Minggu ke-21 pada Masa Biasa [26 Agustus 2018] Yohanes 6: 60-69
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh. 6:68).”

Dalam Injil kita Minggu ini, Simon Petrus dan murid-murid lain menghadapi pertanyaan penting: apakah mereka akan percaya pada kata-kata Yesus bahwa mereka perlu mengkonsumsi darah dan daging-Nya untuk mendapatkan kehidupan yang kekal, atau mereka akan menganggap Yesus sebagai orang gila dan meninggalkan Dia. Mereka berurusan dengan kebenaran yang sangat sulit dipercaya, dan hal paling termudah untuk dilakukan adalah meninggalkan Yesus. Namun, di tengah keraguan dan kurangnya pemahaman, Petrus menyatakan, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh 6:68).” Adalah iman yang menang atas keraguan terbesar, iman yang kita butuhkan juga.
Saya mengakhiri karya pastoral saya di salah satu rumah sakit tersibuk di Metro Manila. Pengalaman ini benar-benar memperkaya iman dan membentuk hati saya. Untuk melayani banyak pasien di rumah sakit ini adalah sebuah berkat bagi saya. Salah satu pertemuan yang paling mengesankan adalah dengan Christian [bukan nama sebenarnya].
Ketika saya mengunjungi bangsal anak, saya melihat seorang anak lelaki mungil, mungkin sekitar enam tahun, terbaring di tempat tidurnya. Dia ditutupi oleh selimut tipis dan tampak kesakitan. Kemudian saya berbincang dengan ibunya, Maria [bukan nama sebenarnya]. Dia mengatakan kepada saya bahwa proses dialisis tidak berjalan dengan baik dan dia sedikit demam sekarang. Ketika percakapan berlanjut, saya terkejut bahwa orang Christian tidaklah semuda yang saya kira. Dia sebenarnya berusia 16 tahun. Saya tidak mempercayai mata saya, tetapi sang ibu menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena ginjalnya menyusut dan bahkan hilang, dan karena kondisi yang mengerikan ini, pertumbuhannya berhenti, dan tubuhnya juga menyusut. Christian telah menjalani dialisis selama beberapa tahun, dan karena infeksi yang berulang, rumah sakit telah menjadi rumah keduanya. Maria sendiri kehilangan suaminya yang meninggal beberapa tahun yang lalu, dan berhenti bekerja untuk merawat Christian. Kakak perempuan Christian harus berhenti sekolah dan bekerja untuk mendukung keluarga.
Menyaksika Christian dan mendengarkan Maria, saya hampir mencucurkan air mata saya. Terlepas dari formasi teologis dan filsafat saya yang panjang, saya tetap mempertanyakan Tuhan, “Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan mengerikan semacam ini terjadi pada lelaki kecil yang tidak berdosa? Mengapa Tuhan membiarkan hidupnya dan masa depan dirampas oleh penyakit ini?” Iman saya terguncang. Kemudian, saya bertanya kepada Maria bagaimana dia bisa menghadapi situasi itu. Dia menceritakan bahwa hal ini benar-benar sulit, tetapi dia telah menerima kondisinya, dan dia terus berjuang sampai akhir karena dia mengasihi Christian. Saya juga bertanya padanya apa yang membuatnya kuat, dan saya tidak akan pernah melupakan jawabannya. Dia mengatakan bahwa dia kuat ketika dia bisa melihat senyum kecilnya, dan ketika dia merasakan kebahagiaan yang sederhana yang terpancar dari wajah Christian.
Melalui Maria, saya merasa Tuhan telah menjawab pertanyaan dan keraguan saya. Memang benar hal-hal buruk terjadi, tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia ada di dalam senyum sederhana Christian. Dia ada di dalam tindakan-tindakan kecil kasih dari Maria untuk putranya. Memang benar bahwa hidup penuh dengan penderitaan yang tidak dapat dimengerti dan momen-momen yang memilukan, seperti kehilangan orang yang dicintai, relasi yang berantakan, masalah kesehatan dan keuangan. Ini dapat memicu kemarahan dan kekecewaan kita terhadap Tuhan. Kita akan tetap marah, bingung dan tersesat jika kita fokus pada realitas yang menyakitkan ini, tetapi Tuhan mengundang kita untuk melihat-Nya dalam hal-hal sederhana yang tanpa diduga memberi kita kenyamanan, kekuatan, dan sukacita. Jika Yesus memanggil kita untuk memiliki iman sebesar biji sesawi, itu karena iman ini memberdayakan kita untuk mengenali Tuhan dalam hal-hal sederhana dalam hidup kita.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Yoke is a device, usually of wood, placed on the shoulder of animals or persons to carry a burden. In agricultural settings, a yoke is used to pull a plow to make a furrow on the ground so that the soil will be ready for the seed planting. But, a yoke can be used also to drag a cart and transport various goods. Because its primary function is to carry a load or burden, a yoke turns to be a symbol of responsibility, hard work, and obligation. In our seminary in Manila, a leader among the brothers is called a decano. In the beginning of the formation year, we elect our decano, and as he assumes his responsibility, he ceremonially receives a wooden yoke from the outgoing decano. The yoke reminds him of responsibility and great task that he has to endure through the year.

Perayaan liturgi Kristus Raja merupakan perkembangan baru dalam Gereja. Paus Pius XI menetapkan hari raya ini pada tahun 1925 di bulan Oktober. Paus Paulus VI pada tahun 1969 kemudian mendedikasikan hari Minggu terakhir dari Masa Biasa dalam kalender liturgi Gereja bagi Kristus Raja Semesta Alam. Meskipun perayaan ini tergolong baru di Gereja, kebenaran ini sungguh berakar di dalam Kitab Suci.
In many other ancient religions, temple was a sacred place. It is holy because their gods or goddesses chose to make their dwelling place and they may serve and worship their gods there. Thus, many cultic rituals in honor of their gods like animal sacrifices and prayers took place in the temples. The temple became the visible signs of the divine presence among the people. Zeus was felt alive in his temple in Mount Olympus, or the gods of Rome were present in the Pantheon.
Dalam banyak agama-agama kuno, kuil adalah tempat suci. Hal ini karena dewa atau dewi mereka dianggap tinggal di sana dan orang-orang pun bisa melayani dan menyembah dewa-dewa mereka di kuil-kuil ini. Dengan demikian, banyak ritual kultus untuk menghormati dewa-dewa mereka berlangsung di kuil-kuil ini. Kuil ini menjadi tanda yang kasat mata dari kehadiran ilahi di antara manusia. Zeus terasa hidup di kuilnya di Gunung Olympus, atau dewa-dewi Roma terasa hadir di Pantheon.
The month of November is dedicated to honor all the saints in heaven as well as to pray for the souls in the purgatory. It begins with the celebration of All Saints’ Day on November 1 and the commemoration of the All Souls Day on November 2. We, the Dominicans, celebrate the all Dominican Saints on November 7 and pray for the souls of our Dominican family on November 8. This Church’s celebration traces its origin to Pope Boniface IV in the 7th century, yet its roots go deeper into Jesus Christ Himself.
Bulan November didedikasikan sebagai bulan para kudus di surga dan juga bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Bulan ini dimulai dengan Hari Raya Semua Orang Kudus pada tanggal 1 November dan peringatan jiwa-jiwa orang-orang beriman pada 2 November. Kita, keluarga Dominikan, merayakan hari raya semua orang kudus Dominikan pada 7 November dan bagi jiwa-jiwa keluarga Dominikan pada 8 November. Perayaan besar Gereja ini bermula kepada Paus Bonifasius IV di abad ke-7, namun akarnya sebenarnya ada pada Tuhan Yesus Kristus sendiri.


