The Prodigal Father

4th Sunday of Lent [C]

March 30, 2025

Luke 15:1-3, 11-32

The story of the Prodigal Son is one of the most beautiful parables in the Gospel. Not only is it masterfully told, but it also teaches profound lessons—especially about parenthood.

Raising children is no easy task. Each child has a unique personality, and each can bring both joy and heartache. Many of us struggle to know how to be good parents. Some rely on the wisdom passed down from their own parents and elders, drawing from memories of how they were raised. Others turn to social media or self-proclaimed parenting “experts” for guidance. A few make the effort to consult real specialists—paediatricians, child psychologists, and educators. Yet, in the end, our children are not carbon copies of us. There will always be surprises beyond our control. All we can do is pray and hope they that will grow into their best selves.

The father in the parable offers us a powerful example. Despite doing his best to raise his two sons, he faced painful relationships with both. The younger son demanded his inheritance, severed ties, and left to live a sinful life. Imagine the father’s heartbreak—his son treated him as disposable, not as a parent. The elder son was no better. When his brother returned, he refused to enter the house and join the celebration. He never called his father “Father,” referring to his brother as “your son” instead of “my brother.” He saw himself not as a son but as a servant, even saying, “Look! All these years I’ve worked for you like a slave! Again, the father’s heart must have ached—he had raised a son, not a slave.

Yet, despite these struggles, the father never gave up. He never stopped hoping for his younger son’s return. When the prodigal son came home, humbled and expecting to be a servant, the father is the first one who saw his son, ran after him, and embraced him. He called him “my son” and not servant. When the first son refused to go home, the father sought him and pleaded with him, calling him “my son” and not servant, explaining that everything he has, belongs also to his son.

Many of us are blessed with children but endure strained relationships. Despite our best efforts, our children may not turn out as we hoped. Some, like the younger son, reject our love or wish us gone. Others, like the elder son, see us as taskmasters, not parents. Yet the parable calls us to love perseveringly, and till the end, because that is true parenthood. That is holiness.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions:

How do we raise our children well? What is the state of our relationship with them? Do we face difficulties in relating to our children? How do we respond to these challenges? Do we rely on God’s grace to guide us?

Kisah Seorang Ayah

Minggu ke-4 Masa Prapaskah [C]

30 Maret 2025

Lukas 15:1-3, 11-32

Kisah Anak yang Hilang adalah salah satu perumpamaan yang paling indah dalam Injil. Tidak hanya diceritakan dengan indah, tetapi juga mengajarkan pelajaran yang mendalam – terutama tentang menjadi orang tua.

Membesarkan anak bukanlah tugas yang mudah. Setiap anak memiliki kepribadian yang unik, dan masing-masing dapat membawa sukacita, namun juga sakit hati. Banyak dari kita yang bergulat menjadi orang tua yang baik. Beberapa mengandalkan kebijaksanaan yang diturunkan dari orang tua kita dan orang sekitar kita, atau  dari pengalaman dan memori bagaimana kita dibesarkan. Sebagian lagi beralih ke media sosial atau influencers yang menyebut diri sebagai “pakar parenting.”  Beberapa orang melakukan langkah lebih jauh dengan berkonsultasi dengan spesialis yang sebenarnya, seperti dokter anak, psikiater dan psikolog anak, dan pendidik. Namun, pada akhirnya, anak-anak kita bukanlah fotokopi dari diri kita. Akan selalu ada kejutan-kejutan di luar kendali kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa dan berharap mereka tumbuh menjadi diri mereka yang terbaik.

Sang ayah dalam perumpamaan ini memberikan teladan yang baik kepada kita. Meskipun telah melakukan yang terbaik untuk membesarkan kedua putranya, dia menghadapi relasi yang menyakitkan dengan keduanya. Anak bungsunya menuntut warisannya, memutuskan hubungan, dan pergi untuk menjalani kehidupan yang penuh dosa. Bayangkan betapa hancurnya hati sang ayah karena putranya memperlakukannya sebagai barang yang bisa dibuang, bukan sebagai orang tua. Anak sulungnya juga tidak lebih baik. Ketika adiknya kembali, dia menolak untuk masuk ke rumah dan bergabung dalam perayaan. Dia tidak pernah memanggil ayahnya dengan sebutan “Ayah,” dan memanggil saudaranya dengan sebutan “anakmu” daripada “saudaraku.” Dia melihat dirinya bukan sebagai anak tetapi sebagai hamba, bahkan berkata, “Lihat! Selama ini saya telah bekerja untukmu seperti seorang budak!” Sekali lagi, hati sang ayah pasti hancur karena ia telah membesarkan seorang anak, bukan seorang budak.

Namun, terlepas dari semua pergulatan ini, sang ayah tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah berhenti berharap anak-anaknya kembali. Ketika anak yang hilang itu pulang dan berharap untuk menjadi seorang hamba, sang ayah adalah orang pertama yang melihat anaknya, berlari mengejarnya, dan memeluknya. Dia memanggilnya “anakku” dan bukan hamba. Ketika anak pertama menolak untuk pulang, sang ayah mencarinya dan memohon kepadanya, memanggilnya “anakku” dan bukan hamba, menjelaskan bahwa semua yang dia miliki, adalah juga milik anaknya.

Banyak dari kita yang dikaruniai anak tetapi mengalami hubungan yang tidak selalu sempurna. Terlepas dari upaya terbaik kita, anak-anak kita mungkin tidak menjadi seperti yang kita harapkan. Beberapa, seperti anak bungsu, menolak cinta kita atau berharap kita pergi. Yang lainnya, seperti anak sulung, melihat kita sebagai bos atau atasan, bukan sebagai orang tua. Namun, perumpamaan ini memanggil kita untuk mengasihi dengan tekun, dan sampai akhir. Itulah orang tua yang sejati. Itulah kekudusan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

Bagaimana kita membesarkan anak-anak kita dengan baik? Bagaimana hubungan kita dengan mereka? Apakah kita menghadapi kesulitan dalam berhubungan dengan anak-anak kita? Bagaimana kita menanggapi tantangan-tantangan ini? Apakah kita mengandalkan kasih karunia Allah untuk membimbing kita?

Moses

3rd Sunday of Lent [C]

March 23, 2025

Exodus 3:1-8a, 13-15

Moses is undoubtedly one of the greatest figures in the Old Testament. He led the Israelites out of slavery in Egypt, mediated the Sinaitic covenant, taught God’s laws, and even performed miracles. His life and teachings are recorded in four books of the Bible: Exodus, Leviticus, Numbers, and Deuteronomy. However, when we look deeper into his life, we discover that his story is not solely about greatness and success. Moses also had a dark past.

Moses was born into the Levite clan during a time when Egypt had ordered the killing of all Hebrew baby boys. To save him, his mother devised a plan to place him in a basket on the Nile River, where he was found by an Egyptian princess. She drew him from the water and named him “Moses” (Exodus 2:10). Though an Israelite by birth, Moses was adopted by the princess and raised as part of the royal family, enjoying the privileges reserved for Egyptian nobility.

Moses’ story might have had a “happy ending” had he not involved himself in the struggles of the Hebrew slaves. He could have lived comfortably as an Egyptian official, married an Egyptian woman, raised a family, and enjoyed a peaceful old age. However, he could not ignore the injustice inflicted on his people. In a moment of anger, he killed an Egyptian who was oppressing an Israelite. Moses believed he had hidden his crime, but he was wrong. When he tried to mediate a dispute between two Israelites, they revealed his secret, exposing him as a murderer. His comfortable life was shattered, and he was forced to flee Egypt. Once drawn from the water, Moses now found himself drowning in despair.

In Midian, Moses started a new life. He protected the daughters of a Midianite priest from harassing shepherds, and as a sign of gratitude, the priest welcomed him and gave him his daughter Zipporah in marriage. This marked Moses’ second life. Though not as luxurious as his life in Egypt, it was peaceful. Yet, when Moses was around 80 years old, God appeared to him in a burning bush and called him to be His instrument in liberating the Israelites from Egyptian slavery. Moses doubted himself deeply. After all, he was a murderer and a fugitive who had betrayed the kindness of the Egyptians, while distrusted his fellow Israelites. He was also old and content with his life in Midian.

Despite Moses’ dark and sinful past—and his current doubts—God insisted on choosing him. Why? Because Moses’ story is ultimately not about Moses but about God, who redeemed Israel through an imperfect man. Yet, Moses was not merely an instrument. As he journeyed with God, he also found his own redemption.

Like Moses, we are far from perfect. We are broken, struggling with sin and disordered attachments. We fail as parents, spouses, children, and friends. We hurt others and ourselves. We doubt our worth and often settle for less. Yet, God insists on bringing out the best in us and invites us to walk with Him to find redemption. In the end, we can only be grateful, for despite our brokenness and imperfections, God makes us beautiful.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

What do we remember about Moses?  Do we have something in common with Moses? If so, what is it? Do we have a dark past like Moses? Do we experience failures like Moses? Do we doubt God’s plan for us, as Moses did? What can we learn from Moses as he accepted God’s calling? 

Musa

Minggu ke-3 Masa Prapaskah [C]

23 Maret 2025

Keluaran 3:1-8a, 13-15

Musa adalah salah satu tokoh terbesar dalam Perjanjian Lama. Ia memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir, menjadi perantara perjanjian Sinai, mengajarkan hukum-hukum Allah, dan bahkan melakukan mukjizat. Kehidupan dan ajarannya dicatat dalam empat kitab: Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Namun, ketika kita melihat lebih dalam ke dalam kehidupannya, kita menemukan bahwa kisahnya tidak selalu tentang kehebatan dan kesuksesan. Musa juga memiliki masa lalu yang kelam.

Musa dilahirkan sebagai suku Lewi pada saat Mesir memerintahkan pembunuhan terhadap semua bayi laki-laki Ibrani. Untuk menyelamatkannya, ibunya menyusun rencana untuk menempatkannya di dalam keranjang di Sungai Nil, di mana ia ditemukan oleh seorang putri Firaun. Putri itu menariknya dari air dan menamainya “Musa” (Kel 2:10). Meskipun lahir sebagai orang Israel, Musa diadopsi oleh sang putri dan dibesarkan sebagai bagian dari keluarga kerajaan, menikmati hak-hak istimewa yang disediakan untuk bangsawan Mesir.

Kisah Musa mungkin saja memiliki “akhir yang bahagia” seandainya ia tidak melibatkan dirinya dalam penderitaan para budak Ibrani. Dia bisa saja hidup dengan nyaman sebagai seorang pejabat Mesir, menikahi seorang wanita Mesir, membesarkan sebuah keluarga, dan menikmati masa tua yang berkelimpahan. Namun, dia tidak bisa mengabaikan ketidakadilan yang menimpa bangsanya. Dalam sebuah momen kemarahan, dia membunuh seorang Mesir yang menindas seorang Israel. Musa percaya bahwa dia telah menyembunyikan kejahatannya, tetapi dia salah. Ketika dia mencoba menengahi perselisihan antara dua orang Israel, mereka justru membongkar rahasianya, mengekspos dia sebagai seorang pembunuh. Kehidupannya yang nyaman hancur, dan dia terpaksa melarikan diri dari Mesir. Setelah ditarik dari air, Musa kini menemukan dirinya tenggelam dalam keputusasaan.

Di Midian, Musa memulai hidup baru. Dia melindungi anak perempuan seorang imam Midian dari gangguan para gembala, dan sebagai tanda terima kasih, imam itu menyambutnya dan memberikan putrinya, Zippora sebagai istri Musa. Hal ini menandai kehidupan Musa yang kedua. Meskipun tidak semewah kehidupannya di Mesir, namun kehidupan Musa di sana terasa tenang. Namun, ketika Musa berusia sekitar 80 tahun, Tuhan menampakkan diri kepadanya di semak yang menyala dan memanggilnya untuk menjadi alat-Nya dalam membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Musa sangat meragukan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang pembunuh dan buronan yang telah mengkhianati kebaikan hati orang Mesir, dan juga tidak mempercayai rekan-rekannya sesama orang Israel. Dia juga sudah tua dan puas dengan kehidupannya di Midian.

Terlepas dari masa lalu Musa yang kelam dan penuh dosa, dan juga penuh keraguannya, Allah tetap memilihnya. Mengapa? Karena kisah Musa pada akhirnya bukanlah tentang Musa, melainkan tentang Allah, yang menebus Israel melalui seorang manusia yang tidak sempurna dan rapuh. Namun, Musa bukanlah sekadar alat. Ketika ia melakukan perjalanan bersama Tuhan, ia juga menemukan penebusannya sendiri.

Seperti Musa, kita juga jauh dari sempurna. Kita lemah dan bergumul dengan dosa dan keterikatan yang tidak teratur. Kita gagal sebagai orang tua, pasangan, anak, dan teman. Kita menyakiti orang lain dan diri kita sendiri. Kita meragukan diri kita sendiri dan sering kali merasa kurang. Namun, Tuhan tetap memilih kita. Dia ingin kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri dan mengundang kita untuk berjalan bersama-Nya untuk menemukan penebusan. Pada akhirnya, kita hanya dapat bersyukur, karena terlepas dari kehancuran dan ketidaksempurnaan kita, Tuhan menjadikan kita indah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Nilai apa yang kita temukan saat kita mengingat cerita tentang Musa?  Apakah kita memiliki kesamaan dengan Musa? Jika ya, apakah itu? Apakah kita memiliki masa lalu yang kelam seperti Musa? Apakah kita mengalami kegagalan seperti Musa? Apakah kita meragukan rencana Allah bagi kita, seperti Musa? Apa yang dapat kita pelajari dari Musa ketika ia menerima panggilan Allah? 

Transfiguration and the Tent

2nd Sunday of Lent [C]

March 16, 2025

Luke 9:28b-36

The second Sunday of Lent presents the story of the Transfiguration, where Jesus is described as shining, literally becoming light itself. Two of the greatest figures from the Old Testament, Moses and Elijah, appeared and conversed with Jesus. Then, Peter made an interesting offer to Jesus: a tent. But why did Peter suddenly offer a tent?

The obvious reason might be that Jesus and His disciples had planned to pray, and they may have needed to stay on the mountain for a longer period. It’s possible that Jesus had instructed the three disciples to bring tents. Therefore, Peter’s offer should not surprise us, as they were likely already prepared with tents. The only difference is that the tents were now meant for Moses and Elijah, rather than for the disciples. But is there a deeper meaning to this offer beyond simply extending their stay on the mountain?

A tent is a temporary and portable dwelling, typically used when traveling. In ancient times, people travelled for various reasons, including trade, military campaigns, and pilgrimages. During these journeys, they did not have buses, cars, or airplanes. Land travel was mostly done on foot, and travellers often needed to rest, especially when far from nearby towns or villages. In such circumstances, tents were a necessity.

In the Old Testament, the Israelites journeyed from Egypt to Canaan and spent approximately forty years in the desert, living most of their lives in tents. However, among all the tents of Israel, there was one special tent at the center of the encampment: the tent where the Lord dwelt among His people. This was traditionally called the “Tabernacle.” The word “tabernacle” itself comes from Latin, meaning “tent,” and in Hebrew, the tent of the Lord is called מִשְׁכָּן  (miškān), which literally means “dwelling place” and is derived from the root שָׁכַן  (šākan), meaning “to dwell.” From this root, we get the word Shekinah (שְׁכִינָה), meaning “the Dwelling”—God’s presence among His people. God chose to dwell in the tent so that He could walk among His people, and the Israelites could come close to their God.

Now, returning to the Gospel, it seems that Jesus declined Peter’s offer of a tent, but in reality, He only postponed it. Jesus knew that one day, He would indeed dwell in a tent among His people. In the Catholic Church, the Lord walks with His people until the end of time as He is present in the Eucharist. We also have a “tent,” the Tabernacle, where the risen and transfigured Lord makes His temporary dwelling among us, allowing us to visit and be close to Him. However, we understand that this tent is only a temporary dwelling; His true dwelling is in heaven.

We must also remember that we are pilgrims in this world, pitching our tents here temporarily. We may have beautiful and spacious tents, but they are still just tents. Our stay here on earth is temporary, and we must not treat this temporary dwelling as our final, permanent home. Our true home is with the Lord in heaven.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

Do we realize that we are just pilgrims on this earth? How do we prepare ourselves to reach our true home? Do we visit the Lord in His tent? How do we receive the Lord into our “tents”?

Transfigurasi dan Kemah

Hari Minggu Prapaskah ke-2 [C]

16 Maret 2025

Lukas 9:28b-36

Minggu Prapaskah kedua memberikan kita kisah Transfigurasi, di mana Yesus digambarkan memancarkan cahaya, menjadi terang itu sendiri. Dua tokoh terbesar dari Perjanjian Lama, Musa dan Elia, muncul dan bercakap-cakap dengan Yesus. Kemudian, Petrus mengajukan tawaran yang menarik kepada Yesus: sebuah kemah. Tetapi mengapa Petrus tiba-tiba menawarkan sebuah kemah?

Alasan yang praktis adalah karena Yesus dan murid-murid-Nya berencana untuk berdoa di atas gunung, dan mereka mungkin perlu tinggal di gunung untuk waktu yang lebih lama. Mengetahui hal ini, mungkin saja Yesus telah meminta ketiga murid-Nya untuk membawa kemah. Oleh karena itu, tawaran Petrus seharusnya tidak mengejutkan kita, karena kemungkinan besar mereka telah mempersiapkan kemah. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa kemah-kemah itu sekarang ditujukan untuk Musa dan Elia, bukan untuk para murid. Namun, adakah makna yang lebih dalam dari tawaran ini, yang lebih dari sekadar memperpanjang masa tinggal mereka di gunung?

Kemah adalah tempat tinggal sementara dan portabel, biasanya digunakan saat bepergian. Pada zaman dahulu, orang melakukan perjalanan untuk berbagai alasan, termasuk perdagangan, militer, dan ziarah. Pada masa itu, mereka tidak memiliki bus, mobil, atau pesawat terbang. Perjalanan darat sebagian besar dilakukan dengan berjalan kaki, dan para pejalan sering kali perlu beristirahat, terutama ketika jauh dari kota atau desa terdekat. Dalam keadaan seperti itu, kemah adalah sebuah kebutuhan.

Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel melakukan perjalanan dari Mesir ke Kanaan dan menghabiskan waktu kurang lebih empat puluh tahun di padang gurun, menjalani sebagian besar hidup mereka di dalam kemah. Namun, di antara semua kemah Israel, ada satu kemah khusus yang menjadi pusat perkemahan, yaitu kemah di mana Tuhan tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Kemah ini secara tradisional disebut “Tabernakel”. Kata “tabernakel” sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti “kemah.” Dalam bahasa Ibrani, kemah Tuhan ini disebut מִשְׁכָּן (miškān), yang secara harfiah berarti “tempat tinggal” dan berasal dari akar kata שָׁכַן (šākan), yang berarti “hadir; tinggal”. Dari akar kata ini, kita mendapatkan kata Shekinah (שְׁכִינָה), yang berarti “Kehadiran” – kehadiran Allah di antara umat-Nya. Allah memilih untuk tinggal di dalam Kemah Suci agar Dia dapat berjalan di antara umat-Nya, dan bangsa Israel dapat mendekat kepada Allah mereka.

Sekarang, kembali ke Injil, tampaknya Yesus menolak tawaran Petrus untuk mendirikan kemah, tetapi pada kenyataannya, Dia hanya menundanya. Yesus tahu bahwa suatu hari nanti, Dia memang akan tinggal di dalam kemah di antara umat-Nya. Dalam Gereja Katolik, Tuhan berjalan bersama umat-Nya sampai akhir zaman saat Dia hadir dalam Ekaristi. Kita juga memiliki sebuah “kemah”, yaitu Tabernakel, di mana Tuhan yang telah bangkit dan berdiam sementara di antara kita, yang memungkinkan kita untuk berkunjung dan dekat dengan-Nya. Namun, kita memahami bahwa kemah ini hanyalah tempat tinggal sementara; tempat tinggal-Nya yang sejati adalah di surga.

Kita juga harus ingat bahwa kita adalah peziarah di dunia ini, yang mendirikan kemah di sini untuk sementara waktu. Kita mungkin memiliki kemah yang indah dan luas, tetapi itu tetaplah kemah. Tempat tinggal kita di dunia ini hanya sementara, dan kita tidak boleh memperlakukan tempat tinggal sementara ini sebagai rumah kita yang kekal dan permanen. Rumah kita yang sejati adalah bersama Tuhan di surga.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apakah kita menyadari bahwa kita hanyalah peziarah di bumi ini? Bagaimana kita mempersiapkan diri kita untuk mencapai rumah kita yang sejati? Apakah kita mengunjungi Tuhan di dalam kemah-Nya? Bagaimana kita menerima Tuhan ke dalam “kemah” kita?

The Spirit and the Test

1st Sunday of Lent [C]

March 9, 2025

Luke 4:1-13

As we begin the season of Lent, we once again reflect on the story of Jesus being tested in the desert for forty days. However, St. Luke’s Gospel provides an interesting detail: it is the Spirit who led Jesus into the desert, a place where He had to fast and face the evil one. What does this mean?

1st Sunday of Lent [C]
March 9, 2025
Luke 4:1-13

As we begin the season of Lent, we once again reflect on the story of Jesus being tested in the desert for forty days. However, St. Luke’s Gospel provides an interesting detail: it is the Spirit who led Jesus into the desert, a place where He had to fast and face the evil one. What does this mean?

By leading Jesus into the desert for forty days, the Spirit of God intended for Jesus to reenact an important event from the Old Testament—the Israelites’ wandering in the desert. Like the Israelites, Jesus also faced challenges and difficulties. The weather was harsh, with intense heat during the day and chilling cold at night. Food and water were scarce, and the desert was home to dangerous animals that threatened human life. Jesus relived the experience of the Israelites, enduring the same harsh conditions. But beyond that, the devil saw an opportunity to test Jesus, knowing that He was physically weak. This was the same evil spirit that tested the Israelites in the desert. St. Luke reveals the three temptations that Jesus faced: hunger (bodily pleasure), worldly wealth, and personal glory.

The Israelites in the desert faced the same three temptations. When they were hungry and thirsty, they grumbled against God, even blaming Him for delivering them from Egypt (Exo 16). When Moses was praying on the mountain, the Israelites demanded a new god, replacing the living God with a golden calf—something materially valuable and attractive, but ultimately lifeless (Exo 32). Some Israelites, filled with pride, sought glory for themselves. Aaron and Miriam tried to claim leadership over Moses (Num 12), while Korah and his followers attempted to usurp the position of high priest (Num 16). By entering the desert and reliving the events of the Exodus, Jesus became the new and perfect Israel. He was physically weak, tested, and tempted, but He did not fall. He even defeated Satan in their first spiritual battle.

The Gospel tells us that Jesus was led by the Spirit into the desert, where He was “tempted” by the devil. Does this mean that it was the Spirit’s will to “tempt” Jesus? The Greek word used here is “πειράζειν” (peirazein), which can be translated as ‘to tempt,’ but also as ‘to test.’ These words are not synonymous, but they are closely related because a period of testing often includes the opportunity for temptation. Just like in school exams, we may feel the urge to cheat.

The Gospel teaches us that God, in His infinite wisdom, does not always shield us from difficult times but allows us to face the trials of life. These trials—such as hunger, financial problems, illness, and difficult relationships—are often used by evil spirits to tempt us to steal, cheat, be unfaithful, and blame God. However, we must remember that Jesus was filled with the Holy Spirit when He entered the desert. The only way to endure the trials of life and protect ourselves from temptation is by relying on the Holy Spirit. When we rely on ourselves, we will surely fail, but with God’s help, we will be victorious, just like Jesus.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide question:
What are our desert experiences? What trials do we need to face in life? What temptations do we often encounter? Do we rely on the Holy Spirit in these difficult times? How can we trust in the Lord more? What wisdom do we gain after enduring trials?

Roh Kudus dan Padang Gurun

Hari Minggu Pertama Masa Prapaskah [C]
9 Maret 2025
Lukas 4:1-13

Ketika kita memulai masa Prapaskah, kita sekali lagi diajak untuk merenungkan kisah Yesus yang diuji di padang gurun selama empat puluh hari. Namun, Injil Lukas memberikan detail yang menarik: Roh Kuduslah yang membawa Yesus ke padang gurun, tempat di mana Ia berpuasa dan menghadapi si jahat. Apa artinya ini?

Dengan membawa Yesus ke padang gurun selama empat puluh hari, Roh Allah bermaksud agar Yesus menghidupkan kembali peristiwa penting dalam Perjanjian Lama, yaitu perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Seperti bangsa Israel, Yesus juga menghadapi tantangan dan kesulitan. Cuaca padang gurun yang sangat keras, dengan panas yang menyengat di siang hari dan dingin yang menusuk tulang di malam hari. Makanan dan air sangat langka, dan padang gurun merupakan rumah bagi binatang-binatang buas yang mengancam kehidupan manusia. Yesus menghidupkan kembali pengalaman bangsa Israel, yang mengalami kondisi yang sama sulitnya. Tetapi selain itu, Iblis melihat kesempatan untuk mencobai Yesus, karena ia tahu bahwa Dia sedang lapar dan lemah secara badani. Ini adalah roh jahat yang sama yang mencobai bangsa Israel di padang gurun. Lukas mengungkapkan tiga pencobaan yang dihadapi Yesus: kenikmatan jasmani (membuat roti), kekayaan duniawi (asal menyembah setan), dan kemuliaan pribadi (dengan mempertunjukkan mukjizat di tempat umum).

Bangsa Israel di padang gurun menghadapi tiga godaan yang sama. Ketika mereka lapar dan haus, mereka bersungut-sungut kepada Allah, bahkan menyalahkan-Nya karena telah membebaskan mereka dari Mesir (Kel. 16). Ketika Musa berdoa di atas gunung, orang Israel menuntut ilah baru, menggantikan Allah yang hidup dengan anak lembu emas-sesuatu yang secara materi berharga dan menarik, tetapi pada akhirnya tidak bernyawa (Kel. 32). Beberapa orang Israel, yang dipenuhi dengan kesombongan, mencari kemuliaan untuk diri mereka sendiri. Harun dan Miryam mencoba mengklaim kepemimpinan atas Musa (Bil. 12), sementara Korah dan para pengikutnya berusaha merebut posisi imam besar (Bil. 16). Dengan memasuki padang gurun dan menghidupkan kembali peristiwa ini, Yesus menjadi Israel yang baru dan sempurna. Secara fisik Dia lemah, diuji, dan dicobai, tetapi Dia tidak jatuh. Dia bahkan mengalahkan Iblis dalam peperangan rohani yang pertama ini.

Injil mengatakan bahwa Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun, di mana Dia “dicobai” oleh Iblis. Apakah ini berarti bahwa adalah kehendak Allah untuk “mencobai” Yesus? Kata Yunani yang digunakan di sini adalah “πειράζειν” (peiratsein), yang dapat diterjemahkan sebagai “menggoda”, tetapi juga “menguji”. “Menggoda” dan “menguji” ini bukan sinonim, tetapi keduanya berkaitan erat karena saat pengujian sering kali mencakup kesempatan untuk godaan. Sama seperti dalam ujian sekolah, kita mungkin merasakan godaan untuk berbuat curang.

Injil mengajarkan kita bahwa Tuhan, dalam hikmat-Nya yang tak terbatas, tidak selalu melindungi kita dari masa-masa sulit, tetapi mengizinkan kita untuk menghadapi ujian hidup. Ujian-ujian ini, seperti kelaparan, masalah keuangan, penyakit, dan relasi yang sulit, sering kali digunakan oleh roh-roh jahat untuk menggoda kita untuk mencuri, menipu, tidak setia, dan menyalahkan Tuhan. Namun, kita harus ingat bahwa Yesus dipenuhi dengan Roh Kudus ketika Dia memasuki padang gurun. Satu-satunya cara untuk bertahan dalam ujian hidup dan melindungi diri kita dari godaan adalah dengan mengandalkan Roh Kudus. Ketika kita mengandalkan diri sendiri, kita pasti akan gagal, tetapi dengan pertolongan Tuhan, kita akan menang, seperti Yesus.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:
Apa saja pengalaman padang gurun kita? Ujian apa yang perlu kita hadapi dalam hidup? Godaan apa yang sering kita hadapi? Apakah kita mengandalkan Roh Kudus di masa-masa sulit ini? Bagaimana kita dapat lebih mengandalkan Tuhan? Hikmat apa yang kita peroleh setelah mengalami pencobaan?

Words from the Hearts

8th Sunday in Ordinary Time [C]

March 2, 2025

Luke 6:39-45

The Book of Sirach tells us, “Praise no one before he speaks, for it is then that people are tested (27:7).” This means that to truly know someone, we must listen to their words, as their words reveal much about who they are. Indeed, our words unveil many aspects of our lives. From the choice of our words, others can gauge our knowledge and intellectual capacity. The way we speak can also reveal some of our dominant characteristics. Furthermore, our words express our beliefs and what we hold dear.

However, expressing words is just one side of the story, for words can also be used to deceive and manipulate. We can use words to lead people to believe something about us that might not be true. We can say things that hide parts of ourselves. We can utter words that are pleasing and encouraging, with the aim of gaining favor from others.

Ancient people long recognized the power of words and developed an art called “rhetoric” (literally, the art of speaking or the art of persuasion). Aristotle wrote his classic manual on rhetoric around 350 BC, while teaching at his school, the Lyceum, in ancient Athens. His manual became the standard for many orators who sought to convince, persuade, and influence people. Aristotle identified three elements of rhetoric: ethos (credibility of the speaker), logos (logical argument), and pathos (emotional appeal to the audience). A good orator must incorporate all three elements in their speech.

Unfortunately, many people are easily persuaded by pathos alone, since we enjoy hearing dramatic, even bombastic words—those that are pleasing to us. We tend to avoid painful or unpleasing words. Naturally, we dislike people who speak critically about us, regardless of their ethos, logos, or even veritas (truth). At times, we follow and even idolize someone because we are “hypnotized” by their words, assuming they are credible, truthful, and even “saintly.” We may then refuse to acknowledge evidence that their words are not truthful or even harmful for us.

In today’s Gospel, Jesus teaches us that “from the fullness of the heart, the mouth speaks (Luk 6:45).” What is in our hearts is reflected in our words. If our hearts are filled with evil, our words may sound sweet, but they can be manipulative and self-serving. If our hearts are filled with genuine love for others, our words may not always be easy to hear, but they will be for the authentic good of those we love. Jesus’ words to His disciples are not always sweet and often difficult to accept. Phrases like “love your enemies (Luk 6:27),” “Do not murder, do not commit adultery, do not steal, do not give false testimony, honor your father and mother (Mat 19:18),” “sell your goods and give to the poor (Luk 18:22),” and “unless you eat my body, you will not have life (John 6:53)” are hard to digest, but they are meant for our ultimate good—our salvation.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guiding Questions:

What is in our hearts? Are our thoughts good, pure, and noble, or are they selfish, malicious, and evil? How do we use our words? Do we use words that encourage or discourage? Do we build people up or tear them down? Do we follow Jesus, even when His words are difficult?

Kata-kata dari Hati

Minggu ke-8 dalam Masa Biasa [C]

2 Maret 2025

Lukas 6:39-45

Kitab Putra Sirakh mengatakan, “Janganlah kamu memuji seseorang sebelum ia berbicara, karena pada saat itulah orang diuji (27:7).” Ini berarti bahwa untuk benar-benar mengenal seseorang, kita harus mendengarkan perkataannya, karena perkataannya mengungkapkan banyak hal tentang siapa dia. Sesungguhnya, kata-kata kita menyingkapkan banyak aspek dalam hidup kita. Dari pilihan kata-kata kita, orang lain dapat mengukur pengetahuan dan kapasitas intelektual kita. Cara kita berbicara juga dapat mengungkapkan beberapa karakteristik dominan kita. Lebih jauh lagi, kata-kata kita mengekspresikan keyakinan dan apa yang kita pegang teguh. Namun, mengekspresikan kata-kata hanyalah satu sisi dari cerita.

Kata-kata memang bisa mengungkapkan siapa diri kita, namun juga dapat digunakan untuk menipu dan memanipulasi. Kita dapat menggunakan kata-kata untuk membuat orang lain percaya akan sesuatu tentang diri kita yang mungkin tidak benar. Kita dapat mengatakan hal-hal yang justru menyamarkan bagian dari diri kita. Kita dapat mengucapkan kata-kata yang menyenangkan dan membesarkan hati, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dari orang lain.

Orang-orang di zaman kuno telah lama menyadari kekuatan kata-kata dan mengembangkan seni yang disebut “retorika” (secara harfiah berarti seni berbicara atau seni persuasi). Aristoteles menulis buku panduan klasiknya tentang retorika sekitar tahun 350 SM, ketika mengajar di sekolahnya, Lyceum, di Athena kuno. Buku panduannya menjadi standar bagi banyak orator yang berusaha meyakinkan, membujuk, dan mempengaruhi banyak orang. Aristoteles mengidentifikasi tiga elemen retorika: ethos (kredibilitas pembicara), logos (argumen logis), dan pathos (dampak emosional pada pendengar). Seorang orator yang baik harus menggabungkan ketiga elemen tersebut dalam pidatonya.

Sayangnya, banyak orang yang mudah terbujuk oleh pathos saja, karena kita senang mendengar kata-kata yang dramatis, bahkan bombastis – kata-kata yang menyenangkan bagi kita. Secara alamiah, kita cenderung menghindari kata-kata yang menyakitkan atau tidak menyenangkan. Kita tidak menyukai orang yang berbicara secara kritis tentang kita, terlepas dari etos, logos, atau bahkan aletheia (kebenaran). Kadang-kadang, kita mengikuti dan bahkan mengidolakan seseorang karena kita “terhipnotis” oleh kata-kata mereka. Dan kita kemudian percaya bahwa mereka kredibel, jujur, dan bahkan “kudus”. Kita kemudian menolak untuk mengakui bukti-bukti bahwa kata-kata mereka tidak benar atau bahkan berbahaya bagi kita.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan kita bahwa “dari kepenuhan hati, mulut berkata-kata” (Luk. 6:45). Apa yang ada di dalam hati kita tercermin dalam kata-kata kita. Jika hati kita dipenuhi dengan kejahatan, kata-kata kita mungkin terdengar manis, tetapi bisa jadi manipulatif dan mementingkan diri sendiri. Jika hati kita dipenuhi dengan kasih yang tulus, kata-kata kita mungkin tidak selalu enak didengar, tetapi kata-kata itu akan menjadi kebaikan sejati bagi mereka yang kita kasihi. Kata-kata Yesus kepada murid-murid-Nya tidak selalu manis dan sering kali sulit untuk diterima. Ungkapan-ungkapan seperti “kasihilah musuhmu (Luk. 6:27)”, “Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu (Mat. 19:18)”, “juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin (Luk. 18:22)”, dan “jikalau kamu tidak makan tubuh-Ku, kamu tidak mempunyai hidup (Yoh. 6:53)” memang sulit untuk dicerna, namun semua itu dimaksudkan untuk kebaikan kita yang hakiki, yakni keselamatan kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan Pemandu:

Apa yang ada di dalam hati kita? Apakah pikiran kita baik, murni, dan mulia, ataukah egois, jahat, dan licik? Bagaimana kita menggunakan kata-kata kita? Apakah kita menggunakan kata-kata yang mendorong atau mematahkan semangat? Apakah kata-kata kita membangun atau meruntuhkan orang lain? Apakah kita mengikut Yesus, bahkan ketika firman-Nya sulit?