Basilika Santo Yohanes Lateran

Pesta Pendirian Basilika Lateran di Roma [C]

9 November 2025

Yohanes 2:13-22

Hari ini, Gereja merayakan Peresmian Basilika Santo Yohanes Lateran di Roma. Mungkin banyak dari kita tidak tahu dengan basilika ini, dan yang lain mungkin bertanya-tanya mengapa pemberkatannya dirayakan dengan begitu khidmat. Untuk memahami hal ini, kita harus kembali ke sejarah awal Gereja Katolik.

Komunitas Kristen pertama di Roma kemungkinan didirikan sekitar tahun 33-34 M. Kisah Para Rasul menceritakan bahwa para peziarah Yahudi dari Roma hadir pada Hari Pentekosta, mendengarkan khotbah Petrus, dibaptis, dan membawa iman kembali ke ibu kota kekaisaran (Kis 2:1-42). Inilah benih Gereja di Roma. Ketika Santo Petrus sendiri tiba di sana, ia diakui sebagai pemimpin—Uskup Roma pertama.

Selama berabad-abad, Gereja muda ini mengalami penganiayaan yang brutal. Penganiayaan pertama yang disahkan negara dimulai di bawah Kaisar Nero pada tahun 65 M, yang menyalahkan orang-orang Kristen atas kebakaran besar di Roma. Penganiayaan Nero menewaskan Rasul besar Petrus dan Paulus. Namun, penganiayaan yang paling sistematis dan kejam datang kemudian di bawah Kaisar Diocletian (303-311 M), yang memerintahkan penghancuran kitab suci, tempat-tempat suci, dan eksekusi dari anggota Gereja di seluruh kekaisaran.

Era kegelapan ini berganti menjadi cahaya. Setelah Diocletian, kekaisaran Romawi terjerumus ke dalam perang saudara. Beberapa jenderal, termasuk Konstantinus, bertarung untuk takhta. Pada malam sebelum pertempuran di jembatan Milvian yang menentukan, pada tahun 312 M, Konstantinus melihat penglihatan salib di langit dengan kata-kata, “En Toutō Nika”—“Dalam tanda ini, engkau akan menang.” Setelah penglihatan ini, ia memerintahkan pasukannya untuk menandai perisai mereka dengan simbol Chi-Rho (☧), dua kata huruf pertama dari Kristus di dalam bahasa Yunani. Setelah kemenangan dan menjadi kaisar, Konstantinus tidak hanya mengakhiri penganiayaan terhadap umat Kristiani tetapi juga menjadi pelindung kuat bagi Gereja.

Sebagai ungkapan syukur, ia mendonasikan tanah milik keluarga Lateran kepada Gereja. Di tanah tersebut, ia membangun basilika besar yang didedikasikan untuk Kristus Sang Penyelamat—basilika kepausan publik pertama (kemudian, basilika ini juga didedikasikan kepada Santo Yohanes Pembaptis dan Santo Yohanes Penginjil). Paus Silvester menerima hadiah ini dan menetapkannya sebagai katedralnya – tahta resmi Uskup Roma. Ini adalah pergeseran monumental: Gereja keluar dari katakombe yang tersembunyi ke ruang publik, tanda kuat akan penyelenggaraan Allah dan kemenangan iman.

Itulah mengapa Basilika Santo Yohanes Lateran memegang gelar “Omnium Urbis et Orbis Ecclesiarum Mater et Caput”—“Ibu dan Kepala Semua Gereja di Kota dan Dunia.” Meskipun para paus memindahkan kediaman mereka ke Vatikan pada abad ke-14 setelah kebakaran, Lateran tetap menjadi katedral kota Roma. Oleh karena itu, dalam merayakan pendiriannya, kita merayakan sejati dasar Gereja Roma, Takhta Petrus, dan kemenangan Gereja Kristus atas dunia dan kejahatan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apakah kita benar-benar menyadari sejarah yang kaya dan panjang dari Gereja kita? Apakah kita menyadari bahwa kita merupakan bagian dari keluarga Katolik yang lebih besar dan universal yang tersebar di seluruh dunia? Seberapa dalam kita hidup dalam iman kita setiap hari? Apakah kita pernah mengalami penganiayaan, ataukah kita diberkati dengan kebebasan untuk mengekspresikan iman kita secara terbuka? Apa yang kita lakukan—secara pribadi dan sebagai komunitas—untuk membantu Gereja kita tumbuh dalam iman, kasih, dan kesaksian?

Basilica St. John Lateran

Feast of the Dedication of the Lateran Basilica in Rome [C]

November 9, 2025

John 2:13-22

Today, the Church celebrates the Dedication of the Basilica of St. John Lateran in Rome. While many of us may be unfamiliar with this basilica, and others may wonder why its dedication is celebrated with such solemnity. To understand why, we must journey back to the earliest days of the Catholic Church.

The first Christian community in Rome was likely established around 33-34 AD. The Acts of the Apostles tells us that Jewish pilgrims from Rome were present at Pentecost, heard Peter’s preaching, were baptized, and carried the faith back to the imperial capital (Acts 2:1-42). This was the seed of the Church in Rome. When St. Peter himself arrived, he was recognized as the leader—the first Bishop of Rome.

For centuries, this fledgling Church endured severe persecution. The first state-sanctioned persecution began under Emperor Nero in 65 AD, who scapegoated Christians for a great fire in Rome. Nero’a persecution claimed the lives of the great Apostles Peter and Paul. The most systematic and brutal persecution, however, came later under Emperor Diocletian (303-311 AD), who ordered the destruction of scriptures, sacred places, and the execution of Christians across the empire.

This era of darkness gave way to light. After Diocletian, the empire fell into civil wars. Several generals, including Constatine, fought for the throne. On the eve of the decisive Battle of the Milvian Bridge, near Rome, in 312 AD, Constantine reportedly saw a vision of a cross in the sky with the words, “En Toutō Nika”—”In this sign, conquer.” Following a dream of Christ, he had his soldiers mark their shields with the Chi-Rho (☧). After his victory, Constantine not only ended the persecution of Christians but became a powerful patron of the Church.

In thanksgiving, he donated the former property of the Lateran family to the Church. On this land, he built a great basilica dedicated to Christ the Savior—the first public papal basilica (later, it would be dedicated also to St. John the Baptist and St. John the Evangelist). Pope St. Silvester accepted this gift and established it as his cathedral, the official seat of the Bishop of Rome. This was a monumental shift: the Church emerged from the hidden catacombs into the public square, a powerful sign of God’s providence and victory.

This is why the Basilica of St. John Lateran holds the title “Omnium Urbis et Orbis Ecclesiarum Mater et Caput”—”The Mother and Head of All Churches in the City and the World.” Though the popes moved their residence to the Vatican in the 14th century after a fire, the Lateran remains the Pope’s cathedral. Therefore, in celebrating its dedication, we celebrate the very foundation of the Church of Rome, the See of Peter, and the triumph of Christ’s Church over evil.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

Are we truly aware of the rich and long history of our Church? Do we recognize that we belong to a greater, universal Catholic family spread across the world? How deeply do we live our faith each day? Have we ever experienced persecution, or are we blessed with the freedom to express our faith openly? What are we doing—personally and as a community—to help our Church grow in faith, love, and witness?

St. Yusuf dan Kematian yang Bahagia

Peringatan Semua Arwah Orang Beriman

2 November 2025

Yohanes 6:37-40

St. Yusuf, ayah angkat Yesus, dikenal sebagai teladan kudus bagi suami, ayah, dan pekerja. Namun, ia juga memiliki gelar yang jarang orang tahu: santo pelindung bagi kematian yang bahagia. Namun, apa artinya gelar ini? Bagaimana kematian, yang seringkali dipenuhi dengan ketakutan dan kesedihan, bisa dianggap bahagia?

Untuk memahaminya, kita harus terlebih dahulu mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: Apa yang dimaksud dengan kematian yang bahagia? Apakah itu berarti dikelilingi oleh keluarga saat ajal menjemput di usia tua, dan bebas dari rasa sakit? Atau saat kita mati, kita menerima ibadat kematian yang indah di pemakaman yang terawat dengan baik? Sejatinya, kebahagiaan dan kematian tampaknya merupakan dua konsep yang tak dapat dipertemukan. Kita secara alami diciptakan untuk hidup; kita secara naluriah menolak rasa sakit dan penderitaan yang mengingatkan kita pada kematian. Jadi, bagaimana kita bisa menemukan kebahagiaan dalam kematian, sebuah peristiwa yang ditolak oleh seluruh keberadaan kita? Mencari kematian yang bahagia terasa seperti hal yang mustahil.

Di sinilah St. Yusuf datang untuk membantu kita. Hidupnya memberikan jawaban atas teka-teki mendalam ini. Tradisi Katolik mengajarkan bahwa pada saat kematiannya, Yusuf tidak sendirian. Ia berada dalam pelukan Yesus dan Maria. Kebersamaan suci ini pada akhir hidup Yusuf merupakan puncak dari kehidupan yang dijalani dalam persekutuan yang konstan dengan Allah. Kunci kematian yang bahagia adalah hidup yang dijalani bersama Allah.

Dalam iman Katolik, kematian adalah tindakan akhir dan menentukan dalam hidup, yang secara kekal mengukuhkan pilihan kita untuk atau melawan Allah. St. Yusuf mewakili teladan ideal: di ranjang kematiannya, ia berpaling kepada Yesus, anak angkatnya dan juga Tuhan yang maharahim, serta kepada Maria, istrinya dan juga Bunda Allah. Kematiannya bahagia karena Yesus yang ia peluk dengan napas terakhirnya adalah Yesus yang sama yang menyambutnya ke dalam kebahagiaan abadi surga.

Namun, St. Yusuf tidak hanya hanya mengajarkan tentang bagaimana menghadapi kematian, tetapi secara mendasar bagaimana kita hidup. Injil menggambarkannya sebagai “orang yang benar” (Mat 1:19). Seluruh hidupnya adalah “ya” yang setia kepada Allah. Sebuah pengabdian kepada kehendak Allah yang seringkali membawa Yusuf pada penderitaan. Ia menghadapi ketidakpastian, pengasingan, dan kesulitan demi keluarga yang dipercayakan kepadanya. Karena ia menghabiskan hidupnya mencari Tuhan dalam setiap keadaan, maka sangat alamiah baginya untuk mencari Yesus pada saat terakhirnya. Kematiannya yang baik adalah buah dari hidup yang setia.

Saat kita berdoa untuk orang-orang terkasih yang telah meninggal, Santo Yusuf memberikan kita harapan yang mendalam. Ia mengingatkan kita bahwa bagi mereka yang hidup dengan setia bersama Kristus, kematian tidak menghancurkan kehidupan tetapi menyempurnakannya. Kematian bukan akhir, tetapi gerbang menuju sukacita yang tak terpadamkan. Inilah kematian yang bahagia.

Santo Yusuf, pelindung kematian yang bahagia, doakanlah kami!

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:

Apakah kita menumbuhkan kehidupan bersama Kristus yang mempersiapkan kita untuk menghadapi kematian dengan damai? Apakah kita melihat kematian sebagai akhir yang menakutkan, atau sebagai jalan menuju kehidupan abadi? Dalam pilihan-pilihan harian kita, apakah kita membangun kebiasaan untuk berpaling kepada Yesus, seperti yang dilakukan Yusuf? Apakah kita mencari perantaraan Santo Yusuf, memintanya untuk berdoa bagi kematian yang suci bagi diri kita sendiri dan bagi semua yang paling membutuhkannya?

St. Joseph and the Happy Death

The Commemoration of All the Faithful Departed (All Souls)

November 2, 2025

John 6:37-40

St. Joseph, the foster father of Jesus, is celebrated as a holy model for husbands, fathers, and workers. Yet, he also holds a more poignant title: the patron saint of a happy death. But what does this mean? How can death, so often shrouded in fear and sorrow, ever be considered happy?

To understand this, we must first ask a more fundamental question: What constitutes a happy death? Does it mean being surrounded by family at a ripe old age, free from pain? Or a beautiful funeral in a well-kept cemetery? At first glance, happiness and death seem to be irreconcilable opposites. We are hardwired for life; we instinctively recoil from the suffering that reminds us of our mortality. So, how can we find happiness in the very event our entire being resists? To seek a happy death can feel like trying to capture the wind.

It is here that St. Joseph comes to our aid. His life provides the answer to this profound puzzle. Catholic tradition holds that at his dying moment, Joseph was not alone. He was cradled in the presence of Jesus and Mary. This sacred companionship at life’s end was simply the culmination of a life lived in constant communion with God. The key to a happy death is a life lived with God.

In the Catholic faith, death is the final and decisive act of life, eternally sealing our choice for or against God. St. Joseph embodies the ideal: on his deathbed, he turned to Jesus, his adopted son and the Lord of Mercy, and to Mary, his wife and the Mother of God. His was a happy death because the Jesus he embraced with his final breath was the same Jesus who welcomed him into the eternal joy of heaven.

Yet, St. Joseph’s lesson is not merely about how to die, but fundamentally, about how to live. The Gospel describes him as a “righteous man” (Matt 1:19). His entire life was a faithful “yes”—a dedication to God’s will, often at great personal cost. He faced uncertainty, exile, and hardship for the sake of his family. Because he spent his life seeking the Lord in every circumstance, it was the most natural thing in the world for him to seek Jesus at his final moment. His good death was the fruit of a faithful life.

As we pray for our dearly departed, St. Joseph offers us a profound hope. He reminds us that for those who live faithfully with Christ, death does not destroy life but perfects it. It is not an end, but a gateway to unquenchable joy. This is the happy death.

St. Joseph, patron saint of a happy death, pray for us!

Guide Questions for Reflection:

Are we cultivating a life with Christ that prepares us to face our death with peace? Do we see death as a terrifying end, or as a passage to eternal life? In our daily choices, are we building the habit of turning to Jesus, as Joseph did? Do we seek the intercession of St. Joseph, asking him to pray for a holy death for ourselves and for all those who need it most?

Mengapa Perlu Menunggu?

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [C]

19 Oktober 2025

Lukas 18:1-8

Dalam perumpamaan tentang janda yang gigih dan hakim yang tidak adil, Yesus memberi kita perintah yang jelas: “Berdoalah selalu!” Ia mengajak kita untuk tetap teguh, terutama ketika Allah meminta kita untuk menunggu jawaban-Nya. Namun, mengapa Bapa yang penuh kasih, yang mengetahui kebutuhan kita, mengizinkan penantian ini?

Periode penantian ini bukanlah tanda ketidakhadiran Allah, melainkan kasih-Nya yang mendalam. Berikut tiga alasan mengapa Allah mungkin mengizinkan kita menanti.

1. Waktu Menyembuhkan dan Memurnikan Doa-doa Kita

Seringkali, doa-doa kita lahir dari emosi yang intens—kesedihan, penderitaan, atau bahkan amarah. Dalam kegelisahan kita, kita bisa membingungkan antara kebutuhan sejati kita dengan keinginan egois. Kita tidak selalu tahu apa yang benar-benar baik untuk kita.

Allah menggunakan waktu untuk membantu kita menenangkan hati dan menyucikan niat kita. Waktu membantu kita untuk membentuk ulang doa-doa kita, mengubahnya dari tuntutan menjadi dialog, dari permohonan untuk keuntungan pribadi menjadi kata-kata penyerahan dan pengharapan, dari “Jadilah sesuai kehendakku” menjadi “Jadilah kepadaku sesuai kehendak-Mu.”

2. Waktu Membangun Keutamaan

Kita hidup di dunia yang mengutamakan hasil instan, dan kita dapat membawa ketidaksabaran ini ke dalam hubungan kita dengan Allah. Ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan secara instan, kita dapat menjadi gelisah dan frustrasi, dan bahkan marah.

Menunggu mengajarkan kita kesabaran—yang bukan hanya kemampuan untuk menunggu, tetapi kemampuan untuk mempertahankan sikap baik saat menunggu. Seperti yang diingatkan oleh St. Fransiskus de Sales, “Setiap dari kita membutuhkan setengah jam doa setiap hari, kecuali ketika kita sibuk, maka kita membutuhkan satu jam.” Semakin kita berdoa dengan sabar, semakin kita menyadari bahwa banyak hal di luar kendali kita. Namun, meskipun kita lemah, kita tidak putus asa atau kehilangan harapan karena kita kini bergantung pada Allah Pencipta langit dan bumi.

3. Waktu Mendalamkan Kedekatan Kita dengan Allah

Mudah bagi kita untuk memperlakukan Allah seperti mesin penjual otomatis surgawi. Masa penantian mengalihkan perhatian kita dari pemberian yang kita cari ke Sang Pemberi.

Semakin banyak waktu yang kita habiskan dalam doa yang penuh kesabaran, semakin kita mencari untuk mengenal Allah sebagaimana Dia adanya—bukan hanya sebagai pemberi keinginan, tetapi sebagai Bapa yang penuh kasih. Kita tidak berfokus lagi pada daftar kebutuhan kita tetapi pada hubungan kita dengan-Nya. Inilah inti doa, yang didefinisikan oleh Santa Teresa dari Ávila sebagai “tidak lain daripada menjalin persahabatan dengan Allah.”

Seorang biarawati senior pernah berbagi kisah tentang bagaimana, saat masih menjadi novis muda, ia ingin meninggalkan biara untuk bekerja dan mendukung ibunya secara finansial. Doanya dipenuhi dengan berbagai rencana apa yang akan dia lakukan di luar. Pembimbing rohaninya dengan lembut bertanya, “Apakah meninggalkan biara benar-benar yang terbaik? Apakah Allah terbatas pada satu cara saja untuk menolong?”

Ia mulai mengubah doanya. Ia berhenti memberi tahu Allah apa yang harus dilakukan dan mulai menyerahkan ibunya sepenuhnya kepada penyelenggaraan-Nya. Seiring waktu, kerabat dan teman-temannya datang untuk mendukung ibunya, dan ia menemukan kedamaian untuk tetap setia pada panggilannya. Kisah sederhana ini menunjukkan bagaimana Allah menggunakan waktu untuk menyucikan doa-doa kita dan mendekatkan kita kepada-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi Pribadi:

  • Apakah saya berdoa? Apakah ada ruang yang konsisten dan harian untuk Tuhan dalam hidup saya?
  • Bagaimana cara saya berdoa? Apakah doa saya sekadar daftar permintaan, ataukah itu percakapan yang termasuk mendengarkan?
  • Seberapa lama saya berdoa? Apakah saya menyerah ketika jawaban tidak segera datang?
  • Apa yang saya minta dari Allah? Apakah doa-doa saya berfokus pada kehendak saya, atau pada upaya untuk memahami kehendak-Nya?
  • Bagaimana reaksi saya ketika tidak mendapatkan apa yang saya doakan? Apakah hal itu menimbulkan keraguan, atau justru memperdalam kepercayaan pada kebijaksanaan-Nya?
  • Apakah saya meminta anugerah? Apakah saya berdoa tidak hanya untuk hasil tertentu, tetapi juga untuk kekuatan, kedamaian, dan kepercayaan untuk menanggung penantian?

Time and Prayer

29th Sunday in Ordinary Time [C]

October 19, 2025

Luke 18:1-8

In the parable of the persistent widow and the unjust judge, Jesus gives us a clear command: “pray always without becoming weary.” He invites us to persevere, especially when God asks us to wait for an answer. But why does a loving Father, who knows our needs, allow this waiting?

This period of waiting is not a sign of God’s absence, but His profound love. Here are three reasons God may allow us to wait.

1. Time Heals and Purifies Our Prayers

Often, our initial prayers are born from intense emotion—grief, distress, or even anger. In our urgency, we can confuse our genuine needs with our selfish wants. We do not always know what is truly good for us.

God uses the gift of time to help us settle our hearts and purify our intentions. He reforms our prayers, transforming them from demands into dialogues, from pleas for personal gain into words of trusting surrender, from “Be it done according to my will.” to “Be it done to me according to Your will.”

2. Time Builds Essential Virtues

We live in a world of instant results, and we can carry this impatience into our relationship with God. When we don’t get what we want immediately, we can become restless and frustrated.

Waiting teaches us the true meaning of patience—which is not just the ability to wait, but the ability to keep a good attitude while waiting. As St. Francis de Sales reminds us, “Every one of us needs half an hour of prayer each day, except when we are busy… then we need an hour.” The more we patiently pray, the more recognize that many things are beyond our control. The more we patiently ask, the more we realize how powerless we are. Yet, though we are powerless, we are not helpless or hopeless since we are now relying ourselves on someone beyond us, God the creator of heavens and earth.

3. Time Deepens Our Intimacy with God

It is easy to treat God like a heavenly vending machine, focused solely on the gifts we seek. Waiting refocuses our attention from the gifts to the Giver.

The more time we spend in prayerful waiting, the more we seek to know God for who He is—not just as a wish-fulfiller, but as a loving Father. We begin to focus less on our list of needs and more on our relationship with Him. This is the heart of prayer, which St. Teresa of Ávila defined as “nothing else than being on terms of friendship with God.”

A Story of Purified Prayer:
A senior nun once shared how, as a young novice, she wanted to leave the convent to get a job and support her mother financially. Her prayers were consumed with this plan. Her spiritual director gently asked her: “Would leaving truly be the best help? Is God limited to only one way of providing?”

She began to change her prayers. She stopped telling God what to do and started entrusting her mother entirely to His care. In time, relatives and friends came forward to support her mother, and she found the peace to persevere in her vocation. This simple story shows how God uses time to purify our prayers and draw us closer to Himself.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions for Personal Reflection:

  • Do I pray? Is there a consistent, daily space for God in my life?
  • How do I pray? Is my prayer a list of requests, or is it a conversation that includes listening?
  • How long do I pray? Do I give up when an answer isn’t immediate?
  • What do I ask from God? Are my prayers focused on my will, or on seeking to understand His?
  • How do I react when I don’t get what I prayed for? Does it lead to doubt, or to a deeper trust in His wisdom?
  • Do I ask for grace? Do I pray not just for specific outcomes, but for the strength, peace, and trust to endure the wait?

Beyond Grateful

28th Sunday in Ordinary Time [C]

October 12, 2025

Luke 17:11-19

On the surface, the story of the ten lepers presents a clear contrast between gratitude and ingratitude. Ten lepers are healed, yet only one—a Samaritan, a traditional enemy of the Jews—returns to thank Jesus. The nine others, presumably Jews, appear simply ungrateful. But to leave the lesson there risks missing the profound, multi-layered drama unfolding within this encounter.

To truly understand the story, we must first grasp the gravity of the men’s condition. The Greek word “lépra” used in the Gospel translates the Hebrew “tzara’at.” This was not merely a medical ailment causing spreading sores and discoloured skin; it was a state of severe religious impurity and thus, the persons were barred to approach the sacred grounds (Lev 13-14). Due to its religious nature, a person with this condition was declared permanently unclean by a Levitical priest, not a doctor. Due to its contagious nature, they were forced to live in isolation, wear torn clothes, and call out “Unclean, unclean!” to warn anyone who approached. Therefore, “tzara’at” was one of the most dreaded fates for an Israelite, as it cut a person off from family, community, and, most importantly, from God.

With this context, Jesus’ instruction for the ten lepers to show themselves to the priests is deeply significant. They would have recognized this as the standard procedure for being officially declared clean and restored to society. We can assume the nine Jews set off for their Israelite priests, while the Samaritan headed for his own. The critical moment comes when the Samaritan, en route and still technically unclean, is so overwhelmed that he turns back. He falls at Jesus’ feet in a gesture that is more than emotional thanks; it is a profound act of faith that breaks ritual law, as an unclean person was not to approach a clean one.

This act reveals the story’s deeper meaning. The question is not merely whether the nine were ungrateful. Perhaps they were, forgetting their healer as soon as they were cleansed. Or perhaps they were simply obeying Jesus’ command to the letter, fully intending to return after their priest’s approval. The Samaritan, however, realizes something more profound. He understands that Jesus is not just a healer of disease, but the very source of purification itself. By returning to Jesus, he acknowledges that Christ has the authority to cleanse him not only of his physical ailment but of his grave impurity. In this moment, Jesus is revealed as the true divine High Priest.

The healing, therefore, was never just about restoring health. It was an invitation to be drawn back to God, to choose holiness, and to recognize the giver over the gift. The Samaritan received not just clean skin, but salvation. His gratitude was the sign of a faith that saw beyond his immediate need to the one who could fulfil his ultimate need for God.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

Do we approach God primarily with a list of our needs and necessities? When we feel God has answered our prayers, what is our reaction? How do we express our gratitude? Does it draw us closer to the Giver? Do the gifts we receive from God ultimately lead us back to Him, or do we become preoccupied with the gifts themselves?

Melampaui Rasa Syukur

Minggu ke-28 dalam Masa Biasa [C]

12 Oktober 2025

Lukas 17:11-19

Di permukaan, kisah sepuluh orang kusta ini menampilkan kontras yang jelas antara rasa syukur dan sikap tidak tahu berterima kasih. Sepuluh orang kusta disembuhkan, namun hanya satu—seorang Samaria, musuh orang Yahudi—yang kembali untuk mengucap syukur kepada Yesus. Sembilan orang lainnya, kemungkinan orang Yahudi, tampak tidak bersyukur. Namun, jika kita berhenti pada pelajaran itu saja, kita akan melewatkan drama yang mendalam dalam pertemuan ini. Apakah itu?

Luke 5:12-16. A man covered with leprosy entreated Jesus to clean him falling with his face down. Jesus cleaned him immediately by touching him.

Untuk benar-benar memahami kisah ini, pertama-tama kita harus memahami betapa parahnya kondisi orang-orang itu. Kata Yunani “lépra” yang digunakan dalam Injil untuk kata “kusta” merupakan terjemahan untuk kata Ibrani “tzara’at.” Ini bukan sekadar penyakit medis yang menyebabkan borok yang menyebar dan kulit yang berubah warna; ini adalah keadaan najis yang parah, sebuah kondisi yang membuat orang-orang tersebut tidak bisa mendekati tempat suci (Imamat 13-14). Karena sifat religius kondisinya, imam Lewi bertindak sebagai penentu apakah seseorang dengan kondisi tersebut najis atau tidak. Karena kenajisan “tzara’at”  yang menular, mereka dipaksa hidup dalam isolasi, mengenakan pakaian robek, dan berteriak “Najis, najis!” untuk memperingatkan siapa pun yang mendekat. Oleh karena itu, “tzara’at” merupakan salah satu nasib paling ditakuti bagi seorang Israel, karena memisahkan seseorang dari keluarga, komunitas, dan yang paling penting, dari Allah.

Dalam konteks ini, perintah Yesus kepada sepuluh orang kusta untuk menunjukkan diri mereka kepada imam-imam memiliki makna yang mendalam. Mereka akan mengenali ini sebagai prosedur standar untuk secara resmi dinyatakan suci dan dipulihkan ke dalam masyarakat. Kita dapat mengasumsikan bahwa sembilan orang Yahudi berangkat menuju imam-imam Israel mereka, sementara orang Samaria menuju imamnya sendiri. Momen penting terjadi ketika orang Samaria, yang masih dalam perjalanan dan secara teknis masih najis, memutuskan untuk berbalik. Ia jatuh di kaki Yesus dan ini adalah sebuah sikap yang lebih dari sekadar ucapan terima kasih emosional; ini adalah tindakan iman yang mendalam yang melanggar hukum ritual, karena orang najis tidak boleh mendekati orang tahir, dalam hal ini Yesus.

Tindakan ini mengungkapkan makna yang lebih dalam dari cerita ini. Pertanyaannya bukan sekadar apakah sembilan orang itu tidak bersyukur. Mungkin mereka memang tidak bersyukur, melupakan penyembuh mereka begitu mereka disembuhkan. Atau mungkin mereka hanya mengikuti perintah Yesus, berencana untuk kembali setelah mendapat persetujuan imam. Kita perlu ingat bahwa orang-orang ini memiliki iman pada Yesus sehingga mereka mau pergi kepada para imam bahkan sebelum mereka sembuh. Namun, orang Samaria itu menyadari sesuatu yang lebih dalam. Ia memahami bahwa Yesus bukan hanya sang penyembuh penyakit, tetapi sumber pemurnian itu sendiri. Dengan kembali kepada Yesus, ia mengakui bahwa Kristus memiliki wewenang untuk menyucikan dirinya tidak hanya dari penyakit fisiknya, tetapi juga dari kenajisan yang serius. Pada saat itu, Yesus terungkap sebagai Imam Besar Ilahi yang sejati.

Penyembuhan itu, oleh karena itu, bukanlah sekadar tentang memulihkan kesehatan. Itu adalah undangan untuk kembali kepada Allah, memilih kekudusan, dan mengenali Pemberi di atas pemberian. Orang Samaria itu menerima bukan hanya kulit yang sembuh, tetapi keselamatan. Rasa syukurnya adalah tanda iman yang melihat melampaui kebutuhannya yang segera kepada Dia yang dapat memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar akan Allah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apakah kita mendekati Allah terutama dengan kebutuhan dan keperluan kita? Ketika kita merasa Allah telah menjawab doa-doa kita, apa reaksi kita? Bagaimana kita mengekspresikan rasa syukur kita? Apakah hal itu mendekatkan kita kepada Pemberi? Apakah karunia yang kita terima dari Allah pada akhirnya membawa kita kembali kepada-Nya, ataukah kita menjadi terobsesi dengan karunia itu sendiri?

Iman Sejati

Minggu ke-27 dalam Masa Biasa [C]

5 Oktober 2025

Lukas 17:5-10

Iman adalah sebuah tindakan luar biasa. Tuhan kita mengajarkan bahwa dengan iman sekecil biji sesawi, kita dapat memerintahkan pohon besar untuk dicabut dan ditanam di laut. Namun, Ia juga mengingatkan kita bahwa iman saja tidak cukup. Iman harus disertai dengan keutamaan lain yang esensial. Apa itu?

Secara sederhana, iman adalah tindakan untuk percaya kepada Allah dan Putra-Nya, Yesus Kristus. Sepanjang sejarah, orang-orang percaya telah mengalami kuasa yang luar biasa dan ajaib melalui iman. Melalui iman kepada Yesus, banyak orang menemukan kesembuhan, baik fisik maupun psikologis, bahkan dari penyakit yang tak tersembuhkan sekalipun. Melalui iman, banyak sekali orang mengalami pengalaman yang mengubah hidup, menemukan makna yang mendalam dan kebahagiaan. Melalui iman, banyak orang menerima karunia-karunia rohani, termasuk yang luar biasa seperti kesembuhan dan bernubuat.

Meskipun memiliki kuasa yang mengguncang bumi, Tuhan mengingatkan kita bahwa kita pada akhirnya adalah “hamba-hamba” Allah. Iman tidak menjadikan kita tuan. Iman sejatinya membuka mata kita pada kebenaran identitas kita. Jika kita percaya pada Pencipta yang Mahakuasa, maka kita adalah makhluk ciptaan-Nya. Ada jurang yang tak terjembatani di antara kita: Allah adalah segalanya, dan kita tidak ada apa-apanya. Namun, Allah mengasihi kita begitu besar sehingga Dia memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita dan membawa kita ke dalam persatuan dengan diri-Nya. Kebenaran ini, yang didorong oleh iman, membawa kita langsung kepada kerendahan hati.

Kata “kerendahan hati” dalam bahasa Inggris adalah “humility” dan ini berasal dari bahasa Latin humus, yang berarti “tanah” atau “bumi.” Itu adalah kesadaran bahwa kita tidak berarti apa-apa dan tidak layak. Kita, dalam arti tertentu, “tanah kotor.” Namun, Allah mengasihi kita tanpa syarat. Kerendahan hati menempatkan iman dalam konteks yang tepat, mengingatkan kita bahwa bahkan iman kita juga adalah anugerah dari Allah.

Sebenarnya, iman tanpa kerendahan hati itu berbahaya. Setan dan roh-roh jahat memiliki semacam “iman”—mereka tahu dengan pasti bahwa Allah ada dan bahwa mereka memperoleh keberadaan dan kekuatan mereka dari-Nya. Namun, tanpa kerendahan hati, mereka menolak untuk taat dan melayani. Pada akhirnya, mereka jatuh.

Tanpa kerendahan hati, kita berisiko tertipu oleh diri sendiri. Kita mungkin berpikir bahwa “iman besar” kita membuat kita lebih unggul dari orang lain. Meskipun karunia dan pengalaman iman itu nyata, mereka dapat menjebak kita dalam kesombongan. Tanpa kerendahan hati, kita juga dapat memperlakukan iman sebagai alat tawar-menawar, percaya bahwa jika kita memiliki cukup, kita dapat mengendalikan Allah untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

Dengan kerendahan hati, iman benar-benar menyelamatkan. Kita menerima baptisan dari Gereja, dan tindakan kerendahan hati ini berarti mengakui keselamatan sebagai anugerah Allah yang cuma-cuma. Kita menerima Komuni Kudus dari tangan imam, dan tindakan kerendahan hati ini berarti mengakui bahwa kita membutuhkan Allah untuk memberi makan jiwa-jiwa kita yang lapar dan lemah. Kita mengaku dosa dalam sakramen Tobat, dan tindakan kerendahan hati ini berarti menerima bahwa seberapa pun kita rusak dan hancur, Allah tetap mencintai kita dan ingin menyembuhkan kita. Kerendahan hati memungkinkan iman kita untuk mendorong kita mengasihi Allah dengan mendalam, karena kita sepenuhnya menyadari kelimpahan kasih-Nya bagi kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan

  1. Bagaimana kita memahami iman? Apakah itu sekedar keyakinan akan kebenaran tentang Allah? Sebuah ikatan emosional? Atau komitmen untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya?
  2. Bagaimana kita memahami kerendahan hati? Apakah itu sekadar rasa “minder”? Atau apakah itu kesadaran mendalam akan kasih Allah yang tak terhingga bagi kita, bahkan dalam kelemahan kita?

True Faith

27th Sunday in Ordinary Time [C]

October 5, 2025

Luke 17:5-10

Faith is a powerful act. Our Lord teaches that with faith even as small as a mustard seed, we could command a mulberry tree to be uprooted and planted in the sea. Yet, He also reminds us that faith alone is not enough. It must be accompanied by another essential virtue. What is that?

In simple terms, faith is an act of trust in God and in His Son, Jesus Christ. Throughout history, believers have experienced its tremendous, miraculous power. Through faith in Jesus, many find healing—both physical and psychological—even from incurable diseases. Through faith, countless people have life-transforming experiences, discovering profound meaning and joy. Through faith, many receive spiritual gifts, including extraordinary ones like healing and prophecy.

Despite this earth-shaking power, our Lord reminds us that we are ultimately God’s “servants.” Faith does not make us masters; it opens our eyes to the truth of our identity. If we believe in an almighty Creator, then we are His creatures. An unbridgeable gap exists between us: God is everything, and we are nothing. And yet, He loves us so immensely that He gave His only Son to save us and bring us into communion with Himself. This realization, driven by faith, leads us directly to humility.

The word “humility” comes from the Latin humus, meaning “soil” or “ground.” It is the realization that we are nothing and undeserving—we are, in a sense, “dirt.” Yet, God loves us unconditionally. Humility places faith in its proper context, reminding us that even our faith is a gift from God.

In fact, faith without humility is dangerous. Satan and the evil spirits have a kind of “faith”—they know with certainty that God exists and that they owe their power to Him. But without humility, they refuse to obey and serve. Ultimately, they fall.

Without humility, we risk self-deception. We might think our “great faith” makes us superior to others. While the gifts of faith are real, they can trap us into pride. Without humility, we may also treat faith as a bargaining chip, believing that if we have enough, we can control God to get what we want.

With humility, however, faith truly saves. We receive baptism from the Church and this act of humility means recognizing salvation as a gratuitous, unmerited God’s gift. We receive Holy Communion from the priest’s hand, and this act of humility means acknowledging that we need God to feed our hungry, weak souls. We Confess to God’s representative, and this act of humility means accepting that however broken we are, God still loves us and wants to heal us. Humility allows our faith to move us to love God deeply, as we fully recognize the abundance of His love for us.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Guide Questions

  1. How do we understand faith? Is it a belief in the truth about God? An emotional attachment? Or a commitment to live according to His will?
  2. How do we understand humility? Is it simply a lack of self-confidence? Or is it the profound realization of God’s immense love for us, even in our smallness?