahirkan sebagai seorang Yahudi dan dinubuatkan sebagai Mesias Israel, kekuasaan-Nya bersifat universal. Setelah kebangkitan-Nya, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. (Matius 28:18)” Yesus bukan hanya raja atas semua manusia, tetapi juga atas segala sesuatu. Dari bintang terbesar hingga partikel sub-atom terkecil, dan bahkan realitas yang belum ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern, semuanya berada dalam pemerintahan dan penyelenggaraan-Nya. Tidak hanya realitas yang terlihat, tetapi juga makhluk-makhluk yang tidak terlihat juga berada di bawah kekuasaan Yesus. Kemudian, karena kerajaan Yesus adalah tentang pelayanan, maka Yesus juga melayani segala sesuatu dengan melestarikan keberadaan mereka, jika tidak, segala sesuatu akan runtuh menuju ketiadaan.

Ketiga, Yesus adalah Raja kita. Kerajaan Yesus tidaklah jauh atau abstrak, tetapi sangat personal. Sebagai Raja atas segala ciptaan, Dia mengatur segala sesuatu untuk kebaikan kita karena Dia mengenal dan mengasihi kita masing-masing. Desain alam semesta yang rumit, dari hukum fisika hingga kondisi yang disesuaikan dengan baik yang memungkinkan kehidupan di Bumi, mencerminkan perhatian-Nya yang penuh kasih. Bahkan tubuh kita sendiri, yang terdiri dari atom dan sel yang tak terhitung jumlahnya, disatukan di bawah perintah-Nya. Tidak hanya alam semesta yang terlihat, bahkan makhluk-makhluk spiritual pun berada di bawah perintah-Nya untuk melindungi dan menuntun kita menuju kebahagiaan sejati.

Sementara kita sering kali sibuk dengan urusan sehari-hari, sang Raja memelihara kita melalui pemerintahan-Nya atas seluruh alam semesta, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Pemerintahan-Nya sebagai raja tidak lain adalah kasih, pelayanan dan perhatian.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:

Apa konsepmu tentang seorang raja? Apakah kamu melihat Yesus sebagai seorang raja? Raja yang seperti apa Dia itu? Atau, apakah kamu lebih nyaman dengan sebutan lain Yesus seperti gembala yang baik? Apakah kita mengikuti Yesus sebagai Raja kita? Bagaimana kita melayani Raja kita? Apakah kita menaati-Nya, atau kita memberontak terhadap-Nya? Apakah kita juga menjaga ciptaan lain karena mereka melayani Raja yang sama seperti kita? Apakah kita berterima kasih kepada para malaikat yang telah menjaga kita?

We and the Saints

33rd Sunday in Ordinary Time [B]
November 17, 2024
Mark 13:24-32

When someone asks if we want to go to heaven, we quickly say, “Yes!” But if asked if we want to become saints, our enthusiasm often fades. This is surprising because everyone in heaven is a saint. To be a saint means to be in heaven. So why do we separate the idea of heaven from being a saint?

At least, there are three reasons:

  1. Misunderstanding the Catholic Faith: Some of us may not fully understand our faith. We might think there are two groups in heaven: well-known saints like the Blessed Mother, St. Joseph, St. Dominic, and St. Francis, and a second group of non-saints. We assume saints are only those who have been officially recognized and celebrated with feast days. But this is not true. All people in heaven are saints, even if we don’t know their names. That’s why we celebrate All Saints’ Day, honoring every person who by God’s grace has reached heaven. One of those saints could be a relative or ancestor!
  2. Thinking It’s Too Hard to Be a Saint: We read stories about saints and feel like we could never be as good as them. Saints seem perfect—extremely lovely, always praying, and some even performed miracles. And martyrs faced painful deaths for their faith. This level of holiness feels impossible for us because we are aware of our weaknesses and sins. But here’s the truth: saints didn’t become holy by their efforts alone; they depended on God’s grace. They were imperfect humans, like all of us, who allowed God’s love to transform them.
  3. Fear of Death: We might think that becoming a saint means we must die first, and we do not want to die! However, not all death is physical and biological. We need to die also to ourselves. This means letting go of worldly attachments and sinful desires.

In today’s Gospel, Jesus speaks about His return in glory and the signs that will come before it—darkened skies, a dim moon, and falling stars. This can mean the end of an era or even the end of the world. Yet, this can also tell us a deeper lesson: the world we know is temporary, destructible, and if we cling too tightly to it, we will lose everything. We need to choose: will we die to this world and live for God, or die with this world, and losing God.

We ask God to help us dying to ourselves, letting go of the world, and live more for Christ. Then, whenever Jesus comes, we will be ready to stand before Him, truly alive, just like the saints in heaven.

Rome

Valentinus B. Ruseno, OP

Questions for Reflection:

What do we think heaven is like? How do we view the saints and their roles in our lives? Do we want to become saints, or are we too attached to the world? What are the things we cling to in this life? How are we preparing for Jesus’ coming?

Kita dan Para Kudus

Minggu ke-33 dalam Masa Biasa [B]

17 November 2024

Markus 13:24-32

Ketika seseorang bertanya apakah kita ingin masuk surga, kita dengan cepat menjawab, “Ya!” Namun, jika ditanya apakah kita ingin menjadi santo atau santa, antusiasme kita sering kali memudar. Hal ini mengejutkan karena semua orang di surga adalah orang kudus. Menjadi santo-santa berarti berada di surga! Jadi mengapa kita memisahkan gagasan tentang surga dengan menjadi orang kudus?

Setidaknya, ada tiga alasan:

  1. Kesalahpahaman akan Iman Katolik: Beberapa dari kita mungkin tidak sepenuhnya memahami iman kita. Kita mungkin berpikir bahwa ada dua kelompok di surga: orang-orang kudus yang terkenal seperti Bunda Maria, Santo Yosef, Santo Dominikus, dan Santo Fransiskus, dan kelompok kedua adalah mereka yang bukan orang kudus. Kita menganggap orang-orang kudus hanyalah mereka yang telah dikanonisasi (diakui secara resmi) dan memiliki hari-hari peringatan pada kalender liturgi Gereja. Namun, hal ini tidaklah benar. Semua orang di surga adalah orang-orang kudus, bahkan jika kita tidak mengetahui nama-nama mereka. Itulah mengapa kita merayakan Hari Semua Orang Kudus, untuk menghormati setiap orang yang karena rahmat Allah telah mencapai surga. Salah satu orang kudus itu bisa jadi adalah kerabat atau leluhur kita!
  2. Ide bahwa Terlalu Sulit untuk Menjadi Orang Kudus: Kita membaca kisah-kisah tentang orang-orang kudus dan merasa bahwa kita tidak akan pernah bisa sebaik mereka. Orang-orang kudus tampak sempurna, sangat baik, selalu berdoa, dan beberapa bahkan melakukan mukjizat. Dan bahkan para martir menghadapi kematian yang sangat kejam karena iman mereka. Tingkat kekudusan ini terasa mustahil bagi kita karena kita sadar akan kelemahan dan dosa-dosa kita. Tetapi sejatinya, orang-orang kudus tidak menjadi kudus karena usaha mereka sendiri; mereka bergantung pada rahmat Allah. Mereka adalah manusia yang tidak sempurna, sama seperti kita semua, namun mengizinkan kasih Allah untuk mengubah mereka.
  3. Takut akan Kematian: Kita mungkin berpikir bahwa menjadi orang kudus berarti kita harus mati terlebih dahulu, dan kita tidak ingin mati! Namun, tidak semua kematian itu terjadi secara biologis. Kita juga harus mati atas diri kita sendiri. Ini berarti melepaskan keterikatan duniawi dan hasrat-hasrat dosa kita.

Dalam Injil hari ini, Yesus berbicara tentang kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan dan tanda-tanda yang akan terjadi sebelum kedatangan-Nya, langit menjadi gelap, bulan dan matahari yang redup, dan bintang-bintang yang berjatuhan. Hal ini dapat berarti akhir dari sebuah era atau bahkan akhir dari dunia. Namun, hal ini juga dapat memberikan pelajaran yang berharga: dunia yang kita kenal ini bersifat sementara, akan hancur, dan jika kita berpegang teguh padanya, kita juga akan hancur dan kehilangan segalanya. Kita harus memilih: apakah kita akan mati bagi dunia ini dan hidup untuk Tuhan, atau mati bersama dunia ini dan kehilangan Tuhan.

Kita memohon kepada Tuhan untuk menolong kita mati bagi diri kita sendiri, melepaskan dunia, dan hidup lebih bagi Kristus. Sehingga, kapan pun Yesus datang, kita akan siap untuk berdiri di hadapan-Nya, benar-benar hidup, seperti orang-orang kudus di surga.

Roma

Valentinus B. Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk Refleksi:

Seperti apakah surga itu? Bagaimana kita memandang orang-orang kudus dan peran mereka dalam hidup kita? Apakah kita ingin menjadi orang kudus, atau kita terlalu melekat pada dunia? Hal-hal apakah yang kita lekatkan dalam hidup ini? Bagaimana kita mempersiapkan diri untuk kedatangan Yesus?

The Faith of the Poor Widow

32nd Sunday in Ordinary Time [B]

November 10, 2024

Gospel: Mark 12:38-44

In the Gospel of Mark, Jesus commends a poor widow who gives her last two small coins to the Temple. He points out why her act is so remarkable: “Out of her poverty, she gave everything she had, all she had to live on” (Mark 12:44). Jesus admires her because, despite her extreme poverty, she displays extraordinary generosity. But there’s a deeper message here. What is it?

We need to ask, “Why is this widow poor?” In Jesus’ time, widows were among the most vulnerable, especially if they had no family to support and protect them. Because of this, God instructed the Israelites to care for widows (see Deu 14:29 and Isa 1:17). Yet, in this Gospel passage, there is a clue to why this widow has been pushed into poverty. Before praising the widow, Jesus condemns the scribes not just for seeking popularity, but for a more sinister reason, “They devour widows’ houses” (Mark 12:40).

How did the scribes take advantage of widows? There are a few possibilities:

Firstly, Abuse of Legal Authority. The scribes, experts in Jewish law, were trusted as legal advisors or trustees, especially for widows who needed help managing their affairs after their husbands’ death. Afterall, these scribes were men of God! Sadly, some of them abused this trust, using their legal knowledge to manipulate proceedings for personal gain, sometimes even committing fraud.

Secondly, Predatory Lending. Some scribes engaged in predatory lending practices. Under the guise of providing financial help, they would lend money to widows and gradually entrap them in severe debt. When the widows couldn’t repay these debts, they were forced to give up their homes and possessions, ultimately becoming destitute.

While we don’t know the exact way the widow in this story was exploited, we do know she suffered injustice. Despite this, her response is remarkable. Instead of feeling embittered or blaming God, she remains generous and devoted. Even in her suffering, she loves God with all her heart, strength, and life. Why? Because her faith rests in God Himself, not in flawed human representatives like the scribes. While people can fail or act unjustly, God does not. She believes God is watching her, and indeed, Jesus is watching her actions and recognizing her faith and sacrifice.

This story opens our eyes to harsh realities that can exist even within religious institutions. Yet, the widow’s example also teaches us how to respond to these challenges without losing our faith.

Reflection Questions:

Do we help bring people closer to God, or do we push them away? Do we use our position and knowledge to assist others or to take advantage of them? When bad things happen, do we blame God or maintain our trust in Him? Do we stand against injustice and wrongdoing within our communities and Church, or do we remain silent?

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Iman Janda yang Miskin

Hari Minggu ke-32 dalam Masa Biasa [B]

10 November 2024

Markus 12:38-44

Dalam Injil Markus, Yesus memuji seorang janda miskin yang memberikan dua peser uang terakhirnya ke Bait Allah. Dia menunjukkan mengapa tindakan janda itu begitu luar biasa: “Janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh hidupnya.” (Markus 12:44). Yesus mengaguminya karena, meskipun sangat miskin, dia menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa. Tetapi ada pesan yang lebih dalam di sini. Apakah itu?

Kita perlu bertanya, “Mengapa janda ini miskin?” Pada zaman Yesus, para janda termasuk golongan yang paling rentan, terutama jika mereka tidak memiliki keluarga yang mendukung dan melindungi mereka. Karena itu, Allah memerintahkan bangsa Israel untuk memperhatikan para janda (lihat Ul. 14:29 dan Yes. 1:17). Namun, dalam perikop Injil ini, ada petunjuk mengapa janda ini jatuh miskin. Sebelum memuji janda tersebut, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat bukan hanya karena mereka mencari popularitas, tetapi karena sesuatu yang lebih jahat, “Mereka menelan rumah-rumah janda” (Mrk. 12:40).

Bagaimana para ahli Taurat mengeksploitasi para janda? Ada beberapa kemungkinan:

Pertama, Penyalahgunaan Otoritas Hukum. Para ahli Taurat, sesuai gelarnya adalah ahli dalam hukum dan implementasi hukum Musa atau Taurat. Oleh karena itu, mereka dipercaya sebagai penasihat hukum atau bahkan wali, terutama bagi para janda yang membutuhkan bantuan untuk mengatur urusan mereka setelah kematian suami mereka. Bagaimanapun juga, para ahli Taurat ini adalah hamba-hamba Allah! Sayangnya, beberapa dari mereka menyalahgunakan kepercayaan ini, menggunakan pengetahuan hukum mereka untuk memanipulasi proses hukum demi keuntungan pribadi, bahkan melakukan penipuan.

Kedua, Pinjaman berbunga tinggi. Beberapa ahli Taurat terlibat dalam praktik pinjaman dengan bunga tinggi. Dengan kedok memberikan bantuan keuangan, mereka meminjamkan uang kepada para janda dan secara bertahap menjebak mereka dalam utang yang sangat besar. Ketika para janda tidak dapat melunasi utang-utang tersebut, mereka terpaksa menyerahkan rumah dan harta benda mereka, yang pada akhirnya menjadi miskin.

Meskipun kita tidak tahu persis bagaimana janda dalam cerita ini dieksploitasi, kita tahu bahwa dia menderita ketidakadilan. Meskipun demikian, responsnya sangat luar biasa. Alih-alih merasa sakit hati atau menyalahkan Tuhan, ia tetap bermurah hati. Bahkan dalam penderitaannya, ia tetap mengasihi Tuhan dengan segenap hati, kekuatan, dan hidupnya. Mengapa? Karena imannya bertumpu pada Tuhan itu sendiri, bukan pada perwakilan manusia yang memiliki kekurangan seperti para ahli Taurat. Sementara manusia dapat gagal atau bertindak tidak adil, Allah tidak. Ia percaya bahwa Allah menjaganya, dan memang, Yesus melihat tindakannya dan mengakui iman dan pengorbanannya.

Kisah ini membuka mata kita akan kenyataan pahit yang dapat terjadi bahkan di dalam Gereja kita. Namun, teladan sang janda juga mengajarkan kita bagaimana merespons tantangan-tantangan ini tanpa kehilangan iman.

Pertanyaan Refleksi:

Apakah kita membantu membawa orang lain lebih dekat kepada Allah, atau justru menjauhkan mereka dari Tuhan? Apakah kita menggunakan posisi dan pengetahuan kita untuk menolong orang lain atau mengambil keuntungan dari mereka? Ketika hal-hal buruk terjadi, apakah kita menyalahkan Allah atau tetap percaya kepada-Nya? Apakah kita berusaha melawan ketidakadilan di dalam komunitas dan Gereja kita, atau apakah kita diam saja?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Eucharist and Sacrifice of the Cross

31st Sunday in Ordinary Time

November 3, 2024

Hebrews 7:23-28

Every time we celebrate the Eucharist, we worship God by offering Him the perfect sacrifice. This sacrifice is Jesus Christ, who is truly present in the Eucharist. However, when we read the Letter to the Hebrews, its author writes that Jesus offered Himself on the cross “once and for all” (see Heb 7:27). So, why do we “sacrifice” or even “crucify” Jesus again in the Eucharist? Does this mean we misunderstand our worship?

Firstly, we need to understand the context of the Letter to the Hebrews. The author recognized that in order to worship God, a high priest must offer a sacrifice. Then, the author compares the Israelite high priest from the tribe of Levi with Jesus as the high priest. The Levitical high priest was an ordinary human and, therefore, a sinner. As such, he had to offer sacrifices repeatedly because he continued to fall into sin. Meanwhile, Jesus is truly divine and truly human, without any sin, yet sharing in our human struggles. While the Levitical high priest offered imperfect sacrifices of animals, Jesus gave Himself on the cross as the perfect and most acceptable sacrifice of love. Since the value of His sacrifice on the cross infinitely surpasses the Levitical or any human sacrifice, earthly sacrifices are no longer needed.

However, though Jesus has offered Himself once for all on earth, this does not mean He is inactive in heaven. The same letter to the Hebrews states, “…the heavenly things themselves (the heavenly sanctuary) need better sacrifices than these (earthly sacrifices)” (Heb 9:23). Entering heaven, Jesus does not cease His priestly ministry; rather, He perfects His identity by presenting an endless sacrifice. But how does He offer sacrifice without dying again on the cross? The answer is through a living sacrifice (see Rom 12:1). Jesus presents His own self—His glorious body still bearing the wounds of the cross—as a perfect gift to the Father, but this time, without further death. Since Jesus in heaven and Jesus on the cross are essentially the same, the living sacrifice He offers in heaven has the same infinite value as that on the cross.

Now, let us see what the Catholic Church teaches about the Eucharist as a sacrifice. The Catechism of the Catholic Church says, “When the Church celebrates the Eucharist, she commemorates Christ’s Passover, and it is made present: the sacrifice Christ offered once for all on the cross remains ever present” (CCC 1364). It further states, “The Eucharist is thus a sacrifice because it re-presents (makes present) the sacrifice of the cross, because it is its memorial, and because it applies its fruit” (CCC 1366). But what do these teachings mean?

This means that the Catholic Church understands the Eucharist as our participation in the heavenly liturgy. In the Eucharist, we make present the sacrifice of the cross—not by crucifying Jesus again, but by participating in Jesus’ self-offering in heaven, which holds the same infinite value as His sacrifice on the cross. Only in the Eucharist do we truly worship God and receive the fruits of the cross.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Questions for Reflection:

How do we understand the Eucharist? Do we feel the need to participate in the Eucharist? Do we realize that, through the Eucharist, we are participating in heavenly worship? How can we deepen our participation in the Eucharist? What fruits do you receive from the Eucharist? Do you encourage your family and friends to participate in the Eucharist?

Ekaristi dan Kurban Salib

Minggu ke-31 dalam Masa Biasa
3 November 2024
Ibrani 7:23-28

Setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita menyembah Allah dengan mempersembahkan kurban yang sempurna kepada-Nya. Kurban ini adalah Yesus Kristus, yang benar-benar hadir dalam Ekaristi. Namun, ketika kita membaca Surat Ibrani, tertulis bahwa Yesus telah mempersembahkan diri-Nya di kayu salib “sekali untuk selama-lamanya” (lihat Ibr. 7:27). Jadi, mengapa kita “mengorbankan” atau bahkan “menyalibkan” Yesus lagi dalam Ekaristi? Apakah ini berarti kita salah memahami penyembahan kita?

Pertama, kita perlu memahami konteks Surat Ibrani. Sang Penulis menyadari bahwa untuk menyembah Allah, seorang imam agung harus mempersembahkan kurban. Kemudian, sang penulis membandingkan imam agung Israel dari suku Lewi dengan Yesus sebagai imam agung sejati. Imam besar Lewi adalah manusia biasa dan tentunya, orang berdosa. Oleh karena itu, dia harus mempersembahkan korban berulang kali karena dia terus jatuh ke dalam dosa. Sementara itu, Yesus sungguh ilahi dan sungguh manusia, tanpa dosa, namun berbagi dalam pergumulan manusiawi kita. Sementara imam besar Lewi mempersembahkan kurban binatang yang tidak sempurna berkali-kali, Yesus memberikan diri-Nya di kayu salib sebagai kurban kasih yang sempurna dan paling layak. Karena nilai pengorbanan-Nya di salib jauh melampaui pengorbanan imam Lewi atau korban-korban manusiawi lainnya, maka pengorbanan duniawi tidak lagi diperlukan.

Namun, meskipun Yesus telah mempersembahkan diri-Nya satu kali untuk selamanya di bumi, bukan berarti Dia bersantai-santai di surga. Surat Ibrani yang sama menyatakan adanya “κρείττοσιν θυσίαις (kreittosin tusiais)” – korban-korban yang lebih baik di surga (Ibr. 9:23). Ini mengindikasikan bahwa ada persembahan kurban di surga. Jadi, saat memasuki surga, Yesus tidak menghentikan pelayanan-Nya; sebaliknya, Dia menyempurnakan identitas-Nya sebagai imam agung dengan mempersembahkan pengorbanan yang tak berkesudahan. Tetapi bagaimana Dia mempersembahkan korban tanpa harus mati lagi di kayu salib? Jawabannya adalah melalui korban yang hidup (lihat Rm. 12:1). Yesus mempersembahkan diri-Nya, tubuh-Nya yang mulia namun juga masih menanggung luka-luka di salib, sebagai persembahan yang sempurna kepada Bapa. Namun, kali ini, tanpa kematian. Karena Yesus di surga dan Yesus di kayu salib pada dasarnya adalah sama, maka korban hidup yang Dia persembahkan di surga memiliki nilai yang sama dengan korban di kayu salib.

Sekarang, mari kita lihat apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang Ekaristi sebagai korban. Katekismus Gereja Katolik mengatakan, “Apabila Gereja merayakan Ekaristi, ia mengenangkan Paska Kristus; Paska ini dihadirkan. Kurban yang dibawakan Kristus di salib satu kali untuk selama-lamanya selalu tinggal berhasil guna” (KGK 1364). Namun, apakah makna dari ajaran-ajaran ini?

Ini berarti bahwa Gereja Katolik memahami Ekaristi sebagai partisipasi kita dalam liturgi surgawi. Dalam Ekaristi, kita mempersembahkan kurban salib, bukan dengan menyalibkan Yesus lagi, tetapi dengan berpartisipasi dalam persembahan diri Yesus di surga, yang memiliki nilai tak terbatas yang sama dengan kurban-Nya di kayu salib. Hanya di dalam Ekaristi kita sungguh-sungguh menyembah Allah dan menerima buah-buah salib.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk Refleksi:
Bagaimana kita memahami Ekaristi? Apakah kita merasa perlu untuk berpartisipasi dalam Ekaristi? Apakah kita menyadari bahwa melalui Ekaristi, kita mengambil bagian dalam penyembahan surgawi? Bagaimanakah kita dapat memperdalam partisipasi kita di dalam Ekaristi? Buah-buah apakah yang Anda terima dari Ekaristi? Apakah Anda mendorong keluarga dan teman-teman Anda untuk berpartisipasi dalam Ekaristi?