Doa yang Benar?

Minggu di Pekan Biasa ke-30 [23 Oktober 2016] Lukas 18: 9-14

 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa kepada dirinya sendiri, begini, Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu ,..” (Luk 18:11)

Minggu lalu, Yesus mengingatkan kita untuk berdoa tanpa lelah. Tapi, dalam Injil hari ini, Yesus mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari ketekunan dalam doa. Ini ada hubungannya dengan cara kita berdoa. Tidak hanya kuantitas, tetapi juga kualitas. Namun, bagaimana kita tahu bahwa kita memiliki doa yang berkualitas?

Suatu hari, saya menemukan sebuah postingan Facebook yang bertuliskan, “Berdoalah bukan karena kamu membutuhkan sesuatu, tetapi karena kamu punya banyak hal yang perlu kamu syukuri.” Benar, semua yang saya miliki adalah karunia Allah. Saya bukan apa-apa tanpa Dia, dan sudah layak dan sepantasnya bersyukur kepada-Nya. Bahkan, bentuk ibadah tertinggi di Gereja adalah Ekaristi. Kata Ekaristi sebenarnya berarti ‘syukur’. Saya pun me-like postingan tersebut. Namun, ketika saya membaca perumpamaan dalam Injil hari ini, saya menyadari bahwa orang Farisi pun melakukan doa syukur. Bahkan, dalam bahasa Yunani, Ketika orang Farisi bersyukur, ia menggunakan kata ‘eucharisto’, akar kata dari Ekaristi. Sementara pemungut cukai dibenarkan karena ia memohon belas kasihan dan pengampunan. Apakah ini berarti doa permohonan lebih baik dan lebih efektif daripada doa syukur dan doa-doa jenis lainnya?

Namun, jika kita membaca dengan cermat, ada beberapa detail yang menarik dalam Perumpamaan ini. Yang pertama adalah orang Farisi berdoa sebagai pembenaran diri, menunjukkan perbuatan baiknya, dan merasa lebih baik dari yang lain, terutama pemungut cukai. Farisi sudah merasa diri benar, oleh karenanya ia tidak lagi membutuhkan pembenaran dari Allah. Sedangkan, pemungut cukai merendahkan diri, mengakui bahwa ia adalah orang berdosa dan membutuhkan belas kasihan Allah. Dengan demikian, doa membutuhkan disposisi yang tepat. Kerendahan hati adalah dasar dari doa. Sungguh, Daud sendiri bermadah, Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. (Mzm 51:17)

Detail kedua yang sering kita lewatkan adalah orang Farisi ini sebenarnya berdoa kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah (perhatikan Luk 18:11 di atas). Benar bahwa ia menyebut Allah, tetapi ia berbicara dengan dirinya sendiri. Dia mempersembahkan doa kepada dirinya bukan kepada Allah. Jika kemudian doa adalah komunikasi kita dengan Allah, orang Farisi ini menghancurkan makna doa yang sesungguhnya. Mungkin, dengan menyebut Allah, ia ingin Allah menjadi penonton dan mendengarkan litani keberhasilannya, tetapi tidak benar-benar untuk membangun hubungan dengan Allah. Tentu, kegiatan semacam ini memuaskan rasanya, tapi ini bukanlah sebuah doa. Apa yang orang Farisi lakukan bukanlah doa yang sejati, tapi pujian bagi dirinya sendiri.

Kita mungkin mendengar Ekaristi Kudus setiap hari, berdoa brevir dengan tekun, dan mendaraskan rosario. Kita juga bisa mengikuti pertemuan doa Karismatik atau ‘Praise and Worship’. Kita juga dapat menghadiri Misa Tradisional Latin, atau kita memilih untuk melakukan mediasi dan kontemplasi. Namun, dari perumpamaan hari ini, kita bertanya kepada diri sendiri, apakah doa kita adalah doa yang benar? Apakah kita berdoa karena kita merasa hebat dan puas tentang hal itu? Apakah kita berdoa karena kita bangga dengan prestasi kita? Apakah kita berdoa karena kita lebih saleh dari yang lain? Apakah doa kita membuat kita lebih dekat kepada Allah atau hanya untuk diri kita sendiri? Adalah kerendahan hati dasar doa kita? Doa kita harus memiliki kuantitas dan kualitas. Kita berdoa dengan ketekunan dan disposisi yang tepat. Tapi lebih dari ini, doa kita harus menjadi doa yang benar.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

My Nagging God

29th Sunday in the Ordinary Time. October 16, 2016 [Luke 18:1-8]

 “…This widow keeps bothering me… (Luk 18:5)”

persistent-widow-2Getting tired and bored is unwanted yet unavoidable part of our lives. After doing things for a certain period of time, we get exhausted. Even if we are doing something we love, we are also bound to feel weary. Indeed, a man marries the woman he loves, but after sometime, encountering disappointments and problems, he begins to think whether he made the right decision. A woman loves dearly her teenage girl, but after sometime, her girl gets involved in substance abuse and runs away with his friends. She spends all her money and energy to win her daughter back yet to no avail, and she simply gets tired. As a religious brother, I love my vocation, but after years of waking up early, attending Mass and prayers, and plunging myself in rigorous study, I get bored.

In these times that we feel weak and weary, the temptation will set in and lure us to abandon our commitments. We are even emboldened to do crazy things and sin. We become like the judge in today’s Gospel, who “neither fear God nor respect human being’. We begin doing unthinkable things. We hurt people we love. We cause sufferings and misery to other people and ourselves.

However, we are so blessed that we have God who is like the nagging widow in the Gospel. He is knocking at our hearts day and night so that we may render justice to Him and our neighbors. Tirelessly He reminds us to be faithful to our commitments, repeatedly encourages us to persevere in doing good, and ceaselessly calls us back everytime we falter.

His unceasing care and ‘disturbance’ are manifested in subtle yet manifold ways. He places in us His subtle grace and joy in our daily prayer, despite boredom and sleepiness. He gives us family and friends who remain supportive to us in time of trials. He provides us with little blessings that we tend to ignore. One sustaining factor in my vocation, I believe, is that the Lord gives me a community. Indeed, sometimes living in a community is troublesome, but it provides also a structure and living ecosystem to support my Dominican religious life. My brothers will knock my door reminding me not to be late in prayer, encourage and evaluate my preaching, and in fact, correct me if I commit mistake. My community is my nagging God.

We may be tired of many things, exhausted in keeping our demanding commitments as spouses or parents, and bored of doing again and again our obligations as students or ministry as priests or religious. Yet, we remember we have our nagging God who persistently loves us and does not give up on us, even if we have already given up on ourselves. What we need to do is just open our eyes, ears and hearts to His subtle yet constant actions in us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tuhan yang Tidak Pernah Jenuh

Minggu dalam Pekan Biasa ke-29 [16 Oktober 2016] Lukas 18: 1-8

“…namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia… (Luk 18:5)

persistent-widow-1Merasa lelah dan bosan adalah bagian dari kehidupan kita yang tak terhindarkan. Setelah melakukan hal-hal dalam jangka waktu lama, kita bisa kehabisan tenaga. Bahkan saat kita melakukan sesuatu yang kita cintai, kepenatan juga kadang melanda. Seorang pria yang menikahi wanita yang ia kasihi, tapi setelah menghadapi kekecewaan dan permasalahan rumah tangga, dia mulai berpikir apakah dia membuat keputusan yang tepat saat menikah dulu. Seorang ibu mencintai anak gadisnya yang beranjak dewasa, tapi ternyata sang gadis terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan melarikan diri dengan teman-temannya. Sang ibu menghabiskan semua uangnya dan tenaga untuk membawa putrinya kembali, namu semua usaha gagal, dan diapun lelah. Sebagai seorang biarawan, saya mencintai panggilan saya, tapi setelah bertahun-tahun bangun dini hari untuk mengikuti Misa harian dan doa brevir, dan juga setiap hari belajar filsafat dan theologi yang sulit, sayapun merasa bosan.

Saat ini kita merasa lemah dan lelah, godaan akan datang dan merayu kita untuk meninggalkan komitmen yang kita telah buat. Kita bahkan digoda untuk melakukan hal-hal gila dan berbuat dosa. Kita menjadi seperti hakim dalam Injil hari ini, yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun.’ Kita mulai melakukan hal-hal yang tak terpikirkan. Kita menyakiti orang yang kita cintai. Kita membawa penderitaan dan kesengsaraan bagi orang lain dan diri kita sendiri.

Namun, kita sangat diberkati karena kita memiliki Allah yang seperti janda dalam Injil hari ini. Dia mengetuk hati kita siang dan malam sampai kita mau memberikan keadilan bagi-Nya dan sesama kita. Tanpa lelah Dia mengingatkan kita untuk setia dengan komitmen kita, berulang kali mendorong kita untuk bertekun dalam melakukan yang baik, dan tak henti-hentinya memanggil kita kembali setiap kali kita goyah.

Kasih dan perhatian-Nya yang tak henti-henti ini terwujud dalam cara yang sangat lembut di dalam kehidupan sehari-hari kita. Dia menempatkan sukacita kecil di dalam doa harian kita, meskipun kadang membosankan. Dia memberi kita keluarga dan teman-teman yang setia mendukung kita dalam waktu-waktu sulit. Dia memberikan kita dengan berkat-berkat sederhana yang kita cenderung abaikan. Salah satu faktor penopang dalam panggilan saya adalah Tuhan memberi saya sebuah komunitas. Memang, kadang-kadang hidup dalam komunitas cukup merepotkan, apalagi dengan watak yang berbeda-beda, tetapi ini juga menyediakan ekosistem dan struktur hidup untuk menopang kehidupan Dominikan saya. Frater-frater akan mengetuk pintu kamar saya agar saya tidak terlambat dalam doa, memberi kesempatan untuk berkhotbah, dan juga mengevaluasi saya agar saya berkembang, dan tentunya, mereka menkoreksi saya jika saya melakukan kesalahan. komunitas saya adalah cara Allah mengomeli saya.

Kita mungkin jenuh dengan banyak hal. Kita kelelahan dalam menjaga komitmen kita entah sebagai suami-istri atau orang tua. Kita bosan melakukan kewajiban kita sebagai pelajar atau pelayanan kita sebagai imam atau rohaniawan. Namun, kita ingat bahwa kita memiliki Allah yang terus-menerus mengasihi kita dan tidak pernah menyerah, bahkan saat kita sudah menyerah pada diri kita sendiri. Apa yang perlu kita lakukan adalah hanya untuk membuka mata, telinga dan hati kita kepada ‘omelan’-Nya yang tak henti. Karena Ia seperti janda yang tak kenal lelah memperjuangkan keadilan bagi-Nya dan bagi kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Faith the Size of a Mustard Seed

27th Sunday in Ordinary Time. October 2, 2016 [Luke 17:5-10]

“If you have faith the size of a mustard seed, you would say to this mulberry tree, ‘Be uprooted and planted in the sea,’ and it would obey you (Luk 15:6).

mustard-seedReading through today’s Gospel, it seems to have faith is to perform some sort of magical power. If I have faith, I can create rice field on the seabed. If I have faith, I can made a Lamborghini car out of pile of garbage. If I have faith, I can transform my voice like Ed Sheeran. But, faith is not like that. It is not a magical show to entertain us. It is neither an instant answer to our wishes. Yet, it remains true that even the smallest of faith can make the difference.

Jesus spoke of faith as like the size of a mustard seed, that symbolizes our little faith. Yet even, this little faith can make a significant difference in our life, even to do the impossible. True, our lives practically do not change. We are still struggling with financial difficulties. We still need to deal with demanding bosses or terror professors. We are facing horrendous traffic everyday especially in big cities like Manila and Jakarta. We are battling various sickness plaguing our bodies and not knowing how to pay the medical bills. Yes, our lives do not change, yet at the same time, our little faith will make our lives never the same again. How is this possible?

With faith, we are empowered to believe in the unseen God. If we are able to see the unseen God, then we are also able to discover His unseen love and mercy working in our lives. God is not asleep and does not let us struggle alone with myriads of problems and stresses. We remember Peter, the man of little faith, who attempted to walk on the waters, but failed and began to sink. In his little faith, he saw Jesus holding his hand and thus saving him. Like Peter, we are falling into the ocean of difficulties, but we do not drown, because through our little faith, we see Jesus holding our hands.

We learn from many saints. Their faith does not make their lives any better. Many, like St. Francis of Assisi and St. Martin de Porres, remained poor through their lives like. Many still dealt with a lot of problems. Mother Teresa struggled to sustain her charity works and her young Congregation. St. Bernadette Soubirous endured severe pain due to tuberculosis of the bone. Martyrs were cruelly tortured and executed for this faith. But, this little faith have made them more generous, more persevering,  even more joyful in the midst of trials. As St. Lorenzo Ruiz, the Filipino proto-martyr, proclaimed when he was about to be executed, “I am a Catholic and wholeheartedly do accept death for God; had I a thousand lives, all these to Him shall I offer.” Faith does not take away our suffering, but it empowers us to see God. This is enough to change us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Imam Sebesar Biji Sesawi

Minggu dalam Pekan Biasa ke-27 [2 Oktober 2016] Lukas 17: 5-10

“Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja…(Luk 17:6)”

mustard-seed-in-bottleMembaca Injil hari ini, tampaknya memiliki iman itu membuat kita memiliki kekuatan super. Jika saya memiliki iman, saya dapat menanam padi di dasar laut. Jika saya memiliki iman, saya bisa membuat mobil Lamborghini dari tumpukan sampah. Jika saya memiliki iman, saya bisa mengubah suara saya seindah Ed Sheeran. Tapi, iman tidak seperti itu. Iman bukanlah pertunjukan sulap untuk menghibur kita. Iman bukanlah jawaban instan bagi keinginan-keinginan kita. Namun, benar adanya bahwa bahkan iman terkecil pun dapat membuat berbedaan yang berarti dalam hidup kita.

Yesus berbicara tentang iman dalam ukuran biji sesawi, dan ini melambangkan iman kita yang kecil. Namun walaupun kecil, iman kita dapat membuat perbedaan yang signifikan dalam hidup kita, bahkan melakukan hal-hal yang mustahil. Benar, hidup kita praktis tidak berubah. Kita masih berjuang dengan kesulitan keuangan. Kita masih harus berurusan dengan bos yang buat stres atau dosen teror. Kita tetep harus melalui kemacetan luarbiasa setiap hari, terutama di kota-kota besar seperti Manila dan Jakarta. Kita bergulat dengan berbagai penyakit yang menjangkiti tubuh kita, dan kita tidak tahu bagaimana untuk membayar obat dan biaya perawatan. Ya, hidup kita tidak berubah, namun pada saat yang sama, iman kecil kita akan membuat hidup kita menjadi baru. Bagaimana ini mungkin?

Dengan iman, kita diberdayakan untuk percaya pada Tuhan yang tak terlihat. Jika kita mampu melihat Tuhan yang tidak terlihat, kita juga bisa menemukan kasih dan rahmat-Nya yang tak terlihat dan bekerja dalam hidup kita. Tuhan tidak tidur dan tidak membiarkan kita berjuang sendirian dengan berbagai permasalah hidup. Kita mengingat Petrus, orang yang imannya kecil, yang berusaha untuk berjalan di atas air, tapi gagal dan mulai tenggelam. Dalam iman kecilnya, ia melihat Yesus memegang tangannya dan ia diselamatkan. Seperti Petrus, kita jatuh ke samudra permasalahan dan kesulitan, tapi kita tidak tenggelam karena dengan iman kecil kita, kita melihat Yesus memegang tangan kita.

Kita belajar dari banyak orang kudus. Iman mereka tidak membuat hidup mereka lebih baik. Banyak, seperti St. Fransiskus dari Assisi dan St. Martin de Porres, tetap miskin sepanjang hidup mereka. Banyak yang masih berurusan dengan berbagai masalah, seperti Bunda Teresa Kalkuta yang berjuang untuk mempertahankan karya amal dan Kongregasi mudanya, atau St. Bernadette Soubirous yang menanggung sakit luar biasa akibat TBC tulang. Bahkan tidak sedikit juga dengan kejam disiksa dan dieksekusi karena iman ini. Tapi, iman kecil yang mereka memiliki justru membuat mereka lebih murah hati, lebih tekun, dan bahkan bahagia di tengah-tengah ini pencobaan. Sebagai St. Lorenzo Ruiz, martyr pertama Filipina dan juga Dominikan awam, berseru ketika ia hendak dieksekusi di Jepang, “Saya seorang Katolik dan sepenuh hati menerima kematian bagi Allah; jika saya memiliki seribu nyawa, semua ini akan saya persembahkan kepada-Nya. Iman tidak menghapus penderitaan kita, tetapi memberdayakan kita untuk melihat Allah yang bekerja dan ini cukup untuk mengubah siapa kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Lazarus and Us

26th Sunday in Ordinary Time. September 25, 2016 [Luke 16:19-31]

“Lazarus, covered with sores, who would gladly have eaten his fill of the scraps that fell from the rich man’s table (Luk 16:20-21).”

richman-n-lazarusWhen Abraham said to the tormented rich man, “My child, you have received what was good during your life,” does it mean I will be thrown to the netherworld as well? I admit I have received so many good things in my life. I enjoy three good meals a day. I am studying in one of the best schools in the country. I do not have to worry about the security and future of my life. Many of us are enjoying the good things in this world, and we may ask ourselves, “are we going to have the same fate with this rich man in the parable?”

Reading closely on the Gospel, the rich man was sent to the netherworld not because of the good things he received in life. In fact, it would be unfair for him and for us. Many of us are working diligently and we deserve to enjoy our lives after all the backbreaking jobs. He was there because he did not care for Lazarus, his poor brother. If we pay attention to the proximity between the rich man and Lazarus, there is something unusual. Initially, Lazarus was outside the door, but then when he ate the food scraps that fell from the rich man’s table, he was actually inside the house. In fact, Lazarus was under the table of the rich guy. With this extreme closeness the rich man acted as if Lazarus did not exist. What sent him to the netherworld is not because of the good things he received, but his gross neglect and grave ignorance of his own poor brother.

We may have the same fate as the rich man if we do not care for our poor brothers and sisters around us. In fact, our ignorance may be the cause of their poverty and misery. Sometimes, we just feel good after donating some coins to the beggars, but is that enough? Indeed, we cannot do much to help the thousands of refugees in war-torn Syria, but do we do something for those who are close to us? Are we too busy working and earning, so much so that we forget to share? Do we close our eyes to our relatives who are struggling with their children’s education? Do we shield ourselves from the social issues in our society, like the increasing number of poor people being killed simply because they are thought to be small-time drug addicts?

We give thanks to God for the blessings and good things we receive in this life. Yet, we should remember also our brothers and sisters who are just outside our doors, those who are just under our table, waiting for our food scraps.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Lazarus dan Kita

Minggu pada Pekan Biasa ke-26 [25 September 2016] Lukas 16: 19-31

 “Lazarus, menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. (Luk 16: 20-21).”

lazarusKetika Abraham berkata kepada orang kaya yang tersiksa di alam maut, Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu. Apakah saya juga akan berakhir di alam maut? Saya mengakui bahwa saya telah menerima begitu banyak hal baik dalam hidup. Saya makan tiga kali sehari. Saya belajar di salah satu sekolah terbaik di Filipina. Saya tidak perlu khawatir tentang keamanan dan masa depan hidup saya. Banyak dari kita yang menikmati hal-hal baik di dunia ini, dan kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, “Apakah kita akan memiliki nasib yang sama dengan pria kaya dalam perumpamaan ini?”

Membaca lebih teliti Injil hari ini, orang kaya dikirim ke alam maut bukan karena hal-hal baik yang ia terima dalam hidup. Bahkan, jika ini sungguh alasannya, ini akan menjadi tidak adil bagi dia dan kita. Banyak dari kita bekerja dengan tekun, dan kita layak untuk menikmati hasil kerja keras kita. Dia ada di sana bukan karena hal-hal baik yang ia terima, tetapi karena dia tidak peduli kepada Lazarus, saudaranya yang miskin dan menderita.

Jika kita memperhatikan jarak antara orang kaya dan Lazarus, ada sesuatu yang tidak biasa. Awalnya, Lazarus ada di luar pintu, tapi kemudian ketika ia makan sisa makanan yang jatuh dari meja orang kaya itu, dia benar-benar berada di dalam rumah. Bahkan, Lazarus sebenarnya berada di bawah meja orang kaya tersebut. Kita bisa menduga bahwa Lazarus sebenarnya adalah anggota keluarga sang kaya. Dengan kedekatan yang ekstrim ini, sang kaya tetap bertindak seolah-olah Lazarus tidak pernah ada. Apa yang mengirimnya ke akhirat bukanlah hal-hal baik yang ia terima, tetapi ia tega mengabaikan dan masa bodoh dengan saudaranya sendiri yang miskin.

Kita mungkin memiliki nasib yang sama dengan orang kaya ini jika kita tidak peduli terhadap saudara-saudara kita yang miskin di sekitar kita. Bahkan, ketidakpedulian kita mungkin menjadi penyebab kemiskinan dan penderitaan mereka. Kadang-kadang, kita merasa puas setelah menyumbangkan uang bagi para pengemis, tetapi apakah ini cukup? Memang, kita tidak bisa berbuat banyak untuk membantu ribuan pengungsi di Suriah yang dilanda perang, tetapi apakah kita melakukan sesuatu bagi mereka yang dekat dengan kita? Mungkin kita terlalu sibuk bekerja dan mencari uang, sehingga kitapun lupa untuk berbagi? Apakah kita menutup mata kita terhadap anggota keluarga kita yang bergulat dengan pendidikan anak-anak mereka? Apakah kita diam saja terhadap berbagai masalah sosial di masyarakat kita?

Kita bersyukur kepada Tuhan atas berkat dan hal-hal baik yang kita terima dalam hidup ini. Namun, kita ingat juga saudara-saudara kita yang berada di luar pintu kita, mereka yang hanya di bawah meja kita, menunggu sisa-sisa makanan kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Becoming Whole

25th Sunday in Ordinary Time. September 18, 2016 [Luke 16:1-13]

“Make friends for yourselves with dishonest wealth, so that when it fails, you will be welcomed into eternal dwellings (Luk 16:9).”

unjust-steward1We were created in the image of God. Thus, our true happiness is only in God. As St. Augustine would say, “You have created us for Yourself, O God, and our hearts are restless until they rest in You.” St. Teresa of the Avilla would echo the same truth when she simply said, “God alone suffices.” But, we were also born into the real human body within a complex and concrete world. As we journey toward God, we cannot totally separate our soul from the various mundane concerns. Even the monks and nuns living in monasteries will still work hard to fulfill their daily and basic needs.

Our humanity and temporal aspects of our life are integral part of who we are. They are blessing and gift of God. We must not be enslaved by money, wealth and other material possessions. Certainly, easier said than done. Who among us are concerned with the latest version of our cellular phone? Who among us spending hours just to choose most fashionable dress? In a bigger scale, corruption, injustice and exploitation are the offshoots of this attachment to this temporal aspect of our lives. Thus, the proper and prudent thing to do is to place the gift of our body and temporal dimension of our life in the service of God and others. I do believe that in order to preach well, it is imperative for the preachers to take care of their health. As an ancient Latin proverbs goes, ‘Mens sana in corpore sano’ (healthy mind in healthy body).

Learning from the parable of the dishonest steward, Jesus taught us to be like the steward in dealing with worldly things. In ancient Israel, for a master entrusting the business to his steward was a common practice. Some stewards would manipulate their position and raise wealth by practice of usury. They charged the borrowers of his masters’ property with high interest. Unfortunately, the steward was caught with this usurious practice as well as squandering his master’s wealth. To save his life, he chose to be smart. He met the debtors and to ask them to rewrite the debt’s notes. He decided to erase the interest that would go to him and let them pay the original amount. The borrowers would be indebted to him, and he might save himself. Like the steward, we need to know what truly matters for our happiness and salvation, as well as well aware of the place of worldly goods in the totality of our lives.

Jesus becomes a splendid example for all us. He is divine and spiritual being. He controlled the forces of nature, He overpowered the evil spirits, and He forgave sins. Though, He was divine, He did not disregard his humanity as useless. He, in fact, was humanly practical and respectful of His own Jewish culture. He observed Jewish traditions and customs, He worshipped God in the synagogues and He taught using the language that His original listeners would understand. Thus, He is truly God and truly man.  Indeed, our salvation rest in this balance and unity of this spiritual and bodily aspects of our humanity.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Manusia yang Utuh

Minggu Biasa dalam Pekan ke-25 [18 September 2016] Lukas 16: 1-13

 Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi (Luk 16:9).

dishonest-stewardKita diciptakan menurut citra Allah, dan dengan demikian, kebahagiaan sejati kita hanya pada Allah. Seperti yang St. Agustinus katakan, Engkau menciptakan kami untuk untuk diri-Mu, ya Allah, dan hati kami gelisah sampai mereka menemukan-Mu.” St. Teresa dari Avilla mengemakan kebenaran yang sama ketika ia mengatakan, Allah mencukupi.” Tapi, kita juga lahir sebagai manusia yang memiliki tubuh dan ke dalam dunia yang kompleks. Saat kita berziarah menuju Allah, kita tidak bisa benar-benar memisahkan jiwa kita dari berbagai urusan duniawi. Bahkan para Rahim yang tinggal di pertapaan tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dasar mereka.

Kemanusiaan dan aspek temporal kehidupan kita adalah bagian integral dari siapa kita. Ini semua adalah berkat dan karunia Allah juga. Hal yang tepat dan bijaksana adalah untuk mengunakan tubuh dan dimensi temporal kehidupan kita dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Saya percaya bahwa untuk bisa mewartakan dengan efektif dan efisien, sangat penting bagi para pewarta untuk menjaga kesehatan mereka. Sebagai peribahasa Latin kuno berkata, ‘Mens sana in corpore sano’ (pikiran yang sehat dalam tubuh yang sehat).

Kita tidak boleh diperbudak oleh uang, kekayaan dan harta benda lainnya. Tentu saja, lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Siapa di antara kita yang mengejar-ngejar HP versi terbaru? Siapa di antara kita menghabiskan berjam-jam hanya untuk memilih pakaian yang paling modis? Dalam skala yang lebih besar, korupsi, ketidakadilan dan eksploitasi adalah bentuk-bentuk dari ektreme keterikatan kita pada hal-hal duniawi.

Dari perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur, Yesus mengajarkan kita untuk menjadi cerdas dalam menangani hal-hal duniawi. Di Israel, bagi tuan rumah untuk mempercayakan bisnis kepada bendaranya adalah praktek yang umum. Beberapa bendahara memang memanipulasi posisi mereka dan mencari keuntungan sendiri dengan praktek riba. Mereka memberi bunga yang besar kepada para peminjam dari tuan mereka. Sayangnya, ada satu bendahara yang tertangkap tangan dengan praktik riba ini, dan juga menghambur-hamburkan kekayaan tuannya. Lalu, untuk menyelamatkan dirinya, sang bendahara melalukan hal yang cerdik. Ia bertemu dengan debitur dan meminta mereka untuk menulis ulang catatan utang mereka. Dia memutuskan untuk menghapus bunga yang akan menjadi keuntungan pribadinya, dan membiarkan mereka membayar sesuai jumlah aslinya. Peminjam akan berhutang budi kepadanya, dan ia menyelamatkan dirinya sendiri. Seperti bendahara dalam perumpamaan hari ini, kita perlu tahu apa yang benar-benar penting untuk kebahagiaan dan keselamatan kita, serta menyadari letak kemanusian dan berbagai aspek temporal dalam totalitas kehidupan kita.

Yesus menjadi contoh yang tepat bagi kita. Dia adalah ilahi dan spiritual. Dia mengendalikan kekuatan alam, dia menaklukkan roh-roh jahat, dan Dia juga memiliki kuasa untuk mengampuni dosa. Meskipun, Dia adalah ilahi, Dia tidak mengabaikan kemanusiaan. Dia, pada kenyataannya, sangatlah manusiawi, praktis dan menghormati budaya Yahudi-Nya sendiri. Dia menghidupi tradisi dan adat istiadat Yahudi, ia menyembah Allah dalam rumah-rumah ibadat Yahudi, dan ia mengajar menggunakan bahasa Aram yang mudah dimengerti oleh orang-orang Yahudi pada zaman-Nya. Tidak salah jika Dia adalah benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Sungguh, keselamatan dan kebahagian kita berada pada keseimbangan dan kesatuan berbagai aspek spiritual dan duniawi yang kita miliki.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

One Shepherd

24th Sunday in Ordinary Time. September 11, 2016 [Luke 15:1-10]

“Rejoice with me because I have found my lost sheep (Luk 15:6).”

parable-lost-sheep-good-shepherdThe parable of the lost sheep subtly speaks of who we are fundamentally to Jesus. We are all His sheep and He is our shepherd. Whether we faithfully remain inside the sheepfold or go astray, we are still His sheep.

From this truth, we may ask ourselves. Why is it that some of us are going astray? Why are some of us no longer going to the Church or not active in the parish? Why are some abandoning the Church? Why do some turn to be our enemies and haters? We might be easily tempted to say that that is their fault. But, we are sheep of the same flock, sharers of the same pasture and have the same Shepherd. In one way or another, we might be responsible for our brothers and sisters who stray.

It is easy to pass the blame on others, but do we ever bother to ask why they fail? We tend to see them as problems to be solved, objects to dissect into logical parts. We no longer see them as our brothers and sisters, our co-sheep in Jesus’ sheepfold. Our brothers are no longer going to Church perhaps because we no longer care to help them. Our sisters are leaving the Church perhaps because we are living like hypocrites.

 The war on drugs in the Philippines has caused more than two thousand lives in just two months. As one national news outlet remarks ‘the bodies continues pilling up’. Indeed, many of them are small-time drug-pushers and addicts, and if we look at them as mere problems and pests to the society, death seems the fastest and easy answer. But, if we have headache, do we cut the head? Do we ever wonder why they fall victims of that deadly narcotics? A Lion share of those who got killed were actually poor people. Do we ever lift a finger to alleviate their poverty? Our ignorance and negligence may have indirectly led them into poverty and misery.

Fr. Gerard Timoner III, OP, our provincial, used to teach an idea of brothers shepherding brothers in the seminary. This means that the responsibility of taking care of our brothers in formation does not only rest only on the formators, but also on every brother. We need to become shepherds to one another, especially when the shepherds seem to stray away. Recently, he met us and shared what he gained from the Dominican General Chapter in Bologna last August. He emphasized that to promote vocation is not only about recruiting new members, but also nurturing and safeguarding the vocation of our own brothers in the Order.

To become a sheep of Christ means that we are also part of a bigger sheepfold. As Jesus takes care of each one of us, so we need to take care of one another. As the Good Shepherd reaches out to the lost sheep, we shall stretch ourselves to meet those who are lost in their journey. Surely, it is difficult, but they are still our brothers and sisters, fellow-sheep of Christ.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP