Orang Kaya yang Tak Bernama

Minggu ke-26 dalam Masa Biasa [C]

28 September 2025

Lukas 16:19-31

Cerita tentang Lazarus dan Orang Kaya tidak hanya mengandung banyak pelajaran yang dapat kita pelajari dan teladani, tetapi juga mengungkapkan kebenaran tentang keselamatan kita. Apa saja itu?

1. Plot Twist

Cerita tentang Lazarus dan orang kaya menunjukkan kebijaksanaan Yesus sebagai seorang pencerita dan guru. Kebanyakan orang akan menganggap orang kaya sebagai protagonis, karena kekayaan materialnya dianggap sebagai tanda kasih karunia Allah. Sebaliknya, Lazarus, dalam kemiskinan dan penyakitnya, akan dianggap sebagai orang yang kalah, menderita karena hukuman Allah atau Allah tidak berkenan kepadanya. Namun, Yesus memberikan kejutan di dalam ceritanya yang menantang pendengar Yahudi aslinya dan terus menantang kita hingga hari ini. Pada akhirnya, orang kaya, meskipun memiliki kekayaan yang luar biasa, tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, sementara Lazarus, orang miskin, menerima belas kasihan Allah dan beristirahat di pangkuan Abraham.

2. Bukan Hanya Tentang Kekayaan

Namun, pandangan yang lebih dalam menunjukkan bahwa Yesus tidak sekadar mengutuk orang kaya dan memuliakan orang miskin. Orang kaya kehilangan keselamatannya bukan hanya karena kekayaannya, yang dapat menjadi berkat dari Allah jika digunakan sebagai sarana untuk tujuan tertentu. Intinya, kegagalannya adalah keserakahannya. Ia digambarkan mengenakan pakaian ungu yang mahal dan berpesta mewah setiap malam, namun ia memilih mengabaikan orang miskin yang putus asa di gerbang rumahnya. Meskipun memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk membantu, ia menutup mata, hanya fokus pada kesenangannya sendiri.

Demikian pula, kemiskinan saja tidak secara otomatis memberikan Lazarus tempat di sisi Abraham. Orang miskin juga rentan terhadap dosa, seperti mencuri atau manipulasi. Namun, Lazarus digambarkan sebagai orang yang “dengan senang hati” menerima sisa-sisa makanan dari meja orang kaya. Ia menolak menggunakan kemiskinannya sebagai alasan untuk berdosa, melainkan memilih bersyukur atas sedikit yang ia miliki.

3. Orang Kaya yang Tak Bernama

Di antara tiga karakter utama dalam cerita ini, hanya satu yang tidak disebutkan namanya: orang kaya. Abraham, yang namanya berarti “bapak banyak bangsa,” menerima Lazarus, yang namanya adalah bentuk Latinisasi dari nama Ibrani “Eliazer,” yang berarti “Allahku adalah penolongku.” Rincian kecil ini penting, menggambarkan kebenaran yang mendalam: kita menjadi apa yang kita cintai.

Orang kaya itu begitu mencintai kekayaannya sehingga ia kehilangan identitas uniknya, dikenal hanya berdasarkan status materialnya. Ia mendefinisikan dirinya melalui pakaian mewah dan gaya hidup yang bermewah-mewah. Sebaliknya, Lazarus dan Abraham mencintai Allah. Semakin mereka mencintai-Nya, semakin mereka mencerminkan gambar-Nya, memungkinkan identitas asli yang diberikan Allah untuk bersinar. Lazarus hidup sebagai orang yang bergantung pada pertolongan Allah, dan Abraham sebagai bapa bagi banyak bangsa. Semakin kita mencintai hal-hal duniawi, semakin kita terjerat olehnya, dan secara bertahap kehilangan diri kita sendiri. Namun, semakin kita mencintai Allah, semakin kita menjadi seperti Allah, dan kita menjadi lebih autentik.

Lourdes, Prancis

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apakah kita mencintai Allah lebih dari segalanya? Apa saja hal-hal yang menghalangi kita untuk mencintai Allah? Apa saja misi yang diberikan Allah dalam hidup ini? Apakah kita peduli terhadap saudara-saudari kita yang kurang beruntung di sekitar kita?

The Nameless Rich Man

26th Sunday in Ordinary Time [C]

September 28, 2025

Luke 16:19-31

The story of Lazarus and the Rich man does not only have a lot of lessons we can learn and imitate, but it also reveals the truth about our salvation. What are those?

1. The Plot Twist

The story of Lazarus and the rich man demonstrate Jesus’ wisdom as both a storyteller and a teacher. Most would assume the rich man is the protagonist, as his material wealth was seen as a sign of God’s favour. Conversely, Lazarus, in his poverty and sickness, would be viewed as a loser, suffering from divine disfavour. Yet, Jesus delivers a shocking twist that challenged his original Jewish audience and continues to challenge us today. In the end, the rich man, despite his extreme wealth, cannot save himself, while Lazarus, the poor man, receives God’s mercy and rests in the bosom of Abraham.

2. Not Just About Wealth

However, a deeper look reveals that Jesus is not simply condemning the rich and glorifying the poor. The rich man loses his salvation not merely because of his wealth, which can be a blessing from God when used as a means to an end. The core of his failure is his selfishness. He is depicted wearing expensive purple garments and feasting sumptuously every night, yet he chooses to ignore the desperately poor man at his gate. Despite having more than enough capacity to help, he closes his eyes, focusing only on his own pleasure.

Similarly, poverty alone does not automatically grant Lazarus a place with Abraham. The poor are also susceptible to sin, such as stealing or manipulation. Yet, Lazarus is described as one who “gladly” received the scraps from the rich man’s table. He refused to use his poverty as an excuse for sin, instead choosing gratitude for the little he had.

3. The Nameless Rich Man

Among the story’s three major characters, only one is left nameless: the rich man. Abraham, whose name means “father of many nations,” receives Lazarus, whose name is a Latinized form of the Hebrew “Eliazer,” meaning “My God is my helper.” This small detail is significant, illustrating a profound truth: we become what we love.

The rich man loved his wealth so dearly that he lost his unique identity, becoming known simply by his material status. He defined himself by his luxurious garments and lavish lifestyle. In contrast, Lazarus and Abraham loved God. The more they loved Him, the more they reflected His image, allowing their authentic, God-given identities to shine. Lazarus lived as one dependent on God’s help, and Abraham as a father to many nations. The more we love earthly things, we are absorbed into them, and gradually losing ourselves, yet the more we love God, the more we become like God, and we become more authentic.

Lourdes, France

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

Do we love God more than anything? What are things that prevent us from loving God? What are God-given missions in this life? Do we care for our unfortunate brothers and sisters around us?

Krisis Sejati

Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [C]

21 September 2025

Lukas 16:1-13

Hari ini, kita dihadapkan pada salah satu perumpamaan Yesus yang sulit dipahami: perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Kesulitannya terletak pada sebuah kontradiksi: Bendahara itu dipuji atas tindakan yang seharusnya tidak dilakukannya. Ia menyalahgunakan wewenangnya dan memanipulasi harta tuannya untuk keuntungan pribadi, tetapi dia dipuji. Jadi, bagaimana kita memahami hal ini?

  1. Ia Dipuji atas Kecerdikannya, Bukan Moralitasnya

Pertama, penting untuk memahami bahwa bendahara itu dipuji karena kecerdikannya, bukan etika moralnya. Kata Yunani yang digunakan adalah φρονίμως (phronimos), yang berarti seseorang yang bijaksana, cerdas, atau pandai dalam urusan-urusan praktis. Di hadapan krisis, bendahara itu membuat keputusan yang tajam dan terukur. Setelah tertangkap karena ketidakjujurannya dan menghadapi pemecatan, ia tahu bahwa ia tidak memiliki keterampilan lain untuk bertahan hidup. Karena ia pasti akan dipecat, meminta ampun juga tidak ada gunanya. Sebaliknya, ia menggunakan satu-satunya keterampilan yang dimilikinya, manajemen manipulatif, untuk menciptakan semacam jaring pengaman. Dengan mengurangi utang, ia menjadikan para peminjam sebagai teman-temannya yang akan menerimanya setelah pekerjaannya hilang, sehingga menyelamatkan dirinya dari kemiskinan dan rasa malu.

2.      Kecerdasan Duniawi “Anak-Anak Zaman Ini”

Kedua, perumpamaan ini menggambarkan bagaimana “anak-anak zaman ini” dapat dengan luar biasa mahir menggunakan sumber daya mereka untuk menghadapi krisis dan mencapai “keselamatan” mereka. Cinta akan uang telah membutakannya, namun ketika krisis sesungguhnya datang, sang bendahara menyadari apa yang paling penting bagi dirinya: kelangsungan hidupnya di dunia ini. Ia secara pragmatis mengubah kekayaan yang diperoleh secara curang menjadi modal relasional untuk menjamin kelangsungan hidupnya di dunia ini.

3.      Tantangan bagi “Anak-Anak Terang”

Akhirnya, dan yang paling penting, perumpamaan ini menantang “anak-anak terang” untuk menyadari krisis nyata yang kita hadapi dan untuk menjadi sebijaksana mungkin dalam mengejar keselamatan sejati kita. Apa krisis kita? Sama seperti tuan kembali untuk menghakimi bendaharanya, Tuhan kita akan kembali untuk menghakimi kita. Banyak dari kita hidup dalam ilusi bahwa penghakiman Allah masih jauh, berpikir kita memiliki waktu yang tak terbatas. Namun, kita tidak tahu jam berapa Tuhan akan datang atau kapan kematian akan memanggil kita untuk mempertanggungjawabkan diri. Bendahara yang tidak jujur tahu bahwa hidup duniawinya terancam dan bertindak lugas untuk menyelamatkannya. Betapa lebih penting bagi kita, yang mengejar hidup kekal, untuk menggunakan waktu, talenta, dan harta kita untuk mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Tuhan yang tak terduga.

Pier Giorgio Frassati tampak seperti pemuda biasa pada zamannya: ia menyukai olahraga seperti hiking dan merupakan pelajar yang aktif terlibat dalam isu-isu sosial dan politik zamannya. Ia juga seorang Katolik yang taat berdoa Rosario dan menghadiri Misa secara teratur. Ia meninggal secara tiba-tiba pada usia 24 tahun, dan di mata dunia, dia tidak memiliki pencapaian apa-apa. Namun, pada hari pemakamannya, ribuan orang, kebanyakan orang miskin, datang untuk berduka. Terungkap bahwa selama bertahun-tahun, ia secara rahasia mengunjungi dan membantu orang-orang miskin. Pada tahun 1990, Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai beato, dan menyebutnya sebagai “manusia Delapan Sabda Bahagia”. Pier Giorgio adalah contoh sempurna seorang “anak terang” yang menggunakan sumber daya duniawinya dengan bijak untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan yang tidak terduga.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:

Apakah kita siap untuk kedatangan Tuhan kita? Dalam keadaan apa Dia akan menemukan kita hari ini? Bagaimana kita mempersiapkan diri? Langkah praktis apa yang kita ambil untuk berinvestasi dalam masa depan kekal kita? Hal-hal duniawi apa yang kita ikat? Apakah uang, kenyamanan, status, atau kebanggaan? Bagaimana kita bisa terbebas dari ikatan-ikatan ini? Bagaimana kita bisa mengalihkan sumber daya ini untuk melayani Tuhan dan orang lain, menimbun “harta di surga”?

The True Crisis

25th Sunday in Ordinary Time [C]

September 21, 2025

Luke 16:1-13

Today, we encounter one of Jesus’ most challenging parables: the story of the dishonest manager. Its difficulty lies in a seeming contradiction. The manager is praised for actions he should not be doing. He abuses his authority and manipulates his master’s wealth for his own advantage. So how are we to understand this?

  1. He Was Praised for His Cleverness, Not His Morality
    First, it’s crucial to see that the servant is commended for his shrewdness, not his ethics. The Greek word used is φρονίμως (phronimos), meaning one who is prudent, wise, or clever in practical matters. Faced with a crisis, the manager made a sharp, calculated decision. Having been caught for his dishonesty and facing dismissal, he knew he lacked other skills to survive. Since he was being fired anyway, repenting his ways at that moment was pointless. Instead, he used the only skill he had, manipulative management, to create a safety net. By reducing debts, he made friends who would welcome him after his job was gone, thus saving himself from poverty and shame.
  • The Worldly Wisdom of “The Children of This Age”
    Second, this parable illustrates how “the children of this age” can be remarkably adept at using their resources to navigate a crisis and achieve a form of “salvation.” The manager’s love of money had blinded him, yet when true crisis struck, he recognized what was most important: his future earthly survival. He pragmatically turned ill-gotten wealth into relational capital to secure his earthly life.
  • A Challenge to “The Children of Light”
    Finally, and most importantly, the parable challenges “the children of light” to recognize the real crisis we face and to be just as wise in pursuing our true salvation. What is our crisis? Just as the master returned to judge his manager, our Master will return to judge us. Many of us live under the illusion that God’s judgment is remote, thinking we have unlimited time. But we do not know the hour when the Lord will come or when death will call us to account. The dishonest manager knew his worldly life was at stake and acted decisively to save it. How much more should we, who value eternal life, use our time, talents, and treasures to prepare for our Lord’s unexpected return?

An Example: St. Pier Giorgio Frassati

Pier Giorgio Frassati appeared to be a typical young man of his generation: he enjoyed sports like hiking and was an engaged student involved in the social and political issues of his time. He was also a devout Catholic who prayed the Rosary and attended Mass regularly. He died unexpectedly at just 24, having accomplished little in the eyes of the world. Yet, at his funeral, thousands of poor people arrived to mourn him. It was revealed that for years, he had secretly visited and helped the poor. In 1990, Pope John Paul II beatified him, naming him “the man of the Eight Beatitudes.” Pier Giorgio is a perfect example of a “child of light” who used his earthly resources wisely to prepare for his Lord’s coming.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions for Reflection:

Are we prepared for the coming of our Lord? In what state would He find us today? How do we prepare? What practical steps are we taking to invest in our eternal future? What earthly things are we attached to? Is it money, comfort, status, or pride? How can we be freed from these attachments? How can we redirect these resources to serve God and others, storing up “treasure in heaven”?

Salib yang Menyembuhkan

Pesta Salib Suci [C]

14 September 2025

Yohanes 3:13-17

Salib adalah simbol universal Kristiani. Orang-orang Kristen mengenakannya sebagai bentuk perhiasan, seperti kalung, cincin, dan anting-anting, baik sebagai tanda devosi atau iman, maupun sekadar sebagai fashion. Gereja, dan berbagai institusi Kristiani memiliki salib sebagai penandanya. Namun, meskipun kita mungkin sudah familiar, sejarah dan makna mendalam salib sering kali diabaikan.

Pesta Salib Suci [C]
14 September 2025
Yohanes 3:13-17

Salib adalah simbol universal Kristiani. Orang-orang Kristen mengenakannya sebagai bentuk perhiasan, seperti kalung, cincin, dan anting-anting, baik sebagai tanda devosi atau iman, maupun sekadar sebagai fashion. Gereja, dan berbagai institusi Kristiani memiliki salib sebagai penandanya. Namun, meskipun kita mungkin sudah familiar, sejarah dan makna mendalam salib sering kali diabaikan.

Secara historis, salib bukanlah simbol keagamaan, melainkan alat teror. Salib adalah metode eksekusi Romawi yang ditujukan untuk penjahat dan pemberontak. Orang yang dihukum akan ditelanjangi, dipaku pada tiang kayu besar, dan dibiarkan mati perlahan, secara publik, terpapar elemen alam dan juga hujatan. Itu adalah simbol kekejaman dan kebengisan manusia. Inilah siksaan yang dialami Yesus.

Namun, Yesus tidak melarikan diri dari salib-Nya. Ia menerimanya, dan melalui kebangkitan-Nya, Ia mengubah salib dari alat penyiksaan menjadi sarana belas kasihan dan penyembuhan Allah. Dalam Injil, Yesus sendiri membuat hubungan tipologis antara salib-Nya dan ular tembaga yang diangkat oleh Musa di Buku Bilangan (Bil 21). Sama seperti orang-orang Israel yang tersengat ular dan memandang ular tembaga disembuhkan, semua yang memandang salib Yesus dengan iman akan diselamatkan dari maut.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan mendalam: bagaimana salib menyembuhkan kita?

Pertama, salib menyembuhkan melalui kasih. Ketika kita memandang salib, kita melihat bukti kasih Allah yang paling luhur: Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menjadi manusia, dan menyerahkan diri-Nya sebagai korban demi mendamaikan kita dengan-Nya. Seperti yang ditulis Santo Paulus, “Tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, karena ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rom 5:8).

Setiap dosa melukai jiwa kita dan memisahkan kita dari Allah. Setiap  kali kita melihat salib Kristus, ini menjadi panggilan permanen akan kasih Allah untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Dan rahmat perdamaian dan penyembuhan dari Salib mengalir kepada kita terutama melalui Baptisan dan Sakramen Rekonsiliasi.

Kedua, salib menyembuhkan melalui kehadiran Allah. Salib menunjukkan bahwa Allah bukanlah ilah yang jauh, terpisah dari penderitaan kita. Ia memilih untuk menjadi salah satu dari kita, untuk berbagi pengalaman manusiawi kita dengan segala penderitaannya. Di salib, Yesus menerima penderitaan manusia yang paling berat, menunjukkan bahwa ketika kita menyatukan penderitaan kita dengan-Nya, salib kita sendiri dapat diubah dan disembuhkan.

Ketika penderitaan menimpa kita, mudah untuk mengeluh dan putus asa. Tetapi salib mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian. Sama seperti Yesus menggunakan penderitaan-Nya untuk menjadi berkat bagi dunia, kita pun dapat menawarkan penderitaan kita kepada Allah dan menjadi sumber kekuatan dan belas kasihan bagi orang lain.

St. Fransiskus dari Assisi pernah mencari kemuliaan sebagai seorang ksatria. Setelah ditangkap dalam pertempuran dan jatuh sakit parah, ia pulih secara fisik tetapi masih merasa kekosongan rohani. Segalanya berubah saat ia berdoa di sebuah kapel yang rusak. Ia melihat penglihatan Yesus di salib, yang berkata kepadanya, “Fransiskus, pergilah dan perbaiki rumah-Ku yang sedang runtuh.” Momen ini memberikan penyembuhan sejati yang dibutuhkan Fransiskus, membantunya menemukan jati dirinya dan apa yang seharusnya ia lakukan, yaitu menjadi alat Tuhan untuk damai dan penyembuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apa salib-salib dalam hidup kita? Bagaimana salib Yesus menyembuhkan kita? Apakah kita menjadi sarana penyembuhan Tuhan bagi orang lain juga? Bagaimana caranya?

The Cross that Heals

Feast of the Exaltation of the Holy Cross

September 14, 2025

John 3:13-17

The cross is a universal symbol of Christianity. People wear it as jewelry, like necklaces, rings, and earrings, either as a sign of devotion or simply as fashion. Churches and other Christian buildings are often crowned with its shape. Yet, despite its familiarity, the profound history and meaning of the cross can often be overlooked.

Historically, the cross was not a sacred symbol but a tool of terror. Crucifixion was a Roman method of execution designed for criminals and rebels. The condemned person was stripped naked, nailed to a wooden beam, and left to die a slow, public death exposed to the elements and humiliation. It was the ultimate symbol of human cruelty. This is the torture Jesus endured.

Yet, Jesus did not escape His cross. He embraced it. Through His resurrection, He transformed the cross from an instrument of torture into an instrument of God’s mercy and healing. In the Gospel, Jesus Himself draws a typological connection between His cross and the bronze serpent raised by Moses. Just as those who looked at the bronze serpent were healed, all who look to Jesus’ cross with faith will be saved.

This leads to the essential question: how does the cross heal us?

First, it heals through love. When we look at the cross, we see the ultimate proof of God’s love: He sent His only Son to offer Himself as a sacrifice to reconcile us to Himself. As St. Paul writes, “But God proves his love for us in that while we still were sinners Christ died for us” (Rom 5:8). We receive this healing from sin primarily through Baptism and the Sacrament of Reconciliation. Every sin wounds our soul and separates us from God; the cross stands as a permanent call to repent and return to Him.

Second, it heals through God’s presence. The cross shows us that God is not a distant deity, remote from our pain. He chose to become one of us, to share in our human experience with all its suffering. On the cross, Jesus embraced the worst of human agony, demonstrating that when we unite our sufferings with His, our own crosses can be transformed. They can become a divine means of healing and grace.

When suffering hits us, it is easy to complain and despair. But the cross reminds us we are not alone. Just as Jesus used His suffering to become a blessing for the world, we too can offer our own pains to God and become a source of strength and compassion for others.

St. Francis of Assisi once sought glory as a knight. After being captured in battle and becoming seriously ill, he recovered physically but still felt a spiritual emptiness. Everything changed while he was praying in a broken-down chapel. He had a vision of Jesus on the cross, who said to him, “Francis, go and repair my house, which is falling into ruin.” This moment gave Francis the true healing he needed, helping him discover who he was and what he was meant to do, to be God’s instrument of peace and healings.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

What are our crosses in our lives? How do Jesus’ cross heal us? How? Do we become the means of God’s healing for others also? How?

To Hate and To Love

23rd Sunday in Ordinary Time [C]

September 7, 2025

Luke 14:25-33

We now encounter one of Jesus’ most challenging statements: He demands that we “hate” our parents, siblings, and even our own children. How are we to understand this hard saying?

To find the answer, we must consider three key elements: Jesus’ full statement, the meaning of the word “hate,” and the broader context of Jesus’ life and mission.

  1. The Full Statement
    First, we need to read the entire sentence. Jesus said, “If anyone comes to me without hating his father and mother, wife and children, brothers and sisters, and even his own life, he cannot be my disciple.” This is not a general command for everyone, but a specific condition addressed to those who wish to become His true followers.
  • The Biblical Meaning of “Hate”
    The word “hate” here (from the Greek μισέω – miseo) does not imply a feeling of strong aversion or enmity. In the Bible, this word often carries a comparative meaning: “to love less” or “to disfavor” in order to show preferential treatment to something else (see Genesis 29:31, Deuteronomy 21:15-16, Luke 16:13). In this context, Jesus is demanding that His followers make Him their absolute top priority. He is not asking us to detest our families, but to love Him so much that all other loves—even for our own lives—seem like hatred by comparison. A simpler way to phrase it is: Unless we love Jesus more than everything and everyone else, we cannot be His disciples.
  • The Broader Context
    Finally, we must remember that Jesus was speaking as He walked toward Jerusalem, where He would face His Passion and death on the cross. To follow Him meant to share in His suffering. This is only possible if a disciple prioritizes Jesus above all else. We see this exemplified in figures like Mary, His mother, who refused to hide but stood firmly at the foot of the cross, sharing in His agony. Other disciples, like John and Mary Magdalene, also followed Him to the very end, demonstrating this ultimate priority.


This teaching remains true for us today. To follow Jesus to the end requires loving Him above all. While not everyone is called to physical martyrdom like St. Ignatius of Antioch who was fed to the lions or St. Francis de Capillas was tortured and killed when he preached Jesus in China, every disciple is called to make Jesus the central priority of their life.

This doesn’t mean we must pray every second of the day. Instead, it means making daily decisions that reflect our love for Jesus and our desire to please God. This can be as simple as: Choosing to avoid sin and vice; Refusing to be a stumbling block for others; Prioritizing Sunday Mass, even while on vacation; Gently inviting family members to know Jesus more.

Loving Jesus is a conscious, daily decision to choose what strengthens our holiness and deepens our relationship with Him.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions:

How do I concretely show my love for Jesus in my daily routine? Do my actions and words encourage others to love Jesus? Could my behavior be making it difficult for someone else to approach Jesus?

Membenci dan Mengasihi

Minggu ke-23 dalam Masa Biasa [C]

7 September 2025

Lukas 14:25-33

Kita kini dihadapkan pada salah satu pernyataan Yesus yang paling sulit dipahami: Ia menuntut agar kita “membenci” orang tua, pasangan, saudara kandung, bahkan anak-anak kita sendiri. Bagaimana kita memahami perkataan yang sulit ini?

Untuk menemukan jawabannya, kita harus mempertimbangkan tiga unsur utama: pernyataan lengkap Yesus, makna kata “benci”, dan konteks yang lebih luas dari kehidupan dan misi Yesus.

1. Pernyataan Lengkap

Pertama, kita perlu membaca kalimat secara utuh. Yesus berkata, “Jika ada orang yang datang kepada-Ku tanpa membenci ayah dan ibunya, istri dan anak-anaknya, saudara-saudaranya, bahkan hidupnya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Ini bukan perintah umum untuk semua orang, tetapi syarat khusus yang ditujukan kepada mereka yang ingin menjadi pengikut-Nya yang sejati.

2. Arti Alkitabiah dari “Benci”

Kata “benci” di sini (dari bahasa Yunani μισέω – miseo) tidak mengimplikasikan perasaan kebencian yang kuat atau permusuhan. Dalam Alkitab, kata ini sering memiliki makna perbandingan: “mencintai lebih sedikit” agar dapat memberikan perlakuan istimewa kepada sesuatu yang lain (lihat Kejadian 29:31, Ulangan 21:15-16, Lukas 16:13). Dalam konteks ini, Yesus menuntut agar pengikut-Nya menjadikan-Nya prioritas mutlak. Dia tidak meminta kita untuk memusuhi keluarga kita, tetapi untuk mencintai-Nya sedemikian rupa sehingga semua cinta lainnya—bahkan untuk hidup kita sendiri—terasa seperti bukan prioritas utama. Cara yang lebih sederhana untuk mengatakannya adalah: Kecuali kita mencintai Yesus lebih dari segala sesuatu dan semua orang lain, kita tidak dapat menjadi murid-Nya.

3. Konteks yang Lebih Luas

Akhirnya, kita harus ingat bahwa Yesus berbicara saat Dia berjalan menuju Yerusalem, tempat Dia akan menghadapi penderitaan dan kematian-Nya di salib. Mengikuti-Nya berarti berbagi dalam penderitaan-Nya. Hal ini hanya mungkin jika seorang murid memprioritaskan Yesus di atas segalanya. Kita melihat hal ini tercermin dalam tokoh seperti Maria, ibu-Nya, yang menolak untuk bersembunyi tetapi berdiri teguh di kaki salib, berbagi dalam penderitaan-Nya. Murid-murid lain, seperti Yohanes dan Maria Magdalena, juga mengikuti-Nya hingga akhir, menunjukkan prioritas kasih ini.

Ajaran yang keras ini tetap berlaku bagi kita hari ini. Mengikuti Yesus hingga akhir membutuhkan cinta kepada-Nya di atas segalanya. Meskipun tidak semua orang dipanggil untuk menjadi martir seperti Santo Ignatius dari Antiokhia yang dimakan singa atau Santo Fransiskus de Capillas yang disiksa dan dibunuh saat memberitakan Yesus di Tiongkok, setiap murid dipanggil untuk menjadikan Yesus sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Ini tidak berarti kita harus berdoa setiap detik. Sebaliknya, ini berarti membuat keputusan sehari-hari yang mencerminkan cinta kita kepada Yesus dan keinginan kita untuk berkenan di hadapan Allah. Ini bisa sesederhana: Memilih untuk menghindari dosa dan keburukan; Menolak menjadi batu sandungan bagi orang lain; Menjadikan Misa Minggu sebagai prioritas, bahkan saat berlibur; Dengan lembut mengajak anggota keluarga untuk mengenal Yesus lebih dalam.

Mencintai Yesus adalah keputusan sadar dan harian untuk memilih apa yang mengembangkan kekudusan kita dan memperdalam hubungan kita dengan-Nya.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Bagaimana kita secara konkret menunjukkan cinta kita kepada Yesus dalam rutinitas harian kita? Apakah tindakan dan kata-kata kita mendorong orang lain untuk mencintai Yesus? Apakah perilaku kita membuat seseorang sulit untuk mendekati Yesus?