Jesus, Not Our Ordinary King

Palm Sunday of the Lord’s Passion

April 13, 2025

Luke 19:28-40 and Luke 22:14–23:56

Palm Sunday is one of the most unique liturgical celebrations in the Church because it features two Gospel readings: Jesus’ triumphal entry into Jerusalem (Luke 19:28-40) and the Passion of Christ (Luke 22:14–23:56). These readings are not accidental; the Church intentionally pairs them to reveal their profound connection. But what is this relationship?

The first Gospel presents Jesus entering Jerusalem, the city of King David and his successors. His disciples follow closely while some residents welcome Him, proclaiming Him as king. Yet the Gospel clarifies that Jesus is no ordinary earthly ruler. He isn’t a militarily powerful king riding a stallion, but a humble sovereign on a donkey. He comes in the name of the Lord – not through royal lineage, political systems, or deception. He reigns not over a single nation, but over all creation, as even “the stones will cry out” to declare His kingship.

The second Gospel, the Passion narrative, further reveals Christ’s kingship. He doesn’t rule through violence but embraces it and bring it to an end on the cross. His kingdom operates not through terror but through law of love, sacrificing Himself so His people might be redeemed from sin and then live.

As we enter Holy Week, we’re invited to examine our identity as God’s people. Do we love our King or fear Him? If we truly love Him, we must learn to love as He loved. For two thousand years, countless martyrs have followed Christ’s example to the point of death. Even today in the 21st century, Christians face persecution: Nigerian priests abducted and murdered; Syrian Christian communities attacked and displaced; growing anti-Christian hostility in Israel.

Many of us live where faith can be expressed freely, yet these environments present different dangers – materialism, complacency, or cowardice in witnessing to Christ. We’re tempted to prioritize self over God, to love ourselves rather than Jesus

We consider St. Catherine of Siena’s example. During her time, the pope was residing in Avignon, France rather than Rome since he was afraid of dealing with people who opposed him there. However, rather than becoming a leader in faith and example of moral, the pope involved himself more in politics. She courageously went to Avignon and confronted Gregory XI, urging his return, “If you die in Rome, you die a martyr – but if you stay here, you die a coward.” Her actions flowed from radical love for Christ the King.

If Jesus is our King, how then shall we follow Him?

Guide Questions:

Do we truly love Jesus as our King? How does our love for Christ manifest practically? Are we prepared to profess our faith in challenging environments? Would we sacrifice for others out of love for Jesus? Are we ready to endure hardship as Christians?

Love and Betrayal

5th Sunday of Lent [C]

April 6, 2025

John 8:1-11

The story of the woman caught in adultery is one that frequently appears during Lent, especially in Year C. What lessons can we draw from this story?

At first glance, the narrative seems straightforward, yet it carries profound lessons worth unpacking. While we often associate it with God’s mercy and forgiveness—which is certainly true— there is more to it than what meets the eyes. In Scripture, adultery is not merely a grave sin; it also serves as a metaphor for idolatry, the gravest of spiritual betrayals. The prophet Hosea, for instance, was called to marry an unfaithful woman to symbolize God’s covenant with wayward Israel (Hosea 1–3). Ezekiel condemns Jerusalem and Samaria as “adulterous sisters” who chased after foreign gods (Ezekiel 23:30). Similarly, in the New Testament, James rebukes those who prioritize worldly “friendship” over God, calling them “adulterers.” (James 4:4).

This connection between adultery and idolatry reveals a deeper truth about our relationship with God. He did not create us as slaves driven by fear or as mindless robots bound by programming. Instead, He made us free and capable of love, desiring a relationship with us; one built on devotion rather than obligation. In mystical terms, God invites us to become His spiritual lovers, meaning we must love Him above all else and serve Him not out of fear, but out of deep, sincere love.

One of the earliest saints to speak of this “spiritual marriage” was St. Catherine of Siena. As young as six years old, she declared herself the bride of Christ, refusing earthly marriage to devote herself entirely to Jesus. At the age of 20, she experienced the spiritual marriage with Christ. And her profound love united her deeply to Christ to the point of sharing His wounds. She received stigmata around five years before she passed away.

The Church constantly teaches that we, collectively, are the Bride of Christ. Just as Eve was formed from Adam’s side while he slept, the Church was born from the pierced side of Jesus on the cross. Through baptism, we are reborn as members of His Church—His beloved. Through the Eucharist, we are nourished and sustained by His Body and Blood. Thus, our love for God must surpass all others, and even our love for family and friends should flow from our love for Christ.

This is why preferring anything above God constitutes spiritual adultery. The story of Jesus forgiving the adulterous woman illustrates both God’s unwavering love and mercy and our own unfaithfulness. Lent calls us back to our first and truest love—the only love that brings lasting happiness.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions:

How do we relate to God—as a servant obeying a master, or as a lover responding to Love Himself? Do we love God above all else? Do we love others for the sake of God? What unhealthy attachments to the world do we need to examine? How can we return to my true love—God alone?

Kasih dan Pengkhianatan

Minggu Prapaskah ke-5 [C]

6 April 2025

Yohanes 8:1-11

Kisah perempuan yang tertangkap dalam berzina merupakan kisah yang sering muncul pada masa Prapaskah, terutama pada Tahun C. Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kisah ini?

Sekilas, kisah ini tampak sederhana, namun mengandung pelajaran yang sangat dalam yang perlu kita gali. Meskipun kita sering mengaitkannya dengan belas kasih dan pengampunan Allah, yang tentunya benar, ada hal yang lebih dalam dari sekadar apa yang terlihat. Dalam Alkitab, perzinaan bukan hanya merupakan dosa besar; perzinaan juga merupakan metafora untuk penyembahan berhala, sebuah pengkhianatan rohani yang paling berat. Nabi Hosea, misalnya, dipanggil untuk menikahi seorang wanita yang tidak setia untuk melambangkan relasi Allah yang setia dengan Israel yang tidak setia (Hosea 1-3). Yehezkiel mengutuk Yerusalem dan Samaria sebagai “saudara perempuan yang berzina” karena mengejar ilah-ilah asing (Yehezkiel 23:30). Demikian pula, dalam Perjanjian Baru, Yakobus menegur mereka yang memprioritaskan “persahabatan” duniawi di atas Tuhan, dengan menyebut mereka sebagai “pezina”. (Yakobus 4:4).

Hubungan antara perzinaan dan penyembahan berhala mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam tentang hubungan kita dengan Tuhan. Dia tidak menciptakan kita sebagai budak yang dikendalikan oleh rasa takut atau sebagai robot yang tidak berpikiran yang terikat oleh program. Sebaliknya, Dia menciptakan kita sebagai orang yang bebas dan mampu mengasihi, yang menginginkan sebuah relasi kasih dengan kita; hubungan yang dibangun di atas pengabdian dan bukan kewajiban. Dalam istilah mistik, Tuhan mengundang kita untuk menjadi kekasih rohani-Nya, yang berarti kita mengasihi-Nya di atas segalanya dan melayani Dia bukan karena takut, tetapi karena cinta yang dalam dan tulus.

Salah satu orang kudus yang paling awal berbicara tentang “perkawinan rohani” ini adalah St. Katarina dari Siena. Pada usia enam tahun, ia menyatakan dirinya sebagai mempelai Kristus, menolak pernikahan duniawi untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada Yesus. Pada usia 20 tahun, dia mengalami pernikahan rohani dengan Kristus. Dan cintanya yang luar biasa menyatukannya secara mendalam dengan Kristus sampai-sampai ia ikut merasakan luka-luka-Nya. Dia menerima stigmata sekitar lima tahun sebelum dia meninggal dunia.

Gereja secara terus-menerus mengajarkan bahwa kita, secara kolektif, adalah Mempelai Kristus. Sama seperti Hawa yang dibentuk dari sisi Adam ketika dia tidur, Gereja lahir dari sisi Yesus yang tertusuk di kayu salib. Melalui pembaptisan, kita dilahirkan kembali sebagai anggota Gereja-Nya, yakni Kekasih-Nya. Melalui Ekaristi, kita dipelihara dan ditopang oleh Tubuh dan Darah-Nya. Oleh karena itu, kasih kita kepada Allah haruslah melebihi segala sesuatu yang lain, dan bahkan kasih kita kepada keluarga dan teman-teman haruslah mengalir dari kasih kita kepada Kristus.

Inilah sebabnya mengapa lebih mengutamakan sesuatu yang lain di atas Tuhan merupakan perzinaan rohani. Kisah Yesus yang mengampuni perempuan yang berzina menggambarkan kasih dan kerahiman Allah yang tak tergoyahkan dan juga ketidaksetiaan kita. Masa Prapaskah memanggil kita kembali kepada cinta kita yang pertama dan yang paling sejati; satu-satunya cinta yang membawa kebahagiaan abadi.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Bagaimana kita berelasi dengan Allah – sebagai seorang hamba yang taat kepada tuannya, atau sebagai seorang kekasih yang merespon Cinta-Nya? Apakah kita mengasihi Allah di atas segalanya? Apakah kita mengasihi orang lain demi Tuhan? Keterikatan tidak sehat apa terhadap dunia yang perlu kita periksa? Bagaimana kita dapat kembali kepada cinta sejati kita?

The Prodigal Father

4th Sunday of Lent [C]

March 30, 2025

Luke 15:1-3, 11-32

The story of the Prodigal Son is one of the most beautiful parables in the Gospel. Not only is it masterfully told, but it also teaches profound lessons—especially about parenthood.

Raising children is no easy task. Each child has a unique personality, and each can bring both joy and heartache. Many of us struggle to know how to be good parents. Some rely on the wisdom passed down from their own parents and elders, drawing from memories of how they were raised. Others turn to social media or self-proclaimed parenting “experts” for guidance. A few make the effort to consult real specialists—paediatricians, child psychologists, and educators. Yet, in the end, our children are not carbon copies of us. There will always be surprises beyond our control. All we can do is pray and hope they that will grow into their best selves.

The father in the parable offers us a powerful example. Despite doing his best to raise his two sons, he faced painful relationships with both. The younger son demanded his inheritance, severed ties, and left to live a sinful life. Imagine the father’s heartbreak—his son treated him as disposable, not as a parent. The elder son was no better. When his brother returned, he refused to enter the house and join the celebration. He never called his father “Father,” referring to his brother as “your son” instead of “my brother.” He saw himself not as a son but as a servant, even saying, “Look! All these years I’ve worked for you like a slave! Again, the father’s heart must have ached—he had raised a son, not a slave.

Yet, despite these struggles, the father never gave up. He never stopped hoping for his younger son’s return. When the prodigal son came home, humbled and expecting to be a servant, the father is the first one who saw his son, ran after him, and embraced him. He called him “my son” and not servant. When the first son refused to go home, the father sought him and pleaded with him, calling him “my son” and not servant, explaining that everything he has, belongs also to his son.

Many of us are blessed with children but endure strained relationships. Despite our best efforts, our children may not turn out as we hoped. Some, like the younger son, reject our love or wish us gone. Others, like the elder son, see us as taskmasters, not parents. Yet the parable calls us to love perseveringly, and till the end, because that is true parenthood. That is holiness.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions:

How do we raise our children well? What is the state of our relationship with them? Do we face difficulties in relating to our children? How do we respond to these challenges? Do we rely on God’s grace to guide us?

Kisah Seorang Ayah

Minggu ke-4 Masa Prapaskah [C]

30 Maret 2025

Lukas 15:1-3, 11-32

Kisah Anak yang Hilang adalah salah satu perumpamaan yang paling indah dalam Injil. Tidak hanya diceritakan dengan indah, tetapi juga mengajarkan pelajaran yang mendalam – terutama tentang menjadi orang tua.

Membesarkan anak bukanlah tugas yang mudah. Setiap anak memiliki kepribadian yang unik, dan masing-masing dapat membawa sukacita, namun juga sakit hati. Banyak dari kita yang bergulat menjadi orang tua yang baik. Beberapa mengandalkan kebijaksanaan yang diturunkan dari orang tua kita dan orang sekitar kita, atau  dari pengalaman dan memori bagaimana kita dibesarkan. Sebagian lagi beralih ke media sosial atau influencers yang menyebut diri sebagai “pakar parenting.”  Beberapa orang melakukan langkah lebih jauh dengan berkonsultasi dengan spesialis yang sebenarnya, seperti dokter anak, psikiater dan psikolog anak, dan pendidik. Namun, pada akhirnya, anak-anak kita bukanlah fotokopi dari diri kita. Akan selalu ada kejutan-kejutan di luar kendali kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa dan berharap mereka tumbuh menjadi diri mereka yang terbaik.

Sang ayah dalam perumpamaan ini memberikan teladan yang baik kepada kita. Meskipun telah melakukan yang terbaik untuk membesarkan kedua putranya, dia menghadapi relasi yang menyakitkan dengan keduanya. Anak bungsunya menuntut warisannya, memutuskan hubungan, dan pergi untuk menjalani kehidupan yang penuh dosa. Bayangkan betapa hancurnya hati sang ayah karena putranya memperlakukannya sebagai barang yang bisa dibuang, bukan sebagai orang tua. Anak sulungnya juga tidak lebih baik. Ketika adiknya kembali, dia menolak untuk masuk ke rumah dan bergabung dalam perayaan. Dia tidak pernah memanggil ayahnya dengan sebutan “Ayah,” dan memanggil saudaranya dengan sebutan “anakmu” daripada “saudaraku.” Dia melihat dirinya bukan sebagai anak tetapi sebagai hamba, bahkan berkata, “Lihat! Selama ini saya telah bekerja untukmu seperti seorang budak!” Sekali lagi, hati sang ayah pasti hancur karena ia telah membesarkan seorang anak, bukan seorang budak.

Namun, terlepas dari semua pergulatan ini, sang ayah tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah berhenti berharap anak-anaknya kembali. Ketika anak yang hilang itu pulang dan berharap untuk menjadi seorang hamba, sang ayah adalah orang pertama yang melihat anaknya, berlari mengejarnya, dan memeluknya. Dia memanggilnya “anakku” dan bukan hamba. Ketika anak pertama menolak untuk pulang, sang ayah mencarinya dan memohon kepadanya, memanggilnya “anakku” dan bukan hamba, menjelaskan bahwa semua yang dia miliki, adalah juga milik anaknya.

Banyak dari kita yang dikaruniai anak tetapi mengalami hubungan yang tidak selalu sempurna. Terlepas dari upaya terbaik kita, anak-anak kita mungkin tidak menjadi seperti yang kita harapkan. Beberapa, seperti anak bungsu, menolak cinta kita atau berharap kita pergi. Yang lainnya, seperti anak sulung, melihat kita sebagai bos atau atasan, bukan sebagai orang tua. Namun, perumpamaan ini memanggil kita untuk mengasihi dengan tekun, dan sampai akhir. Itulah orang tua yang sejati. Itulah kekudusan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

Bagaimana kita membesarkan anak-anak kita dengan baik? Bagaimana hubungan kita dengan mereka? Apakah kita menghadapi kesulitan dalam berhubungan dengan anak-anak kita? Bagaimana kita menanggapi tantangan-tantangan ini? Apakah kita mengandalkan kasih karunia Allah untuk membimbing kita?

Musa

Minggu ke-3 Masa Prapaskah [C]

23 Maret 2025

Keluaran 3:1-8a, 13-15

Musa adalah salah satu tokoh terbesar dalam Perjanjian Lama. Ia memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir, menjadi perantara perjanjian Sinai, mengajarkan hukum-hukum Allah, dan bahkan melakukan mukjizat. Kehidupan dan ajarannya dicatat dalam empat kitab: Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Namun, ketika kita melihat lebih dalam ke dalam kehidupannya, kita menemukan bahwa kisahnya tidak selalu tentang kehebatan dan kesuksesan. Musa juga memiliki masa lalu yang kelam.

Musa dilahirkan sebagai suku Lewi pada saat Mesir memerintahkan pembunuhan terhadap semua bayi laki-laki Ibrani. Untuk menyelamatkannya, ibunya menyusun rencana untuk menempatkannya di dalam keranjang di Sungai Nil, di mana ia ditemukan oleh seorang putri Firaun. Putri itu menariknya dari air dan menamainya “Musa” (Kel 2:10). Meskipun lahir sebagai orang Israel, Musa diadopsi oleh sang putri dan dibesarkan sebagai bagian dari keluarga kerajaan, menikmati hak-hak istimewa yang disediakan untuk bangsawan Mesir.

Kisah Musa mungkin saja memiliki “akhir yang bahagia” seandainya ia tidak melibatkan dirinya dalam penderitaan para budak Ibrani. Dia bisa saja hidup dengan nyaman sebagai seorang pejabat Mesir, menikahi seorang wanita Mesir, membesarkan sebuah keluarga, dan menikmati masa tua yang berkelimpahan. Namun, dia tidak bisa mengabaikan ketidakadilan yang menimpa bangsanya. Dalam sebuah momen kemarahan, dia membunuh seorang Mesir yang menindas seorang Israel. Musa percaya bahwa dia telah menyembunyikan kejahatannya, tetapi dia salah. Ketika dia mencoba menengahi perselisihan antara dua orang Israel, mereka justru membongkar rahasianya, mengekspos dia sebagai seorang pembunuh. Kehidupannya yang nyaman hancur, dan dia terpaksa melarikan diri dari Mesir. Setelah ditarik dari air, Musa kini menemukan dirinya tenggelam dalam keputusasaan.

Di Midian, Musa memulai hidup baru. Dia melindungi anak perempuan seorang imam Midian dari gangguan para gembala, dan sebagai tanda terima kasih, imam itu menyambutnya dan memberikan putrinya, Zippora sebagai istri Musa. Hal ini menandai kehidupan Musa yang kedua. Meskipun tidak semewah kehidupannya di Mesir, namun kehidupan Musa di sana terasa tenang. Namun, ketika Musa berusia sekitar 80 tahun, Tuhan menampakkan diri kepadanya di semak yang menyala dan memanggilnya untuk menjadi alat-Nya dalam membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Musa sangat meragukan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang pembunuh dan buronan yang telah mengkhianati kebaikan hati orang Mesir, dan juga tidak mempercayai rekan-rekannya sesama orang Israel. Dia juga sudah tua dan puas dengan kehidupannya di Midian.

Terlepas dari masa lalu Musa yang kelam dan penuh dosa, dan juga penuh keraguannya, Allah tetap memilihnya. Mengapa? Karena kisah Musa pada akhirnya bukanlah tentang Musa, melainkan tentang Allah, yang menebus Israel melalui seorang manusia yang tidak sempurna dan rapuh. Namun, Musa bukanlah sekadar alat. Ketika ia melakukan perjalanan bersama Tuhan, ia juga menemukan penebusannya sendiri.

Seperti Musa, kita juga jauh dari sempurna. Kita lemah dan bergumul dengan dosa dan keterikatan yang tidak teratur. Kita gagal sebagai orang tua, pasangan, anak, dan teman. Kita menyakiti orang lain dan diri kita sendiri. Kita meragukan diri kita sendiri dan sering kali merasa kurang. Namun, Tuhan tetap memilih kita. Dia ingin kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri dan mengundang kita untuk berjalan bersama-Nya untuk menemukan penebusan. Pada akhirnya, kita hanya dapat bersyukur, karena terlepas dari kehancuran dan ketidaksempurnaan kita, Tuhan menjadikan kita indah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Nilai apa yang kita temukan saat kita mengingat cerita tentang Musa?  Apakah kita memiliki kesamaan dengan Musa? Jika ya, apakah itu? Apakah kita memiliki masa lalu yang kelam seperti Musa? Apakah kita mengalami kegagalan seperti Musa? Apakah kita meragukan rencana Allah bagi kita, seperti Musa? Apa yang dapat kita pelajari dari Musa ketika ia menerima panggilan Allah? 

The Spirit and the Test

1st Sunday of Lent [C]

March 9, 2025

Luke 4:1-13

As we begin the season of Lent, we once again reflect on the story of Jesus being tested in the desert for forty days. However, St. Luke’s Gospel provides an interesting detail: it is the Spirit who led Jesus into the desert, a place where He had to fast and face the evil one. What does this mean?

1st Sunday of Lent [C]
March 9, 2025
Luke 4:1-13

As we begin the season of Lent, we once again reflect on the story of Jesus being tested in the desert for forty days. However, St. Luke’s Gospel provides an interesting detail: it is the Spirit who led Jesus into the desert, a place where He had to fast and face the evil one. What does this mean?

By leading Jesus into the desert for forty days, the Spirit of God intended for Jesus to reenact an important event from the Old Testament—the Israelites’ wandering in the desert. Like the Israelites, Jesus also faced challenges and difficulties. The weather was harsh, with intense heat during the day and chilling cold at night. Food and water were scarce, and the desert was home to dangerous animals that threatened human life. Jesus relived the experience of the Israelites, enduring the same harsh conditions. But beyond that, the devil saw an opportunity to test Jesus, knowing that He was physically weak. This was the same evil spirit that tested the Israelites in the desert. St. Luke reveals the three temptations that Jesus faced: hunger (bodily pleasure), worldly wealth, and personal glory.

The Israelites in the desert faced the same three temptations. When they were hungry and thirsty, they grumbled against God, even blaming Him for delivering them from Egypt (Exo 16). When Moses was praying on the mountain, the Israelites demanded a new god, replacing the living God with a golden calf—something materially valuable and attractive, but ultimately lifeless (Exo 32). Some Israelites, filled with pride, sought glory for themselves. Aaron and Miriam tried to claim leadership over Moses (Num 12), while Korah and his followers attempted to usurp the position of high priest (Num 16). By entering the desert and reliving the events of the Exodus, Jesus became the new and perfect Israel. He was physically weak, tested, and tempted, but He did not fall. He even defeated Satan in their first spiritual battle.

The Gospel tells us that Jesus was led by the Spirit into the desert, where He was “tempted” by the devil. Does this mean that it was the Spirit’s will to “tempt” Jesus? The Greek word used here is “πειράζειν” (peirazein), which can be translated as ‘to tempt,’ but also as ‘to test.’ These words are not synonymous, but they are closely related because a period of testing often includes the opportunity for temptation. Just like in school exams, we may feel the urge to cheat.

The Gospel teaches us that God, in His infinite wisdom, does not always shield us from difficult times but allows us to face the trials of life. These trials—such as hunger, financial problems, illness, and difficult relationships—are often used by evil spirits to tempt us to steal, cheat, be unfaithful, and blame God. However, we must remember that Jesus was filled with the Holy Spirit when He entered the desert. The only way to endure the trials of life and protect ourselves from temptation is by relying on the Holy Spirit. When we rely on ourselves, we will surely fail, but with God’s help, we will be victorious, just like Jesus.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide question:
What are our desert experiences? What trials do we need to face in life? What temptations do we often encounter? Do we rely on the Holy Spirit in these difficult times? How can we trust in the Lord more? What wisdom do we gain after enduring trials?

Roh Kudus dan Padang Gurun

Hari Minggu Pertama Masa Prapaskah [C]
9 Maret 2025
Lukas 4:1-13

Ketika kita memulai masa Prapaskah, kita sekali lagi diajak untuk merenungkan kisah Yesus yang diuji di padang gurun selama empat puluh hari. Namun, Injil Lukas memberikan detail yang menarik: Roh Kuduslah yang membawa Yesus ke padang gurun, tempat di mana Ia berpuasa dan menghadapi si jahat. Apa artinya ini?

Dengan membawa Yesus ke padang gurun selama empat puluh hari, Roh Allah bermaksud agar Yesus menghidupkan kembali peristiwa penting dalam Perjanjian Lama, yaitu perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Seperti bangsa Israel, Yesus juga menghadapi tantangan dan kesulitan. Cuaca padang gurun yang sangat keras, dengan panas yang menyengat di siang hari dan dingin yang menusuk tulang di malam hari. Makanan dan air sangat langka, dan padang gurun merupakan rumah bagi binatang-binatang buas yang mengancam kehidupan manusia. Yesus menghidupkan kembali pengalaman bangsa Israel, yang mengalami kondisi yang sama sulitnya. Tetapi selain itu, Iblis melihat kesempatan untuk mencobai Yesus, karena ia tahu bahwa Dia sedang lapar dan lemah secara badani. Ini adalah roh jahat yang sama yang mencobai bangsa Israel di padang gurun. Lukas mengungkapkan tiga pencobaan yang dihadapi Yesus: kenikmatan jasmani (membuat roti), kekayaan duniawi (asal menyembah setan), dan kemuliaan pribadi (dengan mempertunjukkan mukjizat di tempat umum).

Bangsa Israel di padang gurun menghadapi tiga godaan yang sama. Ketika mereka lapar dan haus, mereka bersungut-sungut kepada Allah, bahkan menyalahkan-Nya karena telah membebaskan mereka dari Mesir (Kel. 16). Ketika Musa berdoa di atas gunung, orang Israel menuntut ilah baru, menggantikan Allah yang hidup dengan anak lembu emas-sesuatu yang secara materi berharga dan menarik, tetapi pada akhirnya tidak bernyawa (Kel. 32). Beberapa orang Israel, yang dipenuhi dengan kesombongan, mencari kemuliaan untuk diri mereka sendiri. Harun dan Miryam mencoba mengklaim kepemimpinan atas Musa (Bil. 12), sementara Korah dan para pengikutnya berusaha merebut posisi imam besar (Bil. 16). Dengan memasuki padang gurun dan menghidupkan kembali peristiwa ini, Yesus menjadi Israel yang baru dan sempurna. Secara fisik Dia lemah, diuji, dan dicobai, tetapi Dia tidak jatuh. Dia bahkan mengalahkan Iblis dalam peperangan rohani yang pertama ini.

Injil mengatakan bahwa Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun, di mana Dia “dicobai” oleh Iblis. Apakah ini berarti bahwa adalah kehendak Allah untuk “mencobai” Yesus? Kata Yunani yang digunakan di sini adalah “πειράζειν” (peiratsein), yang dapat diterjemahkan sebagai “menggoda”, tetapi juga “menguji”. “Menggoda” dan “menguji” ini bukan sinonim, tetapi keduanya berkaitan erat karena saat pengujian sering kali mencakup kesempatan untuk godaan. Sama seperti dalam ujian sekolah, kita mungkin merasakan godaan untuk berbuat curang.

Injil mengajarkan kita bahwa Tuhan, dalam hikmat-Nya yang tak terbatas, tidak selalu melindungi kita dari masa-masa sulit, tetapi mengizinkan kita untuk menghadapi ujian hidup. Ujian-ujian ini, seperti kelaparan, masalah keuangan, penyakit, dan relasi yang sulit, sering kali digunakan oleh roh-roh jahat untuk menggoda kita untuk mencuri, menipu, tidak setia, dan menyalahkan Tuhan. Namun, kita harus ingat bahwa Yesus dipenuhi dengan Roh Kudus ketika Dia memasuki padang gurun. Satu-satunya cara untuk bertahan dalam ujian hidup dan melindungi diri kita dari godaan adalah dengan mengandalkan Roh Kudus. Ketika kita mengandalkan diri sendiri, kita pasti akan gagal, tetapi dengan pertolongan Tuhan, kita akan menang, seperti Yesus.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:
Apa saja pengalaman padang gurun kita? Ujian apa yang perlu kita hadapi dalam hidup? Godaan apa yang sering kita hadapi? Apakah kita mengandalkan Roh Kudus di masa-masa sulit ini? Bagaimana kita dapat lebih mengandalkan Tuhan? Hikmat apa yang kita peroleh setelah mengalami pencobaan?

The Covenant

5th Sunday of Lent [B]

March 17, 2024

Jeremiah 31:31-34

 In the bible, the word covenant (in Hebrew בְּרִית (Berit), in Greek διαθήκη (diatheke)) is an agreement between individual, families, tribes or nations. It is commonly used to bind the overlord king and his vassals. The supreme lord was obligated to give protection in times of need, while the vassals must be loyal and pay tributes. At the individual level, a covenant forged a familial bond between the parties. They become brothers, and thus, they must protect and help one another. Or, when the covenant involves man and woman, they become husband and wife, a new family.

Though covenant is a complex reality and even still debated by scholars, one thing is sure: that covenant is an agreement about the ‘exchange of people’ rather than the ‘exchange of items.’ A radical change of their identities is expected for those who enter the covenant. 

The term covenant is a key to understanding the bible because God took the initiative to bind Himself to Israel through covenant. There are several moments where God formed a covenant with Israel, but the most famous one is the covenant at Mount Sinai through the mediation of Moses. The Lord said, “Now, therefore, if you will obey my voice and keep my covenant, you shall be my own possession among all peoples; for all the earth is mine, and you shall be to me a kingdom of priests and a holy nation (Exo 19:5-6).”

The covenant created Israel as a nation under God’s leadership. Thus, Israelites, as citizens of God’s nation, must obey and be faithful to one God alone, that is, the Lord, and follow His Laws. However, the covenant does not only form a king-people relationship but also a family. Often, Israelites are addressed as ‘sons of God’ (see Exo 4:22 and Deu 14:1). And what is even more intriguing is that a marriage relationship is also established through this covenant. Prophet Hosea famously describes the relationship between God and Israelites as husband and wife.

Prophet Jeremiah prophesized that there would be a new covenant (Jer 31:31, first reading). This is fulfilled in Jesus Christ. In the last supper, Jesus said, “This cup that is poured out for you is the new covenant in my blood (Luk 22:20).” One of the main purposes Jesus offered up himself at the cross is to forge and ratify this new covenant. Since the divine blood of Christ ratifies it, the covenant is everlasting and unbreakable.

Jesus offers us a covenant despite our unworthiness. Through faith and baptism, we enter the covenant, and our identity is radically transformed. The Lord is our God, and we become the people of the Kingdom of God. Yet, because of the same covenant, we are also His children, and we have a right to call God ‘our Father’. Moreover, a marriage is established. The Church is the spouse of Christ, and Christ loves His spouse so much to the point of giving His life for her. As the people of the new covenant, constantly renewed in the Eucharist, do we need to behave ourselves as obedient and loving children to our Father? Do we act as a faithful and loving spouse to Christ, our bridegroom?

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Perjanjian Baru

Minggu ke-5 Masa Prapaskah [B]

17 Maret 2024

Yeremia 31:31-34

Dalam Alkitab, kata perjanjian memiliki arti khusus (dalam bahasa Ibrani בְּרִית (Berit), dalam bahasa Yunani διαθήκη (diatheke), dan bahasa inggris covenant). Ini adalah sebuah ikatan yang dibuat antara individu, keluarga, suku atau bangsa. Perjanjian ini biasanya digunakan untuk mengikat raja yang lebih berkuasa dan raja-raja yang tunduk padanya. Raja tertinggi berkewajiban untuk memberikan perlindungan saat dibutuhkan, sementara raja bawahan harus setia dan membayar upeti. Pada tingkat individu, perjanjian membentuk ikatan kekeluargaan. Mereka menjadi saudara, dan dengan demikian, mereka harus saling melindungi dan membantu. Atau, ketika perjanjian itu melibatkan pria dan wanita, mereka menjadi suami dan istri, sebuah keluarga baru.

Meskipun perjanjian adalah sebuah realitas yang kompleks dan bahkan masih diperdebatkan oleh para ahli, satu hal yang pasti: perjanjian adalah sebuah kesepakatan tentang ‘pertukaran orang’ dan bukan ‘pertukaran barang’. Sebuah perubahan radikal dari identitas terjadi pada mereka yang masuk ke dalam perjanjian. 

Istilah perjanjian adalah kunci untuk memahami Alkitab karena Allah mengambil inisiatif untuk mengikatkan diri-Nya dengan Israel melalui perjanjian. Ada beberapa momen di mana Tuhan membentuk perjanjian dengan Israel, tetapi yang paling terkenal adalah perjanjian di Gunung Sinai melalui perantaraan Musa. Tuhan berfirman, “Jadi, sekarang, jika kamu mendengarkan suara-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi milik kepunyaan-Ku sendiri di antara segala bangsa, sebab seluruh bumi ini adalah kepunyaan-Ku, dan kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus (Kel. 19:5-6).”

Perjanjian tersebut menjadikan Israel sebagai sebuah bangsa di bawah kepemimpinan Allah. Dengan demikian, orang Israel, sebagai warga dari bangsa Allah, harus taat dan setia kepada satu Allah saja, yaitu Tuhan, dan mengikuti hukum-hukum-Nya. Namun, perjanjian tersebut tidak hanya membentuk hubungan raja-rakyat tetapi juga keluarga. Sering kali, orang Israel disebut sebagai ‘anak-anak Allah’ (lihat Kel. 4:22 dan Ul. 14:1). Dan yang lebih menarik lagi adalah bahwa hubungan pernikahan juga terjalin melalui perjanjian ini. Nabi Hosea menggambarkan hubungan antara Tuhan dan bangsa Israel sebagai suami dan istri.

Nabi Yeremia menubuatkan bahwa akan ada perjanjian yang baru (Yer. 31:31, bacaan pertama). Hal ini digenapi di dalam Yesus Kristus. Pada perjamuan terakhir, Yesus berkata, “Cawan yang ditumpahkan bagi kamu ini adalah perjanjian baru dalam darah-Ku (Luk 22:20).” Salah satu tujuan utama Yesus mengorbankan diri-Nya di kayu salib adalah untuk mengesahkan perjanjian yang baru ini. Karena darah ilahi Kristus mengesahkannya, maka perjanjian tersebut bersifat kekal dan tak terhapuskan.

Yesus menawarkan kepada kita sebuah perjanjian meskipun kita tidak layak. Melalui iman dan baptisan, kita masuk ke dalam perjanjian, dan identitas kita diubahkan secara radikal. Tuhan adalah Allah kita, dan kita menjadi umat Kerajaan Allah. Namun, karena perjanjian yang sama, kita juga adalah anak-anak-Nya, dan kita memiliki hak untuk memanggil Tuhan sebagai ‘Bapa kami’. Selain itu, sebuah pernikahan telah terjalin. Gereja adalah mempelai Kristus, dan Kristus sangat mengasihi mempelai-Nya sampai memberikan hidup-Nya untuk kita. Sebagai umat perjanjian yang baru, yang terus-menerus diperbarui di dalam Ekaristi, apakah kita sudah bersikap sebagai putra-putri yang taat dan mengasihi Bapa kita? Apakah kita bertindak sebagai Gereja, sang mempelai, yang setia dan penuh kasih kepada Kristus, mempelai laki-laki kita?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP