Raja di Salib

Hari Raya Tuhan Yesus Kristus, Raja Semesta Alam

23 November 2025

Lukas 23:35-43

Seiring dengan berakhirnya tahun liturgi, Gereja mengajarkan sebuah kebenaran yang mendalam: Yesus Kristus adalah Raja. Namun, apa arti hal ini?

Hidup Yesus sepertinya bertolak belakang dengan setiap konsep duniawi tentang seorang raja. Dia bukanlah raja yang memimpin pasukan yang kuat atau mengendalikan sumber daya yang luas. Sungguh, Dia tidak memiliki tentara maupun emas. Bahkan, Dia wafat dengan cara yang paling memalukan, dipaku di salib, dan diolok-olok sebagai raja palsu, mesias tak berguna! Sebagian besar murid-Nya telah melarikan diri, meninggalkan hanya beberapa wanita setia yang menyaksikan akhir tragis-Nya. Jadi, kita harus bertanya: raja seperti apakah Yesus ini?

Jawaban itu terungkap tepat di salib. Di sini, di tengah ketidakadilan dan ejekan, Yesus mendefinisikan ulang arti menjadi seorang raja. Bahkan dua penjahat yang disalibkan di samping-Nya awalnya ikut mengejek (Mrk 15:32). Namun, sesuatu yang luar biasa terjadi. Salah satunya mengalami perubahan hati dan berpaling kepada Yesus, berkata, “Yesus, ingatlah aku ketika Engkau datang ke dalam Kerajaan-Mu (Luk 23:42).” Di saat keputusasaan yang mendalam ini, “penjahat yang baik” mengakui Yesus sebagai raja sejati di takhta-Nya.

Apa yang menyebabkan perubahan dramatis ini? Kunci jawabannya terdapat dalam kata-kata pencuri itu kepada penjahat yang lain: “Tidakkah kamu takut kepada Allah, padahal kamu berada di bawah hukuman yang sama? Kami dihukum dengan adil, karena kami menerima apa yang pantas kami dapatkan atas perbuatan kami, tetapi orang ini tidak bersalah (23:40-41).” Dia tahu Yesus tidak bersalah.

Namun, lebih dari sekadar ketidakbersalahan Yesus, pencuri yang baik melihat sesuatu yang lebih dalam. Ia menyaksikan kasih yang mendalam dan bahkan tak terselami. Di tengah ketidakadilan, ia tidak mendengar kutukan atau kata-kata pahit dari Yesus. Sebaliknya, ia mendengar, “Bapa, ampunilah mereka; sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (23:34).” Sementara dunia melemparkan amarah, kebencian, dan kekerasan kepada-Nya, Yesus tidak memperbesar hal itu dengan balas dendam. Ia menerimanya, membiarkannya berhenti pada-Nya, dan menjawab dengan kata-kata pengampunan.

Pencuri yang baik menyadari bahwa kekuatan sejati bukanlah kemampuan untuk menimbulkan penderitaan, untuk memperkaya diri sendiri, atau untuk memperoleh lebih banyak kekuasaan, melainkan kekuatan untuk menanggung penderitaan dan mengubahnya menjadi kesempatan untuk mengasihi. Yesus, yang telah dilucuti dari segala kekuatan duniawi, menggunakan senjata terbesar: kasih dalam pengorbanan diri. Dia menunjukkan bahwa bahkan salib pun tidak dapat menghentikan-Nya untuk mengasihi—bahkan mengasihi mereka yang ingin menghancurkan-Nya.

Dan dalam momen pengakuan dan permohonan yang rendah hati—“ingatlah aku”—Sang Raja menunjukkan kuasa-Nya yang sejati. Yesus tidak hanya menjanjikan imbalan di masa depan; Dia menyatakan kenyataan saat ini: “Hari ini engkau akan bersama-Ku di Firdaus.” Yesus, sang Raja, mengubah momen tergelap seorang penjahat yang dihukum mati menjadi sebuah Firdaus.

Inilah kuasa Kristus, Raja kita. Ia mengundang kita, seperti pencuri yang baik, untuk menerima kuasa-Nya dan menghidupi hukum kasih. Ketika kita melakukannya, Dia mulai melakukan transformasi dalam diri kita, mengubah momen-momen penderitaan, kebingungan, dan dosa kita menjadi awal dari Firdaus, yang adalah Kerajaan-Nya.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan untuk Refleksi:

•    Warga Kerajaan Allah adalah pembawa damai yang mencari keadilan tanpa kekerasan. Ketika orang lain menyakiti kita, apa respons kita? Apakah kita menghindar dari mereka, menginginkan mereka menderita, atau berusaha menyakiti mereka dengan cara yang sama? Atau apakah kita, seperti Raja kita, berdoa untuk pertobatan mereka?

•    Warga Kerajaan Allah adalah orang-orang yang murni hatinya. Apa yang memenuhi hati kita? Apakah kebencian, kepahitan, dan amarah? Atau apakah pengampunan, belas kasih, dan hal-hal ilahi?

Pekerjaan sebagai Berkat

Minggu Biasa ke-33 [C]

16 November 2025

2 Tesalonika 3:7-12

Bekerja merupakan bagian esensial dari kehidupan manusia. Kita dapat mendefinisikannya sebagai aktivitas yang membutuhkan usaha untuk menyelesaikan suatu tugas, baik itu mengumpulkan makanan, membangun rumah, atau merawat orang lain. Namun, bekerja bukanlah hal yang unik bagi manusia. Di dunia hewan, kita melihat kerja keras yang luar biasa: lebah pekerja membangun, membersihkan, dan melindungi sarang mereka, mencari nektar, bahkan mengatur suhu sarang, sementara berang-berang membangun bendungan kompleks sebagai tempat tinggal aman dan tempat penyimpanan makanan selama musim dingin.

Meskipun kita dan hewan sama-sama bekerja, ada perbedaan mendasar. Sebagian besar hewan bekerja berdasarkan insting untuk memastikan kelangsungan hidup dan kelangsungan spesies mereka. Sementara, tujuan kita dalam bekerja bukan hanya sekedar demi kelangsungan hidup. Kita bekerja juga untuk berkembang dan membangun dunia yang lebih baik bagi diri kita sendiri dan anak-anak kita. Hal ini dimungkinkan karena anugerah unik yang kita miliki, yakni akal budi. Dengan akal budi, kita mampu memahami rahasia alam semesta, dan kemudian membangun alat, dan mengembangkan teknologi untuk memanfaatkan alam demi kebaikan bersama.

Akal budi ini adalah anugerah fundamental dari Allah, yang diberikan kepada kita sebagai makhluk yang diciptakan menurut citra-Nya. Melalui akal budi ini, kita diberi kuasa untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah sendiri. Dalam Kejadian 1:28, Allah memerintahkan Adam dan Hawa untuk “menaklukkan” bumi. Penaklukan ini bukan izin untuk merusak, melainkan panggilan untuk menjadi pengelola yang baik. Hal ini dijelaskan lebih lanjut di Kejadian 2:15, di mana Allah menempatkan Adam di taman “untuk melayani dan menjaga taman itu.” Tugas pria dan wanita adalah menggunakan akal budi yang diberikan Allah untuk mengolah dunia sesuai kehendak-Nya—untuk kebaikan semua orang, termasuk generasi mendatang, dan melindunginya dari keserakahan dan eksploitasi manusia.

Ketika kita bekerja dengan jujur dan tekun, kita benar-benar menjadi rekan kerja Allah dalam membangun dunia yang lebih baik. Dengan berpartisipasi dalam pekerjaan suci-Nya, usaha kita sendiri menjadi sarana pengudusan kita. Itulah mengapa Santo Paulus dengan tegas menegur orang-orang Tesalonika yang meninggalkan pekerjaan dan bergantung pada orang lain untuk penghidupan mereka (2 Tes 3:10). Kemalasan tidak memiliki tempat dalam rencana Allah; bahkan, ini termasuk di antara tujuh dosa pokok.

Namun, kesalahpahaman tentang tujuan kerja juga menimbulkan bahaya spiritual. Ketika pekerjaan menghabiskan sebagian besar waktu dan energi kita, kita dapat mulai mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan profesi kita. Kita menghadapi risiko untuk percaya bahwa “kita adalah apa yang kita lakukan.” Kitapun hidup dalam ketakutan kehilangan pekerjaan, keunggulan kompetitif, atau kemampuan untuk mencapai kesuksesan. Terkadang, kita bahkan tenggelam dalam pekerjaan, bersembunyi di balik gelar “pekerja yang sukses” untuk menghindari tanggung jawab lain atau bahkan untuk menyembunyikan kegagalan kita sebagai seorang suami atau ayah.

Inilah kebijaksanaan mendalam dari istirahat Allah pada hari ketujuh (Kej 2:1-3). Allah tidak beristirahat karena lelah, tetapi untuk mencontohkan kebebasan yang harus kita klaim: kita tidak boleh menjadi budak pekerjaan kita. Identitas kita jauh lebih besar daripada profesi kita. Meskipun pekerjaan memberi makna pada hidup kita, itu bukanlah makna satu-satunya, dan tentu saja bukan makna akhir kita. Pada hari istirahat, kita diundang untuk meletakkan status, prestasi, dan kesuksesan kita, dan mengingat identitas utama kita sebagai anak-anak yang dikasihi Allah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan untuk Refleksi:

  • Bagaimana saya memandang pekerjaan dan profesi saya? Apakah itu panggilan, sekadar pekerjaan, atau sesuatu yang lain?
  • Ketika saya takut kehilangan pekerjaan, apa sumber sebenarnya dari ketakutan itu? Apakah itu kehilangan stabilitas finansial, atau ketakutan yang lebih dalam akan kehilangan arah dan identitas saya?
  • Apakah saya benar-benar mengamalkan hari istirahat, meletakkan pekerjaan untuk terhubung kembali dengan Allah dan orang-orang terkasih, atau apakah saya membiarkan pekerjaan mengganggu waktu kudus ini?

Work as Gift

33rd Sunday in Ordinary Time [C]

November 16, 2025

2 Thessalonians 3:7-12

Work is an essential part of being human. We can define it as an effortful activity aimed at accomplishing a task, whether that be gathering food, building a home, or caring for another person. Yet, work is not a uniquely human endeavor. In the animal kingdom, we see remarkable industry: worker bees build, clean and protect their hives, forage for nectar, and regulate the hive’s temperature, while beavers construct complex dams that provide safe shelter and store food during winter.

While we share this impulse for labor with the animal world, there is an essential difference. Most animals work by instinct to ensure their survival and the propagation of their species. Our purpose in work, however, transcends mere survival. We work not only to preserve our lives but to improve them and build a better world for ourselves and our children. This is possible because of the unique gift of intellect, which allows us to comprehend the mysteries of nature, build tools, and develop technologies to use nature for the common good.

This intellect is a fundamental gift from God, bestowed upon us as beings made in His image. Through it, we are empowered to participate in God’s own work of creation. In Genesis 1:28, God instructed our first parents to “subdue” the earth. This “subduing” is not a license for destruction but a call to stewardship. This is clarified in Genesis 2:15, where God placed Adam in the garden “to serve and to guard it.” It is the duty of men and women to use our God-given intellect to cultivate the world according to His will—for the benefit of all, including future generations, and as protection against human greed and exploitation.

When we work honestly and diligently, we truly become God’s co-workers in building a better world. By participating in His holy work, our own labor becomes a means of our sanctification. This is why St. Paul so sharply rebukes the Thessalonians who abandoned work and relied on others for their sustenance (2 Thes 3:10). Laziness has no place in God’s plan; in fact, it is counted among the seven deadly sins.

However, a misunderstanding of work’s purpose also poses a spiritual danger. When our work occupies the majority of our time and energy, we can begin to derive our entire identity from our profession. We risk believing that “we are what we do,” living in fear of losing our job, our competitive edge, or our ability to achieve and be successful. At times, we may even bury ourselves in work, hiding behind the title of a “successful professional” to escape other responsibilities or even to hide from our failures as a present spouse or a loving parent.

This is the profound wisdom of God’s rest on the seventh day (Gen 2:1-3). He did not rest because He was weary, but to model for us the freedom we must claim: we must not become slaves to our work. Our identity is far greater than our profession. While work gives our lives meaning, it is not our only meaning, and certainly not our ultimate one. On the day of rest, we are invited to lay aside our status, our achievements, and our successes, and to remember our primary identity as beloved sons and daughters of God.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Questions for Reflection:

  • How do I view my work and profession? Is it a vocation, a mere job, or something else?
  • When I fear losing my job, what is the true source of that fear? Is it the loss of financial stability, or a deeper fear of losing my sense of purpose and identity?
  • Do I truly observe a day of rest, setting aside my work to recharge and reconnect with God and my loved ones, or do I allow work to encroach upon this sacred time?

Basilika Santo Yohanes Lateran

Pesta Pendirian Basilika Lateran di Roma [C]

9 November 2025

Yohanes 2:13-22

Hari ini, Gereja merayakan Peresmian Basilika Santo Yohanes Lateran di Roma. Mungkin banyak dari kita tidak tahu dengan basilika ini, dan yang lain mungkin bertanya-tanya mengapa pemberkatannya dirayakan dengan begitu khidmat. Untuk memahami hal ini, kita harus kembali ke sejarah awal Gereja Katolik.

Komunitas Kristen pertama di Roma kemungkinan didirikan sekitar tahun 33-34 M. Kisah Para Rasul menceritakan bahwa para peziarah Yahudi dari Roma hadir pada Hari Pentekosta, mendengarkan khotbah Petrus, dibaptis, dan membawa iman kembali ke ibu kota kekaisaran (Kis 2:1-42). Inilah benih Gereja di Roma. Ketika Santo Petrus sendiri tiba di sana, ia diakui sebagai pemimpin—Uskup Roma pertama.

Selama berabad-abad, Gereja muda ini mengalami penganiayaan yang brutal. Penganiayaan pertama yang disahkan negara dimulai di bawah Kaisar Nero pada tahun 65 M, yang menyalahkan orang-orang Kristen atas kebakaran besar di Roma. Penganiayaan Nero menewaskan Rasul besar Petrus dan Paulus. Namun, penganiayaan yang paling sistematis dan kejam datang kemudian di bawah Kaisar Diocletian (303-311 M), yang memerintahkan penghancuran kitab suci, tempat-tempat suci, dan eksekusi dari anggota Gereja di seluruh kekaisaran.

Era kegelapan ini berganti menjadi cahaya. Setelah Diocletian, kekaisaran Romawi terjerumus ke dalam perang saudara. Beberapa jenderal, termasuk Konstantinus, bertarung untuk takhta. Pada malam sebelum pertempuran di jembatan Milvian yang menentukan, pada tahun 312 M, Konstantinus melihat penglihatan salib di langit dengan kata-kata, “En Toutō Nika”—“Dalam tanda ini, engkau akan menang.” Setelah penglihatan ini, ia memerintahkan pasukannya untuk menandai perisai mereka dengan simbol Chi-Rho (☧), dua kata huruf pertama dari Kristus di dalam bahasa Yunani. Setelah kemenangan dan menjadi kaisar, Konstantinus tidak hanya mengakhiri penganiayaan terhadap umat Kristiani tetapi juga menjadi pelindung kuat bagi Gereja.

Sebagai ungkapan syukur, ia mendonasikan tanah milik keluarga Lateran kepada Gereja. Di tanah tersebut, ia membangun basilika besar yang didedikasikan untuk Kristus Sang Penyelamat—basilika kepausan publik pertama (kemudian, basilika ini juga didedikasikan kepada Santo Yohanes Pembaptis dan Santo Yohanes Penginjil). Paus Silvester menerima hadiah ini dan menetapkannya sebagai katedralnya – tahta resmi Uskup Roma. Ini adalah pergeseran monumental: Gereja keluar dari katakombe yang tersembunyi ke ruang publik, tanda kuat akan penyelenggaraan Allah dan kemenangan iman.

Itulah mengapa Basilika Santo Yohanes Lateran memegang gelar “Omnium Urbis et Orbis Ecclesiarum Mater et Caput”—“Ibu dan Kepala Semua Gereja di Kota dan Dunia.” Meskipun para paus memindahkan kediaman mereka ke Vatikan pada abad ke-14 setelah kebakaran, Lateran tetap menjadi katedral kota Roma. Oleh karena itu, dalam merayakan pendiriannya, kita merayakan sejati dasar Gereja Roma, Takhta Petrus, dan kemenangan Gereja Kristus atas dunia dan kejahatan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apakah kita benar-benar menyadari sejarah yang kaya dan panjang dari Gereja kita? Apakah kita menyadari bahwa kita merupakan bagian dari keluarga Katolik yang lebih besar dan universal yang tersebar di seluruh dunia? Seberapa dalam kita hidup dalam iman kita setiap hari? Apakah kita pernah mengalami penganiayaan, ataukah kita diberkati dengan kebebasan untuk mengekspresikan iman kita secara terbuka? Apa yang kita lakukan—secara pribadi dan sebagai komunitas—untuk membantu Gereja kita tumbuh dalam iman, kasih, dan kesaksian?

Basilica St. John Lateran

Feast of the Dedication of the Lateran Basilica in Rome [C]

November 9, 2025

John 2:13-22

Today, the Church celebrates the Dedication of the Basilica of St. John Lateran in Rome. While many of us may be unfamiliar with this basilica, and others may wonder why its dedication is celebrated with such solemnity. To understand why, we must journey back to the earliest days of the Catholic Church.

The first Christian community in Rome was likely established around 33-34 AD. The Acts of the Apostles tells us that Jewish pilgrims from Rome were present at Pentecost, heard Peter’s preaching, were baptized, and carried the faith back to the imperial capital (Acts 2:1-42). This was the seed of the Church in Rome. When St. Peter himself arrived, he was recognized as the leader—the first Bishop of Rome.

For centuries, this fledgling Church endured severe persecution. The first state-sanctioned persecution began under Emperor Nero in 65 AD, who scapegoated Christians for a great fire in Rome. Nero’a persecution claimed the lives of the great Apostles Peter and Paul. The most systematic and brutal persecution, however, came later under Emperor Diocletian (303-311 AD), who ordered the destruction of scriptures, sacred places, and the execution of Christians across the empire.

This era of darkness gave way to light. After Diocletian, the empire fell into civil wars. Several generals, including Constatine, fought for the throne. On the eve of the decisive Battle of the Milvian Bridge, near Rome, in 312 AD, Constantine reportedly saw a vision of a cross in the sky with the words, “En Toutō Nika”—”In this sign, conquer.” Following a dream of Christ, he had his soldiers mark their shields with the Chi-Rho (☧). After his victory, Constantine not only ended the persecution of Christians but became a powerful patron of the Church.

In thanksgiving, he donated the former property of the Lateran family to the Church. On this land, he built a great basilica dedicated to Christ the Savior—the first public papal basilica (later, it would be dedicated also to St. John the Baptist and St. John the Evangelist). Pope St. Silvester accepted this gift and established it as his cathedral, the official seat of the Bishop of Rome. This was a monumental shift: the Church emerged from the hidden catacombs into the public square, a powerful sign of God’s providence and victory.

This is why the Basilica of St. John Lateran holds the title “Omnium Urbis et Orbis Ecclesiarum Mater et Caput”—”The Mother and Head of All Churches in the City and the World.” Though the popes moved their residence to the Vatican in the 14th century after a fire, the Lateran remains the Pope’s cathedral. Therefore, in celebrating its dedication, we celebrate the very foundation of the Church of Rome, the See of Peter, and the triumph of Christ’s Church over evil.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

Are we truly aware of the rich and long history of our Church? Do we recognize that we belong to a greater, universal Catholic family spread across the world? How deeply do we live our faith each day? Have we ever experienced persecution, or are we blessed with the freedom to express our faith openly? What are we doing—personally and as a community—to help our Church grow in faith, love, and witness?

St. Yusuf dan Kematian yang Bahagia

Peringatan Semua Arwah Orang Beriman

2 November 2025

Yohanes 6:37-40

St. Yusuf, ayah angkat Yesus, dikenal sebagai teladan kudus bagi suami, ayah, dan pekerja. Namun, ia juga memiliki gelar yang jarang orang tahu: santo pelindung bagi kematian yang bahagia. Namun, apa artinya gelar ini? Bagaimana kematian, yang seringkali dipenuhi dengan ketakutan dan kesedihan, bisa dianggap bahagia?

Untuk memahaminya, kita harus terlebih dahulu mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: Apa yang dimaksud dengan kematian yang bahagia? Apakah itu berarti dikelilingi oleh keluarga saat ajal menjemput di usia tua, dan bebas dari rasa sakit? Atau saat kita mati, kita menerima ibadat kematian yang indah di pemakaman yang terawat dengan baik? Sejatinya, kebahagiaan dan kematian tampaknya merupakan dua konsep yang tak dapat dipertemukan. Kita secara alami diciptakan untuk hidup; kita secara naluriah menolak rasa sakit dan penderitaan yang mengingatkan kita pada kematian. Jadi, bagaimana kita bisa menemukan kebahagiaan dalam kematian, sebuah peristiwa yang ditolak oleh seluruh keberadaan kita? Mencari kematian yang bahagia terasa seperti hal yang mustahil.

Di sinilah St. Yusuf datang untuk membantu kita. Hidupnya memberikan jawaban atas teka-teki mendalam ini. Tradisi Katolik mengajarkan bahwa pada saat kematiannya, Yusuf tidak sendirian. Ia berada dalam pelukan Yesus dan Maria. Kebersamaan suci ini pada akhir hidup Yusuf merupakan puncak dari kehidupan yang dijalani dalam persekutuan yang konstan dengan Allah. Kunci kematian yang bahagia adalah hidup yang dijalani bersama Allah.

Dalam iman Katolik, kematian adalah tindakan akhir dan menentukan dalam hidup, yang secara kekal mengukuhkan pilihan kita untuk atau melawan Allah. St. Yusuf mewakili teladan ideal: di ranjang kematiannya, ia berpaling kepada Yesus, anak angkatnya dan juga Tuhan yang maharahim, serta kepada Maria, istrinya dan juga Bunda Allah. Kematiannya bahagia karena Yesus yang ia peluk dengan napas terakhirnya adalah Yesus yang sama yang menyambutnya ke dalam kebahagiaan abadi surga.

Namun, St. Yusuf tidak hanya hanya mengajarkan tentang bagaimana menghadapi kematian, tetapi secara mendasar bagaimana kita hidup. Injil menggambarkannya sebagai “orang yang benar” (Mat 1:19). Seluruh hidupnya adalah “ya” yang setia kepada Allah. Sebuah pengabdian kepada kehendak Allah yang seringkali membawa Yusuf pada penderitaan. Ia menghadapi ketidakpastian, pengasingan, dan kesulitan demi keluarga yang dipercayakan kepadanya. Karena ia menghabiskan hidupnya mencari Tuhan dalam setiap keadaan, maka sangat alamiah baginya untuk mencari Yesus pada saat terakhirnya. Kematiannya yang baik adalah buah dari hidup yang setia.

Saat kita berdoa untuk orang-orang terkasih yang telah meninggal, Santo Yusuf memberikan kita harapan yang mendalam. Ia mengingatkan kita bahwa bagi mereka yang hidup dengan setia bersama Kristus, kematian tidak menghancurkan kehidupan tetapi menyempurnakannya. Kematian bukan akhir, tetapi gerbang menuju sukacita yang tak terpadamkan. Inilah kematian yang bahagia.

Santo Yusuf, pelindung kematian yang bahagia, doakanlah kami!

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:

Apakah kita menumbuhkan kehidupan bersama Kristus yang mempersiapkan kita untuk menghadapi kematian dengan damai? Apakah kita melihat kematian sebagai akhir yang menakutkan, atau sebagai jalan menuju kehidupan abadi? Dalam pilihan-pilihan harian kita, apakah kita membangun kebiasaan untuk berpaling kepada Yesus, seperti yang dilakukan Yusuf? Apakah kita mencari perantaraan Santo Yusuf, memintanya untuk berdoa bagi kematian yang suci bagi diri kita sendiri dan bagi semua yang paling membutuhkannya?

St. Joseph and the Happy Death

The Commemoration of All the Faithful Departed (All Souls)

November 2, 2025

John 6:37-40

St. Joseph, the foster father of Jesus, is celebrated as a holy model for husbands, fathers, and workers. Yet, he also holds a more poignant title: the patron saint of a happy death. But what does this mean? How can death, so often shrouded in fear and sorrow, ever be considered happy?

To understand this, we must first ask a more fundamental question: What constitutes a happy death? Does it mean being surrounded by family at a ripe old age, free from pain? Or a beautiful funeral in a well-kept cemetery? At first glance, happiness and death seem to be irreconcilable opposites. We are hardwired for life; we instinctively recoil from the suffering that reminds us of our mortality. So, how can we find happiness in the very event our entire being resists? To seek a happy death can feel like trying to capture the wind.

It is here that St. Joseph comes to our aid. His life provides the answer to this profound puzzle. Catholic tradition holds that at his dying moment, Joseph was not alone. He was cradled in the presence of Jesus and Mary. This sacred companionship at life’s end was simply the culmination of a life lived in constant communion with God. The key to a happy death is a life lived with God.

In the Catholic faith, death is the final and decisive act of life, eternally sealing our choice for or against God. St. Joseph embodies the ideal: on his deathbed, he turned to Jesus, his adopted son and the Lord of Mercy, and to Mary, his wife and the Mother of God. His was a happy death because the Jesus he embraced with his final breath was the same Jesus who welcomed him into the eternal joy of heaven.

Yet, St. Joseph’s lesson is not merely about how to die, but fundamentally, about how to live. The Gospel describes him as a “righteous man” (Matt 1:19). His entire life was a faithful “yes”—a dedication to God’s will, often at great personal cost. He faced uncertainty, exile, and hardship for the sake of his family. Because he spent his life seeking the Lord in every circumstance, it was the most natural thing in the world for him to seek Jesus at his final moment. His good death was the fruit of a faithful life.

As we pray for our dearly departed, St. Joseph offers us a profound hope. He reminds us that for those who live faithfully with Christ, death does not destroy life but perfects it. It is not an end, but a gateway to unquenchable joy. This is the happy death.

St. Joseph, patron saint of a happy death, pray for us!

Guide Questions for Reflection:

Are we cultivating a life with Christ that prepares us to face our death with peace? Do we see death as a terrifying end, or as a passage to eternal life? In our daily choices, are we building the habit of turning to Jesus, as Joseph did? Do we seek the intercession of St. Joseph, asking him to pray for a holy death for ourselves and for all those who need it most?

Mengapa Perlu Menunggu?

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [C]

19 Oktober 2025

Lukas 18:1-8

Dalam perumpamaan tentang janda yang gigih dan hakim yang tidak adil, Yesus memberi kita perintah yang jelas: “Berdoalah selalu!” Ia mengajak kita untuk tetap teguh, terutama ketika Allah meminta kita untuk menunggu jawaban-Nya. Namun, mengapa Bapa yang penuh kasih, yang mengetahui kebutuhan kita, mengizinkan penantian ini?

Periode penantian ini bukanlah tanda ketidakhadiran Allah, melainkan kasih-Nya yang mendalam. Berikut tiga alasan mengapa Allah mungkin mengizinkan kita menanti.

1. Waktu Menyembuhkan dan Memurnikan Doa-doa Kita

Seringkali, doa-doa kita lahir dari emosi yang intens—kesedihan, penderitaan, atau bahkan amarah. Dalam kegelisahan kita, kita bisa membingungkan antara kebutuhan sejati kita dengan keinginan egois. Kita tidak selalu tahu apa yang benar-benar baik untuk kita.

Allah menggunakan waktu untuk membantu kita menenangkan hati dan menyucikan niat kita. Waktu membantu kita untuk membentuk ulang doa-doa kita, mengubahnya dari tuntutan menjadi dialog, dari permohonan untuk keuntungan pribadi menjadi kata-kata penyerahan dan pengharapan, dari “Jadilah sesuai kehendakku” menjadi “Jadilah kepadaku sesuai kehendak-Mu.”

2. Waktu Membangun Keutamaan

Kita hidup di dunia yang mengutamakan hasil instan, dan kita dapat membawa ketidaksabaran ini ke dalam hubungan kita dengan Allah. Ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan secara instan, kita dapat menjadi gelisah dan frustrasi, dan bahkan marah.

Menunggu mengajarkan kita kesabaran—yang bukan hanya kemampuan untuk menunggu, tetapi kemampuan untuk mempertahankan sikap baik saat menunggu. Seperti yang diingatkan oleh St. Fransiskus de Sales, “Setiap dari kita membutuhkan setengah jam doa setiap hari, kecuali ketika kita sibuk, maka kita membutuhkan satu jam.” Semakin kita berdoa dengan sabar, semakin kita menyadari bahwa banyak hal di luar kendali kita. Namun, meskipun kita lemah, kita tidak putus asa atau kehilangan harapan karena kita kini bergantung pada Allah Pencipta langit dan bumi.

3. Waktu Mendalamkan Kedekatan Kita dengan Allah

Mudah bagi kita untuk memperlakukan Allah seperti mesin penjual otomatis surgawi. Masa penantian mengalihkan perhatian kita dari pemberian yang kita cari ke Sang Pemberi.

Semakin banyak waktu yang kita habiskan dalam doa yang penuh kesabaran, semakin kita mencari untuk mengenal Allah sebagaimana Dia adanya—bukan hanya sebagai pemberi keinginan, tetapi sebagai Bapa yang penuh kasih. Kita tidak berfokus lagi pada daftar kebutuhan kita tetapi pada hubungan kita dengan-Nya. Inilah inti doa, yang didefinisikan oleh Santa Teresa dari Ávila sebagai “tidak lain daripada menjalin persahabatan dengan Allah.”

Seorang biarawati senior pernah berbagi kisah tentang bagaimana, saat masih menjadi novis muda, ia ingin meninggalkan biara untuk bekerja dan mendukung ibunya secara finansial. Doanya dipenuhi dengan berbagai rencana apa yang akan dia lakukan di luar. Pembimbing rohaninya dengan lembut bertanya, “Apakah meninggalkan biara benar-benar yang terbaik? Apakah Allah terbatas pada satu cara saja untuk menolong?”

Ia mulai mengubah doanya. Ia berhenti memberi tahu Allah apa yang harus dilakukan dan mulai menyerahkan ibunya sepenuhnya kepada penyelenggaraan-Nya. Seiring waktu, kerabat dan teman-temannya datang untuk mendukung ibunya, dan ia menemukan kedamaian untuk tetap setia pada panggilannya. Kisah sederhana ini menunjukkan bagaimana Allah menggunakan waktu untuk menyucikan doa-doa kita dan mendekatkan kita kepada-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi Pribadi:

  • Apakah saya berdoa? Apakah ada ruang yang konsisten dan harian untuk Tuhan dalam hidup saya?
  • Bagaimana cara saya berdoa? Apakah doa saya sekadar daftar permintaan, ataukah itu percakapan yang termasuk mendengarkan?
  • Seberapa lama saya berdoa? Apakah saya menyerah ketika jawaban tidak segera datang?
  • Apa yang saya minta dari Allah? Apakah doa-doa saya berfokus pada kehendak saya, atau pada upaya untuk memahami kehendak-Nya?
  • Bagaimana reaksi saya ketika tidak mendapatkan apa yang saya doakan? Apakah hal itu menimbulkan keraguan, atau justru memperdalam kepercayaan pada kebijaksanaan-Nya?
  • Apakah saya meminta anugerah? Apakah saya berdoa tidak hanya untuk hasil tertentu, tetapi juga untuk kekuatan, kedamaian, dan kepercayaan untuk menanggung penantian?

Time and Prayer

29th Sunday in Ordinary Time [C]

October 19, 2025

Luke 18:1-8

In the parable of the persistent widow and the unjust judge, Jesus gives us a clear command: “pray always without becoming weary.” He invites us to persevere, especially when God asks us to wait for an answer. But why does a loving Father, who knows our needs, allow this waiting?

This period of waiting is not a sign of God’s absence, but His profound love. Here are three reasons God may allow us to wait.

1. Time Heals and Purifies Our Prayers

Often, our initial prayers are born from intense emotion—grief, distress, or even anger. In our urgency, we can confuse our genuine needs with our selfish wants. We do not always know what is truly good for us.

God uses the gift of time to help us settle our hearts and purify our intentions. He reforms our prayers, transforming them from demands into dialogues, from pleas for personal gain into words of trusting surrender, from “Be it done according to my will.” to “Be it done to me according to Your will.”

2. Time Builds Essential Virtues

We live in a world of instant results, and we can carry this impatience into our relationship with God. When we don’t get what we want immediately, we can become restless and frustrated.

Waiting teaches us the true meaning of patience—which is not just the ability to wait, but the ability to keep a good attitude while waiting. As St. Francis de Sales reminds us, “Every one of us needs half an hour of prayer each day, except when we are busy… then we need an hour.” The more we patiently pray, the more recognize that many things are beyond our control. The more we patiently ask, the more we realize how powerless we are. Yet, though we are powerless, we are not helpless or hopeless since we are now relying ourselves on someone beyond us, God the creator of heavens and earth.

3. Time Deepens Our Intimacy with God

It is easy to treat God like a heavenly vending machine, focused solely on the gifts we seek. Waiting refocuses our attention from the gifts to the Giver.

The more time we spend in prayerful waiting, the more we seek to know God for who He is—not just as a wish-fulfiller, but as a loving Father. We begin to focus less on our list of needs and more on our relationship with Him. This is the heart of prayer, which St. Teresa of Ávila defined as “nothing else than being on terms of friendship with God.”

A Story of Purified Prayer:
A senior nun once shared how, as a young novice, she wanted to leave the convent to get a job and support her mother financially. Her prayers were consumed with this plan. Her spiritual director gently asked her: “Would leaving truly be the best help? Is God limited to only one way of providing?”

She began to change her prayers. She stopped telling God what to do and started entrusting her mother entirely to His care. In time, relatives and friends came forward to support her mother, and she found the peace to persevere in her vocation. This simple story shows how God uses time to purify our prayers and draw us closer to Himself.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions for Personal Reflection:

  • Do I pray? Is there a consistent, daily space for God in my life?
  • How do I pray? Is my prayer a list of requests, or is it a conversation that includes listening?
  • How long do I pray? Do I give up when an answer isn’t immediate?
  • What do I ask from God? Are my prayers focused on my will, or on seeking to understand His?
  • How do I react when I don’t get what I prayed for? Does it lead to doubt, or to a deeper trust in His wisdom?
  • Do I ask for grace? Do I pray not just for specific outcomes, but for the strength, peace, and trust to endure the wait?

Beyond Grateful

28th Sunday in Ordinary Time [C]

October 12, 2025

Luke 17:11-19

On the surface, the story of the ten lepers presents a clear contrast between gratitude and ingratitude. Ten lepers are healed, yet only one—a Samaritan, a traditional enemy of the Jews—returns to thank Jesus. The nine others, presumably Jews, appear simply ungrateful. But to leave the lesson there risks missing the profound, multi-layered drama unfolding within this encounter.

To truly understand the story, we must first grasp the gravity of the men’s condition. The Greek word “lépra” used in the Gospel translates the Hebrew “tzara’at.” This was not merely a medical ailment causing spreading sores and discoloured skin; it was a state of severe religious impurity and thus, the persons were barred to approach the sacred grounds (Lev 13-14). Due to its religious nature, a person with this condition was declared permanently unclean by a Levitical priest, not a doctor. Due to its contagious nature, they were forced to live in isolation, wear torn clothes, and call out “Unclean, unclean!” to warn anyone who approached. Therefore, “tzara’at” was one of the most dreaded fates for an Israelite, as it cut a person off from family, community, and, most importantly, from God.

With this context, Jesus’ instruction for the ten lepers to show themselves to the priests is deeply significant. They would have recognized this as the standard procedure for being officially declared clean and restored to society. We can assume the nine Jews set off for their Israelite priests, while the Samaritan headed for his own. The critical moment comes when the Samaritan, en route and still technically unclean, is so overwhelmed that he turns back. He falls at Jesus’ feet in a gesture that is more than emotional thanks; it is a profound act of faith that breaks ritual law, as an unclean person was not to approach a clean one.

This act reveals the story’s deeper meaning. The question is not merely whether the nine were ungrateful. Perhaps they were, forgetting their healer as soon as they were cleansed. Or perhaps they were simply obeying Jesus’ command to the letter, fully intending to return after their priest’s approval. The Samaritan, however, realizes something more profound. He understands that Jesus is not just a healer of disease, but the very source of purification itself. By returning to Jesus, he acknowledges that Christ has the authority to cleanse him not only of his physical ailment but of his grave impurity. In this moment, Jesus is revealed as the true divine High Priest.

The healing, therefore, was never just about restoring health. It was an invitation to be drawn back to God, to choose holiness, and to recognize the giver over the gift. The Samaritan received not just clean skin, but salvation. His gratitude was the sign of a faith that saw beyond his immediate need to the one who could fulfil his ultimate need for God.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

Do we approach God primarily with a list of our needs and necessities? When we feel God has answered our prayers, what is our reaction? How do we express our gratitude? Does it draw us closer to the Giver? Do the gifts we receive from God ultimately lead us back to Him, or do we become preoccupied with the gifts themselves?