Who is Theophilus?

3rd Sunday in Ordinary Time [C]

January 26, 2025

Luke 1:1-4; 4:14-21

Luke addressed his Gospel to a man named Theophilus, but who exactly was he? And why did Luke dedicate his Gospel to him?

There are several interesting theories about Theophilus. The most widely accepted theory is that he was a sponsor for Luke in writing his Gospel. Two thousand years ago, producing a book was astronomically expensive. “Paper” was made either from animal skins or from papyrus, a plant that only grew along the Nile River in Egypt. Additionally, Luke had to cover “research costs.” Unlike other evangelists, Luke was not an eyewitness to the events of Jesus’ life. Therefore, to create a historically reliable document, he had to travel and interview eyewitnesses, such as some of the apostles and Mary, Jesus’ mother.

Since there were no printing machines at the time, Luke had to handwrite the text or hire a stenographer or copyist, significantly increasing the cost.

The Gospel of Luke is the longest of the four Gospels (it contains the most words). Luke also wrote the Acts of the Apostles. Together, these two works make up almost one-third of the entire New Testament. It is no wonder that Luke needed financial support from a wealthy individual for his costly project.

Luke addresses Theophilus as “κράτιστος” (kratistos), usually translated as “most excellent.” This title was commonly used to address individuals of high status and rank. Therefore, we can infer that Theophilus was more than capable of supporting Luke in writing the Gospel. But the next question arises: What was Theophilus’ relationship to Jesus? Was he a baptized Christian and a member of the early Church? Or was he just an interested individual who happened to want to learn about Jesus’ life?

If Theophilus was a baptized believer, Luke may have written his Gospel to deepen Theophilus’ knowledge of Jesus. Perhaps Theophilus would use the Gospel to instruct his local Christian community or parish. However, if Theophilus was not yet baptized, the Gospel could have served as a means of evangelization, introducing Christ to him and hopefully leading him and his family to faith.

Another interesting theory is that the name “Theophilus” does not refer to a single individual but rather to all believers. “Theophilus” is derived from two Greek words: “Theos” (meaning “God”) and “Philos” (meaning “friend” or “one who loves as a friend”). Therefore, Theophilus refers to anyone who loves God and desires to have a communion with Him. In this sense, Theophilus represents all Christians throughout the ages who seek a deeper friendship with God as they learn and contemplate on Jesus’ life through Luke’s Gospel. In this way, Luke dedicated his work to all Christians.

In the end, we may never know who Theophilus truly was, and we must wait until we reach heaven to find out. However, from both Luke and Theophilus, we learn that the work of evangelization is extremely difficult. Yet, they also show us that each person can contribute to this divine project. Some offer their talents in writing, some teach, and others provide various forms of support. While everyone can give their time and energy, some are called to preach to large audiences, while others are called to raise their families in faith. Each one of us can be a Theophilus in our own way—someone who loves God and desires for Him to be known by others.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

Have we read the entire Gospel of Luke? What is my favorite episode in the Gospel of Luke? And why? What do we do to contribute to the work of evangelization? Do we help bring God closer to others? How?

Siapakah Teofilus?

Hari Minggu ke-3 dalam Masa Biasa [C]
26 Januari 2025
Lukas 1:1-4; 4:14-21

Lukas mendedikasikan Injilnya kepada seorang yang bernama Teofilus, tetapi siapakah dia sebenarnya? Dan mengapa Lukas mendedikasikan Injilnya kepadanya?

Ada beberapa teori yang menarik tentang Teofilus. Teori yang paling banyak diterima adalah bahwa ia adalah sponsor Lukas dalam menulis Injilnya. Dua ribu tahun yang lalu, memproduksi sebuah buku sangatlah mahal. “Kertas” dibuat dari kulit binatang atau dari papirus, tanaman yang hanya tumbuh di sepanjang Sungai Nil di Mesir. Selain itu, Lukas juga harus menanggung “biaya penelitian”. Tidak seperti penginjil lainnya, Lukas bukanlah saksi mata dari peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus. Oleh karena itu, untuk membuat dokumen yang terpercaya secara historis, ia harus melakukan perjalanan dan mewawancarai para saksi mata, seperti beberapa rasul dan Maria, ibu Yesus.

Karena tidak ada mesin cetak pada saat itu, Lukas harus menulis tangan teksnya atau menyewa seorang stenografer atau penyalin, yang secara signifikan meningkatkan biaya.
Injil Lukas adalah Injil terpanjang dari keempat Injil (berisi paling banyak jumlah kata). Lukas juga menulis Kisah Para Rasul. Bersama-sama, kedua karya ini mencakup hampir sepertiga dari seluruh Perjanjian Baru. Tidak heran jika Lukas membutuhkan dukungan finansial dari luar biasa untuk proyeknya yang mahal ini.

Lukas menyebut Teofilus sebagai “κράτιστος” (kratistos), yang biasanya diterjemahkan sebagai “yang mulia”. Gelar ini biasanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki status dan pangkat yang tinggi. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Teofilus lebih dari sekadar mampu untuk mendukung Lukas dalam menulis Injil. Tetapi pertanyaan berikutnya muncul: Apa hubungan Teofilus dengan Yesus? Apakah ia seorang murid yang telah dibaptis dan anggota Gereja perdana? Ataukah dia hanya seorang yang kebetulan ingin belajar tentang kehidupan Yesus?

Jika Teofilus adalah seorang beriman yang telah dibaptis, Lukas mungkin menulis Injilnya untuk memperdalam pengetahuan Teofilus tentang Yesus. Mungkin Teofilus akan menggunakan Injil ini untuk mengajar komunitas Kristiani lokal atau parokinya. Namun, jika Teofilus belum dibaptis, Injil dapat berfungsi sebagai sarana penginjilan, memperkenalkan Kristus kepadanya dan dengan penuh harapan menuntun dia dan keluarganya kepada iman.

Teori lain yang menarik adalah bahwa nama “Teofilus” tidak merujuk kepada satu orang saja, melainkan kepada semua orang percaya. “Teofilus” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: “Theos” (yang berarti ‘Tuhan’) dan ‘Philos’ (yang berarti ‘teman’ atau ‘orang yang mengasihi sebagai teman’). Oleh karena itu, Teofilus merujuk kepada siapa pun yang mengasihi Tuhan dan ingin memiliki persatuan dengan-Nya. Dalam hal ini, Teofilus mewakili semua umat Kristiani di sepanjang zaman yang mencari persahabatan yang lebih dalam dengan Tuhan dengan belajar dan mengontemplasikan kehidupan Yesus melalui Injil Lukas. Dengan cara ini, Lukas mendedikasikan karyanya untuk kita semua.

Pada akhirnya, kita mungkin tidak akan pernah tahu siapa sebenarnya Teofilus, dan kita harus menunggu sampai kita sampai di surga untuk mengetahuinya. Namun, dari Lukas dan Teofilus, kita belajar bahwa misi evangelisasi sangatlah sulit. Namun, mereka juga menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang dapat berkontribusi dalam misi keselamatan ini. Ada yang menawarkan talenta mereka dalam bentuk tulisan, ada yang mengajar, dan ada juga yang memberikan berbagai bentuk dukungan. Meskipun setiap orang dapat memberikan waktu dan tenaga mereka, beberapa orang dipanggil untuk berkhotbah kepada khalayak ramai, sementara yang lain dipanggil untuk membesarkan keluarga mereka dalam iman. Masing-masing dari kita dapat menjadi Teofilus dengan cara kita sendiri – seseorang yang mengasihi Allah dan ingin agar Dia dikenal oleh orang lain.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:
Sudahkah kita membaca seluruh Injil Lukas? Apa episode favorit saya dalam Injil Lukas? Dan mengapa? Apa yang kita lakukan untuk berkontribusi dalam karya evangelisasi? Apakah kita membantu membawa Allah lebih dekat kepada orang lain? Bagaimana caranya?

Jesus and Mary, our Wedding Guests

Second Sunday in Ordinary Time [C}

January 19, 2025

John 2:1-12

In every wedding, we naturally expect the bridegroom and bride to take center stage. After all, it is their marriage—their happiest moment. However, the story of the wedding at Cana in Galilee offers us a different perspective, one that is often overlooked. What is it?

The wedding at Cana is not primarily about the bride and groom. Surprisingly, their names are never mentioned, and they barely feature in the story. The only time the bridegroom is mentioned is when he is praised for providing an abundant supply of high-quality wine. Instead, this Gospel account focuses on Jesus and His interaction with Mary, His mother. It reveals a deeper truth about Christian marriages that transcends the visible celebration.

The story begins with an introduction: Jesus’ mother, Jesus Himself, and His disciples are invited to the wedding. This detail carries profound significance. Whom do we invite to our wedding? Too often, we focus only on ourselves—preparing the venue, planning ceremonies and programs, selecting food, and choosing the perfect wedding attire. We become preoccupied with pleasing relatives, friends, and guests. But do we make it a priority to invite Jesus and His mother to our wedding?

Many of us might respond, “Yes! We invite Jesus to our wedding because it takes place in the Church!” Yet, is Jesus truly present in our hearts? For some, the wedding is held in a church simply because we happen to be Catholic. Others choose a church wedding for its beauty or prestige. Many attend pre-marriage catechetical courses merely out of obligation, complying with diocesan requirements to secure a church wedding. But how many of us make a conscious and heartfelt effort to truly invite Jesus to our wedding? Do we spiritually prepare for the sacrament through retreats or confession? Do we ask for His grace and guidance as we embark on this sacred journey?

The story of the wedding at Cana also highlights Mary’s unique role. She notices the wine is running out and alerts Jesus to the problem. After a brief exchange, she instructs the servants: “Do whatever He tells you.” This leads to Jesus performing His first miracle. These events reveal Mary’s deep involvement in the wedding. She is not just an ordinary guest; she has access to the inner workings of the household and is aware of the practical needs, such as the shortage of wine. Instead of informing the bridegroom or his family, she turns to Jesus. Out of love for His mother, Jesus uses the simple resources available—water—and transforms them into the finest wine.

This truth is both profound and beautiful. If we want the “best wine” in our marriage, it is essential not only to invite Jesus and Mary to our wedding day but to welcome them into our “kitchen,” and to allow them to be involved in everyday moments of our lives. The Gospel reminds us that the best wine comes from ordinary water. In the same way, the greatest blessings in marriage often arise from simple, unseen acts of love for our spouse and children.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions

Have we truly invited Jesus and Mary into our marriage, family, and daily lives? Do we recognize Jesus working miracles in our marriages? Have we entrusted our marriage and family to the care of Mary?

Yesus dan Maria, Tamu Pernikahan Kita

Minggu Kedua dalam Masa Biasa [C]
19 Januari 2025
Yohanes 2:1-12

Dalam setiap pernikahan, kita tentu mengharapkan mempelai pria dan wanita menjadi pusat perhatian. Bagaimanapun juga, ini adalah pernikahan mereka – momen paling membahagiakan bagi mereka. Namun, kisah pernikahan di Kana di Galilea menawarkan perspektif yang berbeda, yang sering kali diabaikan. Apakah itu?

Pernikahan di Kana bukan tentang kedua mempelai. Bahkan, nama mereka tidak pernah disebutkan, dan mereka hampir tidak muncul dalam cerita. Satu-satunya momen mempelai pria disebutkan adalah ketika dia dipuji karena menyediakan anggur berkualitas tinggi yang melimpah. Sebaliknya, kisah Injil ini berfokus pada Yesus dan interaksi-Nya dengan Maria, ibu-Nya. Kisah ini mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam tentang pernikahan Kristiani yang sering kali tidak terlihat oleh mata.

Kisah ini dimulai dengan sebuah pengantar: Ibu Yesus, Yesus sendiri, dan para murid diundang ke pesta pernikahan. Detail ini memiliki makna yang mendalam. Siapa yang kita undang ke pesta pernikahan kita? Terlalu sering, kita hanya berfokus pada diri kita sendiri-mempersiapkan tempat, merencanakan acara, memilih makanan, dan memilih pakaian pernikahan yang sempurna. Kita menjadi sibuk untuk menyenangkan kerabat, teman, dan tamu. Namun, apakah kita memprioritaskan untuk mengundang Yesus dan ibu-Nya dalam pernikahan kita?

Banyak dari kita mungkin menjawab, “Ya! Kami mengundang Yesus ke pernikahan kami karena pernikahan kami dilangsungkan di Gereja!” Namun, apakah Yesus benar-benar hadir di dalam hati kita? Bagi sebagian orang, pernikahan diadakan di gereja hanya karena kita beragama Katolik. Yang lainnya memilih pernikahan di gereja karena keindahan atau prestisenya. Banyak yang mengikuti kursus persiapan pernikahan hanya karena kewajiban, memenuhi persyaratan keuskupan untuk mendapatkan izin pernikahan di gereja. Namun, berapa banyak dari kita yang secara sadar dan sepenuh hati berusaha untuk benar-benar mengundang Yesus dalam pernikahan kita? Apakah kita mempersiapkan diri secara rohani retret atau pengakuan dosa sebelum menerima sakramen pernikahan? Apakah kita memohon rahmat dan bimbingan-Nya saat kita memulai perjalanan sakral ini?

Kisah pernikahan di Kana juga menyoroti peran Maria yang unik. Dia menyadari bahwa anggur hampir habis dan memberitahukan Yesus tentang masalah tersebut. Setelah berdiskusi singkat, dia menginstruksikan para pelayan: “Lakukanlah segala sesuatu yang diperintahkan-Nya kepadamu.” Kemudian Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama. Peristiwa ini menunjukkan keterlibatan Maria yang mendalam dalam pernikahan tersebut. Ia bukan hanya seorang tamu biasa; ia memiliki akses ke dalam kehidupan rumah tangga dan mengetahui kebutuhan praktis, seperti kekurangan anggur. Alih-alih memberi tahu mempelai pria atau keluarganya, ia justru berpaling kepada Yesus. Karena kasih-Nya kepada ibu-Nya, Yesus menggunakan sumber daya sederhana yang tersedia – air – dan mengubahnya menjadi anggur terbaik.

Kebenaran ini sangat dalam dan indah. Jika kita menginginkan “anggur terbaik” dalam pernikahan kita, penting untuk tidak hanya mengundang Yesus dan Maria ke hari pernikahan kita, tetapi juga menyambut mereka di “dapur” kita, dan mengizinkan mereka untuk terlibat dalam momen-momen keseharian dalam hidup kita. Injil mengingatkan kita bahwa anggur terbaik berasal dari air biasa. Dengan cara yang sama, berkat terbesar dalam pernikahan sering kali muncul dari tindakan kasih yang sederhana dan tak terlihat bagi pasangan dan anak-anak kita.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi
Apakah kita sudah sungguh-sungguh mengundang Yesus dan Maria ke dalam pernikahan, keluarga, dan kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita menyadari bahwa Yesus telah melakukan mukjizat dalam pernikahan kita? Sudahkah kita mempercayakan pernikahan dan keluarga kita dalam pemeliharaan Maria?

What is Baptism?

The Baptism of the Lord [C]

January 12, 2025

Luke 3:15–16, 21–22

Jesus began His public ministry after being baptized by John the Baptist. Similarly, we start our new lives as God’s children and begin following Jesus on His path of the cross through baptism. But what exactly is baptism, and why is it associated with the beginning of something so important?

Jewish Ritual Purity

The Greek word “βαπτίζειν” (baptizein) originally means “to dip into water” or “to wash with water.” In the Old Testament, particularly in the Septuagint (the Greek translation of the Old Testament), βαπτίζειν refers to the rite of purification (e.g., Judith 12:7). What is this rite of purification in the Old Testament? To understand it, we need to recognize that ancient Israel adhered to the concept of ritual purity or cleanliness.

Although not strictly moral in nature, the purity laws were integral to the Torah. These laws determined whether a Jew was ritually clean or unclean. When Jews were considered “pure,” they could enter holy places like the Temple in Jerusalem to offer sacrifices. Offering sacrifices enabled them to worship the Lord God and receive blessings, such as the forgiveness of sins and communion with God and fellow believers.

A Jew could become impure through physical contact with various things, such as: dead bodies, bodily discharges (e.g., menstrual blood, male semen), certain animals (e.g., pigs, camels, or specific insects), and skin diseases. If they became impure, they needed to perform a ritual cleansing, typically by washing with water (βαπτίζειν). Thus, the purity laws ensured that they approached the holy place worthily.

John’s Baptism

John the Baptist introduced a significant shift. His baptism was no longer a ritual of purification but a symbolic gesture of repentance. For John, what mattered was not being ritually clean but living morally upright lives before the Lord. Thus, it was meaningless to undergo ritual cleansing while continuing to live in sin.

John told his followers that he baptized with water as a symbol of repentance, but someone greater than him would come to baptize with the Holy Spirit and fire. What does it mean to be baptized “in the Holy Spirit and fire”? Throughout Church history, this phrase has been interpreted in various ways: St. John Chrysostom taught that Jesus’ baptism refers to Pentecost, where the Holy Spirit descended like fire and filled Jesus’ disciples with various graces. Origen, on the other hand, argued that baptism in the Holy Spirit is for those who believe and repent, while baptism in fire is for those who refuse to believe and repent.

The Church’s Teaching on Baptism

Although interpretations differ, it is important to receive Jesus’ baptism, and Jesus baptizes us through His body, the Church. Thus, sacramental baptism performed by the Church, comes from Jesus and is essential for salvation (1 Peter 3:21). It imparts sanctifying grace upon the soul (2 Peter 1:4) and transforms us, empowering us to live as children of God. Unlike John’s baptism, which was an external sign of repentance, Jesus’ baptism—administered through His Church—truly transforms our souls and enables us to live worthily in God’s grace.

Addendum: Does Baptism Always Mean Full Immersion?

The word βαπτίζειν in the Bible does not always imply full-body immersion. For instance, in Mark 7:4–8, βαπτίζειν is used to describe ritual washing of specific body parts, such as hands, or even the washing of utensils. The Catholic Church teaches that baptism is valid whether performed by full immersion or by pouring water on the head (Catechism of the Catholic Church 1239–1240).

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection and Guide Questions

Have you received Jesus’ baptism performed through His Church? Do you encourage your family members, relatives, and friends to be baptized? Are you aware of the extraordinary graces we receive through baptism? Do you live out the spirit of your baptism in daily life?

Apakah yang dimaksud dengan Pembaptisan?

Pembaptisan Tuhan [C]

12 Januari 2025

Lukas 3:15-16, 21-22

Yesus memulai misi pewartaan-Nya setelah dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Demikian pula, kita memulai kehidupan baru kita sebagai anak-anak Allah dan mengikuti Yesus di jalan salib-Nya melalui sakramen baptis. Namun, apakah sebenarnya baptisan itu, dan mengapa pembaptisan dikaitkan dengan permulaan dari sesuatu yang begitu penting?

Ritual Kemurnian Yahudi

Kata Yunani “βαπτίζειν” (baptizein) pada mulanya berarti “mencelupkan ke dalam air” atau “membasuh dengan air.” Dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani, kata βαπτίζειν merujuk pada ritual pemurnian atau pentahiran (lih. Yudit 12:7). Apakah ritual pentahiran dalam Perjanjian Lama ini? Untuk memahaminya, kita perlu menyadari bahwa Israel kuno menganut hukum tahir-najis.

Meskipun tidak sepenuhnya bersifat moral, hukum tahir-najis merupakan bagian integral dari Taurat. Hukum ini menentukan apakah seorang Yahudi secara ritual murni/tahir atau najis. Ketika orang Yahudi dianggap “tahir”, mereka dapat memasuki tempat-tempat suci seperti Bait Allah di Yerusalem untuk mempersembahkan kurban. Dengan mempersembahkan kurban, mereka dapat menyembah Tuhan Allah dan menerima berkat-berkat, seperti pengampunan dosa dan persekutuan dengan Allah dan sesama.

Seorang Yahudi dapat menjadi najis melalui kontak fisik dengan berbagai hal, seperti: jenazah, cairan tubuh (misalnya, darah menstruasi, air mani pria), hewan tertentu (misalnya, babi, unta, atau serangga tertentu), dan beberapa penyakit kulit. Jika mereka menjadi najis, mereka harus melakukan ritual pentahiran, biasanya dengan membasuh dengan air (βαπτίζειν). Dengan demikian, hukum tahir-najis memastikan bahwa mereka dapat memasuki tempat kudus dengan layak.

Pembaptisan Yohanes

Yohanes Pembaptis memperkenalkan sebuah perubahan yang signifikan. Pembaptisannya (pembasuhan dengan air) bukan lagi sebuah ritual pentahiran tetapi sebuah simbol pertobatan. Bagi Yohanes, yang terpenting bukanlah menjadi bersih atau tahir secara ritual tetapi hidup bermoral benar di hadapan Tuhan. Dengan demikian, tidak ada artinya menjalani ritual pentahiran sementara terus hidup dalam dosa.

Yohanes mengatakan kepada para pengikutnya bahwa ia membaptis dengan air sebagai simbol pertobatan, tetapi seseorang yang lebih besar darinya akan datang untuk membaptis di dalam Roh Kudus dan api. Apa artinya dibaptis “dalam Roh Kudus dan api”? Sepanjang sejarah Gereja, frasa ini mendapatkan banyak tafsiran. St. Yohanes Krisostomus mengajarkan bahwa baptisan Yesus merujuk pada Pentakosta, di mana Roh Kudus turun seperti api dan memenuhi para murid Yesus dengan berbagai rahmat. Origen, di sisi lain, berpendapat bahwa baptisan dalam Roh Kudus adalah untuk mereka yang percaya dan bertobat, sementara baptisan dalam api adalah untuk mereka yang menolak untuk percaya dan bertobat.

Ajaran Gereja tentang Pembaptisan

Meskipun penafsirannya berbeda-beda, sangat penting untuk menerima baptisan Yesus, dan Yesus membaptis kita melalui tubuh-Nya, Gereja. Dengan demikian, sakramen baptis  yang dilakukan oleh Gereja, berasal dari Yesus dan penting untuk keselamatan (1 Pet 3:21). Baptisan ini juga memberikan rahmat pengudusan kepada jiwa (2 Pet 1:4) dan mengubah dan memberdayakan kita untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Tidak seperti baptisan Yohanes, yang merupakan tanda pertobatan secara eksternal, baptisan Yesus – yang diberikan melalui Gereja-Nya – benar-benar mengubah jiwa kita dan memampukan kita untuk hidup layak di hadapan Allah.

Tambahan: Apakah Pembaptisan Selalu Berarti ditenggelamkan?

Kata βαπτίζειν dalam Alkitab tidak selalu berarti seluruh tubuh masuk air. Sebagai contoh, dalam Markus 7:4-8, βαπτίζειν digunakan untuk menggambarkan ritual pembasuhan bagian tubuh tertentu, seperti tangan, atau bahkan pembasuhan perkakas. Gereja Katolik mengajarkan bahwa pembaptisan adalah sah baik dilakukan dengan memasukkan seluruh tubuh ke dalam air atau dengan menuangkan air ke kepala (KGK 1239-1240).

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi dan Panduan

Sudahkah kita menerima baptisan Yesus yang dilakukan melalui Gereja-Nya? Apakah kita mendorong anggota keluarga, kerabat, dan teman-teman untuk dibaptis? Apakah kita menyadari rahmat yang luar biasa yang kita terima melalui baptisan? Apakah kita menghidupi semangat baptisan kita dalam kehidupan sehari-hari?

Pilgrims of Hope

The Epiphany [C]
January 5, 2025
Matthew 2:1-12

Only Matthew recorded the story of the Magi from the East, devoting just 12 verses to it (around 1.12% of his Gospel). Yet, Christians throughout generations have found this story deeply fascinating and full of mysteries. Who were these Magi? Were there really three of them? Where exactly did they come from in the East? What was the “star” they saw? What is the meaning behind their gifts? While these questions remain the subject of debate and discussion, one thing draws us all to this story—we can all relate to the experience of the Magi. But what exactly is this shared experience?

We are captivated by the Magi’s journey because we, too, are journeying. Every day, we travel—from home to school or work, from one place to another. Every Sunday, we journey to church. Occasionally, we explore new places for vacation, discovery, or pilgrimage. At other times, we are compelled to go places we would rather avoid, like hospitals. At a deeper level, life itself is a journey. From the moment we leave our mother’s womb until we reach our final destination, we are constantly moving through time and space. Deep within, we ask ourselves, “Where are we going? Does my journey have a purpose?”

The story of the Magi offers us answers to these fundamental questions. When the Magi discovered the “star” of the newborn King, they knew they had to find Him. However, they could have misinterpreted the star’s meaning. Along the way, they faced potential dangers and unforeseen challenges. The risks were enormous. Yet, they did not give up easily. As true pilgrims, they pressed on with hope—hope to find the One they desired most.

Matthew gives us few details about their journey, leaving much to our imagination. Yet, we can sense their surprise when they failed to find the newborn King in Jerusalem. They likely expected the King to be the son of Herod, the reigning monarch. Despite this setback, they did not lose hope but continued their search. Their surprise grew even greater when they found the baby King in the humble home of Joseph and Mary. Yet again, despite unmet expectations, their hope pointed them to this little baby would become the King of Israel, and thus, they offered their homage and gifts. The Magi became the first non-Israelites to accept Jesus. Their journey reminds us of St. Paul’s words: “Hope does not disappoint” (Romans 5:5).

Like the Magi, we, too, are pilgrims in this world. At times, we feel unsure of our paths, surrounded by uncertainties. Sometimes, our journey seems meaningless, especially when we are tired or lost. Often, we are afraid to face challenges and dangers. Yet, deep inside, we know we must keep moving forward, hoping that our journey toward Jesus will bear fruit. For it is He whom our hearts desire most. Gabriel Marcel, a Catholic philosopher, beautifully expresses this in his book Homo Viator, “I almost think that hope is for the soul what breathing is for the living organism. Where hope is lacking, the soul dries up and withers…” We are pilgrims on earth—not of fear or despair, but of hope.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions

Are we aware that we are sojourners on this earth, not permanent residents? Do we recognize our true destination? What efforts do we make to stay on the right path? How do we respond to challenges and troubles in our journey? How can we keep our hope alive during this long journey?

Peziarah dengan Harapan

Epifani [C]

5 Januari 2025

Matius 2:1-12

Hanya Matius yang mencatat kisah orang Majus dari Timur, dengan hanya 12 ayat (sekitar 1,12% dari Injilnya). Namun, umat Kristiani dari generasi ke generasi selalu melihat kisah ini sangat menarik dan penuh dengan misteri. Siapakah orang-orang Majus ini? Benarkah mereka berjumlah tiga orang? Dari mana tepatnya mereka datang dari Timur? Apakah “bintang” yang mereka lihat? Apa makna di balik pemberian mereka? Sementara pertanyaan-pertanyaan ini masih menjadi bahan perdebatan dan diskusi, ada satu hal yang membuat kita tidak berbeda dengan para Majus. Apakah itu?

Kenapa kita bisa terpikat oleh kisah perjalanan orang Majus karena kita juga sejatinya sedang melakukan perjalanan. Setiap hari, kita melakukan perjalanan, dari rumah ke sekolah atau tempat kerja, dari satu tempat ke tempat lain. Setiap hari Minggu, kita melakukan perjalanan ke gereja. Terkadang, kita menjelajahi tempat-tempat baru untuk berlibur atau berziarah. Di lain waktu, kita terpaksa untuk pergi ke tempat-tempat yang kita tidak sukai, seperti rumah sakit karena kita sakit. Sejatinya, hidup kita itu sendiri adalah sebuah perjalanan. Dari saat kita meninggalkan rahim ibu kita, hingga kita mencapai tujuan akhir kita, kita terus bergerak melintasi ruang dan waktu. Kita adalah peziarah di dunia ini. Jauh di dalam hati, tidak jarang kita bertanya, “Ke mana saya pergi? Apakah perjalanan saya memiliki tujuan?”

Kisah para Majus memberikan kita jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar ini. Ketika para Majus menemukan “bintang” sang Raja yang baru lahir, mereka tahu bahwa mereka harus menemukan-Nya. Namun, mereka bisa saja salah menafsirkan arti bintang itu. Di sepanjang perjalanan, mereka bisa saja menghadapi potensi bahaya dan tantangan yang tak terduga. Risikonya sangat besar. Namun, mereka tidak menyerah. Sebagai peziarah sejati, mereka terus maju dengan satu harapan untuk menemukan Dia yang paling mereka dambakan.

Matius hanya memberikan sedikit rincian tentang perjalanan mereka, dan membiarkan imajinasi kita mengambilnya selebihnya. Namun, kita dapat merasakan betapa terkejutnya mereka ketika mereka gagal menemukan Raja yang baru lahir di Yerusalem. Mereka mungkin berharap bahwa Raja itu adalah putra Herodes, raja yang sedang berkuasa pada saat itu. Meskipun mengalami kegagalan, mereka tidak hilang harapan dan terus melanjutkan perjalanan mereka. Rasa terkejut mereka semakin menjadi-jadi ketika mereka menemukan Raja mungil di rumah Yusuf dan Maria yang sederhana. Sekali lagi, walaupun di luar bayangan mereka, mereka tidak berhenti berharap bahwa kelak, bayi ini sungguh akan menjadi raja besar, dan mereka memberikan penghormatan dan persembahan. Para Majus menjadi orang non-Israel pertama yang menerima Yesus. Perjalanan mereka mengingatkan kita akan kata-kata Santo Paulus: “Pengharapan tidak mengecewakan” (Roma 5:5).

Seperti orang Majus, kita juga adalah peziarah di dunia ini. Terkadang, kita merasa tidak yakin dengan jalan kita, dikelilingi oleh ketidakpastian. Terkadang, perjalanan kita tampak tidak berarti, terutama ketika kita lelah atau tersesat. Seringkali, kita takut menghadapi tantangan dan bahaya. Namun, jauh di dalam lubuk hati kita, kita tahu bahwa kita harus terus melangkah maju, karena sebuah pengharapan bahwa perjalanan kita menuju Yesus akan menghasilkan buah sejati. Karena Dialah yang paling dirindukan oleh hati kita. Gabriel Marcel, seorang filsuf Katolik, dengan indah mengungkapkan hal ini dalam bukunya Homo Viator, “Saya berpikir bahwa harapan bagi jiwa adalah seperti bernapas bagi organisme hidup. Di mana harapan tidak ada, jiwa menjadi kering dan layu…” Kita adalah peziarah di bumi ini, dan kita berjalan bukan karena takut atau putus asa, tetapi karena pengharapan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan

Apakah kita sadar bahwa kita adalah pendatang di bumi ini, bukan penghuni tetap? Apakah kita mengenali tujuan kita yang sebenarnya? Upaya apa yang kita lakukan untuk tetap berada di jalan yang benar? Bagaimana kita menanggapi tantangan dan masalah dalam perjalanan kita? Bagaimana kita dapat menjaga harapan kita tetap hidup selama perjalanan panjang ini?