Blessing, a Difference We Make

The Ascension Sunday. May 8, 2016 [Luke 24:46-53]

“As he blessed them he parted from them and was taken up to heaven (Luk 24:32).”

The Ascension - Luke 24:50-51
The Ascension – Luke 24:50-51

The best way to say goodbye is to bless. Every time I would leave for the Philippines and continue my formation, my parents would hug and bless me as they mark my forehead with a small sign of the cross. My Filipino friends have this ‘Mano Po’ tradition at the beginning and the end of an encounter with their elderly or people they respect. They will hold the hand of their elders, and place it on their forehead.  This is, I believe, a beautiful sign of honor and blessing. The Dominicans in Europe used to have this habit of asking blessing to their prior before they leave for mission. Indeed, it is the motto of Dominican to ‘praise, bless and preach’. Ultimately, every Eucharist celebration ends with the final blessing.

Yet, what is blessing all about? In Latin, blessing is ‘benedicere’. The word is a composition of two other Latin words: ‘bene (good)’ and ‘dicere (to speak)’. Thus, to bless is to speak good word. Since the word tends to become flesh, we wish that the good word we utter for our beloved turn to be a reality as well. If we look closely the story of creation in Genesis 1, we discover God did threefold acts: creating, seeing goodness and blessing the creations. When God created the universe, God made sure that His creations were good and because of this goodness, He blessed them. Blessing is not simply human act, but also divine. It is not simply saying good, but also discovering good. It is not only wishing good and nice words, but hoping good things to happen.

As the Father has blessed the creations before He rested in the seventh day, the Son also blessed His beloved disciples before He ascended into His resting abode. When God blessed Adam and Eve, He said, “Be fertile and multiply! (Gen 1:28)” God’s blessing names, affirms and rejuvenates the goodness in us. Because of our goodness is reaffirmed, it empowers man and woman to be fruitful, joyful and generous. God’s blessing transforms us into blessing also for others.

 To bless is our vocation as the disciples of Christ. Catherine Marie Hilkert, OP once said that preaching is naming grace, then it is also true that preaching is naming goodness. Unfortunately, instead blessing, we choose to curse. In Latin, cures is ‘maledicere’, to speak bad. Just like blessing, bad words tend to become flesh. Families are broken because we forget to say blessing, and focus on blaming. Religious intolerance, violence and even terrorism begin at the holy pulpit. Sadly, in time of election, from far West, the United States to the far East, Indonesia and the Philippines, politicians running for the offices engage in mudslinging, trade accusations, and employ nasty tricks. Defying reason, the people turn to be fanatic, frantic and partial supporters, willing to do anything for the candidate they admire.

Our world has been fractured and disfigured due to the curses we utter. Adam and Eve said no to God and passed the blame to each other. As their offspring, we continue this destructive curse. We desperately need blessing to undo this vicious cycle. Then, Jesus came and embraced all the bad things in His cross and made them fruitful again in His resurrection. Now, He ascends into Heaven and before He goes, He makes sure that His blessing remains. Ascension reminds us that we have the mission to name goodness and allow ourselves to become blessings to others. Only by becoming a blessing, we may heal ourselves, our family, our society and our world.

Bro. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Berkat

Pesta Kenaikan Tuhan Yesus. 5 Mei 2016 [Lukas 24: 46-53]

“Di situ Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga (Luk 24:51).”

ascension n cross

Cara terbaik untuk mengucapkan selamat jalan adalah dengan memberkati. Setiap kali saya berangkat ke Filipina dan melanjutkan formasi, orang tua saya akan memeluk dan memberkati saya dengan menandai dahi dengan tanda salib kecil. Rekan-rekan Filipina memiliki tradisi ‘Mano Po’ di awal dan akhir perjumpaan dengan orang-orang yang dituakan. Mereka akan memegang tangan orang tua mereka, dan menempatkannya di dahi mereka. Hal ini, saya percaya, adalah sebuah tanda dari berkat dan hormat. Setiap kali seorang frater Dominikan di Manila akan ditahbiskan, malam sebelumnya ia akan menerima berkat dari komunitas dan ia akan berlutut dan semua frater dan romo berdoa bersama dan memberkati dia. Pada akhirnya, setiap perayaan Ekaristi berakhir dengan berkat dan perutusan.

Namun, apa arti dari memberkati? Dalam bahasa Latin, memberkati adalah ‘benedicere’. Kata ini berasal dari dua kata Latin lainnya: bene (baik) dan dicere (mengucapkan). Dengan demikian, untuk memberkati adalah untuk mengucapkan kata yang baik. Karena kata cenderung menjadi daging, kita berharap bahwa kata-kata baik yang kita ucapkan pada giliran akan menjadi kenyataan juga. Jika kita teliti dengan seksama kisah penciptaan dalam Kejadian bab 1, kita melihat Allah melakukan tiga tindakan terhadap ciptaan-Nya: menciptakan, melihat kebaikan dan memberkati. Ketika Allah menciptakan alam semesta, Allah memastikan bahwa ciptaan-Nya adalah baik dan karena kebaikan ini, Iapun memberkati mereka. Memberkati tidak hanya tindakan manusia, tetapi juga ilahi. Memberkati tidak hanya mengucapkan yang baik, tetapi juga menemukan hal yang baik. Memberkati ini tidak hanya bersabda dengan kata-kata yang baik dan bagus, tetapi berharap hal-hal baik ini menjadi kenyataan.

Seperti Bapa telah memberkati ciptaan-Nya sebelum Ia beristirahat di hari ketujuh, sang Putra juga memberkati para murid yang dikasihi-Nya sebelum Ia naik ke surga. Ketika Tuhan memberkati Adam dan Hawa, Ia mengatakan, “Jadilah subur dan bertambah banyaklah! (Kej 1:28 – terjemahan sendiri)” Berkat Tuhan mengartikulasikan, menegaskan dan meremajakan kebaikan dalam diri kita. Karena kebaikan kita ditegaskan kembali, berkat memberdayakan pria dan wanita untuk berbuah, bahagia dan bermurah hati dengan sesama. Berkat Tuhan mengubah kita menjadi berkat juga bagi sesama.

Untuk memberkati adalah panggilan kita sebagai murid-murid Kristus. Catherine Marie Hilkert, OP pernah berkata bahwa ‘pewartaan’ adalah mengartikulasikan rahmat, maka tidak salah jika pewartaan dimengerti sebagai mengartikulasikan kebaikan. Sayangnya, bukannya berkat, kita memilih untuk mengutuk. Dalam bahasa Latin, mengutuk adalah ‘maledicere’, untuk berbicara buruk. Sama seperti berkat, kata-kata buruk cenderung menjadi daging. Keluarga rusak karena kita lupa untuk mengatakan berkat, dan fokus pada saling menyalahkan. Intoleransi, kekerasan dan bahkan terorisme berlatar belakang agama mulai di mimbar suci. Sayangnya, di saat pemilu, dari Amerika Serikat sampai ke Indonesia dan Filipina, para politisi yang mengejar posisi saling mengumpat, saling tuduh, dan mempekerjakan trik jahat. Seolah-olah kehilangan akal sehat, para pemilih berubah menjadi pendukung fanatik dan emotional, rela melakukan apa saja untuk calon yang mereka kagumi.

Dunia kita telah rusak dan cacat akibat kutukan yang kita ucapkan. Adam dan Hawa mengatakan tidak kepada Allah dan menyalahkan satu sama lain. Sebagai keturunan mereka, kita meneruskan kutukan yang menghancurkan ini. Kita sangat membutuhkan berkat untuk membatalkan lingkaran setan ini. Kemudian, Yesus datang dan memeluk segala kutuk di salib-Nya dan membuat kita berbuah lagi dalam kebangkitan-Nya. Sekarang, Ia naik ke surga dan sebelum Dia pergi, Dia memastikan bahwa berkat-Nya tetap tinggal. Kenaikan-Nya mengingatkan kita bahwa kita memiliki misi untuk mengartikulasikan kebaikan dan membiarkan diri kita menjadi berkat bagi sesama. Hanya dengan menjadi berkat, kita dapat menyembuhkan diri kita sendiri, keluarga, masyarakat dan dunia ini.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP