Minggu Biasa ke-26 [1 Oktober 2017] Matius 21: 28-32
“Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” (Mat 21:31)
St. Bernardus dari Clarivaux pernah berpendapat bahwa Jalan menuju neraka dibuat dengan niat baik. Ucapannya mungkin terdengar agak mengerikan, tapi dia berbicara sebuah kebenaran. Jika kita hanya memiliki niat baik atau rencana yang luar, tapi kita tidak pernah bergerak untuk memulai langkah pertama, tidak akan terjadi apa-apa. Kita ingin fokus pada pendidikan kita, namun kita terus terganggu oleh status di Facebook, Online chat, atau menonton ribuan video di YouTube, maka kita tidak akan membuat kemajuan. Kita ingin menyelesaikan banyak pekerjaan di tempat kerja, tapi perhatian dan energi kita terkonsumsi oleh begitu banyak hal-hal lain. Maka, niat baik kita tetaplah sebuah niat.
Perumpamaan pada hari Minggu ini berbicara tentang niat baik yang sama sekali tidak berguna jika tidak terwujud dalam tindakan nyata. Namun, lebih dari sekedar mencapai produktivitas, perumpamaan tersebut mengajarkan kita sebuah kebenaran yang lebih primordial. Di akhir perumpamaan ini, Yesus bertanya kepada para penatua bangsa Yahudi, “Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Perumpamaan ini mengajarkan kita tentang melakukan kehendak Bapa.
Dari kedua anak tersebut, kita belajar bahwa melakukan kehendak Tuhan bisa menjadi sangat sulit dan penuh tuntutan. Saya pernah menjalani program “live-in” dengan keluarga petani di Wonosari, Yogyakarta. Saya tinggal dengan keluarga yang menggarap tanah mereka yang kecil dan terkesan tandus. Setiap pagi, mereka pergi ke ladang dan memastikan tanaman mereka masih hidup. Tugas saya adalah membantu mereka di ladang. Namun, karena terbiasa dengan kehidupan seminari, saya hanya mampu bertahan selama satu jam bekerja di bawah terik matahari, dan kemudian hanya beristirahat sambil melihat keluarga ini bekerja sangat keras. Saya membayangkan bahwa kedua anak dalam perumpamaan ini mengetahui bekerja di kebun anggur tidaklah mudah, dan mereka tidak menyukai hal ini. Anak pertama segera menolak keinginan ayahnya, sementara anak kedua mengatakan ya, namun tidak jadi berangkat.
Kita mungkin bertanya-tanya mengapa anak kedua berubah pikiran. Mungkin, dia tidak punya rencana untuk bekerja di sana, dan apa yang dia katakan adalah kebohongan belaka. Namun, saya cenderung percaya bahwa sebenarnya dia memiliki niat baik untuk memenuhi tugasnya, namun dia berkecil hati setelah membayangkan kesulitan yang akan dia hadapi di kebun anggur, dan akhirnya tidak melakukan apa-apa. Mungkin banyak dari kita yang seperti anak kedua ini. Kita ingin membantu lebih banyak Gereja kita, namun kita selalu terlambat menghadiri misa, mengeluh tentang homili pastor, dan tidak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan atau organisasi di paroki. Kita ingin memuliakan Tuhan, namun hidup kita tidak mencerminkan kehidupan seorang Kristiani yang baik karena kita menikmati gosip, iri dengan anggota Gereja lainnya, dan pilih-pilih dalam pelayanan kita. Tak heran bagi beberapa orang, Gereja terasa seperti neraka!
Kita ingat bahwa kedua orang ini adalah anak dari pemilik kebun anggur dan dengan demikian, kebun anggur itu sejatinya adalah milik mereka. Jika mereka menolak bekerja, mereka akan kehilangan kebun anggur mereka. Keluarga petani tempat saya tinggal beberapa waktu, bekerja sangat keras meski mengalami banyak kesulitan. Saya menyadari bahwa semua ini mereka lakukan karena tanah mereka yang kecil memberi mereka kehidupan. Melakukan kehendak Tuhan sering kali penuh kesulitan, namun pada akhirnya, semua untuk kebaikan kita. Saya percaya tidak terlambat untuk mewujud nyatakan niat baik kita, dan dari anak kedua, kita bisa berubah menjadi anak pertama. Kita bekerja di kebun anggur Tuhan karena kebun anggur itu adalah milik kita juga.
Frater. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Jesus is the storyteller genius. The parable he shares to us today does not only surprise us with its unexpected ending, but it also creates a sense of puzzlement and wonder. We expect that the workers who labored the whole day would get the better wage compared to those who came late. Yet, it did not happen. All got the same wage regardless of their working hours. The vineyard owner was right to explain that he did not violate the agreement with his laborers, but deep inside us, there is something quite off. If we were militant enough, we would stage a rally to protest the vineyard owner’s decision.
Yesus adalah seorang pencerita yang luar biasa. Perumpamaan Yesus hari ini tidak hanya mengejutkan kita dengan akhir yang tak terduga, tapi juga membuat kita bertanya-tanya. Kita berharap para pekerja yang bekerja sepanjang hari akan mendapatkan upah yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang terlambat datang. Namun, itu tidak terjadi. Semua mendapat upah yang sama. Pemilik kebun anggur menjelaskan bahwa dia tidak melanggar kesepakatan dengan para pekerja, tapi di dalam lubuk hati kita, kita merasa ada sesuatu yang salah.
Why is it difficult to forgive? One of the reasons is that after we are wronged, the immediate reaction is to seek justice or even revenge. We want that the pain and the loss we experienced are also felt by those who inflicted them on us. We want “a tooth for a tooth, an eye for an eye”. Unfortunately, consumed by anger and hatred, our cry for justice can easily turn into an intense desire of revenge. If justice seeks to balance scale, revenge seeks to inflict a greater punishment, or even to destroy those who have harmed us. Unless we get what is due, unless they receive what they deserve, there is no forgiveness.
Mengapa sulit untuk memaafkan? Salah satu alasannya adalah bahwa setelah kita disakiti, reaksi kita adalah untuk mencari keadilan. Kita ingin apa rasa sakit yang kita alami juga dirasakan oleh orang-orang yang melakukannya pada kita. Kita ingin “gigi ganti gigi, mata ganti mata”. Terkadang, termakan oleh kemarahan dan kebencian, usaha kita untuk mencari keadilan dapat dengan mudah berubah menjadi keinginan membalas dendam. Jika rasa keadilan berusaha untuk menyeimbangkan skala, balas dendam berusaha untuk memberi hukuman yang lebih besar, atau bahkan untuk menghancurkan orang-orang yang telah merugikan kita. Jika kita tidak mendapatkan apa yang semestinya, jika mereka tidak menerima apa yang layak mereka dapatkan, tidak ada pengampunan.
Jesus understands that in any human community, including His own community of disciples, or the Church, there are always members affected by human weakness and sinfulness. Even in the Christ-oriented communities like the religious convents, the parishes, and various ministries and groups in the Church, inevitably we are hurting each other. Thus, Jesus, the Just God and merciful man, outlines a procedure or ‘fraternal correction’ to deal with misunderstanding, quarrels, and conflicts. It begins with the individual and personal encounter, then when it does not work, we ask the help of a witness or mediator, and lastly it goes up to the community level.
Yesus mengerti bahwa komunitas manusia, termasuk komunitas murid-murid-Nya sendiri, atau Gereja, akan selalu dipengaruhi oleh kelemahan manusia dan dosa. Bahkan di dalam komunitas yang berorientasi pada Kristus, seperti biara, paroki, dan berbagai pelayanan dan kelompok di Gereja, tak dapat dihindari bahwa kita saling menyakiti. Dengan demikian, Yesus menguraikan sebuah prosedur rekonsiliasi untuk mengatasi kesalahpahaman, pertengkaran, dan konflik. Ini dimulai dengan dialog pribadi atau empat mata, kemudian ketika hal itu tidak berhasil, kita meminta bantuan seorang saksi atau mediator, dan masih belum berhasil, kita naik ke tingkat komunitas.
We come to one of the most heated exchange of words in the Gospel, and this occurs no less than between Jesus and Simon Peter. The apostle rebukes Jesus for revealing to the disciples that he has to go Jerusalem, suffer and die, but be raised on third day. In return, Jesus reproofs him and calls him Satan. Why does this harsh quarrel take place between Jesus, the most merciful Lord, and his trusted disciple, Simon whom he has just declared as the Rock?
Kita mendengar sebuah pertukaran kata-kata yang paling panas dalam Injil, dan ini tidak tanggung-tanggung karena melibatkan Yesus dan Simon Petrus. Sang Rasul menegur Yesus karena telah menyatakan kepada murid-murid bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem, menderita dan dibunuh, tetapi bangkit pada hari ketiga. Sebaliknya, Yesus menegur Petrus dan memanggilnya “Setan”. Mengapa pertengkaran yang hebat ini terjadi antara Yesus, yang adalah Tuhan yang maha pengasih, dan muridnya yang terpuji, Simon yang baru saja dinyatakan sebagai batu karang Gereja?
Today’s Gospel is well known as the Confession of Peter. Jesus asks the disciples who He is, and Simon confesses that Jesus is the Christ, the Son of the living God. He gets it right, and Jesus Himself reveals that his answer does not come from his human weakness, but from the heavenly Father. I used to think that this revelation is an instant inception of divine idea inside Simon’s mind. Right there and then, like Archimedes who discovered the Law of Hydrostatic, Simon also shouts “Eureka! I have found it!”