Jesus, Not Our Ordinary King

Palm Sunday of the Lord’s Passion

April 13, 2025

Luke 19:28-40 and Luke 22:14–23:56

Palm Sunday is one of the most unique liturgical celebrations in the Church because it features two Gospel readings: Jesus’ triumphal entry into Jerusalem (Luke 19:28-40) and the Passion of Christ (Luke 22:14–23:56). These readings are not accidental; the Church intentionally pairs them to reveal their profound connection. But what is this relationship?

The first Gospel presents Jesus entering Jerusalem, the city of King David and his successors. His disciples follow closely while some residents welcome Him, proclaiming Him as king. Yet the Gospel clarifies that Jesus is no ordinary earthly ruler. He isn’t a militarily powerful king riding a stallion, but a humble sovereign on a donkey. He comes in the name of the Lord – not through royal lineage, political systems, or deception. He reigns not over a single nation, but over all creation, as even “the stones will cry out” to declare His kingship.

The second Gospel, the Passion narrative, further reveals Christ’s kingship. He doesn’t rule through violence but embraces it and bring it to an end on the cross. His kingdom operates not through terror but through law of love, sacrificing Himself so His people might be redeemed from sin and then live.

As we enter Holy Week, we’re invited to examine our identity as God’s people. Do we love our King or fear Him? If we truly love Him, we must learn to love as He loved. For two thousand years, countless martyrs have followed Christ’s example to the point of death. Even today in the 21st century, Christians face persecution: Nigerian priests abducted and murdered; Syrian Christian communities attacked and displaced; growing anti-Christian hostility in Israel.

Many of us live where faith can be expressed freely, yet these environments present different dangers – materialism, complacency, or cowardice in witnessing to Christ. We’re tempted to prioritize self over God, to love ourselves rather than Jesus

We consider St. Catherine of Siena’s example. During her time, the pope was residing in Avignon, France rather than Rome since he was afraid of dealing with people who opposed him there. However, rather than becoming a leader in faith and example of moral, the pope involved himself more in politics. She courageously went to Avignon and confronted Gregory XI, urging his return, “If you die in Rome, you die a martyr – but if you stay here, you die a coward.” Her actions flowed from radical love for Christ the King.

If Jesus is our King, how then shall we follow Him?

Guide Questions:

Do we truly love Jesus as our King? How does our love for Christ manifest practically? Are we prepared to profess our faith in challenging environments? Would we sacrifice for others out of love for Jesus? Are we ready to endure hardship as Christians?

Yesus, Bukan Raja Biasa

Minggu Palma Sengsara Tuhan

13 April 2025

Lukas 19:28-40 dan Lukas 22:14-23:56

Minggu Palma adalah salah satu perayaan liturgi yang paling unik dalam Gereja karena memberikan dua bacaan Injil: Yesus memasuki kota Yerusalem sebagai Raja (Lukas 19:28-40) dan kisah Sengsara Kristus (Lukas 22:14-23:56). Bacaan-bacaan ini bukan kebetulan ada, tetapi Gereja mendampingkan keduanya untuk mengungkapkan hubungan yang mendalam antara kedua bacaan ini. Namun, apakah hubungan ini?

Injil pertama menggambarkan Yesus memasuki Yerusalem, kota Raja Daud dan para penggantinya. Para murid-Nya mengikuti-Nya sementara penduduk Yerusalem menyambut-Nya, menyatakan Dia sebagai raja. Namun Injil ini menjelaskan bahwa Yesus bukanlah seorang penguasa duniawi biasa. Dia bukanlah seorang raja yang berkuasa secara militer dengan menunggang kuda perang, tetapi seorang raja yang rendah hati dan cinta damai dengan menunggang keledai. Dia datang dalam nama Tuhan – tidak melalui garis keturunan kerajaan, sistem politik modern, atau tipu daya. Dia memerintah bukan atas satu bangsa, tetapi atas semua ciptaan, bahkan “batu-batu akan berseru” untuk menyatakan kerajaan-Nya.

Injil kedua, kisah Sengsara, lebih jauh mengungkapkan Kristus sebagai Raja. Dia tidak memerintah dengan kekerasan tetapi merangkulnya dan mengakhirinya di kayu salib. Kerajaan-Nya beroperasi bukan melalui teror tetapi melalui hukum kasih, mengorbankan diri-Nya sendiri agar umat-Nya dapat ditebus dari dosa dan kemudian hidup.

Saat kita memasuki Pekan Suci, kita diundang untuk memeriksa identitas kita sebagai umat kerajaan Allah. Apakah kita mengasihi Raja kita atau takut akan Dia? Jika kita sungguh-sungguh mengasihi Dia, kita harus belajar untuk semakin menyerupai Dia dan juga mengasihi seperti Dia mengasihi. Selama dua ribu tahun, banyak sekali martir yang mengikuti teladan Kristus hingga mati. Bahkan saat ini di abad ke-21, umat Kristiani terus menghadapi penganiayaan: Para imam di Nigeria diculik dan dibunuh; komunitas Kristiani di Suriah diserang dan diusir; juga meningkatnya permusuhan anti-Kristen di Israel.

Banyak dari kita yang hidup di tempat di mana iman dapat diekspresikan dengan bebas, namun lingkungan ini menghadirkan bahaya yang berbeda – materialisme, rasa puas diri, atau kepengecutan dalam bersaksi tentang Kristus. Kita tergoda untuk memprioritaskan diri sendiri di atas Tuhan, untuk mencintai diri kita sendiri daripada Yesus.

Kita bisa belajar dari teladan St. Katarina Siena. Pada masanya, paus lebih memilih tinggal di Avignon, Perancis daripada di Roma karena ia takut berurusan dengan orang-orang yang menentangnya di sana. Namun, alih-alih menjadi pemimpin dalam iman dan teladan moral, paus lebih banyak melibatkan diri dalam politik. Maka, St. Katarina dengan berani pergi ke Avignon dan menghadapi Gregorius XI, mendesaknya untuk kembali, “Jika Anda mati di Roma, anda mati sebagai seorang martir – tetapi jika anda tetap di sini, anda mati sebagai seorang pengecut.” Tindakannya mengalir dari cinta yang radikal kepada Kristus Sang Raja.

Jika Yesus adalah Raja kita, bagaimana kita harus mengikuti-Nya?

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Yesus sebagai Raja kita? Bagaimanakah kasih kita kepada Kristus diwujudkan secara praktis? Apakah kita siap untuk menyatakan iman kita dalam lingkungan yang penuh tantangan? Apakah kita mau berkorban untuk orang lain karena kasih kita kepada Yesus? Apakah kita siap untuk menanggung penderitaan sebagai orang Kristen?

Menjadi Manusia Sejati

Minggu Palem Sengsara Tuhan [B]

24 Maret 2024

Markus 14:1 – 15:47

Momen yang menentukan bagi Yesus sebelum salib-Nya adalah sakratul maut di taman Getsemani. Tahun ini, kita bersyukur dapat mendengar versi Injil Markus karena Markus tidak ragu mengungkapkan kondisi batin Yesus pada saat yang genting ini. Bagi sebagian orang, hal ini memalukan karena Yesus mengungkapkan kesedihan-Nya yang mendalam, dan dengan demikian, Yesus terlihat terlalu manusiawi dan lemah. Namun, kita percaya bahwa ini adalah Firman Tuhan, dan dengan demikian, kita dapat belajar sesuatu yang berharga dari saat-saat genting Yesus ini.

Yesus menyadari apa yang akan terjadi pada-Nya. Dia akan segera menghadapi pengkhianatan dari murid-Nya, penangkapan, pengadilan yang tidak adil, penghujatan dari para pembenci-Nya, penyiksaan yang mengerikan, dan kematian yang sangat menyakitkan. Yesus yang tidak hanya sepenuhnya ilahi tetapi juga sepenuhnya manusiawi, mengalami beban penuh emosi manusiawi. Markus memberikan kita beberapa detail penting. Yesus ‘sangat takut dan gentar’ dan kemudian mengungkapkan apa yang Yesus rasakan, “Jiwaku sangat sedih seperti mau mati.”

St. Irenaeus pernah berkata, “Kemuliaan Allah adalah manusia yang sungguh-sungguh hidup.” Di sini, Yesus mengajarkan kepada kita bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya dan dengan demikian menjadi kemuliaan Allah. Yesus mengajarkan kita untuk menghindari dua hal ekstrem yang berbahaya dalam menangani emosi. Ekstrim yang pertama adalah mengabaikan atau menekan emosi. Yesus tidak berpura-pura menjadi ‘orang yang kuat.’ Dia tidak berkata, ‘Saya tidak apa-apa’, atau ‘semuanya akan baik-baik saja’. Yesus mengartikulasikan emosi-emosi yang Dia rasakan, dan dengan demikian, Dia merangkul emosi dan kemanusian-Nya. Ekstrim kedua adalah tidak dikuasai oleh emosi. Ketika emosi itu sangat kuat, emosi dengan mudah menelan kita dan, dengan demikian, mengendalikan kita. Meskipun menyadari perasaan-Nya, Yesus tidak memberikan kendali pada perasaan itu. Dia tetap berdiri teguh.

Yesus kemudian memberikan dua cara agar tidak termakan oleh emosi yang meluap ini. Yang pertama adalah memiliki sahabat-sahabat yang baik. Yesus mengundang tiga murid terdekat-Nya ke taman, yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes. Dia mengungkapkan kesedihan-Nya yang mendalam dan meminta mereka untuk menemani-Nya di saat-saat genting ini. Sayangnya, mereka tertidur, tetapi ketiganya ada di sana untuk menemani Yesus dalam masa sulit ini. Cara kedua adalah dengan doa. Dalam kesedihan, Yesus berbicara kepada Bapa-Nya. Di sini, kita mendengarkan isi doa Yesus yang sangat langka.

Yesus berkata, “Ya, Bapa, bagi-Mu segala sesuatu mungkin. Ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mrk. 14:36).” Doa ini singkat tetapi luar biasa dalam. Bisa dikatakan bahwa doa ini adalah bentuk singkat dari doa ‘Bapa Kami’. Di sini, Yesus mengungkapkan dan mempersembahkan hasrat-Nya agar Dia terhindar dari penderitaan dan kematian yang kejam. Namun, Ia juga menyadari bahwa misi-Nya adalah untuk melaksanakan kehendak Bapa. Inilah kehendak Allah agar Yesus akan mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban kasih bagi dunia. Dalam doa ini, Yesus menegaskan kembali misi-Nya dan tidak membiarkan emosi mengaburkan visi-Nya.

Getsemani adalah momen berharga dimana Yesus mengajarkan kita untuk memenuhi kehendak Tuhan meskipun menghadapi kesulitan dan, pada saat yang sama, menjadi manusia yang sesungguhnya. Bukanlah kehendak Allah untuk menghancurkan kemanusiaan kita melainkan untuk menyempurnakannya, dan Yesus adalah teladan kita sebagai manusia yang sempurna.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengapa Daun Palma

Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan
2 April 2023
Matius 21:1-11

Minggu Palma menandakan dimulainya pekan suci dalam liturgi Gereja. Pada saat yang sama, perayaan liturgi pada hari Minggu ini merupakan salah satu yang paling unik di antara hari Minggu lainnya. Hari ini dinamakan ‘Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan’ karena ada dua bacaan Injil yang berbeda: Yesus yang memasuki kota Yerusalem dan Kisah Sengsara dari Injil Sinoptik (Matius, Markus, atau Lukas, tergantung pada tahun liturgi). Namun, jika kita membaca Injil Matius ini dengan cermat, kita tidak akan menemukan kata ‘palma’. Jadi, di manakah kita dapat menemukan kata ‘Palma’?

photocredit: Grant Whitty

Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, saya akan berbagi sedikit pengalaman pribadi saya dengan Minggu Palma. Pengalaman pertama saya dengan kegiatan kudus ini tentu saja di Indonesia, secara khusus di Jawa. Umat akan membawa daun palma ke Gereja untuk diberkati dan kemudian dibawa pulang untuk diletakkan pada salib. Jenis daun yang biasa digunakan adalah dari palem bambu. Dulu saya percaya bahwa ini adalah satu-satunya jenis ranting dan daun yang digunakan Gereja di seluruh dunia. Namun, ketika saya datang ke Filipina untuk pendidikan imamat, saya menemukan bahwa orang Filipina menggunakan daun pohon kelapa. Kemudian, ketika saya datang ke Roma, saya menemukan bahwa umat beriman menggunakan jenis ranting yang berbeda-beda!

Kembali ke pertanyaan kita, ‘di mana kita menemukan palma dalam Injil?’ Jawabannya adalah tidak dalam Injil Sinoptik, tetapi dalam Injil Yohanes (lihat Yoh 12:13). Namun, meskipun bacaan Injil hari ini tidak menyebutkan kata “palma,” kemungkinan besar banyak orang di Yerusalem yang menggunakan ranting-ranting palma karena pohon kurma (juga termasuk jenis pohon palma) berlimpah di daerah tersebut. Namun, pertanyaan yang paling penting adalah ‘mengapa kita menggunakan ranting dan daun pohon palma?’

Dalam Perjanjian Lama, Mazmur 118:25-27 menggambarkan bagaimana orang-orang menyambut Mesias dengan arak-arakan ranting-ranting pohon saat Dia memasuki Yerusalem. Demikian pula dalam 1 Makabe 13:51, orang-orang Yerusalem memasuki benteng dengan ranting-ranting pohon palma setelah musuh-musuh mereka diusir. Kisah-kisah ini menggambarkan bahwa ranting-ranting pohon, terutama palma, adalah simbol kedatangan Mesias dan kemenangan-Nya.

Namun, jika kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas, kehadiran ranting-ranting pohon dalam peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem menjadi simbol akan misi keselamatan-Nya. Pada mulanya, Adam dan Hawa tinggal di taman di mana berbagai macam tanaman dan pohon tumbuh. Dosa dan ketidaktaatan mereka yang pertama adalah memakan buah dari sebuah pohon. Sekarang, dalam penebusan-Nya, Yesus membalikkan kutukan itu. Sengsara-Nya dimulai di taman Getsemani. Tindakan kasih dan ketaatan-Nya yang terakhir juga melibatkan pohon (kayu salib).

Saat kita memegang dahan palma, semoga ini tidak menjadi ritual tahunan untuk pamer. Palma mengingatkan kita akan komitmen kita untuk berpartisipasi dalam misi penebusan Yesus, untuk berjalan ke dalam sengsara-Nya, dan memikul salib kita masing-masing bersama-Nya. Hal ini tidak pernah mudah, tetapi kita tidak pernah sendirian dan pahala yang akan kita terima tidak dapat kita bayangkan. Semoga kita juga terinspirasi oleh saudara-saudari kita yang memilih untuk mati bagi Kristus, dan bukannya hidup menyangkal Dia. Para martir ini telah berjuang dalam pertandingan yang baik, telah sampai pada garis akhir, dan telah memelihara iman (lih 2 Tim. 4:7). Sekarang, mereka telah menerima daun-daun palma sebagai tanda kemenangan mereka (lihat Why. 7:9)!

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Why Palm

Palm Sunday of the Lord’s Passion
April 2, 2023
Matthew 21:1-11

Palm Sunday signals the beginning of the most sacred week in the liturgy of the Church. At the same time, the liturgical celebration of this Sunday is one of the most unique among the other Sundays. The day is named Palm Sunday of the Lord’s Passion because it includes two different Gospel readings: the triumphant entrance of Jesus to Jerusalem and the Passion Narrative from the Synoptic Gospels (Matthew, Mark, or Luke, depending on the liturgical year). However, if we carefully read today’s Gospel, we will not find the word ‘palm’. So, where do we find ‘Palm’?

Before we answer this question, I will share a little of my personal experience with Palm Sunday. My first experience with this solemn event is surely in my own country Indonesia. There, people will bring palm branches to the Church to be blessed and later, we bring these home to be placed on our crucifixes. The type of branches commonly used are from areca palms or bamboo palms. I used to believe that this is the only type branch the Church uses worldwide. Yet, when I come to the Philippines for my priestly formation, I discover that the Filipinos make use of coconut palm branches. Then, when I come to Rome, I find out that the faithful are using different kind of branches!

Going back to our question, ‘where do we find palm in the gospel?’ The answer is that not in the synoptic gospels but in the Gospel of John (see John 12:13). However, while today’s Gospel reading does not mention the word “palm,” it is likely that many people in Jerusalem used palm branches because date palm trees were abundant in the area. Yet, the most important question remains ‘why do we use palm branches?’

In the Old Testament, Psalm 118:25-27 describes how people would welcome the Messiah with a procession of branches when he entered Jerusalem. Similarly, in 1 Maccabees 13:51, people of Jerusalem entered the citadel with palm branches after their enemies were driven out. These stories illustrate that tree branches, especially palm, are symbols of the coming of the Messiah and his victory.

However, if we see from a bigger perspective, the presence of branches in Jesus’ entry to Jerusalem becomes a powerful symbol of His mission of salvation. In the beginning, Adam and Eve lived in the garden where various plants grew. Their first sin and disobedience involved the tree. Now, in His redemption reverses the curse. His Passion begins in the garden of Gethsemane. His final act of love and obedience involve the tree of the cross.

As we are holding our palm branches, may it not become a meaningless annual ritual. They remind us on our commitment to participate in mission of Jesus’ redemption, to walk into His Passion, and to carry our own crosses with Him. It is never easy, but we are never alone and the reward is beyond our imagination. May we be inspired also by our brothers and sisters who chose to die for Christ, rather live denying Him. These martyrs have fought a good fight, have finished the race, and have kept the faith (see 2 Tim 4:7). Now, they have received the palm branches as the sign of their victory (see Rev 7:9)!

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sukacita Paskah

Minggu Paskah [B]

4 April 2021

Yohanes 20: 1-9

photocredit: Bruno van der Kraan

Yesus telah bangkit! Aleluya! Dia benar-benar hidup dan kita bersukacita. Dari Minggu Palma hingga Jumat Agung, kita telah menjadi saksi drama terbesar di pusat iman kita. Yesus diterima sebagai raja oleh rakyat-Nya yang pada akhirnya akan menghukum Dia. Dia menyerahkan tubuh dan darah-Nya kepada para murid dan saudara-Nya yang akhirnya menjual, mengkhianati, menyangkal, dan meninggalkan-Nya. Dia tidak bersalah, namun Dia dihukum sebagai penjahat dan menderita kematian yang mengerikan di kayu salib. Dia adalah Tuhan, tetapi Dia dikuburkan sama seperti manusia lainnya. Namun, hal-hal mengerikan ini bukanlah akhir dari cerita kita. Ada kejutan yang luar biasa! Dia bangkit dari kematian dan menaklukkan kematian. Kasih-Nya menang atas kebencian dan dosa.

Kabar baiknya adalah kisah Yesus itu nyata. Kisah-Nya sangat berbeda dari film-film box-office seperti film-film Marvel. Avengers mungkin secara dramatis mengalahkan Thanos dan membangkitkan separuh umat manusia yang hilang, tetapi mereka tetap merupakan karya fiksi. Yesus itu nyata, bahkan lebih nyata dari kita semua. Dan karena Dia benar-benar telah bangkit, iman kita kepada-Nya tidak sia-sia. Kita diselamatkan dan kita ditebus. Ini adalah fondasi yang tak tergoyahkan dari sukacita kita! Blaise Paschal, seorang Filsuf Prancis Katolik, pernah berkomentar, “Tidak ada yang sebahagia umat Kristiani sejati.”

Namun, apa artinya bersukacita di dunia kita sekarang? Banyak dari kita masih berjuang dengan pandemi COVID-19 dan kita tidak yakin kapan ini akan berakhir. Beberapa dari kita kehilangan orang yang kita cintai, dan yang lain harus menghadapi masa depan yang tidak pasti karena krisis ekonomi. Kita menjadi lebih tidak yakin dengan hidup kita. Apa bisa kita bersukacita? Kita perlu melihat bahwa sukacita kita bukan hanya perasaan enak yang cepat berlalu atau sebuah luapan emosi. Jika kita hanya mencari sensasi seperti ini di Gereja, kita mungkin kecewa.

Beriman kepada Yesus berarti kita percaya bahwa hidup kita pada akhirnya akan memiliki makna di dalam Yesus. Jadi, sukacita kita datang dari mengikuti Yesus, berpartisipasi dalam drama kasih dan penebusan-Nya, termasuk dalam salib dan kematian-Nya. Penderitaan Yesus bukanlah penderitaan korban yang tidak berdaya, melainkan penderitaan manusia berani. Kematian Yesus bukanlah kematian pecundang, tapi pengorbanan total. Yesus mengasihi kita sepenuhnya, dan kasih total menuntut kematian. Di dalam Kristus, penderitaan kita bukanlah tanda kelemahan kita, tetapi dari kasih radikal kita. Sukacita kita mengalir dari kebenaran yang kita temukan bahwa di dalam Kristus, kita diciptakan melampaui diri kita sendiri, tetapi untuk kasih yang tak terbatas, untuk Tuhan sendiri.

Di masa krisis ini, kita mungkin menanggung lebih banyak ketidakpastian, tetapi kita bisa menjadikan momen ini untuk mati terhadap ilusi kita bahwa kekayaan, posisi, dan kekuasaan dapat menyelamatkan kita. Di masa pencobaan ini, kita mungkin menghadapi lebih banyak kesulitan, tetapi di dalam Kristus, kita dapat mengubah kesempatan ini untuk mengasihi secara mendalam, dan bahkan memberikan diri kita sendiri.

Pada 27 Maret 1996, ada tujuh pertama Trappist diculik dari biara Tribhirine, Aljazair, oleh kelompok ekstremis. Semua akhirnya dibunuh. Beberapa bulan sebelumnya, mereka telah diperingatkan untuk meninggalkan biara karena situasi Aljazair memburuk, tetapi mereka menolak pergi karena mereka ingin tinggal bersama dengan orang yang mereka layani. Brother Christian, pemimpin biara, menulis dalam sebuah surat, “Saya yakin bahwa Tuhan mencintai orang Aljazair dan bahwa Dia telah memilih untuk membuktikannya dengan memberikan hidup kami kepada mereka. Jadi, apakah kami benar-benar mencintai mereka? Apakah kami cukup mencintai mereka? Ini adalah momen kebenaran bagi kami masing-masing dan tanggung jawab yang berat di saat-saat ini ketika teman-teman kami merasa sangat sedikit dicintai. ”

Selamat Paskah!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Keledai

Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan [B]

28 Maret 2021

Markus 11: 1-10; Markus 14 – 15

Minggu Palma menandai awal Pekan Suci, minggu paling sakral dalam tahun liturgi kita. Perayaan tahun ini mungkin berbeda dari tahun-tahun lainnya karena pandemi, namun hal tersebut tidak menghentikan kita untuk menjalankan perayaan yang khusyuk dan bermakna. Salah satu pertanyaan yang biasa diajukan tentang perayaan Minggu Palma, “Mengapa Yesus menunggangi keledai?” Dengan bercanda, saya menjawab, “Ya, mungkin taksi online belum ada pada saat itu!”

Jawaban standar untuk pertanyaan ini adalah bahwa Yesus ingin menunjukkan diri-Nya sebagai raja yang lemah lembut dan rendah hati, dan bukan seorang jenderal yang haus kekuasaan dan suka berperang yang disimbolkan dengan kuda dewasa. Jawaban ini benar, tetapi tidak memberi kita gambaran yang lengkap. Jika kita mencoba untuk masuk lebih dalam ke Injil Markus saja, kita akan menemukan banyak penggenapan Perjanjian Lama.

Pemilihan keledai ini dilakukan oleh Yesus karena Dia memenuhi nubuat Zakharia. Intinya, nabi Zakharia menubuatkan bahwa suatu hari nanti seorang raja yang lembut namun jaya akan memasuki Yerusalem, menunggangi seekor keledai muda [lihat Zak 9:9]. Tapi, ini bukan satu-satunya nubuat yang dipenuhi Yesus.

Jika kita kembali ke Perjanjian Lama, kita akan menemukan seorang raja Israel yang benar-benar menaiki keledai. Dia adalah Salomon, putra Daud, ketika dia dinobatkan sebagai raja dan naik takhta [1 Raja 1:33]. Dengan mengendarai seekor keledai muda, Yesus menandakan bahwa Dia adalah Salomon baru yang naik ke tahta baru-Nya, salib.

Markus juga memberi kita informasi bahwa orang-orang juga menyebarkan pakaian mereka di hadapan Yesus. Kembali ke Perjanjian Lama, kita juga menemukan seorang raja Yehuda yang menerima perlakuan yang sama seperti ini juga dari rakyatnya. Namanya adalah Yehu [2 Raja 9:12]. Selain itu, Markus menulis bahwa orang-orang menyambut Yesus dengan ranting-ranting yang hijau. Sekali lagi, jika kita kembali ke perjanjian lama, ranting hijau digunakan untuk menerima Yudas Makabe, yang berhasil merebut kembali Yerusalem dari tangan musuh [2 Mak 10:7]. Yesus memang raja yang lembut, tetapi Dia juga pemenang yang jaya atas musuh-musuh-Nya. Satu hal lagi adalah bahwa Markus menambahkan ungkapan ‘… Bapa kita Daud…” Daud sejatinya bukanlah salah satu dari bapa bangsa Israel [yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub]. Namun, orang Israel mengakui raja Daud sebagai bapak bangsa mereka, seorang raja yang melindungi dan memimpin rakyatnya.

Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan yang menakjubkan pada Minggu Palma ini. Yesus menunggangi keledai muda untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Raja Mesias dalam garis keturunan Daud, seperti Salomon dan Yehu, serta raja yang jaya yang akan menaklukkan musuh-musuh-Nya. Namun, ada sesuatu yang bahkan luar biasa. Markus memberi kita detail unik: keledai ini belum pernah ditunggangi. Artinya keledai ini masih liar dan belum terlatih. Pilihan Yesus untuk menunggangi binatang yang masih liar ini menunjukkan kekuasaann dan otoritas-Nya atas binatang-binatang buas dan alam. Dia bukan hanya raja Israel, raja umat manusia, tetapi Dia adalah raja dari segala alam. Sungguh, seekor keledai adalah tumpangan yang sempurna bagi raja alam semesta.

Namun, kita tidak boleh terlalu cepat gembira. Ada lebih banyak rahasia yang harus dibuka dan lebih banyak nubuatan yang harus digenapi saat kita memasuki drama Pekan Suci.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Getsemani

Jumat Agung

10 April 2020

Yohanes 18 – 19

Jesus praysJika ada satu hal yang menyatukan orang-orang dari berbagai negara, bahasa, dan agama, ini adalah penderitaan. Dengan coronavirus yang menyebar sangat cepat, orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, muda dan tua, kaya dan miskin, dan bangsawan dan rakyat jelata, dan awam dan klerus jatuh tersungkur dan gemetar. Memang, virus mikroskopis ini telah meluluh lantahkan kehidupan banyak orang. Orang-orang sakit kerah, rumah sakit kewalahan, kota-kota terisolasi, keluarga-keluarga terpisah, pekerja-pekerja menganggur, pemerintah-pemerintah tak berdaya, dan gereja-gereja kosong. Penderitaan memaksa kita untuk mengakui kelemahan manusiawi kita dan semua yang kita banggakan, ternyata hampa.

Saya mendengar semakin banyak pertanyaan dari beberapa teman dan umat, “Kapan ini akan berakhir? Aku rindu untuk melakukan rutinitas, kapan kita dapat kembali ke Gereja? Apakah kita akan selamat? Apakah kita akan mati? Di manakah Tuhan dalam masa yang paling sulit ini?” Sebagai seorang imam yang bekerja di sebuah paroki, adalah tugas saya untuk menguatkan umat Allah di saat-saat pencobaan ini, namun saya tidak bisa begitu saja memberikan kata-kata penghiburan namun tidak berisi. Saya tidak bisa hanya mengatakan, “itu akan segera berakhir” meskipun, mereka tahu bahwa itu tidak akan berakhir secepat itu. Adalah kebohongan ketika saya memberi tahu orang-orang, “Tidak apa-apa, jangan khawatir.” Sementara saya sendiri berjuang dengan rasa sakit dan kekecewaan. Ini adalah tahun pertamaku sebagai romo, namun, saya mendapati diri saya terasingkan dari orang-orang yang saya layani. Realitas yang paling menyakitkan adalah bahwa saya tidak dapat merayakan Pekan Suci, waktu yang paling suci dengan orang-orang yang saya kasihi, dan umat yang saya cintai.

Pada saat kebingungan, kesakitan, dan penderitaan ini, saya ingin mengajak Anda semua untuk melihat salib, namun dari balik salib itu, mari kita bersama Yesus dalam sakratul maut-Nya.. Yesus bersama dengan ketiga murid-Nya, pergi ke bukit Zaitun, dan ke bagian bawah bukit ini, ada sebuah taman yang disebut Getsemani. Nama Getsemani berarti “tempat memeras zaitun” dan tempat ini menjadi salah satu penyuplai minyak zaitun bagi kota Yerusalem. Zaitun sendiri adalah minyak yang banyak kegunaannya namun juga berharga. Minyak ini digunakan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti bumbu makanan dan membakar lampu. Minyak berfungsi sebagai obat dan mengurapi orang sakit. Itu juga digunakan untuk tujuan sakral. Minyak zaitun dipersembahkan sebagai bagian dari kurban harian di Bait Suci [Bil. 28: 5]. Dan para imam seperti Harun dan raja-raja seperti Daud diurapi dengan minyak zaitun. Dengan berbagai kegunaan, dari rumah tangga hingga penggunaan sakral, tidak mengherankan bahwa dalam tradisi Yahudi kuno, pohon zaitun disebut sebagai pohon kehidupan di tengah taman Eden.

Namun, untuk menghasilkan minyak, buah zaitun harus dihancurkan dan diperas. Pertama, buah akan digiling oleh batu kilangan besar. Kedua, setelah hancur menjadi bubur, ini diperas untuk mengekstraksi minyak. Buah dari pohon kehidupan harus dihancurkan untuk menghasilkan kehidupan itu sendiri. Dan Yesus mengerti bahwa Dia adalah pohon kehidupan baru, dan Dia harus dihancurkan terlebih dahulu untuk menghasilkan kehidupan yang benar.

Yesus menghadapi saat yang mengerikan dalam hidup-Nya dan Dia memiliki semua pilihan untuk menghadapinya. Yesus bisa saja lari, Dia bisa memanggil pasukan malaikat untuk membela-Nya, atau Dia bisa dengan mudah menempatkan orang lain untuk disalibkan. Namun, Yesus memilih untuk merangkul salib dan kematian-Nya karena Dia tahu ini adalah cara yang berbuah. Hanya melalui penderitaan dan kematian, Dia dapat mengasihi kita sampai akhir, dan kita mungkin memiliki hidup yang berlimpah.

Dalam menghadapi penderitaan kita, kita dipanggil seperti Yesus untuk merangkulnya, dan bahkan dihancurkan olehnya, sehingga kehidupan sejati dapat mengalir. Memang benar bahwa pada tahun pertama saya sebagai seorang imam, Tuhan memiliki rencana yang berbeda untuk saya, dan saya tidak dapat merayakan Minggu Suci dengan umat yang saya kasihi, tetapi Dia bahkan memberi saya hadiah berharga untuk berpartisipasi dalam penderitaan dan kematian-Nya secara lebih penuh.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Olive

Good Friday

April 10, 2020

John 18 – 19

jesus prays 2If there is one thing that unites people from different nations, languages, and religions, that is the experience of suffering. With the ultra-fast spreading coronavirus, covid-19, people with different backgrounds, young and old, rich or poor, and noblemen or commoners, and laypeople or clergy fall in their knees and tremble. Indeed, this microscopic virus has shattered countless lives. People are dying, hospitals are overwhelmed, cities are isolated, families are separated, workers are jobless, governments are at loss, and churches are empty. Pope Francis notes that “we are just one the same boat”, and this boat is sinking. Suffering forces us to admit our human frailty and all that we are proud of, are a mere breath.

I heard more and more questions from some of my friends, “When is it going to end? We miss to do our ordinary routine, when can we go back to the Church? Are we going to survive? Are we going to die? Where is God in this most troubling time?” As a priest working in a parish, it is our duty to strengthen the people of God in this moment of trials, yet I cannot simply offer a consoling yet untrue words. I cannot simply say, “it is going to end soon” though, at the back of their minds, they know that it is not. It is a plain lie when I tell people, “It is fine, don’t worry.” While I am myself struggling with pain and disappointment. This is my first year as a priest, yet, I find myself exiled from the people of I serve. The most painful reality is that I cannot celebrate the Holy Week, the most sacred time with the people I love and care for.

At this moment of confusion, pain, and suffering, I would like to invite all of you to see the cross, and yet before the cross, let us be with Jesus on His agony in the garden. Jesus together with His three disciples, went to the mount of Olivet, and to the part of this mount, the garden called Gethsemane. The name Gethsemane means “olive press” and some of the olive oil needed by the city of Jerusalem came from this place. Olive itself is a basic and yet precious oil. It is used for daily household needs like cooking, seasoning, and burning the lamp. Since it has a therapeutic effect, the oil serves as a medicine. It is also used for sacred purposes. Olive oil is offered as part of daily sacrifice in the Temple [Num 28:5]. And the priests like Aaron and kings like David were anointed with olive oil. With a wide range of utilities, from household to sacred use, no wonder that in ancient Jewish traditions, the olive tree was considered as the tree of life in the middle of the garden of Eden.

However, to produce the oil, the fruits have to be two-step crushing process. Firstly, the fruits shall be ground by a huge millstone. Secondly, the olive pulp shall be squeezed to extract the oil. The fruits of the tree of life have to be crushed to produce life itself. And Jesus understood that He is the new tree of life, and He has to be crushed first to yield the true life.

Jesus is facing the horrifying time in His life and He has all the options to deal with it. Jesus could have run, He could have summoned the legions of angels to defend Him, or He could simply place someone else to be crucified. Yet, Jesus chooses to embrace His cross and death because He knows this is the most fruitful way. Only through suffering and death, He can love us to the end, and we may have life abundantly.

In the face of our suffering, we are called like Jesus to embrace it, and even be crushed by it, so that true life may flow. It is true that in my first year as a priest, God has a different plan for me, and I cannot celebrate the Holy Week with the people I serve, but He gives me even a precious gift to participate in His suffering and death more fully.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hosanna

Palm Sunday of the Lord’s Passion

April 5, 2020

Matthew 21:1-11 and Matthew 26:14—27:66

palm at homeToday, we are celebrating the Palm Sunday of the Lord’s Passion. In many countries, today is a big celebration where people excitedly throng the Church. I remember when I was still studying in the Philippines, the faithful would pack almost all the 11 masses in our Church, Santo Domingo Church. It was a festive celebration as many people were carrying palm branches of a coconut tree.

However, something bizarre takes place this year. The churches in many countries are temporarily closed, the faithful are asked to avoid gathering, including the Holy Eucharist, and people are confused about what to do with the Celebration of the Holy Week. A parishioner once painfully asked me, “Father, since the Church is closed, what shall I do with the palm branches I have?” Surely, there is always a pastoral solution to any problem that the faithful have. Yet, the real issue is not so much about how to clear up the confusion, but how to deal with the deep pain of losing what makes us Catholics. No palm in our hands, no kissing of the crucifix, and no Body of Christ.

Reflecting on our Gospels’ today, we are somehow like the people of Jerusalem who welcomed Jesus and shouted, “Hosanna!” The Hebrew word “Hosanna” literally means “save us!” or “give us salvation!” It is a cry of hop `e and expectation. We need to remember that the people of Israel during this time was were under the Roman Empire’s occupations. Commonly, lives were hard and many people endured heavy taxation under severe punishment. Many faithful Jews were anticipating the promised Messiah, who like David, would restore the lost twelve tribes of Israel, deliver them from the grip of the Romans and bring them into a glorious kingdom. They saw Jesus as a charismatic preacher, miraculous healer, and nature conqueror, and surely, Jesus could be the king that would turn the Roman legions upside down. We need to remember also the context of the Gospel that in few days, the Jewish people would celebrate the great feast of Passover, and thousands of people were gathered in Jerusalem. With so much energy and euphoria, a small incident could ignite a full-scale rebellion. And Jesus was at the center of this whirlpool.

Jesus is indeed a king and savior, but He is not the kind of king that many people would expect. He is a peaceful king, rather than a warmonger, that is why He chose a gentle ass rather than a strong horse. His crown is not shining gold and diamond, but piercing thorns. His robe is not purple and fine-linen, but skin full of scars. His throne is neither majestic nor desirable, but a cross.

We may be like people of Jerusalem, and we shout “Hosanna!” to Jesus, expecting Him to save us from this terrible pandemic, to bring our liturgical celebrations back, and to solve all our problems. However, like people of Jerusalem, we may get it wrong. Jesus is our Savior, but He may save us in the way that we do not even like.

The challenge is whether we lose patience and dismiss Jesus as a preacher of fake news, rather than good news, or endure the humiliation with Him; whether we get discouraged and begin to shout, “Crucify Him!” or we stand by His cross. The challenge is whether we get bitter and start mocking the church authorities for their incompetence handling the crisis or we continue to support them in time of trial; whether we are cursing the grim situations or we begin to spread the light however small it is.

Why does God allow us to endure this terrible experience, or to be more precise, why does God allow Himself to endure this terrible experience? Let us wait at the Good Friday.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP