Minggu Palma Mengenang Sengsara Tuhan
5 April 2020
Matius 21: 1-11 dan Matius 26: 14—27: 66
Hari ini, kita merayakan Minggu Palma. Di banyak negara, hari ini adalah perayaan besar dan umat dengan penuh semangat memenuhi Gereja. Saya ingat waktu masih kecil saya selalu paling semangat ikut perarakan romo yang memasuki Gereja dan kami mengikutinya dengan membawa daun palma kami masing-masing.
Namun, sesuatu yang memilukan terjadi tahun ini. Gereja-gereja di banyak negara ditutup sementara, umat beriman diminta untuk tidak berkumpul, termasuk menghadiri Ekaristi suci, dan orang-orang bingung apa yang harus dilakukan dengan Perayaan Pekan Suci. Seorang umat paroki bertanya dengan sedih kepada saya, “Romo, karena Gereja ditutup, apa yang harus saya lakukan dengan cabang-cabang palma yang saya petik?” Tentunya, selalu ada solusi pastoral untuk hal-hal ini, tetapi masalah sebenarnya bukan tentang bagaimana mengatasi kebingungan, tetapi bagaimana menghadapi kepedihan yang mendalam karena kehilangan apa yang membuat kita menjadi Katolik. Tidak ada palma di tangan kita, tidak ada ciuman kaki salib, dan tidak ada Tubuh Kristus.
Orang-orang Yerusalem yang menyambut Yesus dan berteriak, “Hosanna!” Kata Ibrani “Hosanna” secara harfiah berarti “selamatkan kami!” atau “beri kami keselamatan!” Itu adalah seruan harapan. Kita perlu ingat bahwa orang-orang Israel pada masa ini berada di bawah pendudukan Kekaisaran Romawi. Umumnya, kehidupan itu sulit dan banyak orang menanggung pajak berat dan peraturan yang membebankan. Banyak orang Yahudi yang setia mengharapkan Mesias yang dijanjikan, yang seperti Daud, akan memulihkan dua belas suku Israel yang hilang, membebaskan mereka dari cengkeraman bangsa Romawi dan membawa mereka ke kerajaan yang mulia. Mereka melihat Yesus sebagai pewarta karismatik, penyembuh ajaib, dan penakluk alam yang ganas, dan tentunya, Yesus bisa menjadi raja yang akan menjungkirbalikkan pasukan Romawi. Kita perlu mengingat juga konteks Injil hari ini, bahwa dalam beberapa hari, orang-orang Yahudi akan merayakan pesta besar Paskah, dan ribuan orang berkumpul di Yerusalem. Dengan begitu banyak energi dan euforia, insiden kecil bisa memicu pemberontakan skala besar. Dan Yesus berada di pusat pusaran ini.
Yesus memang seorang raja dan penyelamat, tetapi Ia bukan raja yang diharapkan banyak orang. Dia adalah raja damai, bukan jendral perang, itulah sebabnya Dia memilih keledai yang lembut daripada kuda yang kuat. Mahkotanya bukan emas dan berlian yang bersinar, tetapi duri yang tajam. Jubahnya bukan kain halus ungu, tetapi kulit yang penuh luka. Takhta-Nya tidak megah, tetapi sebuah salib yang hina.
Kita mungkin seperti orang-orang di Yerusalem, dan kita berteriak “Hosanna!” kepada Yesus, mengharapkan Dia untuk menyelamatkan kita dari pandemi yang mengerikan ini, untuk mengembalikan perayaan liturgi kita, dan untuk menyelesaikan semua masalah kita. Namun, seperti orang-orang Yerusalem, kita mungkin keliru. Yesus adalah Juru Selamat kita, tetapi Dia mungkin menyelamatkan kita dengan cara yang bahkan tidak kita sukai.
Tantangannya adalah apakah kita kehilangan kesabaran dan mengatakan bahwa Yesus sebagai pewarta hoax, dan bukan kabar baik, atau menanggung penghinaan dengan-Nya; apakah kita berkecil hati dan mulai berteriak, “Salibkan Dia!” atau kita berdiri di dekat salib-Nya. Tantangannya adalah apakah kita menjadi pahit dan mulai mengejek otoritas gereja karena ketidakmampuan mereka menangani krisis, atau kita terus mendukung mereka pada masa pencobaan; apakah kita mengutuk situasi yang suram, atau kita mulai menyebarkan cahaya sekecil apa pun itu.
Mengapa Tuhan membiarkan kita menanggung pengalaman mengerikan ini, atau lebih tepatnya, mengapa Allah membiarkan diri-Nya menanggung pengalaman mengerikan ini? Mari kita tunggu jawabannya di Jumat Agung.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

One of the greatest gifts to humanity is the gift of memory. It gives us a sense of identity. Biology teaches us that almost all our body parts are being replaced over the years. One-year-old Stephen is biologically different from thirty-year-old Stephen. All bodily cells, with the sole exception of his eyes’ lens, are changed. What unites thirty-year-old Stephen with his younger self as well as his future self is his memory.
Salah satu karunia terbesar bagi umat manusia adalah memori. Ini memberi kesadaran akan identitas kita. Biologi mengajarkan kita bahwa hampir semua bagian tubuh kita akan tergantikan saat kita hidup. Stephen yang berusia satu tahun secara biologis berbeda dari Stephen yang berusia tiga puluh tahun. Semua sel tubuhnya telah digantikan dan akan terus digantikan sampai ia wafat. Apa yang menyatukan Stephen yang berusia tiga puluh tahun dengan dirinya yang lebih muda serta diri di masa depannya adalah ingatannya.
Many theologians and ordinary Christians alike are baffled by these words of Jesus on the cross. If Jesus is God, how is it possible for Him to be separated from God? Why does the most compassionate God abandon His beloved Son? It simply does not make any sense. The Catechism of the Catholic Church tries to explain that it is a consequence of sin. Not that Jesus had committed any sin, but He endured the sin of the world on the cross. The greatest effect of sin is separation from God. Thus, carrying the heaviest burden of sin, Jesus could not but feel the chilling effect of alienation from His own Father.
Banyak teolog maupun umat awam kesulitan untuk memahami kata-kata Yesus di kayu salib ini. Jika Yesus adalah Tuhan, bagaimana mungkin Dia bisa terpisahkan dari Allah? Lalu, mengapa Allah yang penuh kasih bisa-bisanya meninggalkan Putra-Nya? Ini tidak masuk akal. Katekismus Gereja Katolik mencoba menjelaskan bahwa ini adalah konsekuensi dari dosa. Bukan karena Yesus telah melakukan dosa, tetapi Dia menanggung dosa dunia di kayu salib. Efek terbesar dari dosa adalah terpisahnya kita dari Allah. Dengan demikian, membawa beban terberat dari dosa, Yesus tidak bisa tidak merasakan efek mengerikan keterasingan dari Bapa-Nya sendiri.