Woe to You who are Rich?

6th Sunday in Ordinary Time [C]

February 16, 2025

Luke 6:17, 20-26

Today, we reflect on Jesus’ Beatitudes according to St. Luke. Unlike St. Matthew’s version, where Jesus pronounces eight blessings, in the third Gospel, Jesus declares four blessings and four woes. One of the most striking statements is when Jesus says, “Woe to the rich!” Does this mean that being rich automatically condemns us to hell? Does St. Luke harbor hatred toward wealthy people?

The answer is a resounding NO. Being rich does not automatically lead to condemnation, nor does St. Luke despise the wealthy. In fact, the Gospel he wrote serves as the first evidence of this. Luke dedicates his Gospel to a man named Theophilus, who, as we’ve discussed before, was likely a wealthy individual who supported Luke in his writing endeavors. Luke holds deep respect for Theophilus, and Theophilus, in turn, genuinely cares for Luke and his ministry.

Secondly, it’s important to understand the meaning of the word “woe.” In the Bible, this term does not signify outright condemnation or a curse. Instead, it serves as a stern warning. The prophets of the Old Testament used “woe” to call Israel to repentance and a return to the Lord. However, if the Israelites remained stubborn, the “woe” would become a reality, and they would face the consequences of their actions (see Isaiah 5:8–22; Amos 6:1; Habakkuk 2:6–20). In the Gospel, Jesus follows in the footsteps of these prophets, using “woe” as a call to reflection and change.

At the same time, we must read Jesus’ woes in their entirety. When He says, “Woe to you who are rich, for you have received your consolation,” it becomes clear that the “woe” is not directed at all rich people but specifically at those who find their happiness solely in their wealth. In other words, the warning is for those who rely on earthly riches rather than on God. Even poor individuals who idolize money and treat it as everything in life fall under this “woe.”

The same applies to Jesus’ other warnings. Woe to us if we seek bodily pleasure and worldly enjoyment while neglecting the Kingdom of God. Woe to us if we chase popularity and fame instead of striving for God’s glory. Wealth, bodily pleasure, and fame are not inherently evil—they can be good, but only as means to attain what is truly good. Ultimately, these things will pass away when we die, and we will stand before God’s judgment empty-handed. As Job once said, “Naked I came from my mother’s womb, and naked I will depart. The Lord gave and the Lord has taken away; may the name of the Lord be praised!” (Job 1:21).

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

How do we feel after reading this Gospel? What is our attitude toward wealth and earthly possessions? How do we use your wealth, possessions, and bodily pleasures? How do we promote God’s glory in this life?

Celakalah Kamu yang Kaya?

Minggu ke-6 dalam Masa Biasa [C]

16 Februari 2025

Lukas 6:17, 20-26

Hari ini, kita merenungkan Sabda Bahagia Yesus menurut Santo Lukas. Tidak seperti versi Matius, di mana Yesus mengucapkan delapan berkat, dalam Injil ketiga, Yesus menyatakan empat berkat dan empat “celaka”. Salah satu pernyataan yang paling mencolok adalah ketika Yesus berkata, “Celakalah orang kaya!” Apakah ini berarti bahwa menjadi kaya secara otomatis membawa kita ke neraka? Apakah Santo Lukas menyimpan kebencian terhadap orang-orang kaya?

Jawabannya adalah TIDAK. Menjadi kaya tidak secara otomatis membawa kita kepada penghukuman, dan Lukas juga tidak membenci orang kaya. Faktanya, Injil yang ditulisnya menjadi bukti pertama akan hal ini. Lukas mendedikasikan Injilnya kepada seorang pria bernama Teofilus, yang seperti telah kita bahas sebelumnya, kemungkinan besar Teofilus adalah orang kaya yang mendukung Lukas dalam usaha penulisan Injilnya. Lukas sangat menghormati Teofilus, dan Teofilus, pada gilirannya, sangat peduli terhadap Lukas dan pelayanannya.

Kedua, penting untuk memahami arti kata “celaka”. Dalam Alkitab, istilah ini tidak berarti kutukan. Sebaliknya, kata ini berfungsi sebagai peringatan keras. Para nabi dalam Perjanjian Lama menggunakan kata “celakalah” untuk memanggil bangsa Israel untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan. Namun, jika orang Israel tetap keras kepala, “celaka” akan menjadi kenyataan, dan mereka akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka (lihat Yesaya 5:8-22; Amos 6:1; Habakuk 2:6-20). Dalam Injil, Yesus mengikuti jejak para nabi ini, dengan menggunakan kata “celakalah” sebagai panggilan untuk bertobat dan berubah.

Pada saat yang sama, kita harus membaca kata-kata Yesus secara keseluruhan. Ketika Dia berkata, “Celakalah kamu yang kaya, karena kamu telah menerima penghiburanmu,” jelaslah bahwa “celakalah” tidak ditujukan kepada semua orang kaya, tetapi secara khusus kepada mereka yang menemukan kebahagiaan mereka semata-mata dalam kekayaan mereka. Dengan kata lain, peringatan ini ditujukan kepada mereka yang mengandalkan kekayaan duniawi dan bukan kepada Tuhan. Bahkan orang-orang miskin yang mengidolakan uang dan mengejarnya sebagai segala-galanya dalam hidup pun termasuk dalam kategori “celaka” ini.

Hal yang sama berlaku untuk peringatan-peringatan Yesus yang lain. Celakalah kita jika kita mencari kesenangan jasmani dan kenikmatan duniawi sementara mengabaikan Kerajaan Allah. Celakalah kita jika kita mengejar popularitas dan ketenaran alih-alih berjuang untuk kemuliaan Allah. Kekayaan, kesenangan jasmani, dan ketenaran tidaklah serta merta jahat – semuanya itu bisa saja baik, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai apa yang benar-benar baik. Pada akhirnya, semua hal ini akan lenyap ketika kita mati, dan kita akan berdiri di hadapan penghakiman Tuhan tidak dengan membawa hal-hal ini. Seperti yang pernah dikatakan Ayub, “Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dan dengan telanjang pula aku akan pergi. Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil, kiranya nama Tuhan dipuji!” (Ayub 1:21).

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Bagaimana perasaan kita setelah membaca Injil ini? Bagaimana sikap kita terhadap kekayaan dan harta benda duniawi? Bagaimana kita menggunakan kekayaan, harta benda, dan kesenangan jasmani? Bagaimana kita memuliakan Allah dalam hidup ini?

God’s Holiness

5th Sunday in Ordinary Time [C]
February 9, 2025
Isaiah 6:1-2a, 3-8

In the first reading, we encounter the story of Isaiah, who was called to be God’s prophet. Isaiah saw the heavenly Temple, where the Seraphim, the highest of angels, proclaimed: “Holy, holy, holy is the Lord of hosts!” Through the mouths of the Seraphim, the Bible reveals one of God’s most fundamental characteristics—His holiness. In another passage, God explicitly commands us: “Be holy, for I am holy” (Leviticus 19:2). But what does it mean to be holy? Why is the word repeated three times? And how can we achieve holiness?

In the Bible, the word “holy” (קָדוֹשׁ, read: kadosh) can be understood as something that belongs to God. Holy places, times, objects, and people are those set apart for the Lord. Since they belong to Him, they are separated from things that are not of God. The process of transitioning from the non-holy to the holy is often called consecration or sanctification.

But what does it mean when we say that God is holy? In Scripture, “holy” is the most frequently used word to describe the God of Israel. Often, it is repeated three times, as in Isaiah’s vision. This is a common Semitic way of expressing the superlative—in other words, saying “the holiest.” Holiness, when applied to God, means:

  1. Transcendence – God is completely different from His creation. He is perfect; we are not. He is all-powerful; we are weak. He is all-knowing; we understand only a fraction of reality.
  2. Immanence – Despite His transcendence, God is not distant. He is intimately involved in history, in our lives, and in our daily struggles. He is a God who gives life, cares for us, and loves His creation.
  3. Moral Perfection – God’s holiness also refers to His absolute justice and righteousness. Every action of His is good and just.

When God calls us to be holy as He is holy, He invites us to share in His perfection. But how can we, as imperfect beings, ever reach such a standard? At first glance, this command might seem impossible. And indeed, it is—if we rely solely on our own strength. But with God, nothing is impossible. Holiness is only achievable when we are united with Him and rely on His grace.

It is humanly impossible to love our spouse through sickness, trials, and economic hardship—but God’s grace strengthens us to love until the end. It is humanly impossible to remain faithful to one’s vocation—but with God’s grace, the impossible becomes possible. It is humanly impossible to forgive and do good to those who have hurt us—but God’s grace makes reconciliation and healing attainable.

However, the life of grace is not automatic. We must do our part to allow God’s grace to transform us. This is why it is essential to: Pray faithfully, Read the Bible regularly, Participate in the Eucharist every Sunday with reverence, Go to confession frequently. These practices open our hearts to receive God’s grace, allowing us to grow in holiness. Indeed, holiness is impossible without God, but God also desires that we freely participate in His holiness.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions
Do we truly desire to live a holy life? Do we freely invite God into our lives? How do we cultivate holiness in our daily routines? Have we experienced God’s grace in our lives? How?

Kekudusan Allah

Minggu ke-5 dalam Masa Biasa [C]
9 Februari 2025
Yesaya 6:1-2a, 3-8

Dalam bacaan pertama Minggu ini, kita menemukan kisah Yesaya, yang dipanggil untuk menjadi nabi Allah. Yesaya melihat Bait Allah surgawi, di mana para Serafim, malaikat tertinggi, berseru: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam!” Melalui kata-kata para Serafim, Alkitab mengungkapkan salah satu karakteristik Allah yang paling mendasar: kekudusan-Nya. Di ayat lain, Allah secara eksplisit memerintahkan kita: “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus” (Im 19:2). Namun, apa yang dimaksud dengan kudus? Mengapa kata itu diulang tiga kali? Dan bagaimana kita dapat mencapai kekudusan?

Dalam Alkitab, kata “kudus” (Ibrani: קָדוֹשׁ, baca: kadosh) dapat dimengerti sebagai “sesuatu yang menjadi milik Tuhan”. Tempat kudus, waktu kudus, benda kudus, dan orang yang kudus adalah hal-hal yang dikhususkan untuk Tuhan karena hal-hal ini adalah milik-Nya. Menjadi milik Allah berarti juga mereka dipisahkan dari hal-hal yang bukan milik Tuhan. Proses transisi dari yang tidak kudus menjadi kudus sering disebut konsekrasi atau pengudusan.

Namun, apa yang dimaksud dengan kata “kudus” ketika kita mengatakan bahwa Allah itu kudus? Dalam Alkitab, “kudus” adalah kata yang paling sering digunakan untuk menggambarkan Allah Israel. Seringkali, kata ini diulang sebanyak tiga kali, seperti dalam penglihatan Yesaya. Ini adalah cara umum bahasa Semit untuk mengekspresikan kata superlatif – dengan kata lain, mengatakan “yang paling kudus.” Kekudusan, ketika diterapkan kepada Allah, berarti:

  1. Transendensi – Allah sama sekali berbeda dengan ciptaan-Nya. Dia sempurna; kita tidak. Dia maha kuasa; kita lemah. Dia maha tahu; kita hanya memahami sebagian kecil dari realitas. Dia adalah kesempurnaan.
  2. Immanensi – Terlepas dari transendensi-Nya, Allah tidak jauh. Dia terlibat secara secara dekat dalam sejarah manusia, dalam kehidupan kita, dan dalam pergumulan kita sehari-hari. Dia adalah Allah yang memberikan kehidupan, memperhatikan kita, dan mengasihi ciptaan-Nya. Dia adalah kasih.
  3. Kesempurnaan Moral – Kekudusan Allah juga mengacu pada keadilan dan kebenaran-Nya yang mutlak. Setiap tindakan-Nya adalah baik dan adil. Dia adalah baik dan adil.

Ketika Allah memanggil kita untuk menjadi kudus sebagaimana Dia kudus (Ima 19:2), Dia mengundang kita untuk mengambil bagian dalam kesempurnaan-Nya. Tetapi bagaimana mungkin kita, sebagai makhluk yang tidak sempurna, dapat mencapai standar seperti itu? Sekilas, perintah ini mungkin tampak mustahil. Dan memang benar – jika kita hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri. Namun, bagi Allah, tidak ada yang mustahil. Kekudusan hanya dapat dicapai ketika kita bersatu dengan-Nya dan bersandar pada rahmat-Nya.

Secara manusiawi mustahil untuk setia kepada suami atau istri secara khusus melalui masa-masa sakit, cobaan, dan kesulitan ekonomi, tetapi rahmat Allah menguatkan kita untuk mengasihi sampai akhir. Secara manusiawi mustahil untuk tetap setia pada panggilan kita, tetapi dengan rahmat Allah, hal yang mustahil menjadi mungkin. Secara manusiawi mustahil untuk mengampuni dan berbuat baik kepada mereka yang telah menyakiti kita, tetapi rahmat Allah memampukan kita dan kesembuhan menjadi mungkin.

Namun, kehidupan rahmat tidaklah otomatis. Kita harus melakukan bagian kita untuk mengizinkan rahmat Allah mengubah kita. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk: Berdoa dengan setia, membaca Alkitab secara teratur, berpartisipasi dalam Ekaristi setiap hari Minggu dengan penuh hormat, pergi ke pengakuan dosa secara rutin. Praktik-praktik rohani ini membuka hati kita untuk menerima rahmat, yang memungkinkan kita untuk bertumbuh dalam kekudusan. Sungguh, kekudusan tidak mungkin terjadi tanpa Allah, tetapi Allah juga ingin agar kita dengan bebas berpartisipasi dalam kekudusan-Nya.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi
Apakah kita sungguh-sungguh ingin hidup kudus? Apakah kita dengan bebas mengundang Allah ke dalam hidup kita? Bagaimana kita memupuk kekudusan dalam rutinitas kita sehari-hari? Sudahkah kita mengalami rahmat Allah dalam hidup kita? Bagaimana kita mengalaminya?

Consecrated

The Feast of Presentation of the Lord [C]

February 2, 2025

Luke 2:22-40

Today, we are celebrating the Feast of the Presentation, commemorating the biblical event when Mary and Joseph presented the newborn Jesus at the Temple in Jerusalem. But why must Jesus be presented at the Temple in the first place?

Joseph and Mary brought Jesus to the Temple because He was Mary’s firstborn. According to the Law of Moses, all firstborn males, whether human or animal, must be consecrated to the Lord (see Exodus 13:1-2; 11-16). The word “consecrated” here means to be made holy (Hebrew: kados), and to be holy means to belong to the Lord. The most common way to consecrate something is through sacrifice, signifying a transition from the ordinary realm to the divine realm.

Certainly, blood sacrifice was only required for livestock animals, such as sheep or goats. These animals were slaughtered and burned at the altar, signifying their transition from this world to the divine realm. However, not all things had to be killed. In the case of working animals, like donkeys, and firstborn humans, they were brought to the Temple and presented to the priest. Then, the owner or parents were required to redeem their firstborn by offering animals to be sacrificed in their place. To redeem Jesus, Joseph and Mary offered a pair of turtledoves or pigeons, a sacrifice commonly offered by the poor.

Why must the firstborn child be consecrated to the Lord? The Book of Exodus (chapter 12) tells us that, just before the Israelites left Egypt, the tenth plague that killed the Egyptian firstborns took place. The Israelite firstborns were spared because of the Passover sacrifice—the unblemished lamb that was slain, its blood placed on the doorposts, and its flesh roasted and eaten. In this way, the Passover lamb was sacrificed to redeem the firstborn Israelites from death.

What is interesting is that Luke never tells us that Jesus was redeemed. Yes, He was presented, and Mary and Joseph did offer sacrificial animals, but the word “redeem” is absent from the story. It seems that Luke deliberately omits this word to emphasize that Jesus is presented as the true firstborn—the Passover Lamb—who will be sacrificed so that we may be redeemed from sin and death.

As Christians, we no longer follow the ritual of consecrating firstborns as outlined in Exodus 13. The reason is that we are all consecrated, or set apart, for the Lord through our baptism. Through His sacrifice on the cross, Jesus is the Passover Lamb (1 Cor 5:7) who saves us from sin and death and redeems us for God. Now, we belong to the Lord, and as God’s possession, we are holy. This is why St. Paul, in his letters (1 Cor 1:2; Eph 1:1; Phil 1:1), does not refer to the Church’s members as Christians but as the “holy ones” or the “saints.” As people consecrated to God, we are called to live holy lives, for God is holy (Lev 11:44).

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Questions for Reflection:

Are we aware that we have been consecrated to the Lord? What does holiness mean? Do we live as holy people of God? How do we live a holy life in our daily routines? Do we help others grow in holiness? If so, how?

Yang Kudus

Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah [C]

2 Februari 2025

Lukas 2:22-40

Hari ini, kita merayakan Pesta Yesus yang dipersembahkan di Bait Allah, sebuah peristiwa di Injil ketika Maria dan Yusuf mempersembahkan Yesus yang baru lahir di Bait Allah di Yerusalem. Namun, mengapa Yesus harus dipersembahkan di Bait Allah?

Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Bait Allah karena Dia adalah anak sulung Maria. Menurut Hukum Musa, semua anak sulung laki-laki, baik manusia maupun hewan, harus dikuduskan bagi Tuhan (lihat Kel 13:1-2; 11-16). Kata “dikuduskan” atau dijadikan kudus (bahasa Ibrani: kados) berarti menjadi milik Tuhan. Cara yang paling umum untuk menguduskan sesuatu adalah melalui pengorbanan, yang menandakan transisi dari alam biasa ke alam ilahi.

Tentu saja, pengorbanan darah hanya diperlukan untuk hewan ternak, seperti domba atau kambing. Hewan-hewan ini disembelih dan dibakar di altar, yang menandakan peralihan hidup dari dunia ini ke alam ilahi. Namun, tidak semua hewan harus disembelih. Dalam kasus hewan pekerja, seperti keledai, dan anak sulung manusia, mereka dibawa ke Bait Allah dan dipersembahkan kepada imam. Kemudian, pemilik atau orang tua diharuskan untuk menebus anak sulung mereka dengan mempersembahkan hewan untuk dikorbankan sebagai gantinya. Untuk menebus Yesus, Yusuf dan Maria mempersembahkan sepasang burung tekukur atau merpati, kurban yang biasa dipersembahkan oleh orang miskin.

Mengapa anak sulung harus dikuduskan bagi Tuhan? Kitab Keluaran (pasal 12) menceritakan bahwa sebelum bangsa Israel meninggalkan Mesir, tulah kesepuluh yang membunuh anak-anak sulung Mesir terjadi. Anak-anak sulung Israel pun sebenarnya bisa terbunuh karena tulah ini, namun mereka diselamatkan oleh kurban Paskah, yakni anak domba tidak bercacat yang disembelih, darahnya dioleskan pada tiang-tiang pintu, dan dagingnya dipanggang dan dimakan. Dengan cara ini, anak domba Paskah dikorbankan untuk menebus anak-anak sulung Israel dari kematian.

Yang menarik adalah Lukas tidak pernah mengatakan bahwa Yesus “ditebus”. Ya, Dia memang dipersembahkan, dan Maria serta Yusuf memang membawa hewan kurban, tetapi kata “tebus” tidak ada dalam cerita ini. Tampaknya Lukas sengaja menghilangkan kata ini untuk menekankan bahwa Yesus tidak pernah ditebus. Dia telah dikuduskan untuk menjalankan perannya sebagai anak sulung yang sejati, sang Domba Paskah, yang akan dikorbankan agar kita dapat ditebus dari dosa dan maut.

Sebagai umat Kristinani, kita tidak lagi mengikuti ritual pengudusan anak sulung seperti yang diuraikan dalam Keluaran 13. Alasannya adalah karena kita semua telah dikuduskan bagi Tuhan melalui sakramen pembaptisan kita. Melalui pengorbanan-Nya di kayu salib, Yesus adalah Anak Domba Paskah (1 Kor. 5:7) yang menyelamatkan kita dari dosa dan maut serta menebus kita bagi Allah. Sekarang, kita adalah milik Tuhan, dan sebagai milik Tuhan, kita adalah kudus. Inilah sebabnya mengapa Santo Paulus, dalam surat-suratnya (1 Kor 1:2; Ef 1:1; Flp 1:1), tidak menyebut anggota Gereja sebagai orang Kristen, tetapi sebagai “orang-orang kudus.” Sebagai orang-orang yang dikuduskan bagi Allah, kita dipanggil untuk hidup kudus, karena Allah itu kudus (Im 11:44).

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk Refleksi:

Apakah kita sadar bahwa kita telah dikuduskan bagi Tuhan? Apakah yang dimaksud dengan kekudusan? Apakah kita hidup sebagai umat Allah yang kudus? Bagaimana kita menghidupi kehidupan yang kudus dalam rutinitas kita sehari-hari? Apakah kita menolong orang lain untuk bertumbuh dalam kekudusan? Jika ya, bagaimana caranya?

Who is Theophilus?

3rd Sunday in Ordinary Time [C]

January 26, 2025

Luke 1:1-4; 4:14-21

Luke addressed his Gospel to a man named Theophilus, but who exactly was he? And why did Luke dedicate his Gospel to him?

There are several interesting theories about Theophilus. The most widely accepted theory is that he was a sponsor for Luke in writing his Gospel. Two thousand years ago, producing a book was astronomically expensive. “Paper” was made either from animal skins or from papyrus, a plant that only grew along the Nile River in Egypt. Additionally, Luke had to cover “research costs.” Unlike other evangelists, Luke was not an eyewitness to the events of Jesus’ life. Therefore, to create a historically reliable document, he had to travel and interview eyewitnesses, such as some of the apostles and Mary, Jesus’ mother.

Since there were no printing machines at the time, Luke had to handwrite the text or hire a stenographer or copyist, significantly increasing the cost.

The Gospel of Luke is the longest of the four Gospels (it contains the most words). Luke also wrote the Acts of the Apostles. Together, these two works make up almost one-third of the entire New Testament. It is no wonder that Luke needed financial support from a wealthy individual for his costly project.

Luke addresses Theophilus as “κράτιστος” (kratistos), usually translated as “most excellent.” This title was commonly used to address individuals of high status and rank. Therefore, we can infer that Theophilus was more than capable of supporting Luke in writing the Gospel. But the next question arises: What was Theophilus’ relationship to Jesus? Was he a baptized Christian and a member of the early Church? Or was he just an interested individual who happened to want to learn about Jesus’ life?

If Theophilus was a baptized believer, Luke may have written his Gospel to deepen Theophilus’ knowledge of Jesus. Perhaps Theophilus would use the Gospel to instruct his local Christian community or parish. However, if Theophilus was not yet baptized, the Gospel could have served as a means of evangelization, introducing Christ to him and hopefully leading him and his family to faith.

Another interesting theory is that the name “Theophilus” does not refer to a single individual but rather to all believers. “Theophilus” is derived from two Greek words: “Theos” (meaning “God”) and “Philos” (meaning “friend” or “one who loves as a friend”). Therefore, Theophilus refers to anyone who loves God and desires to have a communion with Him. In this sense, Theophilus represents all Christians throughout the ages who seek a deeper friendship with God as they learn and contemplate on Jesus’ life through Luke’s Gospel. In this way, Luke dedicated his work to all Christians.

In the end, we may never know who Theophilus truly was, and we must wait until we reach heaven to find out. However, from both Luke and Theophilus, we learn that the work of evangelization is extremely difficult. Yet, they also show us that each person can contribute to this divine project. Some offer their talents in writing, some teach, and others provide various forms of support. While everyone can give their time and energy, some are called to preach to large audiences, while others are called to raise their families in faith. Each one of us can be a Theophilus in our own way—someone who loves God and desires for Him to be known by others.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

Have we read the entire Gospel of Luke? What is my favorite episode in the Gospel of Luke? And why? What do we do to contribute to the work of evangelization? Do we help bring God closer to others? How?

Siapakah Teofilus?

Hari Minggu ke-3 dalam Masa Biasa [C]
26 Januari 2025
Lukas 1:1-4; 4:14-21

Lukas mendedikasikan Injilnya kepada seorang yang bernama Teofilus, tetapi siapakah dia sebenarnya? Dan mengapa Lukas mendedikasikan Injilnya kepadanya?

Ada beberapa teori yang menarik tentang Teofilus. Teori yang paling banyak diterima adalah bahwa ia adalah sponsor Lukas dalam menulis Injilnya. Dua ribu tahun yang lalu, memproduksi sebuah buku sangatlah mahal. “Kertas” dibuat dari kulit binatang atau dari papirus, tanaman yang hanya tumbuh di sepanjang Sungai Nil di Mesir. Selain itu, Lukas juga harus menanggung “biaya penelitian”. Tidak seperti penginjil lainnya, Lukas bukanlah saksi mata dari peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus. Oleh karena itu, untuk membuat dokumen yang terpercaya secara historis, ia harus melakukan perjalanan dan mewawancarai para saksi mata, seperti beberapa rasul dan Maria, ibu Yesus.

Karena tidak ada mesin cetak pada saat itu, Lukas harus menulis tangan teksnya atau menyewa seorang stenografer atau penyalin, yang secara signifikan meningkatkan biaya.
Injil Lukas adalah Injil terpanjang dari keempat Injil (berisi paling banyak jumlah kata). Lukas juga menulis Kisah Para Rasul. Bersama-sama, kedua karya ini mencakup hampir sepertiga dari seluruh Perjanjian Baru. Tidak heran jika Lukas membutuhkan dukungan finansial dari luar biasa untuk proyeknya yang mahal ini.

Lukas menyebut Teofilus sebagai “κράτιστος” (kratistos), yang biasanya diterjemahkan sebagai “yang mulia”. Gelar ini biasanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki status dan pangkat yang tinggi. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Teofilus lebih dari sekadar mampu untuk mendukung Lukas dalam menulis Injil. Tetapi pertanyaan berikutnya muncul: Apa hubungan Teofilus dengan Yesus? Apakah ia seorang murid yang telah dibaptis dan anggota Gereja perdana? Ataukah dia hanya seorang yang kebetulan ingin belajar tentang kehidupan Yesus?

Jika Teofilus adalah seorang beriman yang telah dibaptis, Lukas mungkin menulis Injilnya untuk memperdalam pengetahuan Teofilus tentang Yesus. Mungkin Teofilus akan menggunakan Injil ini untuk mengajar komunitas Kristiani lokal atau parokinya. Namun, jika Teofilus belum dibaptis, Injil dapat berfungsi sebagai sarana penginjilan, memperkenalkan Kristus kepadanya dan dengan penuh harapan menuntun dia dan keluarganya kepada iman.

Teori lain yang menarik adalah bahwa nama “Teofilus” tidak merujuk kepada satu orang saja, melainkan kepada semua orang percaya. “Teofilus” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: “Theos” (yang berarti ‘Tuhan’) dan ‘Philos’ (yang berarti ‘teman’ atau ‘orang yang mengasihi sebagai teman’). Oleh karena itu, Teofilus merujuk kepada siapa pun yang mengasihi Tuhan dan ingin memiliki persatuan dengan-Nya. Dalam hal ini, Teofilus mewakili semua umat Kristiani di sepanjang zaman yang mencari persahabatan yang lebih dalam dengan Tuhan dengan belajar dan mengontemplasikan kehidupan Yesus melalui Injil Lukas. Dengan cara ini, Lukas mendedikasikan karyanya untuk kita semua.

Pada akhirnya, kita mungkin tidak akan pernah tahu siapa sebenarnya Teofilus, dan kita harus menunggu sampai kita sampai di surga untuk mengetahuinya. Namun, dari Lukas dan Teofilus, kita belajar bahwa misi evangelisasi sangatlah sulit. Namun, mereka juga menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang dapat berkontribusi dalam misi keselamatan ini. Ada yang menawarkan talenta mereka dalam bentuk tulisan, ada yang mengajar, dan ada juga yang memberikan berbagai bentuk dukungan. Meskipun setiap orang dapat memberikan waktu dan tenaga mereka, beberapa orang dipanggil untuk berkhotbah kepada khalayak ramai, sementara yang lain dipanggil untuk membesarkan keluarga mereka dalam iman. Masing-masing dari kita dapat menjadi Teofilus dengan cara kita sendiri – seseorang yang mengasihi Allah dan ingin agar Dia dikenal oleh orang lain.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:
Sudahkah kita membaca seluruh Injil Lukas? Apa episode favorit saya dalam Injil Lukas? Dan mengapa? Apa yang kita lakukan untuk berkontribusi dalam karya evangelisasi? Apakah kita membantu membawa Allah lebih dekat kepada orang lain? Bagaimana caranya?

Jesus and Mary, our Wedding Guests

Second Sunday in Ordinary Time [C}

January 19, 2025

John 2:1-12

In every wedding, we naturally expect the bridegroom and bride to take center stage. After all, it is their marriage—their happiest moment. However, the story of the wedding at Cana in Galilee offers us a different perspective, one that is often overlooked. What is it?

The wedding at Cana is not primarily about the bride and groom. Surprisingly, their names are never mentioned, and they barely feature in the story. The only time the bridegroom is mentioned is when he is praised for providing an abundant supply of high-quality wine. Instead, this Gospel account focuses on Jesus and His interaction with Mary, His mother. It reveals a deeper truth about Christian marriages that transcends the visible celebration.

The story begins with an introduction: Jesus’ mother, Jesus Himself, and His disciples are invited to the wedding. This detail carries profound significance. Whom do we invite to our wedding? Too often, we focus only on ourselves—preparing the venue, planning ceremonies and programs, selecting food, and choosing the perfect wedding attire. We become preoccupied with pleasing relatives, friends, and guests. But do we make it a priority to invite Jesus and His mother to our wedding?

Many of us might respond, “Yes! We invite Jesus to our wedding because it takes place in the Church!” Yet, is Jesus truly present in our hearts? For some, the wedding is held in a church simply because we happen to be Catholic. Others choose a church wedding for its beauty or prestige. Many attend pre-marriage catechetical courses merely out of obligation, complying with diocesan requirements to secure a church wedding. But how many of us make a conscious and heartfelt effort to truly invite Jesus to our wedding? Do we spiritually prepare for the sacrament through retreats or confession? Do we ask for His grace and guidance as we embark on this sacred journey?

The story of the wedding at Cana also highlights Mary’s unique role. She notices the wine is running out and alerts Jesus to the problem. After a brief exchange, she instructs the servants: “Do whatever He tells you.” This leads to Jesus performing His first miracle. These events reveal Mary’s deep involvement in the wedding. She is not just an ordinary guest; she has access to the inner workings of the household and is aware of the practical needs, such as the shortage of wine. Instead of informing the bridegroom or his family, she turns to Jesus. Out of love for His mother, Jesus uses the simple resources available—water—and transforms them into the finest wine.

This truth is both profound and beautiful. If we want the “best wine” in our marriage, it is essential not only to invite Jesus and Mary to our wedding day but to welcome them into our “kitchen,” and to allow them to be involved in everyday moments of our lives. The Gospel reminds us that the best wine comes from ordinary water. In the same way, the greatest blessings in marriage often arise from simple, unseen acts of love for our spouse and children.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions

Have we truly invited Jesus and Mary into our marriage, family, and daily lives? Do we recognize Jesus working miracles in our marriages? Have we entrusted our marriage and family to the care of Mary?

Yesus dan Maria, Tamu Pernikahan Kita

Minggu Kedua dalam Masa Biasa [C]
19 Januari 2025
Yohanes 2:1-12

Dalam setiap pernikahan, kita tentu mengharapkan mempelai pria dan wanita menjadi pusat perhatian. Bagaimanapun juga, ini adalah pernikahan mereka – momen paling membahagiakan bagi mereka. Namun, kisah pernikahan di Kana di Galilea menawarkan perspektif yang berbeda, yang sering kali diabaikan. Apakah itu?

Pernikahan di Kana bukan tentang kedua mempelai. Bahkan, nama mereka tidak pernah disebutkan, dan mereka hampir tidak muncul dalam cerita. Satu-satunya momen mempelai pria disebutkan adalah ketika dia dipuji karena menyediakan anggur berkualitas tinggi yang melimpah. Sebaliknya, kisah Injil ini berfokus pada Yesus dan interaksi-Nya dengan Maria, ibu-Nya. Kisah ini mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam tentang pernikahan Kristiani yang sering kali tidak terlihat oleh mata.

Kisah ini dimulai dengan sebuah pengantar: Ibu Yesus, Yesus sendiri, dan para murid diundang ke pesta pernikahan. Detail ini memiliki makna yang mendalam. Siapa yang kita undang ke pesta pernikahan kita? Terlalu sering, kita hanya berfokus pada diri kita sendiri-mempersiapkan tempat, merencanakan acara, memilih makanan, dan memilih pakaian pernikahan yang sempurna. Kita menjadi sibuk untuk menyenangkan kerabat, teman, dan tamu. Namun, apakah kita memprioritaskan untuk mengundang Yesus dan ibu-Nya dalam pernikahan kita?

Banyak dari kita mungkin menjawab, “Ya! Kami mengundang Yesus ke pernikahan kami karena pernikahan kami dilangsungkan di Gereja!” Namun, apakah Yesus benar-benar hadir di dalam hati kita? Bagi sebagian orang, pernikahan diadakan di gereja hanya karena kita beragama Katolik. Yang lainnya memilih pernikahan di gereja karena keindahan atau prestisenya. Banyak yang mengikuti kursus persiapan pernikahan hanya karena kewajiban, memenuhi persyaratan keuskupan untuk mendapatkan izin pernikahan di gereja. Namun, berapa banyak dari kita yang secara sadar dan sepenuh hati berusaha untuk benar-benar mengundang Yesus dalam pernikahan kita? Apakah kita mempersiapkan diri secara rohani retret atau pengakuan dosa sebelum menerima sakramen pernikahan? Apakah kita memohon rahmat dan bimbingan-Nya saat kita memulai perjalanan sakral ini?

Kisah pernikahan di Kana juga menyoroti peran Maria yang unik. Dia menyadari bahwa anggur hampir habis dan memberitahukan Yesus tentang masalah tersebut. Setelah berdiskusi singkat, dia menginstruksikan para pelayan: “Lakukanlah segala sesuatu yang diperintahkan-Nya kepadamu.” Kemudian Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama. Peristiwa ini menunjukkan keterlibatan Maria yang mendalam dalam pernikahan tersebut. Ia bukan hanya seorang tamu biasa; ia memiliki akses ke dalam kehidupan rumah tangga dan mengetahui kebutuhan praktis, seperti kekurangan anggur. Alih-alih memberi tahu mempelai pria atau keluarganya, ia justru berpaling kepada Yesus. Karena kasih-Nya kepada ibu-Nya, Yesus menggunakan sumber daya sederhana yang tersedia – air – dan mengubahnya menjadi anggur terbaik.

Kebenaran ini sangat dalam dan indah. Jika kita menginginkan “anggur terbaik” dalam pernikahan kita, penting untuk tidak hanya mengundang Yesus dan Maria ke hari pernikahan kita, tetapi juga menyambut mereka di “dapur” kita, dan mengizinkan mereka untuk terlibat dalam momen-momen keseharian dalam hidup kita. Injil mengingatkan kita bahwa anggur terbaik berasal dari air biasa. Dengan cara yang sama, berkat terbesar dalam pernikahan sering kali muncul dari tindakan kasih yang sederhana dan tak terlihat bagi pasangan dan anak-anak kita.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi
Apakah kita sudah sungguh-sungguh mengundang Yesus dan Maria ke dalam pernikahan, keluarga, dan kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita menyadari bahwa Yesus telah melakukan mukjizat dalam pernikahan kita? Sudahkah kita mempercayakan pernikahan dan keluarga kita dalam pemeliharaan Maria?