Kehormatan dan Kekudusan

Minggu ke-22 dalam Masa Biasa [C]

31 Agustus 2025

Lukas 14:1,7-14

Kehormatan adalah sebuah konsep dasar yang membedakan kita sebagai manusia. Konsep ini membimbing perilaku dan tindakan kita, dan dalam kasus-kasus ekstrem, dapat juga mendorong orang untuk mati atau bahkan menghabisi nyawa orang lain.

Menentukan makna  dari “kehormatan” adalah hal yang tidak mudah karena konsep ini tertanam dalam identitas individu dan komunitas kita sebagai manusia. Kehormatan merujuk pencapaian pada nilai-nilai luhur yang kita junjung tinggi sebagai manusia. Meskipun nilai-nilai ini dapat bervariasi antarbudaya, beberapa di antaranya diakui secara universal seperti kesetiaan, keberanian, kejujuran, kerja keras, dan integritas moral. Kehormatan diperoleh ketika orang lain mengakui usaha kita untuk mencapai nilai-nilai luhur tersebut. Misalnya, seorang siswa menerima “kehormatan” saat dia menerima medali sebagai penghargaan atas prestasi akademiknya yang diraih dengan susah payah.

Pencarian kehormatan, oleh karena itu, adalah pencarian akan idealisme tertinggi kita, sebuah perjuangan menuju keagungan yang membuat kita lebih manusiawi. Sebaliknya, ketidakhormatan menandakan kegagalan dalam memegang teguh nilai-nilai luhur tersebut. Kita kehilangan kehormatan ketika kita mengkhianati seseorang yang kita berjanji untuk setia, atau ketiak kita menghindari kesulitan seperti pengecut. Beberapa masyarakat menghargai kehormatan begitu dalam sehingga mereka melihat kehidupan yang tidak terhormat, seperti kehidupan yang dipenuhi dengan ketidakjujuran, ketidaksetiaan, dan pengecut, sebagai sesuatu yang lebih buruk daripada hidup seekor hewan. Selama Perang Dunia II, banyak tentara dan warga sipil Jepang memilih bunuh diri daripada menanggung malu ditangkap atau pulang dalam kekalahan.

Sebagai Tuhan kita, Yesus memahami bahwa kehormatan merupakan hal yang mendasar bagi kemanusiaan. Namun, Dia juga menyadari bagaimana dosa dapat merusak dan memutarbalikkan arti kehormatan tersebut. Dalam Injil, Yesus mengkritik mereka yang mencari tempat kehormatan tanpa berusaha mewujudkan nilai-nilai yang diwakilinya. Yesus mengajarkan bahwa nilai sejati dari sebuah tempat duduk di perjamuan bukanlah kemegahannya, melainkan keutamaan-keutamaan dari orang yang duduk di sana. Yang lebih penting lagi, Yesus memanggil kita untuk mengejar idealisme sejati dan menolak nilai-nilai yang korup, memperkenalkan kerendahan hati sebagai keutamaan yang mendatangkan kehormatan yang sejati.

Kritik Yesus terhadap orang-orang pada zamannya tetap sangat relevan hingga hari ini. Di masyarakat pascamodern, kita sering mengganti “kursi kehormatan” dengan hal-hal lain seperti merek pakaian, kendaraan, dan jumlah rekening bank. Meskipun harta benda sejatinya tidak jahat, mereka menjadi berbahaya ketika kita menganggapnya sebagai standar kehormatan kita, dan dalam prosesnya, kita mengorbankan idealisme sejati seperti kejujuran dan kesetiaan untuk mendapatkannya. Kesetiaan suami-istri pernah sangat dihormati, tetapi kini beberapa budaya memuji kebebasan seksual. Kita pernah memuji kerja keras, tetapi kini seringkali hanya merayakan hasil akhir, bahkan jika dicapai melalui tipu daya.

Mengikuti Yesus berarti terus-menerus mengkaji nilai-nilai kita. Ini berarti menolak nilai-nilai yang tidak membawa pada kemajuan manusia dan menghidupi nilai-nilai yang memupuk pertumbuhan sejati. Yesus, Tuhan kita, tidak menginginkan apa pun selain pertumbuhan menyeluruh kita sebagai manusia yang pada akhirnya membawa kita pada kepenuhan hidup sebagai manusia dan kekudusan.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Idealisme apa yang kita perjuangkan? Apakah idealisme tersebut mendukung perkembangan kita sebagai manusia? Apakah kita merasa malu ketika gagal mencapai idealisme kita atau ketika kita berbuat dosa? Apakah kita mengajarkan anak-anak kita tentang arti sebenarnya dari rasa kehormatan yang sejati?

Honor and Holiness

22nd Sunday in Ordinary Time [C]

August 31, 2025

Luke 14:1,7-14

Honor is a fundamental concept that defines our humanity. It guides our behaviors and conduct, and in extreme cases, can compel people to die or even kill others.

Defining “honor” is challenging because it is deeply embedded in both our individual and communal identities. It refers to the ideals that we as humans, holds dear, such as loyalty, bravery, honesty, hardworking and moral integrity. While these values may vary across cultures, some are universally acknowledged and admired. Honor is earned when others recognize our efforts to achieve these difficult ideals. For example, a student may be honored with a medal for their hard-earned academic achievements.

The pursuit of honor is, therefore, a pursuit of our highest ideals, a striving for greatness that makes us more fully human. Conversely, dishonor signifies a failure to uphold these values. We are dishonored when we betray someone, whom we pledge our loyalty or cowardly avoid difficulty. Some societies value honor so deeply that they see a dishonorable life, like one of dishonesty, unfaithfulness, and cowardice, as worse than an animal’s existence. During World War II, many Japanese soldiers and civilians chose suicide over the shame of capture or coming home in defeat.

As our Lord, Jesus understood that honor is fundamental to humanity. Yet, He also recognized how sin can corrupt and twist it. In the Gospel, Jesus criticized those who sought places of honor without striving for the ideals they represent. Jesus taught that the true value of a seat at the banquet is not its prominence, but the virtuous life of the person sitting in it. More importantly, He called us to pursue true ideals and reject corrupt values, introducing humility as a virtue that earns genuine honor.

Jesus’ criticism of the Pharisees is timeless and profoundly relevant today. In postmodern societies, we often replace “the seat of honor” with superficial markers like clothing, cars, and bank accounts. While possessions are not inherently bad, they become harmful when we treat them as our standard of honor, and in the process, we sacrifice true ideals like honesty and loyalty to gain them. Spousal fidelity was once highly honored, but now some cultures praise promiscuity. We once lauded hard work, but now often celebrate only results, even if achieved through deceit.  To follow Jesus is to continually examine our ideals. It means rejecting those that do not lead to human flourishing and embracing those that foster genuine growth. Jesus, our Lord, wants nothing but our holistic growth as humans that eventually brings us into the fullness of human life and holiness.


Guide Questions:

What ideals do we strive for? Are they conducive to our development as humans? Do we feel shame when we fail to achieve our ideals or when we sin? Do we teach our children what it means to have a true sense of honor?

Disiplin dan Kasih Seorang Bapa

Minggu ke-21 dalam Masa Biasa [C]

24 Agustus 2025

Ibrani 12:5-7, 11-13

Dalam Surat kepada Orang Ibrani, kita diingatkan bahwa Allah berelasi dengan kita sebagai Bapa yang baik yang mendidik anak-anak-Nya melalui disiplin. Pada pandangan pertama, hal ini tampak sederhana. Orang tua, secara khusus, seorang bapa, mendidik anak-anak mereka melalui aturan dan konsekuensi. Namun, ketika diterapkan pada hubungan kita dengan Allah, konsep ini mengungkapkan kebenaran yang mendalam tentang kehendak-Nya bagi pertumbuhan dan keselamatan kita.

1. Landasan dalam Pengajaran Yesus

Penulis Surat Ibrani mendasarkan gagasan ini pada wahyu Yesus sendiri. Dalam Perjanjian Lama, Allah secara simbolis disebut “Bapa” dari bangsa Israel (Kel 4:22; Ul 32:6; Yes 63:16; Yer 31:9). Seperti seorang ayah yang baik, Allah memberikan kebaikan kepada bangsa Israel dan melindungi mereka dari para musuh. Namun, Yesus mengungkapkan sesuatu yang sepenuhnya baru: Ia secara konsisten dan unik menyebut Allah sebagai Bapa-Nya karena Ia adalah Anak Tunggal yang kekal (Yoh 3:16; 5:17; 10:30). Lebih dari itu, Yesus menghendaki agar kita turut serta dalam relasi Bapa-anak ini, dan mengajarkan kita untuk memanggil Allah sebagai “Bapa Kami” (Mat 6:9; Luk 11:2; Yoh 20:17). St. Paulus menerangkan lebih lanjut bahwa melalui pembaptisan dan Roh Kudus, kita bukan hanya hamba, tetapi kita adalah anak-anak Allah melalui adopsi (Rom 8:14-17).

2. Penderitaan Bukanlah Hukuman

Surat kepada orang-orang Ibrani membuat perbedaan yang penting: penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi bukanlah hukuman ilahi. Allah mengizinkan cobaan karena Dia tahu bahwa cobaan tersebut pada akhirnya akan bermanfaat bagi kita. Tema ini muncul dalam Perjanjian Lama, di mana orang benar seperti Ayub berusaha memahami penderitaan besar yang dialaminya, meskipun dia tidak berdosa (Ayub 5:17-18). Perjanjian Baru mengungkapkan alasan yang lebih dalam: Allah adalah Bapa yang penuh kasih yang mengizinkan kesusahan agar anak-anak-Nya dapat tumbuh dan berkembang dalam kekudusan.

3. Kasih dan Disiplin Bukanlah Oposisi

Penulis melanjutkan, “Sebab siapa yang dikasihi Tuhan, dia didisiplinkan; dia mencambuk setiap anak yang diakui-Nya” (Ibrani 12:6). Ini menantang distorsi modern tentang cinta, yang menyarankan bahwa mencintai seseorang berarti memberi mereka segala yang mereka inginkan, terlepas dari apakah hal-hal itu bermanfaat atau justru merugikan bagi mereka. Kasih sejati itu bijaksana. Seorang ayah yang baik memberi anak apa yang mereka butuhkan untuk pertumbuhan yang autentik, meskipun itu membawa kesulitan bagi sang anak. Bapa Surgawi yang Mahabijaksana tahu apa yang terbaik untuk kebaikan kekal kita, dan Dia kadang-kadang menggunakan cobaan hidup untuk membentuk kita untuk hidup kekal.

Pemahaman ini, bahwa disiplin Tuhan adalah tindakan kasih-Nya, telah memberdayakan banyak orang kudus untuk menanggung cobaan dengan sukacita. Santa Katarina dari Siena, yang menanggung penderitaan fisik, emosional, dan spiritual (termasuk stigmata), mengajarkan bahwa “Tidak ada hal besar yang pernah dicapai tanpa banyak menanggung penderitaan.” Santa Thérèse dari Lisieux menghidupi “Jalan Kecil”-nya, dengan menerima ketidaknyamanan sehari-hari dan perjuangan menyakitkan melawan tuberkulosis tanpa keluhan. Dia menyerahkan semuanya dengan sukacita, dan berkata, “Penderitaan yang ditanggung dengan sukacita untuk orang lain lebih banyak mengubah orang daripada khotbah.” Bagi dia, ranjang sakitnya menjadi tempat misi dan kasih.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:

Apa saja ujian yang sedang kita alami saat ini? Bagaimana kita memandang penderitaan ini: sebagai hukuman, atau sebagai bagian dari rencana kasih Allah untuk pertumbuhan kita? Apa reaksi tipikal kita terhadap kesulitan? Apakah kita merespons dengan keluhan dan amarah, atau dengan kepercayaan dan syukur? Bisakah kita belajar melihat tangan kasih Bapa Surgawi bahkan dalam penderitaan kita?

The Discipline and Love of a Father

21st Sunday in Ordinary Time [C]

August 24, 2025

Hebrews 12:5-7, 11-13

In the Letter to the Hebrews, we are reminded that God relates to us as a good Father who disciplines His children. At first glance, this seems ordinary. Many parents, especially fathers, discipline their children through rules and consequences. However, when applied to our relationship with God, this concept reveals a profound truth about His will for our growth and salvation.

1. Foundation in Jesus’ Teaching

The author of Hebrews bases his teaching on Jesus’ own revelation. In the Old Testament, God is symbolically referred to as the “Father” of the nation of Israel (Ex 4:22; Deut 32:6; Isa 63:16; Jer 31:9). Like a good father, God provided goodness upon Israel and protected them from their enemies. However, Jesus revealed something entirely new: He consistently and uniquely referred to God as His own Father because He is the eternal only-begotten Son (John 3:16; 5:17; 10:30). More than that, Jesus wants us to participate in this Father-son relationship, and teaches us to call God “Our Father” (Matthew 6:9; Luke 11:2; John 20:17). St. Paul further explains that through baptism and the Holy Spirit, we are not only servants, but we are children of God through adoption (Rom 8:14-17).

2. Suffering Is Not Punishment

The Letter to the Hebrews makes an important distinction: the suffering and difficulties we face are not divine punishment. God allows trials because He knows that they will ultimately be beneficial to us. This theme appears in the Old Testament, where righteous people like Job struggled to understand the great suffering they experienced, even though they were not sinful (Job 5:17-18). The New Testament reveals a deeper reason: God is a loving Father who allows hardship so that His children can grow and develop in holiness.

3. Love and Discipline Are Not Opposites

The author continues, “For whom the Lord loves He disciplines, and He scourges every son whom He receives” (Hebrews 12:6). This challenges the modern distortion of love, which suggests that loving someone means giving them everything they want, regardless of whether those things are beneficial or harmful to them. True love is wise. A good father gives his children what they need for authentic growth, even if it brings hardship to the child. The all-wise Heavenly Father knows what is best for our eternal good, and He sometimes uses life’s trials to shape us for eternal life.

This understanding, that God’s discipline is an act of His love, has empowered many saints to endure trials with joy. St. Catherine of Siena, who endured physical, emotional, and spiritual suffering (including stigmata), taught that “Nothing great has ever been accomplished without much suffering.” Saint Thérèse of Lisieux lived out her “Little Way” by accepting daily discomforts and the painful struggle against tuberculosis without complaint. She surrendered everything with joy, saying, “Suffering endured with joy for others changes people more than sermons.” For her, her sickbed became a place of mission and love.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Questions for Reflection:

What trials are we currently facing? How do we view this suffering: as punishment, or as part of God’s loving plan for our growth? What is our typical reaction to difficulties? Do we respond with complaints and anger, or with faith and gratitude? Can we learn to see the hand of the Heavenly Father’s love even in our suffering?

Api Yesus

Minggu ke-20 dalam Masa Biasa [C]

17 Agustus 2025

Lukas 12:49-53

Ketika Yesus berkata, “Aku datang untuk membakar bumi ini, dan betapa Aku menginginkan api itu sudah berkobar!” (Lukas 12:49), Dia menggunakan api sebagai simbol Alkitab yang sarat dengan makna rohani yang mendalam. Namun, apa arti “api” yang dimaksud Yesus di sini?

Api dalam Kitab Suci adalah gambaran yang mewakili kehadiran Allah, penghakiman, penyucian, dan juga kuasa transformatif Roh Kudus. Dengan mengkaji dimensi-dimensi ini, kita dapat memahami lebih baik misi Kristus dan kerinduan-Nya akan api yang akan memperbaharui dunia.

1. Api sebagai Kehadiran Allah yang Nyata

Di Perjanjian Lama, api berfungsi sebagai tanda terlihat dari kekudusan dan kedekatan Allah. Ketika Musa menjumpai semak yang berkobar namun  tidak menghanguskannya, api ini mengungkapkan kehadiran kudus Allah yang  juga menjadi tanda awal pembebasan Israel (Kel 3:2–5). Kemudian, saat Israel berziarah di padang gurun, Allah memimpin mereka dengan tiang api, sebagai sebuah pengingat akan perlindungan dan bimbingan-Nya (Kel 13:21–22). Di Gunung Sinai, Allah turun dengan api, dan hal ini menandakan kehadiran-Nya yang megah namun dekat dengan umat-Nya (Kel 19:18). Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa api melambangkan keterlibatan aktif Allah dalam sejarah manusia. Yesus, sang api ilahi, adalah puncak dan kesempurnaan kehadiran aktif Allah di dunia.

2. Api sebagai Hukuman Ilahi

Api juga melambangkan keadilan Allah terhadap dosa. Kehancuran Sodom dan Gomora oleh “belerang dan api” (Kej 19:24) menunjukkan murka-Nya terhadap kejahatan. Demikian pula, Nadab dan Abihu, anak-anak Harun, sang imam besar, tiba-tiba dimakan oleh api suci (Im 10:1-2) saat mereka mempersembahkan api dan dupa yang tidak sah. Hal ini menggambarkan betapa seriusnya melayani Allah, dan konsekuensi serius saat kita tidak menghormati kehadiran Allah. Dari kisah-kisah ini, kita bisa melihat bahwa kata-kata Yesus dalam Lukas 12 mengandung peringatan: Kedatangan-Nya sebagai api akan memicu pemisahan antara mereka yang menerima kebenaran Allah dan mereka yang menolaknya (12:51–53).

3. Api sebagai Penyucian

Namun, api tidak hanya merusak; ia juga menyucikan. Pada awal pelayanannya, bibir yang najis Yesaya disucikan oleh bara api yang menyala (Yes 6:6–7). Sementara itu, nabi Maleakhi bernubuat bahwa Allah akan menyucikan umat-Nya seperti api (Mal 3:2–3). Dalam Perjanjian Baru, Paulus mengulang gagasan ini, menggambarkan bagaimana “Hari Tuhan” akan menguji setiap perbuatan manusia dengan api, membakar apa yang tidak berguna sambil menjaga apa yang kekal (1 Korintus 3:12–15). Api Yesus, oleh karena itu, adalah panggilan kepada kekudusan dan pertobatan.

4. Api sebagai Kuasa Roh Kudus

Akhirnya, api melambangkan kehadiran dinamis Roh Kudus. Pada hari Pentekosta, lidah-lidah api turun atas para murid, memenuhi mereka dengan Roh Kudus dan memberdayakan mereka untuk memberitakan Injil dengan berani (Kis 2:1-4). Hal ini memenuhi nubuat Yohanes Pembaptis bahwa Yesus akan membaptis “dengan Roh Kudus dan api” (Mat 3:11). Ketika Yesus berbicara tentang membakar bumi, Dia berbicara tentang pencurahan Roh Kudus, yang adalah api rohani yang akan membakar semangat pemberitaan Injil, mengubah hidup, dan menyebarkan Injil ke seluruh bangsa.

Keinginan Kristus untuk “membakar bumi” adalah ringkasan dari seluruh misinya: untuk mengungkapkan kehadiran Allah, menghancurkan dosa dengan keadilan, memurnikan orang beriman, dan mengutus Roh Kudus untuk memberdayakan Gereja.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Bagaimana kita telah mengalami kehadiran Allah sebagai api yang membimbing atau memurnikan dalam hidup kita? Apakah “api Roh Kudus” mendorong kita untuk berbagi Kristus dengan orang lain? Jika tidak, apa yang menghalangi kita? Di bidang mana kita membutuhkan Yesus untuk menyempurnakan kita, membakar dosa dan menerangi iman kita?

Jesus’ Fire

20th Sunday in Ordinary Time

August 17, 2025

Luke 12:49-53

When Jesus declares, “I have come to set the earth on fire, and how I wish it were already blazing!” (Luke 12:49), He evokes a powerful biblical symbol with profound spiritual significance. Yet, what does fire mean here?

Fire in Scripture is a multifaceted image, representing God’s presence, judgment, purification, and the transformative power of the Holy Spirit. By examining these dimensions, we can better grasp Christ’s mission and His urgent longing for the world’s renewal.

  1. Fire as God’s Manifest Presence
    Throughout the Old Testament, fire serves as a visible sign of God’s holiness and nearness. When Moses encountered the burning bush, the flames revealed God’s sacred presence without consuming the bush, marking the beginning of Israel’s deliverance (Exo 3:2–5). Later, as the Israelites journeyed through the wilderness, God guided them with a pillar of fire, a constant reminder of His protection and guidance (Exo 13:21–22). At Mount Sinai, His descent in fire underscored the awe-filled covenant God wished to forge with His people (Exo 19:18). These instances show that fire signifies God’s active involvement in human history. Jesus is the final and fullness of God’s active presence in the world.
  2. Fire as Divine Judgment
    Fire also embodies God’s justice against sin. The destruction of Sodom and Gomorrah by “brimstone and fire” (Gen 19:24) demonstrates His intolerance for wickedness. Similarly, Nadab and Abihu, the sons of Aaron, the high priest, was sudden consumed by holy fire (Lev 10:1–2) while they offered unlawful fire and incense, illustrating the seriousness of approaching God with irreverence. Jesus’ words in Luke 12 thus carry a warning: His coming will ignite a separation between those who embrace God’s righteousness and those who reject it  (12:51–53).
  3. Fire as Purification
    Yet fire is not only destructive; it refines. In the beginning of his ministry, Isaiah’s unclean lips were cleansed by a burning coal (Isa 6:6–7). Meanwhile, prophet Malachi prophesied that God would purify His people like a refiner’s fire (Mal 3:2–3). In the New Testament, Paul echoes this idea, describing how the “Day of the Lord” will test each person’s works with fire, burning away what is worthless while preserving what is eternal (1 Cor 3:12–15). Jesus’ fire, then, is a call to holiness and repentance. It aims to purge sin to prepare hearts for God’s Kingdom.
  4. Fire as the Holy Spirit’s Power
    Finally, fire represents the Holy Spirit’s active presence. At Pentecost, tongues of fire rested on the disciples, filling them with the Holy Spirit and empowering them to preach boldly (Acts 2:1–4). This fulfills John the Baptist’s prophecy that Jesus would baptize “with the Holy Spirit and fire” (Mat 3:11). When Jesus speaks of setting the earth ablaze, He anticipates this outpouring of the Holy Spirit, a spiritual fire that would ignite evangelization, transform lives, and spread the Gospel to all nations.

Conclusion: Jesus’ Burning Mission
Christ’s desire to “set the earth on fire” is a summation of His entire mission: to reveal God’s presence, confront sin with justice, purify believers, and send the Spirit to empower the Church. This fire is both a promise and a challenge, a call to let God’s love consume our complacency and set us ablaze with zeal for His Kingdom.

Reflection Questions:

How have we experienced God’s presence as a guiding or purifying “fire” in our life? Does the “fire of the Holy Spirit” move us to share Christ with others? If not, what holds us back? In what areas do we need Jesus to refine us, burning away sin and lighting up our faith?

What is Faith?

19th Sunday in Ordinary Time

August 10, 2025

Hebrew 11:1-2, 8-19

The author of the Letter to the Hebrews gives us a profound definition of faith: “Now faith is the foundation of things hoped for, the evidence of things not seen” (Hebrews 11:1-2). But what does this truly mean?

Faith as a Firm Foundation

The Greek word used for “foundation” is ὑπόστασις (hupostasis), which literally means “that which stands underneath.” This tells us that faith is not a fleeting emotion or a momentary burst of belief. It is not something can instantly be produced through loud music or strong screams. Instead, it is a steady, unshakable confidence in God’s promises. Faith anchors us, giving substance to what we hope for even when we cannot yet see it.

Faith as Convincing Evidence

The author also describes faith as ἔλεγχος (elengkos), a term often used in legal contexts to refer to irrefutable proof. In a courtroom, verified evidence determines guilt or innocence. Similarly, faith serves as undeniable confirmation of spiritual realities we cannot perceive with our physical senses, our eyes, our ears, and our mouth. Though unseen, these realities are just as real because faith testifies to their truth.

Where Does Such Faith Come From?

But how can faith be so strong? How can it serve as both foundation and evidence? The answer lies in its source: faith does not originate from within us but from God’s faithfulness. The promises we hope for are not human wishes but divine guarantees. Since God is trustworthy, our faith rests on His unchanging commitment to fulfil His promises

Then, how do we know God is truly faithful? History proves it. The Old Testament is filled with stories of God keeping His word, and Hebrews highlights Abraham as a key example. At seventy-five, Abraham obeyed God’s call to leave his comfortable homeland for an unknown future and uncharted land. Despite his old age and Sarah’s barrenness, he believed God’s promise of descendants as numerous as the stars. Even when tested with the unthinkable, sacrificing his son Isaac, Abraham trusted God’s faithfulness that everything would turn just right. He died without seeing the full fulfilment, yet God’s promises came to pass.

The Ultimate Fulfilment in Christ

Hebrews shows us that God’s faithfulness, demonstrated through generations, culminates in Jesus Christ. He is the final and fullest expression of God’s promises. He was born like us humans, suffered and died for us, and resurrected. Our faith, therefore, is not only built on emotions or human reasoning but on historical acts of God, proven in the lives of believers before us and sealed in Christ. Faith is more than simple belief. It is trust in the One who has never failed. And because God is faithful, we can stand firm, even when the path ahead is unseen.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions

  • How do we understand faith? Is it merely an emotional feeling, a product of logic, or a personal encounter with God?
  • Have we faced moments of doubt or a crisis of faith? How did we overcome them?
  • How does recognizing God’s faithfulness in Scripture strengthen our trust in Him today?

Apa itu Iman?

Minggu ke-19 dalam Masa Biasa

10 Agustus 2025

Ibrani 11:1-2, 8-19

Penulis Surat kepada Orang Ibrani memberikan definisi yang mendalam tentang iman: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan, bukti dari hal-hal yang tidak terlihat” (Ibrani 11:1). Namun, bagaimana kita memahami definisi ini?

Iman sebagai Fondasi yang Kokoh

Kata Yunani yang digunakan untuk “dasar” adalah ὑπόστασις (hupostasis), yang secara harfiah berarti “yang berada di bawah.” Gambaran yang ingin diberikan adalah iman seperti fondasi yang kokoh. Ini berarti bahwa iman bukanlah emosi yang sementara atau ledakan keyakinan sesaat. Iman bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan secara instan melalui musik yang keras atau teriakan yang kuat. Sebaliknya, iman adalah keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan terhadap janji-janji Allah. Iman menjadi fondasi bagi kita dan memberikan substansi pada apa yang kita harapkan meskipun kita belum dapat melihatnya.

Iman sebagai Bukti yang Meyakinkan

Penulis juga menggambarkan iman sebagai “bukti” dan dalam bahasa Yunani, ἔλεγχος (elengkos). Istilah yang sering digunakan dalam konteks hukum untuk merujuk pada bukti yang tak terbantahkan. Di ruang sidang, bukti yang terverifikasi menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah. Demikian pula, iman berfungsi sebagai konfirmasi yang tak terbantahkan atas realitas rohani yang tidak dapat kita rasakan dengan indra fisik kita, seperti mata, telinga, dan mulut. Meskipun tidak terlihat, realitas-realitas ini sungguh nyata karena iman bersaksi tentang kebenarannya.

Dari Mana Datangnya Iman Seperti Itu?

Namun, bagaimana mungkin iman bisa begitu kuat? Bagaimana bisa iman berfungsi sebagai dasar dan bukti sekaligus? Jawabannya terletak pada sumbernya: iman tidak berasal dari dalam diri kita, melainkan dari kesetiaan Allah. Janji-janji yang kita harapkan bukanlah keinginan manusia, melainkan jaminan ilahi karena Allah sendiri yang telah mengucapkan janji. Karena Allah dapat dipercaya, iman kita berakar pada komitmen-Nya yang tak berubah untuk menepati janji-janji-Nya.

Lalu, bagaimana kita tahu bahwa Allah benar-benar setia? Sejarah membuktikannya. Perjanjian Lama dipenuhi dengan kisah-kisah Allah yang menepati janji-Nya, dan Surat Ibrani menyoroti Abraham sebagai contoh utama. Pada usia tujuh puluh lima tahun, Abraham menaati panggilan Allah untuk meninggalkan tanah airnya yang nyaman menuju masa depan yang tidak diketahui dan tanah yang belum terjamah. Meskipun usianya sudah tua dan Sarah mandul, ia percaya pada janji Allah tentang keturunan yang sebanyak bintang di langit. Bahkan ketika diuji dengan hal yang tak terbayangkan, yaitu mengorbankan putranya Ishak, Abraham tetap percaya pada kesetiaan Allah bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan baik. Ia meninggal tanpa melihat penuhnya janji itu terpenuhi, namun janji-janji Allah pada akhirnya terwujud.

Surat Ibrani menunjukkan kepada kita bahwa kesetiaan Allah, yang ditunjukkan melalui generasi demi generasi, mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus. Dia adalah ekspresi akhir dan paling sempurna dari janji-janji Allah. Dia dilahirkan seperti kita manusia, menderita dan wafat bagi kita, dan bangkit dari kematian. Iman kita, oleh karena itu, tidak hanya didasarkan pada emosi atau akal budi manusia saja, tetapi pada tindakan-tindakan historis Allah, yang terbukti dalam kehidupan orang-orang percaya sebelum kita dan dikukuhkan dalam Kristus. Iman lebih dari sekadar keyakinan. Iman adalah fondasi kokoh pada Dia yang tidak pernah gagal. Dan karena Allah setia, kita dapat berdiri teguh, bahkan ketika jalan di depan tidak terlihat.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi

Bagaimana kita memahami iman? Apakah itu sekadar perasaan emosional, hasil logika, atau pertemuan pribadi dengan Allah? Apakah kita pernah menghadapi momen keraguan atau krisis iman? Bagaimana kita mengatasinya? Bagaimana pengakuan akan kesetiaan Allah dalam Kitab Suci memperkuat kepercayaan kita kepada-Nya hari ini?

Vanity of vanities

18th Sunday in Ordinary Time [C]

August 3, 2025

Ecclesiastes 1:2; 2:21-23

“‘Vanity of vanities!’ says Qoheleth. ‘Everything is vanity!’ (Ecclesiastes 1:2; 12:8).” What does this striking declaration mean? Is every human endeavor truly meaningless?

The voice behind this book introduces himself as Qoheleth—a Hebrew term meaning “one who gathers people,” especially for the purpose of teaching. Thus, it is often translated as “the Teacher” or “the Preacher.” He identifies himself as a son of David and king over Jerusalem (1:1), a figure endowed with unparalleled wisdom, power, and wealth. Yet from this privileged vantage point, after a lifetime of reflection, he delivers a sobering verdict: Everything is hevel.

This Hebrew word hevel (הֶבֶל) carries rich imagery—it describes vapor, a passing breeze, or a fleeting breath. Like mist dissolving at dawn, hevel represents what is transient, elusive, and ultimately unsatisfying. Qoheleth’s metaphor of “chasing after the wind” (1:14) paints a vivid picture of humanity’s restless striving for what cannot be grasped.

His exploration begins with wisdom itself. He recounts how he pursued knowledge relentlessly, surpassing all who came before him (1:16). Yet instead of fulfilment, he found that greater wisdom only multiplied sorrow (1:18). This seems paradoxical—don’t we assume learning brings clarity and peace? Qoheleth exposes the limits of earthly wisdom: the more we know, the more we confront life’s unanswerable questions and our own mortality.

Pleasure fares no better. He tests every delight—luxuries, arts, sensual joys (2:1–11)—only to conclude their thrill is momentary. Wealth and achievements prove equally hollow. No one takes riches to the grave; heirs may squander them, and even the greatest legacies fade from memory. Death, the great equalizer, renders all human distinctions meaningless (2:14–16; 9:2–6).

Amid this stark realism, Qoheleth anchors his readers to one unchanging truth: “Fear God and keep His commandments, for this is the whole duty of humanity” (12:13). In a world where everything slips like sand through our fingers, God alone endures. Our purpose is found not in accumulating what is temporary but in aligning our lives with His eternal will.

However, Qoheleth’s perspective remains earthbound. He grapples with life “under the sun” but offers no explicit hope beyond the grave. Death, for him, seems a silent frontier (3:19–20; 9:5–6). It is Jesus who later brings this tension into full resolution. In the parable of the rich fool (Luke 12:13–21), Christ echoes Qoheleth’s warning against clinging to earthly treasures but expands it with the promise of eternity. Thus, what we do and we have now have meaning because in Christ, they prepare us for an everlasting destiny.

Reflection Questions:

How does Qoheleth’s perspective challenge modern assumptions about success and purpose? In what ways have we experienced the “vanity” of pursuits that once seemed essential? How does Jesus’ teaching on eternal life transform the way we engage with temporary things?

Semua adalah kesia-siaan

Minggu ke-18 dalam Masa Biasa [C]

3 Agustus 2025

Pengkhotbah 1:2; 2:21-23

“‘Segala sesuatu adalah kesia-siaan!’ kata Qoheleth (Pengkhotbah 1:2; 12:8).” Apa arti pernyataan yang keras ini? Apakah setiap usaha manusia benar-benar sia-sia?

Suara di balik kitab ini memperkenalkan dirinya sebagai Qoheleth—sebuah istilah Ibrani yang berarti “orang yang mengumpulkan orang-orang,” tentunya dengan tujuan untuk memberikan pengajaran. Oleh karena itu, Qoheleth sering diterjemahkan sebagai “sang Guru” atau “sang Pengkhotbah.” Dia mengidentifikasi dirinya sebagai putra Daud dan raja di Yerusalem (1:1), seorang tokoh yang dianugerahi kebijaksanaan, kekuasaan, dan kekayaan yang luar biasa. Namun, dari posisi yang tinggi ini, setelah seumur hidup merenungkan makna hidup, dia akhirnya menyimpulkan: Segala sesuatu adalah “hevel.”

Kata Ibrani hevel (הֶבֶל) menggambarkan uap, angin yang berlalu, atau nafas yang singkat. Seperti kabut yang menghilang di kala fajar, hevel mewakili apa yang sementara, sulit ditangkap, dan pada akhirnya tidak dapat memuaskan. Metafora yang Qoheleth gunakan adalah “seperti mengejar angin” (1:14), dan hal ini menggambarkan dengan jelas perjuangan manusia yang tak henti-hentinya untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak dapat digapai.

Perjalanan Qoheleth dimulai dengan mencari kebijaksanaan itu sendiri. Ia menceritakan bagaimana ia mengejar pengetahuan tanpa henti, melampaui semua orang yang datang sebelumnya (1:16). Namun, alih-alih kepuasan, ia menemukan bahwa kebijaksanaan yang lebih besar justru menambah kesedihannya (1:18). Hal ini tampak paradoksal— bukankah kita menganggap bahwa belajar membawa kejelasan dan kedamaian? Qoheleth mengungkapkan batas-batas kebijaksanaan duniawi: semakin kita tahu, semakin kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab tentang kehidupan dan kematian kita sendiri.

Kesenangan pun tak lebih baik. Ia menguji setiap kesenangan, seperti kemewahan, seni, kenikmatan sensual (2:1-11), dan dia menyimpulkan bahwa kesenangan ini bersifat sementara. Kekayaan dan prestasi pun terbukti sama kosongnya. Tak ada yang dibawa ke kubur; ahli waris mungkin menghamburkannya, dan bahkan pencapaian terbesar pun lenyap dari ingatan. Kematian, sang penyama, menjadikan semua pencapaian manusia tak berarti (2:14-16; 9:2-6).

Di tengah realisme yang keras ini, Qoheleth mengingatkan pendengarnya pada satu kebenaran yang tak berubah: “Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-Nya, sebab inilah seluruh kewajiban manusia” (12:13). Di dunia di mana segala sesuatu lepas dari jari-jari kita seperti pasir, hanya Allah yang kekal. Tujuan kita bukanlah untuk mengumpulkan apa yang sementara, tetapi untuk menyelaraskan hidup kita dengan kehendak-Nya yang kekal.

Namun, perspektif Qoheleth tetap terikat pada dunia ini. Ia berjuang dengan kehidupan “di bawah matahari” tetapi tidak menawarkan harapan yang jelas setelah kematian. Kematian, baginya, tampak seperti batas akhir yang sunyi (3:19-20; 9:5-6). Adalah Yesus yang kemudian membawa ketegangan ini ke dalam penyelesaian yang sempurna. Dalam perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Lukas 12:13–21), Kristus mengulang peringatan Qoheleth tentang bahaya mengikat diri pada harta duniawi, namun memperluasnya dengan janji kehidupan kekal. Apa yang kita lakukan dan apa yang kita memiliki sekarang menjadi berarti karena di dalam Kristus, semua ini mempersiapkan kita untuk hidup kekal. Selama kita tidak menjadi seperti orang bodoh yang terikat pada hal-hal duniawi, kita selalu memiliki harapan bahwa apa yang kita lakukan dan miliki menjadi berkat bagi kita dan sesama.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Bagaimana perspektif Qoheleth menantang asumsi modern tentang kesuksesan? Dalam hal apa kita telah mengalami “kesia-siaan” dalam hidup ini? Bagaimana pengajaran Yesus tentang kehidupan kekal mengubah cara kita berinteraksi dengan hal-hal sementara?