Minggu Ketiga Advent [A]
14 Desember 2025
Matius 11:2-11
Yohanes Pembaptis mengutus murid-muridnya untuk menanyakan kepada Yesus, “Apakah Engkau yang akan datang, atau haruskah kami mencari yang lain?” Momen ini mengungkapkan ketidakpastian yang mendalam dalam diri Yohanes—seorang pria yang telah mengabdikan hidupnya untuk mempersiapkan jalan bagi Mesias. Lalu, mengapa ia ragu?

Bagi kita umat Kristiani, identitas Yesus jelas. Namun, apa yang jelas bagi kita tidak selalu jelas bagi orang lain, bahkan bagi seseorang yang besar seperti Yohanes. Alasan mendasar mengapa banyak orang kesulitan mengenali Yesus sebagai Yang Dijanjikan adalah karena Ia seringkali tidak memenuhi ekspektasi manusia kita.
Situasi Yohanes menggambarkan hal ini. Ia telah mendedikasikan dirinya sepenuhnya pada misi Allah—untuk mempersiapkan kedatangan Mesias. Namun, setelah menantang Herodes untuk bertobat, ia malah dipenjara dan menghadapi bahaya maut. Di saat gelap itu, ia bertanya-tanya: Apakah ia telah memenuhi kehendak Allah, ataukah ia telah bekerja sia-sia? Sejatinya, Allah telah mengungkapkan identitas Yesus kepada Yohanes di Sungai Yordan (Mrk 1:9; Mat 3:13-17; Luk 3:21-22; Yoh 1:29-34), namun keraguan tetap ada. Yesus tidak sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi Yohanes.
Apa ekspektasi- ekspektasi itu? Seperti banyak orang Israel, Yohanes mungkin menantikan seorang Mesias seperti Daud—seorang pembebas politik yang akan mempersatukan Israel, menggulingkan kekuasaan Romawi, dan memulihkan kemuliaan nasional. Atau mungkin Yohanes mengharapkan seseorang yang mencerminkan gaya hidup asketisnya sendiri: seorang yang hidup dengan kesederhanaan yang ketat, puasa, dan mati raga. Namun, Yesus tidak datang sebagai pahlawan nasionalis, dan Ia juga tidak hidup seperti Yohanes. Sebaliknya, Ia menunjuk pada mukjizat-mukjizat yang Ia lakukan: “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta disembuhkan, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan…” (Luk 7:22). Ini adalah karya-karya ilahi, tanda-tanda yang mengesahkan identitas dan misi-Nya, meskipun Ia tidak sesuai dengan ekspektasi manusia.
Dari kisah Yohanes, kita belajar pelajaran yang sangat penting: Allah tetap Allah, entah Dia memenuhi ekspektasi kita atau tidak. Memang, Allah seringkali tidak sesuai dengan gambaran terbatas kita tentang-Nya. Hal ini mendorong kita untuk terus-menerus memeriksa ekspektasi kita sendiri dan menyesuaikannya sesuai dengan wahyu-Nya. Menyadari ekspektasi kita dan merubahnya tidaklah mudah, bahkan Yohanes Pembaptis—nabi terbesar—mengalami ketidakpastian dan memiliki ekspektasi yang perlu disempurnakan.
Seiring pertumbuhan rohani kita, kita dipanggil untuk mencari Allah lebih dari mencari keinginan kita sendiri. Hal ini membutuhkan refleksi jujur: Apa harapan kita terhadap Allah? Apakah harapan-harapan itu mendekatkan kita kepada-Nya atau justru menjauhkan kita? Kita percaya Allah adalah baik, tetapi bagaimana kita mengharapkan kebaikan-Nya itu terwujud? Apakah itu berarti kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan? Apakah doa-doa kita dijawab persis seperti yang kita harapkan? Apakah kita akan terhindar dari penderitaan? Dan ketika Allah tidak memenuhi ekspektasi kita, bagaimana kita merespons? Jika kita menjadi sedih, frustrasi, marah, atau bahkan dipenuhi kepahitan, masalahnya mungkin tidak terletak pada Allah, tetapi pada ekspektasi kita. Masa Advent ini sekali lagi mengajak kita untuk membersihkan ekspektasi kita dan mengizinkan Allah sungguh menjadi Allah kita.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan untuk refleksi:
Apa ekspektasi- ekspektasi yang saya miliki tentang Allah? Bagaimana saya membayangkan Allah bekerja dalam hidup saya? Bagaimana saya merespons ketika Allah tidak memenuhi ekspektasi saya? Apakah ekspektasi saya mendekatkan saya kepada Allah, atau justru menciptakan jarak?









