Love and Power

7th Sunday in Ordinary Time [C]

February 23, 2025

Luke 6:27-38

Jesus teaches us to “love our enemies,” but what does this mean? Does it mean we must endure their evil deeds without fighting back? Does it mean we must always give in to their demands? Does it mean we should forget what they do to us? Thankfully, the Church provides us with an answer through our first reading: the story of David and Saul.

Saul, the first king of Israel, initially supported David as one of his commanders, especially after David defeated Goliath. However, as time passed and after various wars, David became more successful than Saul and even gained greater fame. Feeling threatened by David’s growing popularity, Saul declared him his enemy and sought to kill him. David was forced to flee, and with his supporters, he waged guerrilla warfare against Saul. One day, when Saul and his army were in pursuit of David, they camped for the night. David noticed Saul’s camp nearby, and when the guards were asleep, David quietly entered Saul’s tent and had the opportunity to kill him. David’s companion even urged him to take action, knowing that Saul had caused much suffering for him and his men. Moreover, if Saul were killed, David could claim the throne and become the new king of Israel. Yet, David refused to kill Saul, recognizing that Saul was still God’s anointed king. He knew it would be cowardly to deal the final blow. Ultimately, God blessed David for showing mercy to his enemy, Saul.

The story of David and Saul illustrates how we can love our enemies. To love does not simply mean to like someone, but rather to choose to do good to them. Yes, we may feel hatred toward our enemies, but we can still decide to love them by not harming them. From David’s story, we also learn that loving our enemies presupposes that we have power over them. In David’s case, he had the power to end Saul’s life. To love someone, including our enemy, requires power.

This truth about love and power is crucial. It is not true love if we merely condone the wrongdoing of our enemies because we lack the power to defend ourselves. I often tell spouses who are victims of domestic abuse that simply giving in to the demands of an abusive partner is not true love, but a misunderstanding of Jesus’ commandment to love our enemies.

Loving others, even our enemies, is for the strong and powerful. Only through the exercise of power and authority can we do something that is genuinely good. Without power, we may deceive ourselves into thinking that we love our enemies, when in reality, we are just giving in to their wrongdoing.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

How do we understand Jesus’ commandment to love our enemies? Who are our enemies? Are we willing to love our enemies? How can we love our enemies? Are we sure that we love our enemies, or are we simply giving in to their wrongdoings?

Kasih dan Kuasa

Minggu ke-7 dalam Masa Biasa [C]

23 Februari 2025

Lukas 6:27-38

Yesus mengajarkan kita untuk “mengasihi musuh kita,” tetapi apa artinya ini? Apakah ini berarti kita harus menanggung perbuatan jahat mereka tanpa membela diri? Apakah itu berarti kita harus selalu mengalah pada tuntutan mereka? Apakah itu berarti kita harus melupakan begitu saja apa yang mereka lakukan kepada kita? Syukurlah, Gereja memberikan jawaban kepada kita melalui bacaan pertama kita: kisah Daud dan Saul.

Saul, raja pertama Israel, pada awalnya mendukung Daud sebagai salah satu panglimanya, terutama setelah Daud mengalahkan Goliat. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah melalui berbagai peperangan, Daud menjadi lebih sukses daripada Saul dan bahkan mendapatkan ketenaran yang lebih besar. Merasa terancam oleh popularitas Daud yang semakin meningkat, Saul menyatakannya sebagai musuhnya dan berusaha untuk membunuhnya. Daud terpaksa melarikan diri, dan bersama para pendukungnya, ia melancarkan perang gerilya melawan Saul.

Suatu hari, ketika Saul dan pasukannya mengejar Daud, mereka berkemah untuk bermalam. Daud melihat kemah Saul di dekatnya, dan ketika para penjaga tertidur, Daud diam-diam memasuki kemah Saul dan memiliki kesempatan untuk membunuhnya. Sahabat Daud bahkan mendesaknya untuk mengambil tindakan tersebut, karena mengetahui bahwa Saul telah menyebabkan banyak penderitaan baginya dan anak buahnya. Selain itu, jika Saul terbunuh, Daud dapat mengklaim takhta dan menjadi raja Israel yang baru. Namun, Daud menolak untuk membunuh Saul, karena ia menyadari bahwa Saul masih merupakan raja yang diurapi Tuhan. Dia tahu bahwa hal ini adalah tindakan pengecut. Pada akhirnya, Tuhan memberkati Daud karena telah menunjukkan belas kasihan kepada musuhnya, Saul.

Kisah Daud dan Saul mengilustrasikan bagaimana kita dapat mengasihi musuh-musuh kita. Mengasihi bukan hanya berarti menyukai seseorang, tetapi lebih dari itu, kita harus memilih untuk berbuat baik kepada mereka. Ya, kita mungkin merasa benci kepada musuh kita, tetapi kita masih bisa memutuskan untuk mengasihi mereka dengan tidak menyakiti mereka. Dari kisah Daud, kita juga belajar bahwa mengasihi musuh kita mengandaikan bahwa kita memiliki kuasa atas mereka. Dalam kasus Daud, ia memiliki kuasa untuk mengakhiri hidup Saul. Mengasihi seseorang, termasuk musuh kita, membutuhkan kekuatan dan kuasa.

Kebenaran tentang kasih dan kuasa ini sangatlah penting. Bukanlah kasih yang sejati jika kita hanya memaafkan kesalahan musuh kita karena kita tidak memiliki kekuatan dan kuasa untuk membela diri. Saya sering mengatakan kepada pasangan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bahwa pasrah begitu saja pada tuntutan pasangan yang kasar dan manipulatif bukanlah kasih yang sejati, tetapi kesalahpahaman akan perintah Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita.

Mengasihi orang lain, bahkan musuh kita, adalah untuk mereka yang kuat dan berkuasa. Hanya melalui penggunaan kekuasaan dan otoritas, kita dapat melakukan sesuatu yang benar-benar baik. Tanpa kekuasaan, kita dapat menipu diri kita sendiri dengan berpikir bahwa kita mengasihi musuh-musuh kita, padahal pada kenyataannya, kita hanya mengalah dan pasrah pada tindakan jahat mereka.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Bagaimana kita memahami perintah Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita? Siapakah musuh-musuh kita? Apakah kita mau mengasihi musuh-musuh kita? Bagaimanakah kita dapat mengasihi musuh-musuh kita? Apakah kita yakin bahwa kita mengasihi musuh-musuh kita, atau apakah kita hanya menyerah pada tidakan jahat mereka?

Woe to You who are Rich?

6th Sunday in Ordinary Time [C]

February 16, 2025

Luke 6:17, 20-26

Today, we reflect on Jesus’ Beatitudes according to St. Luke. Unlike St. Matthew’s version, where Jesus pronounces eight blessings, in the third Gospel, Jesus declares four blessings and four woes. One of the most striking statements is when Jesus says, “Woe to the rich!” Does this mean that being rich automatically condemns us to hell? Does St. Luke harbor hatred toward wealthy people?

The answer is a resounding NO. Being rich does not automatically lead to condemnation, nor does St. Luke despise the wealthy. In fact, the Gospel he wrote serves as the first evidence of this. Luke dedicates his Gospel to a man named Theophilus, who, as we’ve discussed before, was likely a wealthy individual who supported Luke in his writing endeavors. Luke holds deep respect for Theophilus, and Theophilus, in turn, genuinely cares for Luke and his ministry.

Secondly, it’s important to understand the meaning of the word “woe.” In the Bible, this term does not signify outright condemnation or a curse. Instead, it serves as a stern warning. The prophets of the Old Testament used “woe” to call Israel to repentance and a return to the Lord. However, if the Israelites remained stubborn, the “woe” would become a reality, and they would face the consequences of their actions (see Isaiah 5:8–22; Amos 6:1; Habakkuk 2:6–20). In the Gospel, Jesus follows in the footsteps of these prophets, using “woe” as a call to reflection and change.

At the same time, we must read Jesus’ woes in their entirety. When He says, “Woe to you who are rich, for you have received your consolation,” it becomes clear that the “woe” is not directed at all rich people but specifically at those who find their happiness solely in their wealth. In other words, the warning is for those who rely on earthly riches rather than on God. Even poor individuals who idolize money and treat it as everything in life fall under this “woe.”

The same applies to Jesus’ other warnings. Woe to us if we seek bodily pleasure and worldly enjoyment while neglecting the Kingdom of God. Woe to us if we chase popularity and fame instead of striving for God’s glory. Wealth, bodily pleasure, and fame are not inherently evil—they can be good, but only as means to attain what is truly good. Ultimately, these things will pass away when we die, and we will stand before God’s judgment empty-handed. As Job once said, “Naked I came from my mother’s womb, and naked I will depart. The Lord gave and the Lord has taken away; may the name of the Lord be praised!” (Job 1:21).

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

How do we feel after reading this Gospel? What is our attitude toward wealth and earthly possessions? How do we use your wealth, possessions, and bodily pleasures? How do we promote God’s glory in this life?

Celakalah Kamu yang Kaya?

Minggu ke-6 dalam Masa Biasa [C]

16 Februari 2025

Lukas 6:17, 20-26

Hari ini, kita merenungkan Sabda Bahagia Yesus menurut Santo Lukas. Tidak seperti versi Matius, di mana Yesus mengucapkan delapan berkat, dalam Injil ketiga, Yesus menyatakan empat berkat dan empat “celaka”. Salah satu pernyataan yang paling mencolok adalah ketika Yesus berkata, “Celakalah orang kaya!” Apakah ini berarti bahwa menjadi kaya secara otomatis membawa kita ke neraka? Apakah Santo Lukas menyimpan kebencian terhadap orang-orang kaya?

Jawabannya adalah TIDAK. Menjadi kaya tidak secara otomatis membawa kita kepada penghukuman, dan Lukas juga tidak membenci orang kaya. Faktanya, Injil yang ditulisnya menjadi bukti pertama akan hal ini. Lukas mendedikasikan Injilnya kepada seorang pria bernama Teofilus, yang seperti telah kita bahas sebelumnya, kemungkinan besar Teofilus adalah orang kaya yang mendukung Lukas dalam usaha penulisan Injilnya. Lukas sangat menghormati Teofilus, dan Teofilus, pada gilirannya, sangat peduli terhadap Lukas dan pelayanannya.

Kedua, penting untuk memahami arti kata “celaka”. Dalam Alkitab, istilah ini tidak berarti kutukan. Sebaliknya, kata ini berfungsi sebagai peringatan keras. Para nabi dalam Perjanjian Lama menggunakan kata “celakalah” untuk memanggil bangsa Israel untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan. Namun, jika orang Israel tetap keras kepala, “celaka” akan menjadi kenyataan, dan mereka akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka (lihat Yesaya 5:8-22; Amos 6:1; Habakuk 2:6-20). Dalam Injil, Yesus mengikuti jejak para nabi ini, dengan menggunakan kata “celakalah” sebagai panggilan untuk bertobat dan berubah.

Pada saat yang sama, kita harus membaca kata-kata Yesus secara keseluruhan. Ketika Dia berkata, “Celakalah kamu yang kaya, karena kamu telah menerima penghiburanmu,” jelaslah bahwa “celakalah” tidak ditujukan kepada semua orang kaya, tetapi secara khusus kepada mereka yang menemukan kebahagiaan mereka semata-mata dalam kekayaan mereka. Dengan kata lain, peringatan ini ditujukan kepada mereka yang mengandalkan kekayaan duniawi dan bukan kepada Tuhan. Bahkan orang-orang miskin yang mengidolakan uang dan mengejarnya sebagai segala-galanya dalam hidup pun termasuk dalam kategori “celaka” ini.

Hal yang sama berlaku untuk peringatan-peringatan Yesus yang lain. Celakalah kita jika kita mencari kesenangan jasmani dan kenikmatan duniawi sementara mengabaikan Kerajaan Allah. Celakalah kita jika kita mengejar popularitas dan ketenaran alih-alih berjuang untuk kemuliaan Allah. Kekayaan, kesenangan jasmani, dan ketenaran tidaklah serta merta jahat – semuanya itu bisa saja baik, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai apa yang benar-benar baik. Pada akhirnya, semua hal ini akan lenyap ketika kita mati, dan kita akan berdiri di hadapan penghakiman Tuhan tidak dengan membawa hal-hal ini. Seperti yang pernah dikatakan Ayub, “Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dan dengan telanjang pula aku akan pergi. Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil, kiranya nama Tuhan dipuji!” (Ayub 1:21).

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Bagaimana perasaan kita setelah membaca Injil ini? Bagaimana sikap kita terhadap kekayaan dan harta benda duniawi? Bagaimana kita menggunakan kekayaan, harta benda, dan kesenangan jasmani? Bagaimana kita memuliakan Allah dalam hidup ini?

God’s Holiness

5th Sunday in Ordinary Time [C]
February 9, 2025
Isaiah 6:1-2a, 3-8

In the first reading, we encounter the story of Isaiah, who was called to be God’s prophet. Isaiah saw the heavenly Temple, where the Seraphim, the highest of angels, proclaimed: “Holy, holy, holy is the Lord of hosts!” Through the mouths of the Seraphim, the Bible reveals one of God’s most fundamental characteristics—His holiness. In another passage, God explicitly commands us: “Be holy, for I am holy” (Leviticus 19:2). But what does it mean to be holy? Why is the word repeated three times? And how can we achieve holiness?

In the Bible, the word “holy” (קָדוֹשׁ, read: kadosh) can be understood as something that belongs to God. Holy places, times, objects, and people are those set apart for the Lord. Since they belong to Him, they are separated from things that are not of God. The process of transitioning from the non-holy to the holy is often called consecration or sanctification.

But what does it mean when we say that God is holy? In Scripture, “holy” is the most frequently used word to describe the God of Israel. Often, it is repeated three times, as in Isaiah’s vision. This is a common Semitic way of expressing the superlative—in other words, saying “the holiest.” Holiness, when applied to God, means:

  1. Transcendence – God is completely different from His creation. He is perfect; we are not. He is all-powerful; we are weak. He is all-knowing; we understand only a fraction of reality.
  2. Immanence – Despite His transcendence, God is not distant. He is intimately involved in history, in our lives, and in our daily struggles. He is a God who gives life, cares for us, and loves His creation.
  3. Moral Perfection – God’s holiness also refers to His absolute justice and righteousness. Every action of His is good and just.

When God calls us to be holy as He is holy, He invites us to share in His perfection. But how can we, as imperfect beings, ever reach such a standard? At first glance, this command might seem impossible. And indeed, it is—if we rely solely on our own strength. But with God, nothing is impossible. Holiness is only achievable when we are united with Him and rely on His grace.

It is humanly impossible to love our spouse through sickness, trials, and economic hardship—but God’s grace strengthens us to love until the end. It is humanly impossible to remain faithful to one’s vocation—but with God’s grace, the impossible becomes possible. It is humanly impossible to forgive and do good to those who have hurt us—but God’s grace makes reconciliation and healing attainable.

However, the life of grace is not automatic. We must do our part to allow God’s grace to transform us. This is why it is essential to: Pray faithfully, Read the Bible regularly, Participate in the Eucharist every Sunday with reverence, Go to confession frequently. These practices open our hearts to receive God’s grace, allowing us to grow in holiness. Indeed, holiness is impossible without God, but God also desires that we freely participate in His holiness.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions
Do we truly desire to live a holy life? Do we freely invite God into our lives? How do we cultivate holiness in our daily routines? Have we experienced God’s grace in our lives? How?

Kekudusan Allah

Minggu ke-5 dalam Masa Biasa [C]
9 Februari 2025
Yesaya 6:1-2a, 3-8

Dalam bacaan pertama Minggu ini, kita menemukan kisah Yesaya, yang dipanggil untuk menjadi nabi Allah. Yesaya melihat Bait Allah surgawi, di mana para Serafim, malaikat tertinggi, berseru: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam!” Melalui kata-kata para Serafim, Alkitab mengungkapkan salah satu karakteristik Allah yang paling mendasar: kekudusan-Nya. Di ayat lain, Allah secara eksplisit memerintahkan kita: “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus” (Im 19:2). Namun, apa yang dimaksud dengan kudus? Mengapa kata itu diulang tiga kali? Dan bagaimana kita dapat mencapai kekudusan?

Dalam Alkitab, kata “kudus” (Ibrani: קָדוֹשׁ, baca: kadosh) dapat dimengerti sebagai “sesuatu yang menjadi milik Tuhan”. Tempat kudus, waktu kudus, benda kudus, dan orang yang kudus adalah hal-hal yang dikhususkan untuk Tuhan karena hal-hal ini adalah milik-Nya. Menjadi milik Allah berarti juga mereka dipisahkan dari hal-hal yang bukan milik Tuhan. Proses transisi dari yang tidak kudus menjadi kudus sering disebut konsekrasi atau pengudusan.

Namun, apa yang dimaksud dengan kata “kudus” ketika kita mengatakan bahwa Allah itu kudus? Dalam Alkitab, “kudus” adalah kata yang paling sering digunakan untuk menggambarkan Allah Israel. Seringkali, kata ini diulang sebanyak tiga kali, seperti dalam penglihatan Yesaya. Ini adalah cara umum bahasa Semit untuk mengekspresikan kata superlatif – dengan kata lain, mengatakan “yang paling kudus.” Kekudusan, ketika diterapkan kepada Allah, berarti:

  1. Transendensi – Allah sama sekali berbeda dengan ciptaan-Nya. Dia sempurna; kita tidak. Dia maha kuasa; kita lemah. Dia maha tahu; kita hanya memahami sebagian kecil dari realitas. Dia adalah kesempurnaan.
  2. Immanensi – Terlepas dari transendensi-Nya, Allah tidak jauh. Dia terlibat secara secara dekat dalam sejarah manusia, dalam kehidupan kita, dan dalam pergumulan kita sehari-hari. Dia adalah Allah yang memberikan kehidupan, memperhatikan kita, dan mengasihi ciptaan-Nya. Dia adalah kasih.
  3. Kesempurnaan Moral – Kekudusan Allah juga mengacu pada keadilan dan kebenaran-Nya yang mutlak. Setiap tindakan-Nya adalah baik dan adil. Dia adalah baik dan adil.

Ketika Allah memanggil kita untuk menjadi kudus sebagaimana Dia kudus (Ima 19:2), Dia mengundang kita untuk mengambil bagian dalam kesempurnaan-Nya. Tetapi bagaimana mungkin kita, sebagai makhluk yang tidak sempurna, dapat mencapai standar seperti itu? Sekilas, perintah ini mungkin tampak mustahil. Dan memang benar – jika kita hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri. Namun, bagi Allah, tidak ada yang mustahil. Kekudusan hanya dapat dicapai ketika kita bersatu dengan-Nya dan bersandar pada rahmat-Nya.

Secara manusiawi mustahil untuk setia kepada suami atau istri secara khusus melalui masa-masa sakit, cobaan, dan kesulitan ekonomi, tetapi rahmat Allah menguatkan kita untuk mengasihi sampai akhir. Secara manusiawi mustahil untuk tetap setia pada panggilan kita, tetapi dengan rahmat Allah, hal yang mustahil menjadi mungkin. Secara manusiawi mustahil untuk mengampuni dan berbuat baik kepada mereka yang telah menyakiti kita, tetapi rahmat Allah memampukan kita dan kesembuhan menjadi mungkin.

Namun, kehidupan rahmat tidaklah otomatis. Kita harus melakukan bagian kita untuk mengizinkan rahmat Allah mengubah kita. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk: Berdoa dengan setia, membaca Alkitab secara teratur, berpartisipasi dalam Ekaristi setiap hari Minggu dengan penuh hormat, pergi ke pengakuan dosa secara rutin. Praktik-praktik rohani ini membuka hati kita untuk menerima rahmat, yang memungkinkan kita untuk bertumbuh dalam kekudusan. Sungguh, kekudusan tidak mungkin terjadi tanpa Allah, tetapi Allah juga ingin agar kita dengan bebas berpartisipasi dalam kekudusan-Nya.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi
Apakah kita sungguh-sungguh ingin hidup kudus? Apakah kita dengan bebas mengundang Allah ke dalam hidup kita? Bagaimana kita memupuk kekudusan dalam rutinitas kita sehari-hari? Sudahkah kita mengalami rahmat Allah dalam hidup kita? Bagaimana kita mengalaminya?

Consecrated

The Feast of Presentation of the Lord [C]

February 2, 2025

Luke 2:22-40

Today, we are celebrating the Feast of the Presentation, commemorating the biblical event when Mary and Joseph presented the newborn Jesus at the Temple in Jerusalem. But why must Jesus be presented at the Temple in the first place?

Joseph and Mary brought Jesus to the Temple because He was Mary’s firstborn. According to the Law of Moses, all firstborn males, whether human or animal, must be consecrated to the Lord (see Exodus 13:1-2; 11-16). The word “consecrated” here means to be made holy (Hebrew: kados), and to be holy means to belong to the Lord. The most common way to consecrate something is through sacrifice, signifying a transition from the ordinary realm to the divine realm.

Certainly, blood sacrifice was only required for livestock animals, such as sheep or goats. These animals were slaughtered and burned at the altar, signifying their transition from this world to the divine realm. However, not all things had to be killed. In the case of working animals, like donkeys, and firstborn humans, they were brought to the Temple and presented to the priest. Then, the owner or parents were required to redeem their firstborn by offering animals to be sacrificed in their place. To redeem Jesus, Joseph and Mary offered a pair of turtledoves or pigeons, a sacrifice commonly offered by the poor.

Why must the firstborn child be consecrated to the Lord? The Book of Exodus (chapter 12) tells us that, just before the Israelites left Egypt, the tenth plague that killed the Egyptian firstborns took place. The Israelite firstborns were spared because of the Passover sacrifice—the unblemished lamb that was slain, its blood placed on the doorposts, and its flesh roasted and eaten. In this way, the Passover lamb was sacrificed to redeem the firstborn Israelites from death.

What is interesting is that Luke never tells us that Jesus was redeemed. Yes, He was presented, and Mary and Joseph did offer sacrificial animals, but the word “redeem” is absent from the story. It seems that Luke deliberately omits this word to emphasize that Jesus is presented as the true firstborn—the Passover Lamb—who will be sacrificed so that we may be redeemed from sin and death.

As Christians, we no longer follow the ritual of consecrating firstborns as outlined in Exodus 13. The reason is that we are all consecrated, or set apart, for the Lord through our baptism. Through His sacrifice on the cross, Jesus is the Passover Lamb (1 Cor 5:7) who saves us from sin and death and redeems us for God. Now, we belong to the Lord, and as God’s possession, we are holy. This is why St. Paul, in his letters (1 Cor 1:2; Eph 1:1; Phil 1:1), does not refer to the Church’s members as Christians but as the “holy ones” or the “saints.” As people consecrated to God, we are called to live holy lives, for God is holy (Lev 11:44).

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Questions for Reflection:

Are we aware that we have been consecrated to the Lord? What does holiness mean? Do we live as holy people of God? How do we live a holy life in our daily routines? Do we help others grow in holiness? If so, how?

Yang Kudus

Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah [C]

2 Februari 2025

Lukas 2:22-40

Hari ini, kita merayakan Pesta Yesus yang dipersembahkan di Bait Allah, sebuah peristiwa di Injil ketika Maria dan Yusuf mempersembahkan Yesus yang baru lahir di Bait Allah di Yerusalem. Namun, mengapa Yesus harus dipersembahkan di Bait Allah?

Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Bait Allah karena Dia adalah anak sulung Maria. Menurut Hukum Musa, semua anak sulung laki-laki, baik manusia maupun hewan, harus dikuduskan bagi Tuhan (lihat Kel 13:1-2; 11-16). Kata “dikuduskan” atau dijadikan kudus (bahasa Ibrani: kados) berarti menjadi milik Tuhan. Cara yang paling umum untuk menguduskan sesuatu adalah melalui pengorbanan, yang menandakan transisi dari alam biasa ke alam ilahi.

Tentu saja, pengorbanan darah hanya diperlukan untuk hewan ternak, seperti domba atau kambing. Hewan-hewan ini disembelih dan dibakar di altar, yang menandakan peralihan hidup dari dunia ini ke alam ilahi. Namun, tidak semua hewan harus disembelih. Dalam kasus hewan pekerja, seperti keledai, dan anak sulung manusia, mereka dibawa ke Bait Allah dan dipersembahkan kepada imam. Kemudian, pemilik atau orang tua diharuskan untuk menebus anak sulung mereka dengan mempersembahkan hewan untuk dikorbankan sebagai gantinya. Untuk menebus Yesus, Yusuf dan Maria mempersembahkan sepasang burung tekukur atau merpati, kurban yang biasa dipersembahkan oleh orang miskin.

Mengapa anak sulung harus dikuduskan bagi Tuhan? Kitab Keluaran (pasal 12) menceritakan bahwa sebelum bangsa Israel meninggalkan Mesir, tulah kesepuluh yang membunuh anak-anak sulung Mesir terjadi. Anak-anak sulung Israel pun sebenarnya bisa terbunuh karena tulah ini, namun mereka diselamatkan oleh kurban Paskah, yakni anak domba tidak bercacat yang disembelih, darahnya dioleskan pada tiang-tiang pintu, dan dagingnya dipanggang dan dimakan. Dengan cara ini, anak domba Paskah dikorbankan untuk menebus anak-anak sulung Israel dari kematian.

Yang menarik adalah Lukas tidak pernah mengatakan bahwa Yesus “ditebus”. Ya, Dia memang dipersembahkan, dan Maria serta Yusuf memang membawa hewan kurban, tetapi kata “tebus” tidak ada dalam cerita ini. Tampaknya Lukas sengaja menghilangkan kata ini untuk menekankan bahwa Yesus tidak pernah ditebus. Dia telah dikuduskan untuk menjalankan perannya sebagai anak sulung yang sejati, sang Domba Paskah, yang akan dikorbankan agar kita dapat ditebus dari dosa dan maut.

Sebagai umat Kristinani, kita tidak lagi mengikuti ritual pengudusan anak sulung seperti yang diuraikan dalam Keluaran 13. Alasannya adalah karena kita semua telah dikuduskan bagi Tuhan melalui sakramen pembaptisan kita. Melalui pengorbanan-Nya di kayu salib, Yesus adalah Anak Domba Paskah (1 Kor. 5:7) yang menyelamatkan kita dari dosa dan maut serta menebus kita bagi Allah. Sekarang, kita adalah milik Tuhan, dan sebagai milik Tuhan, kita adalah kudus. Inilah sebabnya mengapa Santo Paulus, dalam surat-suratnya (1 Kor 1:2; Ef 1:1; Flp 1:1), tidak menyebut anggota Gereja sebagai orang Kristen, tetapi sebagai “orang-orang kudus.” Sebagai orang-orang yang dikuduskan bagi Allah, kita dipanggil untuk hidup kudus, karena Allah itu kudus (Im 11:44).

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk Refleksi:

Apakah kita sadar bahwa kita telah dikuduskan bagi Tuhan? Apakah yang dimaksud dengan kekudusan? Apakah kita hidup sebagai umat Allah yang kudus? Bagaimana kita menghidupi kehidupan yang kudus dalam rutinitas kita sehari-hari? Apakah kita menolong orang lain untuk bertumbuh dalam kekudusan? Jika ya, bagaimana caranya?