Minggu Biasa ke-21 [27 Agustus 2017] Matius 16:13-20
“Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Mat 16:16)”
Yesus bertanya kepada murid-murid siapakah Dia, dan Simon menjawab bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah yang hidup. Simon Petrus menjawab dengan benar, dan Yesus sendiri mengungkapkan bahwa jawabannya tidak berasal dari kelemahan manusiawi, namun dari Bapa di surga. Dulu saya berpikir bahwa pewahyuan ini terjadi secara instan di dalam pikiran Simon. Seperti Archimedes yang menemukan Hukum Hidrostatis, Simon juga berteriak “Eureka! Aku telah menemukannya!”
Namun, ada juga bentuk pewahyuan yang berbeda. Ini bukan sekedar ide instan, tapi sebuah pewahyuan yang melibatkan seluruh hidup Simon Petrus dan juga partisipasi aktifnya. Simon mampu merumuskan jawabannya karena Tuhan telah menuntunnya untuk bertemu dengan Yesus, dan Simon sendiri memutuskan untuk mengikuti-Nya dan hidup sebagai murid-Nya. Wahyu datang melalui proses panjang untuk mendengarkan, menyaksikan dan memahami sang guru. Simon Petrus melihat mukjizat Yesus. Dia mendengar ajaran Yesus. Dia merasakan belas kasih Yesus bagi orang miskin dan orang-orang yang menderita. Simon secara bertahap mengenali Yesus secara pribadi dan mendalam. Pengakuan Simon terlahir dari pengenalan dan persahabatan yang mendalam. Dia tahu kisah Yesus, dan pada saat yang tepat, dia siap untuk membagikan kisahnya tentang Yesus kepada sesama.
Ini tidak jauh dari pengalaman sehari-hari kita. Ketika kita berbicara kepada orang yang kita cintai atau sahabat dekat, kita tidak hanya memanggil mereka dengan nama biasa, tapi juga nama-nama yang dijiwai oleh cerita kita yang mendalam. Ibu saya memanggil saya “Bayu”, tapi saya tahu ini sangat berbeda dari orang asing yang memanggil nama saya. Sering kali, kita juga memiliki panggilan khas yang hanya orang-orang terdekat kita yang tahu. Nama-nama ini indah karena terlahir dari sebuah cerita mendalam. Sungguh, kemanusiaan kita terlahir karena kemampuan kita untuk mengumpulkan cerita kita bersama dan untuk membagikannya dengan percaya diri.
Oleh karena itu, ini adalah sebuah pelanggaran serius terhadap kemanusiaan kita saat kita tidak memperdulikan kisah-kisah hidup sesama, dan menamai mereka dengan kata-kata yang tidak pantas. Penolakan kita untuk mengenali cerita sesama sebenarnya adalah akar dari banyak diskriminasi, seperti rasisme, seksisme, dan fundamentalisme. Yang terburuk adalah saat kita menghapus semua nama dan cerita di baliknya. Victor Frankl, penulis buku “Man’s Search for Meaning” pernah menjadi narapidana di kamp-kamp Nazi. Dia meriwayatkan bagaimana para napi kehilangan nama mereka dan angka menjadi identitas mereka, seperti tahanan 1234, dan lambat laun mereka juga kehilangan kemanusiaan mereka, karena mereka diperlakukan, disiksa dan dieksekusi sebagai angka belaka.
Perang melawan narkoba di Filipina telah menjadi salah satu yang paling berdarah dalam sejarah Filipina. Ribuan orang terbunuh, baik tersangka, aparat penegak hukum, dan bahkan warga sipil yang tidak berdosa. Namun, banyak yang tidak peduli, “Ini hanya angka dan statistik.” Sampai Kian, seorang siswa remaja, dibunuh tanpa belas kasihan oleh petugas penegak hukum, dan kejadian yang terekam di kamera CCTV membangunkan hati nurani bangsa ini. Investigasi pun diadakan oleh DPR Filipina, dan orang tua Kian bertemu para terduga pembunuh putra mereka. Dalam pertemuan ini, orang tua menceritakan kisah Kian sebagai anak laki-laki biasa dan bercita-cita menjadi polisi. Kian mulai muncul menjadi manusia dengan kisah, harapan dan impiannya, bukan hanya sekedar angka tak berwajah yang bisa dihapus kapan saja. Dan, sang ibu mengakhiri kisahnya dengan mengatakan kepada para tersangka dalam bahasa tagalog, “Ama ka rin (Anda juga seorang ayah).” Ini bukan hanya ketukan bagi hati nurani mereka, tapi juga mengingatkan kita bahwa setiap kali kita gagal mendengarkan kisah sesama, kita gagal sebagai manusia.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP



Why does Jesus, the compassionate man and just God, have to “humiliate” the Canaanite woman? If we put ourselves in the context of Jesus’ time and culture, we will understand that what Jesus does is just expected of him. Jesus is dealing with a woman of gentile origin. Generally, Jews avoid contacts with the non-Jews, and a Jewish man does not engage in dialogue with a woman who is not his wife or family in public. Jesus does what every Jewish man has to do. However, in the end, Jesus praises the woman’s faith and heals her daughter. Eventually, mercy overcomes differences and love conquers all.


Ocean is a gift to humanity. For many of us, ocean means a great variety of seafood, a place to spend our vacation. When we imagine a vast sea with beautiful beach, we are ready to enjoy swimming, snorkeling or diving. However, for millions of fishermen and seafarers, sea simply means life as they depend their lives and their families on the generosity of the sea, the resources it offers, and the works it generates. Unfortunately, the sea is not always merciful. The sea is home to powerful storms and with its giant waves that can even engulf the biggest of ships. With the effects of global warming, massive sea pollution and destructive ways of fishing, it is getting hard to get a good catch. Novelist Ernest Hemingway in his book “The Old Man and the Sea” narrates a life of fisherman who after risking his life to catch a giant fish, brings home nothing but a fishbone as his catch was consumed by other fishes. Majority of fishermen who continue struggling with lingering debt and difficulty to get fuel for their boats, become poorer by the day. These make fishermen and seafarers a perilous profession.
Laut adalah anugerah bagi umat manusia. Bagi banyak dari kita, laut berarti berbagai macam seafood, dan tempat untuk menikmati liburan. Bila kita membayangkan lautan luas dengan pantai yang indah, kita siap untuk berenang, snorkeling atau menyelam. Namun, ini jauh berbeda bagi jutaan nelayan dan pelaut. Laut berarti kehidupan karena mereka menggantungkan hidup mereka dan keluarga mereka pada laut, baik sumber daya yang dimiliki dan perkerjaan yang dihasilkan. Sayangnya, laut tidak selalu berarti kehidupan. Laut adalah tempat bagi badai-badai dahsyat dan gelombang-gelombang raksasa yang bahkan bisa menelan kapal-kapal terbesar yang pernah dibangun manusia. Dengan efek pemanasan global, polusi laut yang masif dan cara-cara penangkapan ikan yang merusak alam, sekarang semakin sulit bagi nelayan sederhana untuk mendapatkan tangkapan yang baik. Penulis Ernest Hemingway dalam bukunya “The Old Man and the Sea” menceritakan tentang kehidupan nelayan tua yang setelah mempertaruhkan nyawanya untuk menangkap ikan raksasa, tidak membawa pulang apapun kecuali tulang ikan karena tangkapannya dihabisi oleh ikan-ikan lain. Mayoritas para nelayan terus berjuang dengan hutang dan sulitnya mendapatkan bahan bakar untuk perahu mereka. Merekapun menjadi semakin miskin dari hari ke hari. Hal ini membuat nelayan dan pelaut adalah profesi yang berbahaya.
This Sunday, the Church is celebrating the feast of Transfiguration. The word ‘transfiguration’ comes from Matthew who writes Jesus transfigures before the three disciples, Peter, James and John, his face shines like the sun and his clothes become white as light (17:2). The word “transfigure” is the direct transliteration of the Latin Vulgate Bible “transfigurare”. It is a combination of two words “trans” meaning to across, and “figura” meaning figure. Thus, transfiguration literally means the change of figure. It is a fitting word to describe what happens to Jesus.
Minggu ini, Gereja merayakan Pesta Yesus yang menampakkan kemulian-Nya yang juga dikenal sebagai Transfigurasi. Kata “transfigurasi” adalah transliterasi dari kata Latin “transfigurare” yang digunakan oleh Alkitab Latin Vulgata. Ini adalah kombinasi dua kata “trans” yang berarti melintasi, dan “figura” yang berarti bentuk atau figur. Dengan demikian, transfigurasi secara harfiah berarti bahwa perubahan bentuk atau figur. Ini adalah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi pada Yesus di Gunung tinggi.
From today’s parables, we learn that Jesus appreciates human labor, the use of technology, and economic activities. The parables speak of men buying and selling land, merchants making transactions, and fisher folk catching and selecting the fish. Yet, the appreciation comes with a particular condition: the activities have to be honest and just.
Dari perumpamaan-perumpamaan hari ini, kita menyadari bahwa Yesus sejatinya menghargai kerja, kemampuan mengunakan teknologi dan kegiatan ekonomi manusia. Perumpamaan-perumpamaan tersebut berbicara tentang seseorang yang membeli dan menjual tanah, pedagang melakukan transaksi, dan nelayan menangkap dan memilih ikan mengunakan jaring. Namun, apresiasi Yesus hadir dengan sebuah kondisi: aktivitas manusia ini harus jujur dan juga adil.
From the several parables that Jesus tells us in today’s Gospel, we learn that Jesus is keen on how nature works. He observes how seeds of wheat and weed grow, and how the yeast would affect the dough in the process of baking. Jesus also is observant of human ingenuity in working with nature for the benefit of the human community. Men and women till the land, are observant to the cycle of nature, sow the well-prepared seeds, take care of the growth and then harvest the result for the good of community. The use of yeast for baking is a very ancient method of cooking. Women would place yeast in dough, and the microorganism would interact with the carbohydrate in the flour, creating carbon dioxide, and as an effect, the leaven dough would expand. Though unleavened bread will last longer, this yeast would make the bread softer and tastier, making it more enjoyable for human consumption.