Orang Kaya yang Tak Bernama

Minggu ke-26 dalam Masa Biasa [C]

28 September 2025

Lukas 16:19-31

Cerita tentang Lazarus dan Orang Kaya tidak hanya mengandung banyak pelajaran yang dapat kita pelajari dan teladani, tetapi juga mengungkapkan kebenaran tentang keselamatan kita. Apa saja itu?

1. Plot Twist

Cerita tentang Lazarus dan orang kaya menunjukkan kebijaksanaan Yesus sebagai seorang pencerita dan guru. Kebanyakan orang akan menganggap orang kaya sebagai protagonis, karena kekayaan materialnya dianggap sebagai tanda kasih karunia Allah. Sebaliknya, Lazarus, dalam kemiskinan dan penyakitnya, akan dianggap sebagai orang yang kalah, menderita karena hukuman Allah atau Allah tidak berkenan kepadanya. Namun, Yesus memberikan kejutan di dalam ceritanya yang menantang pendengar Yahudi aslinya dan terus menantang kita hingga hari ini. Pada akhirnya, orang kaya, meskipun memiliki kekayaan yang luar biasa, tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, sementara Lazarus, orang miskin, menerima belas kasihan Allah dan beristirahat di pangkuan Abraham.

2. Bukan Hanya Tentang Kekayaan

Namun, pandangan yang lebih dalam menunjukkan bahwa Yesus tidak sekadar mengutuk orang kaya dan memuliakan orang miskin. Orang kaya kehilangan keselamatannya bukan hanya karena kekayaannya, yang dapat menjadi berkat dari Allah jika digunakan sebagai sarana untuk tujuan tertentu. Intinya, kegagalannya adalah keserakahannya. Ia digambarkan mengenakan pakaian ungu yang mahal dan berpesta mewah setiap malam, namun ia memilih mengabaikan orang miskin yang putus asa di gerbang rumahnya. Meskipun memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk membantu, ia menutup mata, hanya fokus pada kesenangannya sendiri.

Demikian pula, kemiskinan saja tidak secara otomatis memberikan Lazarus tempat di sisi Abraham. Orang miskin juga rentan terhadap dosa, seperti mencuri atau manipulasi. Namun, Lazarus digambarkan sebagai orang yang “dengan senang hati” menerima sisa-sisa makanan dari meja orang kaya. Ia menolak menggunakan kemiskinannya sebagai alasan untuk berdosa, melainkan memilih bersyukur atas sedikit yang ia miliki.

3. Orang Kaya yang Tak Bernama

Di antara tiga karakter utama dalam cerita ini, hanya satu yang tidak disebutkan namanya: orang kaya. Abraham, yang namanya berarti “bapak banyak bangsa,” menerima Lazarus, yang namanya adalah bentuk Latinisasi dari nama Ibrani “Eliazer,” yang berarti “Allahku adalah penolongku.” Rincian kecil ini penting, menggambarkan kebenaran yang mendalam: kita menjadi apa yang kita cintai.

Orang kaya itu begitu mencintai kekayaannya sehingga ia kehilangan identitas uniknya, dikenal hanya berdasarkan status materialnya. Ia mendefinisikan dirinya melalui pakaian mewah dan gaya hidup yang bermewah-mewah. Sebaliknya, Lazarus dan Abraham mencintai Allah. Semakin mereka mencintai-Nya, semakin mereka mencerminkan gambar-Nya, memungkinkan identitas asli yang diberikan Allah untuk bersinar. Lazarus hidup sebagai orang yang bergantung pada pertolongan Allah, dan Abraham sebagai bapa bagi banyak bangsa. Semakin kita mencintai hal-hal duniawi, semakin kita terjerat olehnya, dan secara bertahap kehilangan diri kita sendiri. Namun, semakin kita mencintai Allah, semakin kita menjadi seperti Allah, dan kita menjadi lebih autentik.

Lourdes, Prancis

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apakah kita mencintai Allah lebih dari segalanya? Apa saja hal-hal yang menghalangi kita untuk mencintai Allah? Apa saja misi yang diberikan Allah dalam hidup ini? Apakah kita peduli terhadap saudara-saudari kita yang kurang beruntung di sekitar kita?

Krisis Sejati

Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [C]

21 September 2025

Lukas 16:1-13

Hari ini, kita dihadapkan pada salah satu perumpamaan Yesus yang sulit dipahami: perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Kesulitannya terletak pada sebuah kontradiksi: Bendahara itu dipuji atas tindakan yang seharusnya tidak dilakukannya. Ia menyalahgunakan wewenangnya dan memanipulasi harta tuannya untuk keuntungan pribadi, tetapi dia dipuji. Jadi, bagaimana kita memahami hal ini?

  1. Ia Dipuji atas Kecerdikannya, Bukan Moralitasnya

Pertama, penting untuk memahami bahwa bendahara itu dipuji karena kecerdikannya, bukan etika moralnya. Kata Yunani yang digunakan adalah φρονίμως (phronimos), yang berarti seseorang yang bijaksana, cerdas, atau pandai dalam urusan-urusan praktis. Di hadapan krisis, bendahara itu membuat keputusan yang tajam dan terukur. Setelah tertangkap karena ketidakjujurannya dan menghadapi pemecatan, ia tahu bahwa ia tidak memiliki keterampilan lain untuk bertahan hidup. Karena ia pasti akan dipecat, meminta ampun juga tidak ada gunanya. Sebaliknya, ia menggunakan satu-satunya keterampilan yang dimilikinya, manajemen manipulatif, untuk menciptakan semacam jaring pengaman. Dengan mengurangi utang, ia menjadikan para peminjam sebagai teman-temannya yang akan menerimanya setelah pekerjaannya hilang, sehingga menyelamatkan dirinya dari kemiskinan dan rasa malu.

2.      Kecerdasan Duniawi “Anak-Anak Zaman Ini”

Kedua, perumpamaan ini menggambarkan bagaimana “anak-anak zaman ini” dapat dengan luar biasa mahir menggunakan sumber daya mereka untuk menghadapi krisis dan mencapai “keselamatan” mereka. Cinta akan uang telah membutakannya, namun ketika krisis sesungguhnya datang, sang bendahara menyadari apa yang paling penting bagi dirinya: kelangsungan hidupnya di dunia ini. Ia secara pragmatis mengubah kekayaan yang diperoleh secara curang menjadi modal relasional untuk menjamin kelangsungan hidupnya di dunia ini.

3.      Tantangan bagi “Anak-Anak Terang”

Akhirnya, dan yang paling penting, perumpamaan ini menantang “anak-anak terang” untuk menyadari krisis nyata yang kita hadapi dan untuk menjadi sebijaksana mungkin dalam mengejar keselamatan sejati kita. Apa krisis kita? Sama seperti tuan kembali untuk menghakimi bendaharanya, Tuhan kita akan kembali untuk menghakimi kita. Banyak dari kita hidup dalam ilusi bahwa penghakiman Allah masih jauh, berpikir kita memiliki waktu yang tak terbatas. Namun, kita tidak tahu jam berapa Tuhan akan datang atau kapan kematian akan memanggil kita untuk mempertanggungjawabkan diri. Bendahara yang tidak jujur tahu bahwa hidup duniawinya terancam dan bertindak lugas untuk menyelamatkannya. Betapa lebih penting bagi kita, yang mengejar hidup kekal, untuk menggunakan waktu, talenta, dan harta kita untuk mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Tuhan yang tak terduga.

Pier Giorgio Frassati tampak seperti pemuda biasa pada zamannya: ia menyukai olahraga seperti hiking dan merupakan pelajar yang aktif terlibat dalam isu-isu sosial dan politik zamannya. Ia juga seorang Katolik yang taat berdoa Rosario dan menghadiri Misa secara teratur. Ia meninggal secara tiba-tiba pada usia 24 tahun, dan di mata dunia, dia tidak memiliki pencapaian apa-apa. Namun, pada hari pemakamannya, ribuan orang, kebanyakan orang miskin, datang untuk berduka. Terungkap bahwa selama bertahun-tahun, ia secara rahasia mengunjungi dan membantu orang-orang miskin. Pada tahun 1990, Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai beato, dan menyebutnya sebagai “manusia Delapan Sabda Bahagia”. Pier Giorgio adalah contoh sempurna seorang “anak terang” yang menggunakan sumber daya duniawinya dengan bijak untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan yang tidak terduga.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:

Apakah kita siap untuk kedatangan Tuhan kita? Dalam keadaan apa Dia akan menemukan kita hari ini? Bagaimana kita mempersiapkan diri? Langkah praktis apa yang kita ambil untuk berinvestasi dalam masa depan kekal kita? Hal-hal duniawi apa yang kita ikat? Apakah uang, kenyamanan, status, atau kebanggaan? Bagaimana kita bisa terbebas dari ikatan-ikatan ini? Bagaimana kita bisa mengalihkan sumber daya ini untuk melayani Tuhan dan orang lain, menimbun “harta di surga”?

Salib yang Menyembuhkan

Pesta Salib Suci [C]

14 September 2025

Yohanes 3:13-17

Salib adalah simbol universal Kristiani. Orang-orang Kristen mengenakannya sebagai bentuk perhiasan, seperti kalung, cincin, dan anting-anting, baik sebagai tanda devosi atau iman, maupun sekadar sebagai fashion. Gereja, dan berbagai institusi Kristiani memiliki salib sebagai penandanya. Namun, meskipun kita mungkin sudah familiar, sejarah dan makna mendalam salib sering kali diabaikan.

Pesta Salib Suci [C]
14 September 2025
Yohanes 3:13-17

Salib adalah simbol universal Kristiani. Orang-orang Kristen mengenakannya sebagai bentuk perhiasan, seperti kalung, cincin, dan anting-anting, baik sebagai tanda devosi atau iman, maupun sekadar sebagai fashion. Gereja, dan berbagai institusi Kristiani memiliki salib sebagai penandanya. Namun, meskipun kita mungkin sudah familiar, sejarah dan makna mendalam salib sering kali diabaikan.

Secara historis, salib bukanlah simbol keagamaan, melainkan alat teror. Salib adalah metode eksekusi Romawi yang ditujukan untuk penjahat dan pemberontak. Orang yang dihukum akan ditelanjangi, dipaku pada tiang kayu besar, dan dibiarkan mati perlahan, secara publik, terpapar elemen alam dan juga hujatan. Itu adalah simbol kekejaman dan kebengisan manusia. Inilah siksaan yang dialami Yesus.

Namun, Yesus tidak melarikan diri dari salib-Nya. Ia menerimanya, dan melalui kebangkitan-Nya, Ia mengubah salib dari alat penyiksaan menjadi sarana belas kasihan dan penyembuhan Allah. Dalam Injil, Yesus sendiri membuat hubungan tipologis antara salib-Nya dan ular tembaga yang diangkat oleh Musa di Buku Bilangan (Bil 21). Sama seperti orang-orang Israel yang tersengat ular dan memandang ular tembaga disembuhkan, semua yang memandang salib Yesus dengan iman akan diselamatkan dari maut.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan mendalam: bagaimana salib menyembuhkan kita?

Pertama, salib menyembuhkan melalui kasih. Ketika kita memandang salib, kita melihat bukti kasih Allah yang paling luhur: Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menjadi manusia, dan menyerahkan diri-Nya sebagai korban demi mendamaikan kita dengan-Nya. Seperti yang ditulis Santo Paulus, “Tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, karena ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rom 5:8).

Setiap dosa melukai jiwa kita dan memisahkan kita dari Allah. Setiap  kali kita melihat salib Kristus, ini menjadi panggilan permanen akan kasih Allah untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Dan rahmat perdamaian dan penyembuhan dari Salib mengalir kepada kita terutama melalui Baptisan dan Sakramen Rekonsiliasi.

Kedua, salib menyembuhkan melalui kehadiran Allah. Salib menunjukkan bahwa Allah bukanlah ilah yang jauh, terpisah dari penderitaan kita. Ia memilih untuk menjadi salah satu dari kita, untuk berbagi pengalaman manusiawi kita dengan segala penderitaannya. Di salib, Yesus menerima penderitaan manusia yang paling berat, menunjukkan bahwa ketika kita menyatukan penderitaan kita dengan-Nya, salib kita sendiri dapat diubah dan disembuhkan.

Ketika penderitaan menimpa kita, mudah untuk mengeluh dan putus asa. Tetapi salib mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian. Sama seperti Yesus menggunakan penderitaan-Nya untuk menjadi berkat bagi dunia, kita pun dapat menawarkan penderitaan kita kepada Allah dan menjadi sumber kekuatan dan belas kasihan bagi orang lain.

St. Fransiskus dari Assisi pernah mencari kemuliaan sebagai seorang ksatria. Setelah ditangkap dalam pertempuran dan jatuh sakit parah, ia pulih secara fisik tetapi masih merasa kekosongan rohani. Segalanya berubah saat ia berdoa di sebuah kapel yang rusak. Ia melihat penglihatan Yesus di salib, yang berkata kepadanya, “Fransiskus, pergilah dan perbaiki rumah-Ku yang sedang runtuh.” Momen ini memberikan penyembuhan sejati yang dibutuhkan Fransiskus, membantunya menemukan jati dirinya dan apa yang seharusnya ia lakukan, yaitu menjadi alat Tuhan untuk damai dan penyembuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apa salib-salib dalam hidup kita? Bagaimana salib Yesus menyembuhkan kita? Apakah kita menjadi sarana penyembuhan Tuhan bagi orang lain juga? Bagaimana caranya?

Membenci dan Mengasihi

Minggu ke-23 dalam Masa Biasa [C]

7 September 2025

Lukas 14:25-33

Kita kini dihadapkan pada salah satu pernyataan Yesus yang paling sulit dipahami: Ia menuntut agar kita “membenci” orang tua, pasangan, saudara kandung, bahkan anak-anak kita sendiri. Bagaimana kita memahami perkataan yang sulit ini?

Untuk menemukan jawabannya, kita harus mempertimbangkan tiga unsur utama: pernyataan lengkap Yesus, makna kata “benci”, dan konteks yang lebih luas dari kehidupan dan misi Yesus.

1. Pernyataan Lengkap

Pertama, kita perlu membaca kalimat secara utuh. Yesus berkata, “Jika ada orang yang datang kepada-Ku tanpa membenci ayah dan ibunya, istri dan anak-anaknya, saudara-saudaranya, bahkan hidupnya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Ini bukan perintah umum untuk semua orang, tetapi syarat khusus yang ditujukan kepada mereka yang ingin menjadi pengikut-Nya yang sejati.

2. Arti Alkitabiah dari “Benci”

Kata “benci” di sini (dari bahasa Yunani μισέω – miseo) tidak mengimplikasikan perasaan kebencian yang kuat atau permusuhan. Dalam Alkitab, kata ini sering memiliki makna perbandingan: “mencintai lebih sedikit” agar dapat memberikan perlakuan istimewa kepada sesuatu yang lain (lihat Kejadian 29:31, Ulangan 21:15-16, Lukas 16:13). Dalam konteks ini, Yesus menuntut agar pengikut-Nya menjadikan-Nya prioritas mutlak. Dia tidak meminta kita untuk memusuhi keluarga kita, tetapi untuk mencintai-Nya sedemikian rupa sehingga semua cinta lainnya—bahkan untuk hidup kita sendiri—terasa seperti bukan prioritas utama. Cara yang lebih sederhana untuk mengatakannya adalah: Kecuali kita mencintai Yesus lebih dari segala sesuatu dan semua orang lain, kita tidak dapat menjadi murid-Nya.

3. Konteks yang Lebih Luas

Akhirnya, kita harus ingat bahwa Yesus berbicara saat Dia berjalan menuju Yerusalem, tempat Dia akan menghadapi penderitaan dan kematian-Nya di salib. Mengikuti-Nya berarti berbagi dalam penderitaan-Nya. Hal ini hanya mungkin jika seorang murid memprioritaskan Yesus di atas segalanya. Kita melihat hal ini tercermin dalam tokoh seperti Maria, ibu-Nya, yang menolak untuk bersembunyi tetapi berdiri teguh di kaki salib, berbagi dalam penderitaan-Nya. Murid-murid lain, seperti Yohanes dan Maria Magdalena, juga mengikuti-Nya hingga akhir, menunjukkan prioritas kasih ini.

Ajaran yang keras ini tetap berlaku bagi kita hari ini. Mengikuti Yesus hingga akhir membutuhkan cinta kepada-Nya di atas segalanya. Meskipun tidak semua orang dipanggil untuk menjadi martir seperti Santo Ignatius dari Antiokhia yang dimakan singa atau Santo Fransiskus de Capillas yang disiksa dan dibunuh saat memberitakan Yesus di Tiongkok, setiap murid dipanggil untuk menjadikan Yesus sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Ini tidak berarti kita harus berdoa setiap detik. Sebaliknya, ini berarti membuat keputusan sehari-hari yang mencerminkan cinta kita kepada Yesus dan keinginan kita untuk berkenan di hadapan Allah. Ini bisa sesederhana: Memilih untuk menghindari dosa dan keburukan; Menolak menjadi batu sandungan bagi orang lain; Menjadikan Misa Minggu sebagai prioritas, bahkan saat berlibur; Dengan lembut mengajak anggota keluarga untuk mengenal Yesus lebih dalam.

Mencintai Yesus adalah keputusan sadar dan harian untuk memilih apa yang mengembangkan kekudusan kita dan memperdalam hubungan kita dengan-Nya.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Bagaimana kita secara konkret menunjukkan cinta kita kepada Yesus dalam rutinitas harian kita? Apakah tindakan dan kata-kata kita mendorong orang lain untuk mencintai Yesus? Apakah perilaku kita membuat seseorang sulit untuk mendekati Yesus?

Kehormatan dan Kekudusan

Minggu ke-22 dalam Masa Biasa [C]

31 Agustus 2025

Lukas 14:1,7-14

Kehormatan adalah sebuah konsep dasar yang membedakan kita sebagai manusia. Konsep ini membimbing perilaku dan tindakan kita, dan dalam kasus-kasus ekstrem, dapat juga mendorong orang untuk mati atau bahkan menghabisi nyawa orang lain.

Menentukan makna  dari “kehormatan” adalah hal yang tidak mudah karena konsep ini tertanam dalam identitas individu dan komunitas kita sebagai manusia. Kehormatan merujuk pencapaian pada nilai-nilai luhur yang kita junjung tinggi sebagai manusia. Meskipun nilai-nilai ini dapat bervariasi antarbudaya, beberapa di antaranya diakui secara universal seperti kesetiaan, keberanian, kejujuran, kerja keras, dan integritas moral. Kehormatan diperoleh ketika orang lain mengakui usaha kita untuk mencapai nilai-nilai luhur tersebut. Misalnya, seorang siswa menerima “kehormatan” saat dia menerima medali sebagai penghargaan atas prestasi akademiknya yang diraih dengan susah payah.

Pencarian kehormatan, oleh karena itu, adalah pencarian akan idealisme tertinggi kita, sebuah perjuangan menuju keagungan yang membuat kita lebih manusiawi. Sebaliknya, ketidakhormatan menandakan kegagalan dalam memegang teguh nilai-nilai luhur tersebut. Kita kehilangan kehormatan ketika kita mengkhianati seseorang yang kita berjanji untuk setia, atau ketiak kita menghindari kesulitan seperti pengecut. Beberapa masyarakat menghargai kehormatan begitu dalam sehingga mereka melihat kehidupan yang tidak terhormat, seperti kehidupan yang dipenuhi dengan ketidakjujuran, ketidaksetiaan, dan pengecut, sebagai sesuatu yang lebih buruk daripada hidup seekor hewan. Selama Perang Dunia II, banyak tentara dan warga sipil Jepang memilih bunuh diri daripada menanggung malu ditangkap atau pulang dalam kekalahan.

Sebagai Tuhan kita, Yesus memahami bahwa kehormatan merupakan hal yang mendasar bagi kemanusiaan. Namun, Dia juga menyadari bagaimana dosa dapat merusak dan memutarbalikkan arti kehormatan tersebut. Dalam Injil, Yesus mengkritik mereka yang mencari tempat kehormatan tanpa berusaha mewujudkan nilai-nilai yang diwakilinya. Yesus mengajarkan bahwa nilai sejati dari sebuah tempat duduk di perjamuan bukanlah kemegahannya, melainkan keutamaan-keutamaan dari orang yang duduk di sana. Yang lebih penting lagi, Yesus memanggil kita untuk mengejar idealisme sejati dan menolak nilai-nilai yang korup, memperkenalkan kerendahan hati sebagai keutamaan yang mendatangkan kehormatan yang sejati.

Kritik Yesus terhadap orang-orang pada zamannya tetap sangat relevan hingga hari ini. Di masyarakat pascamodern, kita sering mengganti “kursi kehormatan” dengan hal-hal lain seperti merek pakaian, kendaraan, dan jumlah rekening bank. Meskipun harta benda sejatinya tidak jahat, mereka menjadi berbahaya ketika kita menganggapnya sebagai standar kehormatan kita, dan dalam prosesnya, kita mengorbankan idealisme sejati seperti kejujuran dan kesetiaan untuk mendapatkannya. Kesetiaan suami-istri pernah sangat dihormati, tetapi kini beberapa budaya memuji kebebasan seksual. Kita pernah memuji kerja keras, tetapi kini seringkali hanya merayakan hasil akhir, bahkan jika dicapai melalui tipu daya.

Mengikuti Yesus berarti terus-menerus mengkaji nilai-nilai kita. Ini berarti menolak nilai-nilai yang tidak membawa pada kemajuan manusia dan menghidupi nilai-nilai yang memupuk pertumbuhan sejati. Yesus, Tuhan kita, tidak menginginkan apa pun selain pertumbuhan menyeluruh kita sebagai manusia yang pada akhirnya membawa kita pada kepenuhan hidup sebagai manusia dan kekudusan.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Idealisme apa yang kita perjuangkan? Apakah idealisme tersebut mendukung perkembangan kita sebagai manusia? Apakah kita merasa malu ketika gagal mencapai idealisme kita atau ketika kita berbuat dosa? Apakah kita mengajarkan anak-anak kita tentang arti sebenarnya dari rasa kehormatan yang sejati?

Disiplin dan Kasih Seorang Bapa

Minggu ke-21 dalam Masa Biasa [C]

24 Agustus 2025

Ibrani 12:5-7, 11-13

Dalam Surat kepada Orang Ibrani, kita diingatkan bahwa Allah berelasi dengan kita sebagai Bapa yang baik yang mendidik anak-anak-Nya melalui disiplin. Pada pandangan pertama, hal ini tampak sederhana. Orang tua, secara khusus, seorang bapa, mendidik anak-anak mereka melalui aturan dan konsekuensi. Namun, ketika diterapkan pada hubungan kita dengan Allah, konsep ini mengungkapkan kebenaran yang mendalam tentang kehendak-Nya bagi pertumbuhan dan keselamatan kita.

1. Landasan dalam Pengajaran Yesus

Penulis Surat Ibrani mendasarkan gagasan ini pada wahyu Yesus sendiri. Dalam Perjanjian Lama, Allah secara simbolis disebut “Bapa” dari bangsa Israel (Kel 4:22; Ul 32:6; Yes 63:16; Yer 31:9). Seperti seorang ayah yang baik, Allah memberikan kebaikan kepada bangsa Israel dan melindungi mereka dari para musuh. Namun, Yesus mengungkapkan sesuatu yang sepenuhnya baru: Ia secara konsisten dan unik menyebut Allah sebagai Bapa-Nya karena Ia adalah Anak Tunggal yang kekal (Yoh 3:16; 5:17; 10:30). Lebih dari itu, Yesus menghendaki agar kita turut serta dalam relasi Bapa-anak ini, dan mengajarkan kita untuk memanggil Allah sebagai “Bapa Kami” (Mat 6:9; Luk 11:2; Yoh 20:17). St. Paulus menerangkan lebih lanjut bahwa melalui pembaptisan dan Roh Kudus, kita bukan hanya hamba, tetapi kita adalah anak-anak Allah melalui adopsi (Rom 8:14-17).

2. Penderitaan Bukanlah Hukuman

Surat kepada orang-orang Ibrani membuat perbedaan yang penting: penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi bukanlah hukuman ilahi. Allah mengizinkan cobaan karena Dia tahu bahwa cobaan tersebut pada akhirnya akan bermanfaat bagi kita. Tema ini muncul dalam Perjanjian Lama, di mana orang benar seperti Ayub berusaha memahami penderitaan besar yang dialaminya, meskipun dia tidak berdosa (Ayub 5:17-18). Perjanjian Baru mengungkapkan alasan yang lebih dalam: Allah adalah Bapa yang penuh kasih yang mengizinkan kesusahan agar anak-anak-Nya dapat tumbuh dan berkembang dalam kekudusan.

3. Kasih dan Disiplin Bukanlah Oposisi

Penulis melanjutkan, “Sebab siapa yang dikasihi Tuhan, dia didisiplinkan; dia mencambuk setiap anak yang diakui-Nya” (Ibrani 12:6). Ini menantang distorsi modern tentang cinta, yang menyarankan bahwa mencintai seseorang berarti memberi mereka segala yang mereka inginkan, terlepas dari apakah hal-hal itu bermanfaat atau justru merugikan bagi mereka. Kasih sejati itu bijaksana. Seorang ayah yang baik memberi anak apa yang mereka butuhkan untuk pertumbuhan yang autentik, meskipun itu membawa kesulitan bagi sang anak. Bapa Surgawi yang Mahabijaksana tahu apa yang terbaik untuk kebaikan kekal kita, dan Dia kadang-kadang menggunakan cobaan hidup untuk membentuk kita untuk hidup kekal.

Pemahaman ini, bahwa disiplin Tuhan adalah tindakan kasih-Nya, telah memberdayakan banyak orang kudus untuk menanggung cobaan dengan sukacita. Santa Katarina dari Siena, yang menanggung penderitaan fisik, emosional, dan spiritual (termasuk stigmata), mengajarkan bahwa “Tidak ada hal besar yang pernah dicapai tanpa banyak menanggung penderitaan.” Santa Thérèse dari Lisieux menghidupi “Jalan Kecil”-nya, dengan menerima ketidaknyamanan sehari-hari dan perjuangan menyakitkan melawan tuberkulosis tanpa keluhan. Dia menyerahkan semuanya dengan sukacita, dan berkata, “Penderitaan yang ditanggung dengan sukacita untuk orang lain lebih banyak mengubah orang daripada khotbah.” Bagi dia, ranjang sakitnya menjadi tempat misi dan kasih.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:

Apa saja ujian yang sedang kita alami saat ini? Bagaimana kita memandang penderitaan ini: sebagai hukuman, atau sebagai bagian dari rencana kasih Allah untuk pertumbuhan kita? Apa reaksi tipikal kita terhadap kesulitan? Apakah kita merespons dengan keluhan dan amarah, atau dengan kepercayaan dan syukur? Bisakah kita belajar melihat tangan kasih Bapa Surgawi bahkan dalam penderitaan kita?

Api Yesus

Minggu ke-20 dalam Masa Biasa [C]

17 Agustus 2025

Lukas 12:49-53

Ketika Yesus berkata, “Aku datang untuk membakar bumi ini, dan betapa Aku menginginkan api itu sudah berkobar!” (Lukas 12:49), Dia menggunakan api sebagai simbol Alkitab yang sarat dengan makna rohani yang mendalam. Namun, apa arti “api” yang dimaksud Yesus di sini?

Api dalam Kitab Suci adalah gambaran yang mewakili kehadiran Allah, penghakiman, penyucian, dan juga kuasa transformatif Roh Kudus. Dengan mengkaji dimensi-dimensi ini, kita dapat memahami lebih baik misi Kristus dan kerinduan-Nya akan api yang akan memperbaharui dunia.

1. Api sebagai Kehadiran Allah yang Nyata

Di Perjanjian Lama, api berfungsi sebagai tanda terlihat dari kekudusan dan kedekatan Allah. Ketika Musa menjumpai semak yang berkobar namun  tidak menghanguskannya, api ini mengungkapkan kehadiran kudus Allah yang  juga menjadi tanda awal pembebasan Israel (Kel 3:2–5). Kemudian, saat Israel berziarah di padang gurun, Allah memimpin mereka dengan tiang api, sebagai sebuah pengingat akan perlindungan dan bimbingan-Nya (Kel 13:21–22). Di Gunung Sinai, Allah turun dengan api, dan hal ini menandakan kehadiran-Nya yang megah namun dekat dengan umat-Nya (Kel 19:18). Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa api melambangkan keterlibatan aktif Allah dalam sejarah manusia. Yesus, sang api ilahi, adalah puncak dan kesempurnaan kehadiran aktif Allah di dunia.

2. Api sebagai Hukuman Ilahi

Api juga melambangkan keadilan Allah terhadap dosa. Kehancuran Sodom dan Gomora oleh “belerang dan api” (Kej 19:24) menunjukkan murka-Nya terhadap kejahatan. Demikian pula, Nadab dan Abihu, anak-anak Harun, sang imam besar, tiba-tiba dimakan oleh api suci (Im 10:1-2) saat mereka mempersembahkan api dan dupa yang tidak sah. Hal ini menggambarkan betapa seriusnya melayani Allah, dan konsekuensi serius saat kita tidak menghormati kehadiran Allah. Dari kisah-kisah ini, kita bisa melihat bahwa kata-kata Yesus dalam Lukas 12 mengandung peringatan: Kedatangan-Nya sebagai api akan memicu pemisahan antara mereka yang menerima kebenaran Allah dan mereka yang menolaknya (12:51–53).

3. Api sebagai Penyucian

Namun, api tidak hanya merusak; ia juga menyucikan. Pada awal pelayanannya, bibir yang najis Yesaya disucikan oleh bara api yang menyala (Yes 6:6–7). Sementara itu, nabi Maleakhi bernubuat bahwa Allah akan menyucikan umat-Nya seperti api (Mal 3:2–3). Dalam Perjanjian Baru, Paulus mengulang gagasan ini, menggambarkan bagaimana “Hari Tuhan” akan menguji setiap perbuatan manusia dengan api, membakar apa yang tidak berguna sambil menjaga apa yang kekal (1 Korintus 3:12–15). Api Yesus, oleh karena itu, adalah panggilan kepada kekudusan dan pertobatan.

4. Api sebagai Kuasa Roh Kudus

Akhirnya, api melambangkan kehadiran dinamis Roh Kudus. Pada hari Pentekosta, lidah-lidah api turun atas para murid, memenuhi mereka dengan Roh Kudus dan memberdayakan mereka untuk memberitakan Injil dengan berani (Kis 2:1-4). Hal ini memenuhi nubuat Yohanes Pembaptis bahwa Yesus akan membaptis “dengan Roh Kudus dan api” (Mat 3:11). Ketika Yesus berbicara tentang membakar bumi, Dia berbicara tentang pencurahan Roh Kudus, yang adalah api rohani yang akan membakar semangat pemberitaan Injil, mengubah hidup, dan menyebarkan Injil ke seluruh bangsa.

Keinginan Kristus untuk “membakar bumi” adalah ringkasan dari seluruh misinya: untuk mengungkapkan kehadiran Allah, menghancurkan dosa dengan keadilan, memurnikan orang beriman, dan mengutus Roh Kudus untuk memberdayakan Gereja.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Bagaimana kita telah mengalami kehadiran Allah sebagai api yang membimbing atau memurnikan dalam hidup kita? Apakah “api Roh Kudus” mendorong kita untuk berbagi Kristus dengan orang lain? Jika tidak, apa yang menghalangi kita? Di bidang mana kita membutuhkan Yesus untuk menyempurnakan kita, membakar dosa dan menerangi iman kita?

Apa itu Iman?

Minggu ke-19 dalam Masa Biasa

10 Agustus 2025

Ibrani 11:1-2, 8-19

Penulis Surat kepada Orang Ibrani memberikan definisi yang mendalam tentang iman: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan, bukti dari hal-hal yang tidak terlihat” (Ibrani 11:1). Namun, bagaimana kita memahami definisi ini?

Iman sebagai Fondasi yang Kokoh

Kata Yunani yang digunakan untuk “dasar” adalah ὑπόστασις (hupostasis), yang secara harfiah berarti “yang berada di bawah.” Gambaran yang ingin diberikan adalah iman seperti fondasi yang kokoh. Ini berarti bahwa iman bukanlah emosi yang sementara atau ledakan keyakinan sesaat. Iman bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan secara instan melalui musik yang keras atau teriakan yang kuat. Sebaliknya, iman adalah keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan terhadap janji-janji Allah. Iman menjadi fondasi bagi kita dan memberikan substansi pada apa yang kita harapkan meskipun kita belum dapat melihatnya.

Iman sebagai Bukti yang Meyakinkan

Penulis juga menggambarkan iman sebagai “bukti” dan dalam bahasa Yunani, ἔλεγχος (elengkos). Istilah yang sering digunakan dalam konteks hukum untuk merujuk pada bukti yang tak terbantahkan. Di ruang sidang, bukti yang terverifikasi menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah. Demikian pula, iman berfungsi sebagai konfirmasi yang tak terbantahkan atas realitas rohani yang tidak dapat kita rasakan dengan indra fisik kita, seperti mata, telinga, dan mulut. Meskipun tidak terlihat, realitas-realitas ini sungguh nyata karena iman bersaksi tentang kebenarannya.

Dari Mana Datangnya Iman Seperti Itu?

Namun, bagaimana mungkin iman bisa begitu kuat? Bagaimana bisa iman berfungsi sebagai dasar dan bukti sekaligus? Jawabannya terletak pada sumbernya: iman tidak berasal dari dalam diri kita, melainkan dari kesetiaan Allah. Janji-janji yang kita harapkan bukanlah keinginan manusia, melainkan jaminan ilahi karena Allah sendiri yang telah mengucapkan janji. Karena Allah dapat dipercaya, iman kita berakar pada komitmen-Nya yang tak berubah untuk menepati janji-janji-Nya.

Lalu, bagaimana kita tahu bahwa Allah benar-benar setia? Sejarah membuktikannya. Perjanjian Lama dipenuhi dengan kisah-kisah Allah yang menepati janji-Nya, dan Surat Ibrani menyoroti Abraham sebagai contoh utama. Pada usia tujuh puluh lima tahun, Abraham menaati panggilan Allah untuk meninggalkan tanah airnya yang nyaman menuju masa depan yang tidak diketahui dan tanah yang belum terjamah. Meskipun usianya sudah tua dan Sarah mandul, ia percaya pada janji Allah tentang keturunan yang sebanyak bintang di langit. Bahkan ketika diuji dengan hal yang tak terbayangkan, yaitu mengorbankan putranya Ishak, Abraham tetap percaya pada kesetiaan Allah bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan baik. Ia meninggal tanpa melihat penuhnya janji itu terpenuhi, namun janji-janji Allah pada akhirnya terwujud.

Surat Ibrani menunjukkan kepada kita bahwa kesetiaan Allah, yang ditunjukkan melalui generasi demi generasi, mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus. Dia adalah ekspresi akhir dan paling sempurna dari janji-janji Allah. Dia dilahirkan seperti kita manusia, menderita dan wafat bagi kita, dan bangkit dari kematian. Iman kita, oleh karena itu, tidak hanya didasarkan pada emosi atau akal budi manusia saja, tetapi pada tindakan-tindakan historis Allah, yang terbukti dalam kehidupan orang-orang percaya sebelum kita dan dikukuhkan dalam Kristus. Iman lebih dari sekadar keyakinan. Iman adalah fondasi kokoh pada Dia yang tidak pernah gagal. Dan karena Allah setia, kita dapat berdiri teguh, bahkan ketika jalan di depan tidak terlihat.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi

Bagaimana kita memahami iman? Apakah itu sekadar perasaan emosional, hasil logika, atau pertemuan pribadi dengan Allah? Apakah kita pernah menghadapi momen keraguan atau krisis iman? Bagaimana kita mengatasinya? Bagaimana pengakuan akan kesetiaan Allah dalam Kitab Suci memperkuat kepercayaan kita kepada-Nya hari ini?

Semua adalah kesia-siaan

Minggu ke-18 dalam Masa Biasa [C]

3 Agustus 2025

Pengkhotbah 1:2; 2:21-23

“‘Segala sesuatu adalah kesia-siaan!’ kata Qoheleth (Pengkhotbah 1:2; 12:8).” Apa arti pernyataan yang keras ini? Apakah setiap usaha manusia benar-benar sia-sia?

Suara di balik kitab ini memperkenalkan dirinya sebagai Qoheleth—sebuah istilah Ibrani yang berarti “orang yang mengumpulkan orang-orang,” tentunya dengan tujuan untuk memberikan pengajaran. Oleh karena itu, Qoheleth sering diterjemahkan sebagai “sang Guru” atau “sang Pengkhotbah.” Dia mengidentifikasi dirinya sebagai putra Daud dan raja di Yerusalem (1:1), seorang tokoh yang dianugerahi kebijaksanaan, kekuasaan, dan kekayaan yang luar biasa. Namun, dari posisi yang tinggi ini, setelah seumur hidup merenungkan makna hidup, dia akhirnya menyimpulkan: Segala sesuatu adalah “hevel.”

Kata Ibrani hevel (הֶבֶל) menggambarkan uap, angin yang berlalu, atau nafas yang singkat. Seperti kabut yang menghilang di kala fajar, hevel mewakili apa yang sementara, sulit ditangkap, dan pada akhirnya tidak dapat memuaskan. Metafora yang Qoheleth gunakan adalah “seperti mengejar angin” (1:14), dan hal ini menggambarkan dengan jelas perjuangan manusia yang tak henti-hentinya untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak dapat digapai.

Perjalanan Qoheleth dimulai dengan mencari kebijaksanaan itu sendiri. Ia menceritakan bagaimana ia mengejar pengetahuan tanpa henti, melampaui semua orang yang datang sebelumnya (1:16). Namun, alih-alih kepuasan, ia menemukan bahwa kebijaksanaan yang lebih besar justru menambah kesedihannya (1:18). Hal ini tampak paradoksal— bukankah kita menganggap bahwa belajar membawa kejelasan dan kedamaian? Qoheleth mengungkapkan batas-batas kebijaksanaan duniawi: semakin kita tahu, semakin kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab tentang kehidupan dan kematian kita sendiri.

Kesenangan pun tak lebih baik. Ia menguji setiap kesenangan, seperti kemewahan, seni, kenikmatan sensual (2:1-11), dan dia menyimpulkan bahwa kesenangan ini bersifat sementara. Kekayaan dan prestasi pun terbukti sama kosongnya. Tak ada yang dibawa ke kubur; ahli waris mungkin menghamburkannya, dan bahkan pencapaian terbesar pun lenyap dari ingatan. Kematian, sang penyama, menjadikan semua pencapaian manusia tak berarti (2:14-16; 9:2-6).

Di tengah realisme yang keras ini, Qoheleth mengingatkan pendengarnya pada satu kebenaran yang tak berubah: “Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-Nya, sebab inilah seluruh kewajiban manusia” (12:13). Di dunia di mana segala sesuatu lepas dari jari-jari kita seperti pasir, hanya Allah yang kekal. Tujuan kita bukanlah untuk mengumpulkan apa yang sementara, tetapi untuk menyelaraskan hidup kita dengan kehendak-Nya yang kekal.

Namun, perspektif Qoheleth tetap terikat pada dunia ini. Ia berjuang dengan kehidupan “di bawah matahari” tetapi tidak menawarkan harapan yang jelas setelah kematian. Kematian, baginya, tampak seperti batas akhir yang sunyi (3:19-20; 9:5-6). Adalah Yesus yang kemudian membawa ketegangan ini ke dalam penyelesaian yang sempurna. Dalam perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Lukas 12:13–21), Kristus mengulang peringatan Qoheleth tentang bahaya mengikat diri pada harta duniawi, namun memperluasnya dengan janji kehidupan kekal. Apa yang kita lakukan dan apa yang kita memiliki sekarang menjadi berarti karena di dalam Kristus, semua ini mempersiapkan kita untuk hidup kekal. Selama kita tidak menjadi seperti orang bodoh yang terikat pada hal-hal duniawi, kita selalu memiliki harapan bahwa apa yang kita lakukan dan miliki menjadi berkat bagi kita dan sesama.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Bagaimana perspektif Qoheleth menantang asumsi modern tentang kesuksesan? Dalam hal apa kita telah mengalami “kesia-siaan” dalam hidup ini? Bagaimana pengajaran Yesus tentang kehidupan kekal mengubah cara kita berinteraksi dengan hal-hal sementara?

Krisis Kebapaan

Minggu ke-17 dalam Masa Biasa [C]

27 Juli 2025

Lukas 11:1-13

Banyak masyarakat saat ini menghadapi krisis yang sunyi namun sangat berbahaya: krisis kebapaan. Namun, apa sebenarnya krisis ini, dan bagaimana kita dapat menghadapinya?

Pada intinya, krisis ini mencerminkan kenyataan di mana jutaan anak tumbuh tanpa figur ayah yang autentik. Banyak ayah secara fisik tidak hadir; yang lain secara emosional jauh atau gagal mencontohkan nilai-nilai yang sangat dibutuhkan anak-anak mereka. Sementara itu, budaya modern—melalui film, iklan, video game, dan media—sering menggambarkan pria sebagai penjahat yang kejam atau sosok yang ceroboh dan tidak tegas. Jarang sekali mereka digambarkan sebagai pemimpin yang penuh kasih dan bertanggung jawab.

Erosi peran bapak ini lambat laun merusak struktur masyarakat. Studi secara konsisten menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan tanpa keterlibatan sang ayah menghadapi risiko lebih tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba dan alkohol, gangguan mental, prestasi akademik yang buruk, kehamilan remaja, dan perilaku kriminal. Akibatnya sangat mendalam dan luas bagi masyarakat kita.

Bagaimana kita menghadapi krisis ini? Tidak ada solusi yang mudah, tetapi kita dapat memulai dengan berpaling kepada Yesus. Di hadapan tantangan global ini, doa yang Dia ajarkan kepada murid-murid-Nya, yang kita kenal sebagai Doa Bapa Kami, menjadi lebih semakin relevan bagi dunia.

Aspek paling mencolok dari doa ini adalah cara Yesus mengajarkan kita untuk memanggil Allah. Meskipun Allah adalah Pencipta Yang Mahakuasa dari langit dan bumi, Allah dari Perjanjian Lama, Yesus tidak hanya mengajarkan kita untuk memanggil-Nya “Allah,” tetapi Dia mengajarkan kita untuk memanggil-Nya, “Bapa Kami yang di surga.” Dengan menggunakan istilah yang intim dan manusiawi ini, Yesus mengungkapkan kebenaran yang mendalam: Allah bukan hanya maha kuasa, tetapi juga sangat dekat dengan kita. Dia bukan tuhan yang jauh, absen, dan acuh tak acuh, tetapi Bapa yang penuh kasih yang menyediakan, melindungi, dan membimbing anak-anak-Nya. Seperti yang diingatkan dalam Ulangan 4:7, Dia dekat “setiap kali kita memanggil-Nya.”

Namun Yesus lebih lanjut menjelaskan bahwa Allah adalah “Bapa di surga”. Dia berbeda dengan ayah-ayah di dunia ini, yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Allah mengasihi kita dengan sempurna, memberikan sinar matahari dan hujan kepada orang yang benar maupun yang tidak benar (Mat 5:45). Bahkan dalam penderitaan, cara-Nya mungkin tampak misterius, tetapi kebijaksanaan-Nya sebagai Bapa tetap bekerja bahkan di tengah cobaan. Pada akhirnya, keinginan-Nya yang paling dalam adalah agar kita tinggal bersama-Nya di surga (1 Tim 2:3-4). Seperti yang Yesus nyatakan dalam Yohanes 3:16, “Sebab Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Bapa mengasihi kita, anak-anak-Nya, begitu dalam sehingga Ia mengutus Anak-Nya sendiri untuk menjadi manusia seperti kita agar membawa kita pulang.

Setiap kali kita berdoa “Bapa Kami,” kita menegaskan dua kebenaran: Pertama, meskipun kita tidak sempurna, kita memiliki Bapa yang sempurna yang mengasihi kita tanpa syarat. Kedua, doa ini memanggil kita, terutama kaum pria, untuk mencerminkan kebaikan-Nya. Yesus menantang kita untuk tumbuh dari ketidakdewasaan dan ketidakpedulian menjadi manusia yang memiliki kasih, dedikasi, dan tanggung jawab, manusia yang bersandar pada kekuatan-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan: Bagaimana kita berhubungan dengan ayah kita? Apa pelajaran yang telah kita pelajari dari mereka? Apakah kita menjadi bapa yang baik (atau teladan) bagi generasi berikutnya? Bagaimana mengakui Allah sebagai “Bapa” mengubah hubungan kita dengan-Nya?