Petrus dan Paulus

Hari Raya Santo Petrus dan Santo Paulus [C]

29 Juni 2025

Matius 16:13-19

Mengapa Gereja merayakan Santo Petrus dan Santo Paulus bersama-sama? Ada beberapa faktor kunci yang menyebabkan hal ini:

1. Tokoh-tokoh penting dalam Perjanjian Baru

Baik Petrus maupun Paulus adalah tokoh-tokoh yang paling sering disebut dalam Perjanjian Baru di antara tokoh lainnya. Petrus (termasuk variasi seperti Simon, Kefas, atau Simon Petrus) muncul sekitar 190 kali, sementara Paulus bahkan lebih sering disebut, sekitar 228 kali. Hal ini jauh melampaui tokoh-tokoh besar lainnya seperti Yohanes Pembaptis (disebutkan sekitar 90 kali). Lukas menulis bukunya yang berjudul Kisah Para Rasul, namun narasinya didominasi oleh kedua tokoh ini. Selain mencatat perbuatan mereka, keduanya juga menyumbangkan tulisan-tulisan yang menjadi bagian dari Perjanjian Baru: Petrus menulis dua surat (1 dan 2 Petrus), sementara Paulus menulis 13 surat, yang membentuk sebagian besar kanon Perjanjian Baru.

2. Kehidupan dan Pelayanan yang Saling Terkait

Jalan mereka bertemu pada saat-saat kritis dalam sejarah Gereja mula-mula. Setelah pertobatannya yang dramatis, Paulus mengunjungi Yerusalem dan menghabiskan waktu 15 hari bersama Petrus (Gal 1:18), kemungkinan besar untuk belajar secara langsung tentang ajaran-ajaran Yesus dari sang rasul. Kemudian, dalam Konsili Yerusalem (Kis 15), Paulus dan Barnabas menentang pemberlakuan adat istiadat Yahudi seperti sunat kepada orang-orang non-Yahudi yang percaya. Petrus, sebagai pemimpin para rasul, akhirnya memutuskan bahwa orang-orang yang percaya ini tidak boleh dibebani oleh adat istiadat Yahudi, dan dengan demikian berpihak pada Paulus. Namun, hubungan mereka bukannya tanpa ketegangan. Paulus kemudian secara terbuka mengkritik Petrus ketika ia menarik diri dari makan bersama dengan orang-orang non-Yahudi (Gal 2:11-14). Namun konflik ini bukanlah akhir bagi mereka.

3. Kemartiran Bersama di Roma

Meskipun Alkitab hanya mencatat beberapa pertemuan mereka, tradisi menyatakan bahwa mereka bertemu di Roma. Kisah Para Rasul diakhiri dengan Paulus yang tiba di kota itu sekitar tahun 60-61 Masehi sebagai seorang tahanan, menunggu pengadilan di hadapan Kaisar. Bahkan dalam tahanan rumah, ia tidak berhenti berkhotbah dan kemungkinan besar menulis surat-suratnya seperti kepada Gereja di Efesus dan Filipi. Setelah dibebaskan (sekitar tahun 63 M), ia ditangkap kembali pada masa penganiayaan Nero dan dieksekusi sekitar tahun 65-66 M. Sementara itu, Petrus kemungkinan besar mencapai Roma pada awal tahun 60-an Masehi, di mana ia segara diakui sebagai pemimpin (uskup) Gereja Roma. Keduanya mungkin telah berkolaborasi di sana dalam pewartaan dan pelayanan sebelum keduanya menghadapi kematian. Petrus disalibkan secara terbalik dan Paulus dipenggal karena dia warga negara Romawi.

4. Warisan Abadi di Roma

Makam mereka tetap menjadi titik fokus ziarah umat Kristiani, terutama di tahun Yubileum ini. Basilika Santo Petrus di Kota Vatikan berdiri di atas lokasi pemakamannya, sementara Basilika Santo Paulus di Luar Tembok di Via Appia menandai tempat Paulus disemayamkan. Yang menarik, Basilika Santo Yohanes Lateran yang adalah katedral di Roma, memiliki patung perunggu Santo Petrus dan Santo Paulus di atas altar utamanya, yang menyimpan relik bagian tengkorak dari kedua santo ini. Simbolisme ini menggarisbawahi peran mereka yang tak terpisahkan sebagai pilar kembar Gereja Roma.

Namun kita perlu ingat bahwa kedua orang itu tidak dimulai sebagai orang hebat. Petrus, yang impulsif dan penakut, menyangkal Kristus tiga kali. Paulus, yang pernah menjadi penganiaya orang-orang Kristen, berusaha menghancurkan Gereja. Namun melalui rahmat Allah, keduanya diubahkan, dan pada akhirnya memberikan hidup mereka bagi Kristus. Hari raya bersama mereka tidak hanya menghormati kemartiran mereka, tetapi juga merayakan bagaimana Tuhan menggunakan orang-orang yang memiliki kekurangan untuk membangun Gereja-Nya.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apakah kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia? Bagaimana rahmat Allah memberdayakan dan mentransformasikan kita? Apakah kita mengasihi Gereja seperti Santo Petrus dan Santo Paulus? Bagaimana kita mencintai Gereja?

Body Given in Love

Solemnity of Corpus Christi

June 22, 2025

Luke 9:11b-17

The Solemnity of Corpus Christi celebrates the Eucharist, the real presence of Jesus Christ in the Holy Mass. Since it is a celebration of the Eucharist, the Solemnity of Corpus Christi is intrinsically linked to Maundy Thursday, when Jesus instituted the Eucharist at the Last Supper. If Corpus Christi is fundamentally connected to Maundy Thursday, then it is also tied to the entire Easter Triduum. Jesus’ real presence is not only associated with the Last Supper but also with His Cross and Resurrection. But, how are Corpus Christi related to the Cross and Resurrection?

Jesus’ Body and Blood are, in essence, the sacrifice of the Cross (Jn 1:29; Eph 5:2). In the Old Testament, offering sacrifices was the divinely ordained way of worship. The Book of Leviticus describes various types of sacrifices, such as the burnt offering (holocaust), the sin offering, and the peace offering (communion sacrifice) (Lev 1–5). Jesus perfectly fulfills all these Old Testament sacrifices. He surrendered Himself completely on the Cross as the perfect holocaust (Heb 10:5-10). He died to save us from our sins, just as a sin offering does (2 Cor 5:21). Moreover, His Body and Blood are received by His people, much like the communion sacrifice—a type of offering that was partly given to God, partly consumed by the priest, and partly shared by the worshippers, symbolizing communion between God and His people (Eph 2:14-16).

However, Corpus Christi is also connected to His Resurrection. The Body and Blood of Christ that we receive in the Eucharist are not merely ordinary flesh but the glorified and resurrected Body of Christ. Ordinary human bodies are weak, limited, and subject to decay after death. Yet, Jesus’ resurrected body is full of grace and life-giving power—a body that transcends time and space, moves between heaven and earth, and can transform its appearance into bread and wine. This is why, in John 6:54-55, Jesus confidently declares: “Those who eat my flesh and drink my blood have eternal life, and I will raise them up on the last day; for my flesh is true food and my blood is true drink.”

The Feast of Corpus Christi reveals that Jesus, the Son of the living God, gave up everything—His life, His divinity, and His humanity—for us as the ultimate sign of His radical love. Yet Corpus Christi does not end with the Eucharist. As we carry Jesus in our lives, we are also called to share our bodies with one another in love. In fact, as human beings, the greatest expression of love is through our bodies. Married couples give themselves to each other until death separates them. Parents sacrifice their bodies for their children so they may live and grow. Religious men and women dedicate their bodies to the Church and the people of God. Just as Jesus said, “This is my body which is given for you,” we also do the same, “This is my body which is given in love!”

The Eucharist is truly central to our lives—not only because it provides perfect and acceptable worship to the Father, but also because it grants us the grace to share our bodies with others. Only by sharing our humanity in love do we find true happiness, and this is made possible through the grace we receive in the Eucharist.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

What are our understanding about the Eucharist? How often do we participate in the Eucharist and receive the Body and Blood of Christ? How do we express our reverence and love when we receive the Eucharist? How do we use our bodies to love?

Tubuh yang Diserahkan

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus

22 Juni 2025

Lukas 9:11b-17

Hari Raya Corpus Christi (Tubuh dan Darah Yesus Kristus) merayakan Ekaristi, secara khusus kehadiran Yesus Kristus yang nyata dalam Misa Kudus. Karena itu Hari Raya Corpus Christi secara intrinsik terkait dengan Kamis Putih, dimana Yesus melembagakan Ekaristi pada Perjamuan Terakhir. Jika Corpus Christi pada dasarnya terkait dengan Kamis Putih, maka Corpus Christi juga terkait dengan seluruh Triduum Paskah. Kehadiran Yesus yang nyata tidak hanya dikaitkan dengan Perjamuan Terakhir tetapi juga tidak bisa lepas dengan Salib dan Kebangkitan-Nya. Namun, bagaimana Corpus Christi terkait dengan Salib dan Kebangkitan?

Tubuh dan Darah Yesus, pada dasarnya, adalah kurban Salib (Yoh 1:29; Ef 5:2). Dalam Perjanjian Lama, mempersembahkan kurban adalah cara penyembahan yang diperintahkan Allah. Kitab Imamat menjelaskan berbagai jenis pengorbanan, seperti korban bakaran (holocaust), korban penghapus dosa, dan korban perdamaian (atau korban persekutuan) (Im 1-5). Yesus dengan sempurna menggenapi semua pengorbanan Perjanjian Lama ini. Dia menyerahkan diri-Nya sepenuhnya di kayu salib sebagai korban bakaran yang sempurna (Ibr 10:5-10). Dia wafat untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita, sama seperti korban penghapus dosa (2 Kor 5:21). Selain itu, Tubuh dan Darah-Nya diterima oleh umat-Nya, sama seperti kurban persekutuan – jenis persembahan yang sebagian diberikan kepada Tuhan, sebagian dimakan oleh imam, dan sebagian lagi dibagikan kepada para penyembah, yang melambangkan persekutuan antara Tuhan dan umat-Nya (Ef 2:14-16).

Namun, Tubuh Kristus juga terhubung dengan Kebangkitan-Nya. Tubuh dan Darah Kristus yang kita terima dalam Ekaristi bukanlah sekadar daging biasa, melainkan Tubuh Kristus yang dimuliakan dan dibangkitkan. Tubuh manusia biasa adalah lemah, terbatas, dan hancur setelah kematian. Namun, tubuh Yesus yang telah dibangkitkan penuh dengan rahmat dan kuasa yang memberi kehidupan – tubuh yang tidak akan mati lagi, mampu melampaui ruang dan waktu, bergerak di antara langit dan bumi, dan dapat mengubah wujudnya menjadi roti dan anggur. Inilah sebabnya, dalam Yohanes 6:54-55, Yesus dengan penuh keyakinan mengajarkan: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada hari terakhir, sebab daging-Ku adalah makanan yang sejati dan darah-Ku adalah minuman yang sejati.”

Perayaan Corpus Christi mengungkapkan bahwa Yesus, Putra Allah yang hidup, menyerahkan segalanya – hidup-Nya, keilahian-Nya, dan kemanusiaan-Nya – bagi kita sebagai tanda utama dari kasih-Nya yang radikal. Namun, Corpus Christi tidak berakhir dengan Ekaristi. Ketika kita membawa Yesus dalam hidup kita, kita juga dipanggil untuk berbagi tubuh kita satu sama lain dalam kasih. Faktanya, sebagai manusia, ungkapan kasih yang terbesar adalah melalui tubuh kita. Pasangan yang sudah menikah memberikan diri mereka satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Orang tua mengorbankan tubuh mereka untuk anak-anak mereka agar mereka dapat hidup dan bertumbuh. Para pria dan wanita religius mempersembahkan tubuh mereka untuk Gereja dan umat Allah. Sama seperti Yesus berkata, “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagimu,” kita juga melakukan hal yang sama, “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan dalam kasih!”

Ekaristi sungguh-sungguh menjadi pusat kehidupan kita – bukan hanya karena Ekaristi memberikan penyembahan yang sempurna dan berkenan kepada Bapa, tetapi juga karena Ekaristi memberikan kita rahmat untuk berbagi tubuh kita dengan orang lain. Hanya dengan berbagi kemanusiaan kita dalam kasih, kita dapat menemukan kebahagiaan sejati, dan hal ini dimungkinkan melalui rahmat yang kita terima dalam Ekaristi.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apa pemahaman kita tentang Ekaristi? Seberapa sering kita berpartisipasi dalam Ekaristi dan menerima Tubuh dan Darah Kristus? Bagaimana kita mengekspresikan rasa hormat dan kasih kita ketika kita menerima Ekaristi? Bagaimana kita menggunakan tubuh kita untuk mengasihi?

Trinity in the Bible and in Our Life

The Solemnity of the Most Holy Trinity [C]

June 15, 2025

John 16:12-15

The mystery of the Holy Trinity stands at the center and foundation of our faith because it reveals the very nature of God. Our logical minds can deduce that there is one God, a perfect Being who created and sustains all things. Yet, we depend on divine revelation to grasp this profound truth. The word “Trinity” does not appear in Scripture, but the Bible, both in the Old and New Testaments, unveils this reality. Scripture affirms there is only one God, yet simultaneously reveals a plurality within His oneness.

One intriguing passage that hints at the Trinity is the very verse that declares God’s oneness—the Shema Israel (Deuteronomy 6:4). The Hebrew text reads: “שְׁמַע יִשְׂרָאֵל יְהוָה אֱלֹהֵינוּ יְהוָה אֶחָד” (Shema Yisrael Adonai Eloheinu Adonai Echad). Most English translations render this as, “Hear, O Israel: The Lord our God, the Lord is one.” However, a more literal translation would be: “Hear, O Israel: The Lord, our God, the Lord, one.” It is striking how the verse mentions the Lord three times before concluding with “one.”

Other Old Testament passages also suggest plurality within God’s unity. For example: Gen 1:1-2 and 1:26 speak of God creating with His Spirit and using the plural “Let Us make man in Our image.” The Angel of the Lord appears as a divine yet distinct figure (Gen 16:7-13; 22:11-18; Exo 3:2-6; Judg 13:18-22). The Spirit of God is active in the Psalms and prophets (Ps 51:11; Isa 63:10-11; 48:16; Eze 36:26-27). Prophet Zechariah (2:10-11) even speaks of “two Yahwehs.” Yet, the fullness of this mystery is only fully revealed in the New Testament.

One of the most definitive Trinitarian passages is Matthew 28:19: “Baptize them in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit.” Here, Jesus speaks of one name, yet within that one name are three distinct Persons: Father, Son, and Holy Spirit.

However, the Trinity is more than a biblical truth, but it is the most precious gift to us. As St. Paul writes, “No one can say, ‘Jesus is Lord,’ except by the Holy Spirit” (1 Cor 12:3). The Spirit infuses faith in our hearts, enabling us to confess Christ, the Son of the Father. The same Spirit pours hope into us amid trials, especially for confessing the true God (Rom 5:3-5). And when we love, even those hardest to love, we participate in the life of the Triune God, whose very essence is love (1 Jn 4:8).

The Trinity is not merely a doctrine to profess but a mystery we live daily. We enter Christian life through Trinitarian baptism. As Catholics and Orthodox, we begin prayers with the Sign of the Cross, invoking the Father, Son, and Spirit. In the Eucharist, the Holy Spirit transforms the bread and wine into Christ’s Body and Blood, offered to the Father as the perfect sacrifice.

As we celebrate this greatest mystery of our faith, let us give thanks that God invites us into His very life—Father, Son, and Holy Spirit—now and forever.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Question:

How do we relate with the Holy Trinity? When the first time, we recognize the truth about the Trinity? How do we relate to the Father? How do we relate to Jesus? How do we relate to the Holy Spirit?

Tritunggal di Kitab Suci dan Hidup Kita

Hari Raya Tritunggal Mahakudus [C]

15 Juni 2025

Yohanes 16:12-15

Misteri Tritunggal Mahakudus berada di pusat dan dasar dari iman kita karena misteri ini menyingkapkan siapa Allah kita sebenarnya. Pikiran logis kita dapat menyimpulkan bahwa hanya ada satu Allah, yaitu Tuhan yang sempurna yang menciptakan dan memelihara segala sesuatu. Namun, kita hanya bisa bergantung pada wahyu ilahi untuk memahami kebenaran yang mendalam ini. Kata “Tritunggal” memang tidak muncul dalam Alkitab, tetapi Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menyingkapkan realitas ini. Alkitab menegaskan bahwa hanya ada satu Allah, namun secara bersamaan mengungkapkan kemajemukan (pluralitas) di dalam keesaan-Nya.

Salah satu ayat menarik yang mengisyaratkan Trinitas adalah ayat yang menyatakan keesaan Allah, “Shema Israel” (Ulangan 6:4). Ayat dalam bahasa Ibrani tersebut tertulis: “שְׁמַע יִשְׂרָאֵל יְהוָה אֱלֹהֵינוּ יְהוָה אֶחָד” (Shema Yisrael Adonai Eloheinu Adonai Echad). Alkitab Indonesia menerjemahkannya sebagai, “Dengarlah, hai Israel: Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.” Namun, terjemahan yang lebih harfiah adalah: “Dengarlah, hai Israel: Tuhan, Allah kita, Tuhan, satu.” Sungguh mengejutkan bagaimana ayat ini menyebutkan Tuhan tiga kali sebelum diakhiri dengan kata “satu”.

Ayat-ayat Perjanjian Lama yang lain juga menunjukkan kemajemukan di dalam kesatuan Allah. Sebagai contoh: Kej 1:1-2 berbicara tentang Allah yang menciptakan dengan Roh dan Sabda-Nya. Lalu Kej 1:26 menggunakan bentuk jamak bagi Allah yang satu, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Malaikat Tuhan muncul sebagai sosok yang ilahi namun berbeda dengan Allah (Kej 16:7-13; 22:11-18; Kel 3:2-6; Hak 13:18-22). Roh Allah aktif di dalam Mazmur dan para nabi (Mzm 51:11; Yes 63:10-11; 48:16; Yeh 36:26-27). Nabi Zakharia (2:10-11) bahkan berbicara tentang “dua Yahwe”. Namun, kepenuhan misteri ini baru terungkap sepenuhnya dalam Perjanjian Baru.

Salah satu ayat yang paling definitif tentang Tritunggal adalah Matius 28:19: “Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Di sini, Yesus berbicara tentang satu nama, namun di dalam satu nama tersebut terdapat tiga Pribadi yang berbeda: Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Namun, Tritunggal bukan hanya sekedar kebenaran Alkitabiah, tetapi juga merupakan anugerah yang paling berharga bagi kita. Paulus menulis, “Tidak ada seorangpun yang dapat berkata: ”Yesus adalah Tuhan“, kalau tidak oleh Roh Kudus” (1 Kor 12:3). Roh Kudus menanamkan iman di dalam hati kita, memampukan kita untuk mengakui Yesus, Putra Bapa. Roh yang sama mencurahkan pengharapan ke dalam diri kita di tengah-tengah pencobaan, terutama untuk mengakui Allah yang benar (Rm 5:3-5). Dan ketika kita mengasihi, bahkan kepada mereka yang paling sulit untuk dikasihi, kita mengambil bagian dalam kehidupan Allah Tritunggal, yang pada hakikatnya adalah kasih (1 Yoh 4:8).

Tritunggal bukan hanya sebuah doktrin yang harus diimani, tetapi sebuah misteri yang kita hayati setiap hari. Kita memasuki kehidupan Kristiani melalui baptisan Tritunggal. Sebagai umat Katolik dan Ortodoks, kita memulai doa dengan Tanda Salib, menyebut nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dalam Ekaristi, Roh Kudus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, yang dipersembahkan kepada Bapa sebagai kurban yang sempurna.

Ketika kita merayakan misteri terbesar dalam iman kita ini, marilah kita bersyukur bahwa Allah mengundang kita ke dalam kehidupan-Nya – Bapa, Putra, dan Roh Kudus – sekarang dan selamanya.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Bagaimana kita berhubungan dengan Allah Tritunggal Mahakudus? Bagaimana kita berhubungan dengan Bapa? Bagaimana kita berhubungan dengan Yesus? Bagaimana kita berhubungan dengan Roh Kudus?

Moses

3rd Sunday of Lent [C]

March 23, 2025

Exodus 3:1-8a, 13-15

Moses is undoubtedly one of the greatest figures in the Old Testament. He led the Israelites out of slavery in Egypt, mediated the Sinaitic covenant, taught God’s laws, and even performed miracles. His life and teachings are recorded in four books of the Bible: Exodus, Leviticus, Numbers, and Deuteronomy. However, when we look deeper into his life, we discover that his story is not solely about greatness and success. Moses also had a dark past.

Moses was born into the Levite clan during a time when Egypt had ordered the killing of all Hebrew baby boys. To save him, his mother devised a plan to place him in a basket on the Nile River, where he was found by an Egyptian princess. She drew him from the water and named him “Moses” (Exodus 2:10). Though an Israelite by birth, Moses was adopted by the princess and raised as part of the royal family, enjoying the privileges reserved for Egyptian nobility.

Moses’ story might have had a “happy ending” had he not involved himself in the struggles of the Hebrew slaves. He could have lived comfortably as an Egyptian official, married an Egyptian woman, raised a family, and enjoyed a peaceful old age. However, he could not ignore the injustice inflicted on his people. In a moment of anger, he killed an Egyptian who was oppressing an Israelite. Moses believed he had hidden his crime, but he was wrong. When he tried to mediate a dispute between two Israelites, they revealed his secret, exposing him as a murderer. His comfortable life was shattered, and he was forced to flee Egypt. Once drawn from the water, Moses now found himself drowning in despair.

In Midian, Moses started a new life. He protected the daughters of a Midianite priest from harassing shepherds, and as a sign of gratitude, the priest welcomed him and gave him his daughter Zipporah in marriage. This marked Moses’ second life. Though not as luxurious as his life in Egypt, it was peaceful. Yet, when Moses was around 80 years old, God appeared to him in a burning bush and called him to be His instrument in liberating the Israelites from Egyptian slavery. Moses doubted himself deeply. After all, he was a murderer and a fugitive who had betrayed the kindness of the Egyptians, while distrusted his fellow Israelites. He was also old and content with his life in Midian.

Despite Moses’ dark and sinful past—and his current doubts—God insisted on choosing him. Why? Because Moses’ story is ultimately not about Moses but about God, who redeemed Israel through an imperfect man. Yet, Moses was not merely an instrument. As he journeyed with God, he also found his own redemption.

Like Moses, we are far from perfect. We are broken, struggling with sin and disordered attachments. We fail as parents, spouses, children, and friends. We hurt others and ourselves. We doubt our worth and often settle for less. Yet, God insists on bringing out the best in us and invites us to walk with Him to find redemption. In the end, we can only be grateful, for despite our brokenness and imperfections, God makes us beautiful.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

What do we remember about Moses?  Do we have something in common with Moses? If so, what is it? Do we have a dark past like Moses? Do we experience failures like Moses? Do we doubt God’s plan for us, as Moses did? What can we learn from Moses as he accepted God’s calling? 

Words from the Hearts

8th Sunday in Ordinary Time [C]

March 2, 2025

Luke 6:39-45

The Book of Sirach tells us, “Praise no one before he speaks, for it is then that people are tested (27:7).” This means that to truly know someone, we must listen to their words, as their words reveal much about who they are. Indeed, our words unveil many aspects of our lives. From the choice of our words, others can gauge our knowledge and intellectual capacity. The way we speak can also reveal some of our dominant characteristics. Furthermore, our words express our beliefs and what we hold dear.

However, expressing words is just one side of the story, for words can also be used to deceive and manipulate. We can use words to lead people to believe something about us that might not be true. We can say things that hide parts of ourselves. We can utter words that are pleasing and encouraging, with the aim of gaining favor from others.

Ancient people long recognized the power of words and developed an art called “rhetoric” (literally, the art of speaking or the art of persuasion). Aristotle wrote his classic manual on rhetoric around 350 BC, while teaching at his school, the Lyceum, in ancient Athens. His manual became the standard for many orators who sought to convince, persuade, and influence people. Aristotle identified three elements of rhetoric: ethos (credibility of the speaker), logos (logical argument), and pathos (emotional appeal to the audience). A good orator must incorporate all three elements in their speech.

Unfortunately, many people are easily persuaded by pathos alone, since we enjoy hearing dramatic, even bombastic words—those that are pleasing to us. We tend to avoid painful or unpleasing words. Naturally, we dislike people who speak critically about us, regardless of their ethos, logos, or even veritas (truth). At times, we follow and even idolize someone because we are “hypnotized” by their words, assuming they are credible, truthful, and even “saintly.” We may then refuse to acknowledge evidence that their words are not truthful or even harmful for us.

In today’s Gospel, Jesus teaches us that “from the fullness of the heart, the mouth speaks (Luk 6:45).” What is in our hearts is reflected in our words. If our hearts are filled with evil, our words may sound sweet, but they can be manipulative and self-serving. If our hearts are filled with genuine love for others, our words may not always be easy to hear, but they will be for the authentic good of those we love. Jesus’ words to His disciples are not always sweet and often difficult to accept. Phrases like “love your enemies (Luk 6:27),” “Do not murder, do not commit adultery, do not steal, do not give false testimony, honor your father and mother (Mat 19:18),” “sell your goods and give to the poor (Luk 18:22),” and “unless you eat my body, you will not have life (John 6:53)” are hard to digest, but they are meant for our ultimate good—our salvation.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guiding Questions:

What is in our hearts? Are our thoughts good, pure, and noble, or are they selfish, malicious, and evil? How do we use our words? Do we use words that encourage or discourage? Do we build people up or tear them down? Do we follow Jesus, even when His words are difficult?

Kata-kata dari Hati

Minggu ke-8 dalam Masa Biasa [C]

2 Maret 2025

Lukas 6:39-45

Kitab Putra Sirakh mengatakan, “Janganlah kamu memuji seseorang sebelum ia berbicara, karena pada saat itulah orang diuji (27:7).” Ini berarti bahwa untuk benar-benar mengenal seseorang, kita harus mendengarkan perkataannya, karena perkataannya mengungkapkan banyak hal tentang siapa dia. Sesungguhnya, kata-kata kita menyingkapkan banyak aspek dalam hidup kita. Dari pilihan kata-kata kita, orang lain dapat mengukur pengetahuan dan kapasitas intelektual kita. Cara kita berbicara juga dapat mengungkapkan beberapa karakteristik dominan kita. Lebih jauh lagi, kata-kata kita mengekspresikan keyakinan dan apa yang kita pegang teguh. Namun, mengekspresikan kata-kata hanyalah satu sisi dari cerita.

Kata-kata memang bisa mengungkapkan siapa diri kita, namun juga dapat digunakan untuk menipu dan memanipulasi. Kita dapat menggunakan kata-kata untuk membuat orang lain percaya akan sesuatu tentang diri kita yang mungkin tidak benar. Kita dapat mengatakan hal-hal yang justru menyamarkan bagian dari diri kita. Kita dapat mengucapkan kata-kata yang menyenangkan dan membesarkan hati, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dari orang lain.

Orang-orang di zaman kuno telah lama menyadari kekuatan kata-kata dan mengembangkan seni yang disebut “retorika” (secara harfiah berarti seni berbicara atau seni persuasi). Aristoteles menulis buku panduan klasiknya tentang retorika sekitar tahun 350 SM, ketika mengajar di sekolahnya, Lyceum, di Athena kuno. Buku panduannya menjadi standar bagi banyak orator yang berusaha meyakinkan, membujuk, dan mempengaruhi banyak orang. Aristoteles mengidentifikasi tiga elemen retorika: ethos (kredibilitas pembicara), logos (argumen logis), dan pathos (dampak emosional pada pendengar). Seorang orator yang baik harus menggabungkan ketiga elemen tersebut dalam pidatonya.

Sayangnya, banyak orang yang mudah terbujuk oleh pathos saja, karena kita senang mendengar kata-kata yang dramatis, bahkan bombastis – kata-kata yang menyenangkan bagi kita. Secara alamiah, kita cenderung menghindari kata-kata yang menyakitkan atau tidak menyenangkan. Kita tidak menyukai orang yang berbicara secara kritis tentang kita, terlepas dari etos, logos, atau bahkan aletheia (kebenaran). Kadang-kadang, kita mengikuti dan bahkan mengidolakan seseorang karena kita “terhipnotis” oleh kata-kata mereka. Dan kita kemudian percaya bahwa mereka kredibel, jujur, dan bahkan “kudus”. Kita kemudian menolak untuk mengakui bukti-bukti bahwa kata-kata mereka tidak benar atau bahkan berbahaya bagi kita.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan kita bahwa “dari kepenuhan hati, mulut berkata-kata” (Luk. 6:45). Apa yang ada di dalam hati kita tercermin dalam kata-kata kita. Jika hati kita dipenuhi dengan kejahatan, kata-kata kita mungkin terdengar manis, tetapi bisa jadi manipulatif dan mementingkan diri sendiri. Jika hati kita dipenuhi dengan kasih yang tulus, kata-kata kita mungkin tidak selalu enak didengar, tetapi kata-kata itu akan menjadi kebaikan sejati bagi mereka yang kita kasihi. Kata-kata Yesus kepada murid-murid-Nya tidak selalu manis dan sering kali sulit untuk diterima. Ungkapan-ungkapan seperti “kasihilah musuhmu (Luk. 6:27)”, “Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu (Mat. 19:18)”, “juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin (Luk. 18:22)”, dan “jikalau kamu tidak makan tubuh-Ku, kamu tidak mempunyai hidup (Yoh. 6:53)” memang sulit untuk dicerna, namun semua itu dimaksudkan untuk kebaikan kita yang hakiki, yakni keselamatan kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan Pemandu:

Apa yang ada di dalam hati kita? Apakah pikiran kita baik, murni, dan mulia, ataukah egois, jahat, dan licik? Bagaimana kita menggunakan kata-kata kita? Apakah kita menggunakan kata-kata yang mendorong atau mematahkan semangat? Apakah kata-kata kita membangun atau meruntuhkan orang lain? Apakah kita mengikut Yesus, bahkan ketika firman-Nya sulit?

Love and Power

7th Sunday in Ordinary Time [C]

February 23, 2025

Luke 6:27-38

Jesus teaches us to “love our enemies,” but what does this mean? Does it mean we must endure their evil deeds without fighting back? Does it mean we must always give in to their demands? Does it mean we should forget what they do to us? Thankfully, the Church provides us with an answer through our first reading: the story of David and Saul.

Saul, the first king of Israel, initially supported David as one of his commanders, especially after David defeated Goliath. However, as time passed and after various wars, David became more successful than Saul and even gained greater fame. Feeling threatened by David’s growing popularity, Saul declared him his enemy and sought to kill him. David was forced to flee, and with his supporters, he waged guerrilla warfare against Saul. One day, when Saul and his army were in pursuit of David, they camped for the night. David noticed Saul’s camp nearby, and when the guards were asleep, David quietly entered Saul’s tent and had the opportunity to kill him. David’s companion even urged him to take action, knowing that Saul had caused much suffering for him and his men. Moreover, if Saul were killed, David could claim the throne and become the new king of Israel. Yet, David refused to kill Saul, recognizing that Saul was still God’s anointed king. He knew it would be cowardly to deal the final blow. Ultimately, God blessed David for showing mercy to his enemy, Saul.

The story of David and Saul illustrates how we can love our enemies. To love does not simply mean to like someone, but rather to choose to do good to them. Yes, we may feel hatred toward our enemies, but we can still decide to love them by not harming them. From David’s story, we also learn that loving our enemies presupposes that we have power over them. In David’s case, he had the power to end Saul’s life. To love someone, including our enemy, requires power.

This truth about love and power is crucial. It is not true love if we merely condone the wrongdoing of our enemies because we lack the power to defend ourselves. I often tell spouses who are victims of domestic abuse that simply giving in to the demands of an abusive partner is not true love, but a misunderstanding of Jesus’ commandment to love our enemies.

Loving others, even our enemies, is for the strong and powerful. Only through the exercise of power and authority can we do something that is genuinely good. Without power, we may deceive ourselves into thinking that we love our enemies, when in reality, we are just giving in to their wrongdoing.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

How do we understand Jesus’ commandment to love our enemies? Who are our enemies? Are we willing to love our enemies? How can we love our enemies? Are we sure that we love our enemies, or are we simply giving in to their wrongdoings?

Kasih dan Kuasa

Minggu ke-7 dalam Masa Biasa [C]

23 Februari 2025

Lukas 6:27-38

Yesus mengajarkan kita untuk “mengasihi musuh kita,” tetapi apa artinya ini? Apakah ini berarti kita harus menanggung perbuatan jahat mereka tanpa membela diri? Apakah itu berarti kita harus selalu mengalah pada tuntutan mereka? Apakah itu berarti kita harus melupakan begitu saja apa yang mereka lakukan kepada kita? Syukurlah, Gereja memberikan jawaban kepada kita melalui bacaan pertama kita: kisah Daud dan Saul.

Saul, raja pertama Israel, pada awalnya mendukung Daud sebagai salah satu panglimanya, terutama setelah Daud mengalahkan Goliat. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah melalui berbagai peperangan, Daud menjadi lebih sukses daripada Saul dan bahkan mendapatkan ketenaran yang lebih besar. Merasa terancam oleh popularitas Daud yang semakin meningkat, Saul menyatakannya sebagai musuhnya dan berusaha untuk membunuhnya. Daud terpaksa melarikan diri, dan bersama para pendukungnya, ia melancarkan perang gerilya melawan Saul.

Suatu hari, ketika Saul dan pasukannya mengejar Daud, mereka berkemah untuk bermalam. Daud melihat kemah Saul di dekatnya, dan ketika para penjaga tertidur, Daud diam-diam memasuki kemah Saul dan memiliki kesempatan untuk membunuhnya. Sahabat Daud bahkan mendesaknya untuk mengambil tindakan tersebut, karena mengetahui bahwa Saul telah menyebabkan banyak penderitaan baginya dan anak buahnya. Selain itu, jika Saul terbunuh, Daud dapat mengklaim takhta dan menjadi raja Israel yang baru. Namun, Daud menolak untuk membunuh Saul, karena ia menyadari bahwa Saul masih merupakan raja yang diurapi Tuhan. Dia tahu bahwa hal ini adalah tindakan pengecut. Pada akhirnya, Tuhan memberkati Daud karena telah menunjukkan belas kasihan kepada musuhnya, Saul.

Kisah Daud dan Saul mengilustrasikan bagaimana kita dapat mengasihi musuh-musuh kita. Mengasihi bukan hanya berarti menyukai seseorang, tetapi lebih dari itu, kita harus memilih untuk berbuat baik kepada mereka. Ya, kita mungkin merasa benci kepada musuh kita, tetapi kita masih bisa memutuskan untuk mengasihi mereka dengan tidak menyakiti mereka. Dari kisah Daud, kita juga belajar bahwa mengasihi musuh kita mengandaikan bahwa kita memiliki kuasa atas mereka. Dalam kasus Daud, ia memiliki kuasa untuk mengakhiri hidup Saul. Mengasihi seseorang, termasuk musuh kita, membutuhkan kekuatan dan kuasa.

Kebenaran tentang kasih dan kuasa ini sangatlah penting. Bukanlah kasih yang sejati jika kita hanya memaafkan kesalahan musuh kita karena kita tidak memiliki kekuatan dan kuasa untuk membela diri. Saya sering mengatakan kepada pasangan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bahwa pasrah begitu saja pada tuntutan pasangan yang kasar dan manipulatif bukanlah kasih yang sejati, tetapi kesalahpahaman akan perintah Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita.

Mengasihi orang lain, bahkan musuh kita, adalah untuk mereka yang kuat dan berkuasa. Hanya melalui penggunaan kekuasaan dan otoritas, kita dapat melakukan sesuatu yang benar-benar baik. Tanpa kekuasaan, kita dapat menipu diri kita sendiri dengan berpikir bahwa kita mengasihi musuh-musuh kita, padahal pada kenyataannya, kita hanya mengalah dan pasrah pada tindakan jahat mereka.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Bagaimana kita memahami perintah Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita? Siapakah musuh-musuh kita? Apakah kita mau mengasihi musuh-musuh kita? Bagaimanakah kita dapat mengasihi musuh-musuh kita? Apakah kita yakin bahwa kita mengasihi musuh-musuh kita, atau apakah kita hanya menyerah pada tidakan jahat mereka?