Tanpa Melihat ke Belakang

Minggu Ketiga Belas pada Masa Biasa [C] – 30 Juni 2019 -Lukas 9: 51-62

carrying cross 3Hari ini kita mendengarkan salah satu ajaran Yesus yang paling sulit dimengerti dan diikuti. Bagi mereka yang ingin mengikuti Yesus, Dia menuntut kesetiaan total, dan menjadi prioritas utama mereka dalam hidup. Baik dalam tradisi Yahudi maupun Kristiani, untuk menghormati orang tua kita adalah salah satu perintah tertinggi dalam Sepuluh Perintah Allah. Tetapi, ketika seseorang meminta Yesus untuk menguburkan ayahnya, Yesus mengatakan kepadanya, “Biarkan orang mati menguburkan orang mati.” Kepada orang yang meminta untuk mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya, Yesus berkata, “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” Tidak terbayangkan! Apakah ini benar-benar Yesus yang hatinya tergerak oleh belas kasihan kepada orang-orang miskin? Apakah Yesus tidak lagi memperhatikan Sepuluh Perintah? Bagaimana kita bisa mengerti kata-kata Yesus yang keras ini?

Kita dapat mengungkap jawabannya di awal pembacaan Injil hari ini. Yesus tahu waktu-Nya telah tiba bagi-Nya untuk pergi ke Yerusalem, dan Dia telah mengarahkan wajah-Nya ke kota ini yang akan menganiaya, menyiksa, dan membunuh-Nya. Jalan salib Yesus telah dimulai, dan bagi mereka yang ingin mengikuti-Nya, bukan lagi waktunya untuk terhibur oleh mukjizat-mukjizat-Nya atau terinspirasi oleh khotbah-khotbah-Nya. Mereka yang berhasrat untuk mengikuti Yesus, juga harus memikul salib mereka bersama Yesus, dan berjalan bersama Yesus ke Kalvari. Mereka tidak bisa tidak menyerahkan hidup mereka kepada Yesus dan menjadikan misi Yesus sebagai perhatian utama mereka.

Namun, kita perlu mengklarifikasi juga ucapan Yesus yang mungkin terdengar terlalu keras. Ketika Yesus berkata, “Biarkan orang mati menguburkan yang mati,” orang tua dari yang bersangkutan sebenar masih hidup, dan dia ingin mengikuti Yesus setelah orang tuanya meninggal, yang tidak tahu kapan akan terjadi. Ini menjadi sebuah alasan halus untuk tidak mengikuti Yesus. Ketika Yesus berkata, “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” Yesus sebenarnya mengingatkan para pendengar-Nya tentang kisah Elia yang memanggil Elisa untuk mengikutinya [1Raj 19:19 -21]. Ketika seorang nabi memanggil, orang yang dipanggil harus segera merespons. Kalau tidak, kesempatan itu hilang untuk selamanya. Yesus juga menunjukkan kisah istri Lot. Ketika kota Sodom dan Gomora dihancurkan oleh Tuhan, malaikat itu memerintahkan Lot dan keluarganya untuk lari dan tidak melihat ke belakang, namun, istrinya melihat ke belakang. Dia menjadi tiang garam [Kej 19:26]. Seseorang tidak dapat secara efektif mengikuti kata-kata Tuhan dan memiliki kehidupan baru di dalam Kristus jika dia selalu melihat ke belakang dan melekatkan dirinya pada masa lalu. Para petani Yahudi juga tahu betul ironi bahwa ketika seseorang membajak tanah dan terus melihat ke belakang untuk mengecek hasilnya, dia hanya akan merusak seluruh ladang. Ketika seseorang fokus dalam tujuan dan keputusannya, ia akan mendapatkan hasil terbaik.

Ada kisah tentang seorang malaikat yang menampakkan diri kepada John. Malaikat itu berkata, “John, Tuhan memanggilmu untuk melayani Dia.” John berkata, “Tidak sekarang, aku masih 18 tahun, dan aku ingin fokus pada studiku.” Kemudian, malaikat itu datang lagi setelah beberapa tahun. John berkata, “Jangan sekarang, aku hanya 30, dan aku punya karier.” Kemudian, malaikat itu muncul lagi setelah beberapa tahun. John berkata, “Jangan sekarang. Saya baru berusia 40 tahun, dan saya punya keluarga. ”Kemudian, malaikat itu kembali untuk terakhir kalinya ketika Yohanes berusia 70 tahun. Yohanes berkata,“ Sekarang, saya siap untuk menjawab panggilan Tuhan.” Malaikat itu menjawab, “Ya, Tuhan memanggil kamu, tetapi tidak untuk melayani Dia, tetapi untuk menghadap Dia di surga!”

Seorang Kristiani yang memiliki banyak alasan untuk tidak mengikuti Yesus, dia bukanlah seorang Kristiani sejati. Hanya ketika kita mengikuti Dia dengan tekad, berjalan di jalan salib-Nya tanpa alasan, menjadikan Dia sebagai prioritas utama kita, kita dapat dengan rendah hati mengatakan bahwa kita adalah murid-murid-Nya.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Requirement of Love

Sixth Sunday of Easter [May 26, 2019] John 14:23-29

“Whoever loves me will keep my word… (Jn. 14:23)”

adult and child hands holiding red heart, health care love and family concept

The basic form of love is obedience, and the minimum of love is to obey the Law. We can say “I love you”, but do not do what we ought to do as a lover. That’s a plain lie. A man asked a priest whether it is ok to say “I love you” during the Lenten season, especially during the days of fasting and abstinence. The priest immediately replied that it was a violation of God’s Law. The answer shocked the young man, and he asked why. The priest answered, “It is a violation because surely you tell a lie to your girlfriend!”

When we say that we love someone, but we fail to do what is required, we just hurt ourselves and the persons we love. When a child loves his mother, he will follow the instructions coming from his mother even though he does not understand why. Yet, sometimes, a child gets stubborn and refuses his mother’s plea to stop playing outside because it is time for study. This hurts the mother and father who have worked hard to pay the education and long for a better future for their son. In the long run, it also hurts the child and his future.

The same with our love for God, we need to do at least the basic, to observe His Law. From the Old Testament, we have ten commandments. We cannot say that we love the Lord, but we put our faith also in other “gods and idols”. We profess only one and true God, but we also believe in Horoscope, Feng Shui, and superstitions. We go to the Church every Sunday, but in our houses, we collect all kind of statues of animals for charm and luck. We believe in God who is just, but we steal the money or things from the government or the companies.

In the New Testament, we have the New Commandment: love one another as Jesus has loved us. Unfortunately, what we say is different from what we do. We attend the prayer meeting and shout to the top of our voices that we love Jesus, but we still are not able to forgive our enemies and still wish that they be dead. We pray the rosary regularly, but we do not even care for our ageing mothers at home. We say that we condemn the killing of the babies in other countries, but we get easily angry and make our wives as punching bags.

When we say that we love the Lord, but we do not keep His commandment, it hurts God’s heart. Perhaps, it is more hurtful than people who never say love at all to God. We can learn from our brothers and sisters who lived when the Church was still very young. Living in a hostile Roman Empire, they acknowledged that they were Christians means capital punishment. They were a good and a law-abiding citizen of Rome, except for one thing: they refused to worship Caesar. The Roman government believed that the unifying factor of the vast and diverse empire was the cult of the emperor as the embodiment of the Roman spirit. Any Roman citizen was required to offer incense and proclaimed, “Hail, Caesar is Lord.” Then, they may worship their other gods. Christians refused to do this because they loved Jesus dearly as their God, and as proof of their love, they were ready to offer their own lives.

It is the same with us. God loves us immensely that every time we do not observe His Law, we hurt God and make Him jealous. If we cannot do the essential requirement of love, our words are empty and our love cheap.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Persyaratan Kasih

Minggu Paskah keenam [26 Mei 2019] Yohanes 14: 23-29

“Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku… (Yoh. 14:23)”

old-people-handsBentuk dasar dari kasih adalah ketaatan, dan tindakan sederhana dari kasih adalah mematuhi Hukum. Kita tidak bisa mengatakan, “Aku mencintaimu,” tetapi kita tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai seorang kekasih. Hal ini sama saja dengan sebuah kebohongan yang buruk. Seorang pria bertanya kepada seorang imam apakah boleh mengatakan “I love you” kepada pacarnya, selama masa Prapaskah, terutama selama hari-hari puasa dan pantang. Imam itu segera menjawab bahwa itu adalah pelanggaran terhadap Hukum Tuhan. Jawabannya mengejutkan pemuda itu, dan dia bertanya mengapa. Pastor itu menjawab, “Itu pelanggaran karena pasti kamu bohong kepada pacarmu!”

Ketika kita mengatakan bahwa kita mencintai seseorang, tetapi kita gagal melakukan apa yang seharusnya dilakukan, kita hanya menyakiti diri sendiri dan orang yang kita cintai. Ketika seorang anak mencintai ibunya, dia akan mengikuti perintah yang datang dari ibunya meskipun dia tidak mengerti mengapa. Tetapi, kadang-kadang, seorang anak menjadi keras kepala dan menolak permintaan ibunya untuk berhenti bermain di luar karena sudah waktunya untuk belajar. Ini menyakitkan sang orang tua yang telah bekerja keras untuk membiayai pendidikan dan merindukan masa depan putra mereka yang lebih baik. Dalam jangka panjang, itu juga menyakiti anak dan masa depannya.

Sama dengan kasih kita kepada Tuhan, kita perlu melakukan setidaknya hal yang dasar yakni mematuhi Hukum-Nya. Dari Perjanjian Lama, kita memiliki sepuluh perintah Allah. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan, tetapi kita juga menaruh iman kita pada “dewa dan berhala” lainnya. Kita hanya mengakui Allah yang benar, tetapi kita juga percaya pada Horoskop, Feng Shui, dan takhayul. Kita pergi ke Gereja setiap hari Minggu, tetapi di rumah-rumah kita, kita mengumpulkan semua jenis patung binatang untuk keberuntungan. Kita percaya pada Tuhan yang adil, tetapi kita mencuri uang atau barang-barang dari pemerintah atau perusahaan.

Dalam Perjanjian Baru, kita memiliki Perintah Baru: saling mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita. Sayangnya, apa yang kita katakan berbeda dari apa yang kita lakukan. Kita menghadiri pertemuan doa dan berteriak dengan suara lantang bahwa kita mencintai Yesus, tetapi kita masih tidak dapat mengampuni musuh-musuh kita dan masih berharap bahwa mereka celaka. Kita berdoa rosario secara teratur, tetapi kita bahkan tidak peduli dengan ibu kita yang sudah lanjut usia di rumah. Kita mengutuk pembunuhan bayi-bayi di negara lain, tetapi kita dengan mudah marah dan menjadikan istri kita sebagai objek pelampiasan amarah kita.

Ketika kita mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan, tetapi kita tidak mematuhi perintah-Nya, itu menyakiti hati Tuhan. Mungkin, ini lebih menyakitkan daripada orang yang tidak pernah mengatakan cinta sama sekali kepada Tuhan. Kita dapat belajar dari saudara dan saudari kita yang hidup ketika Gereja masih sangat muda. Mereka hidup di Kekaisaran Romawi, dan dengan hanya mengakui bahwa mereka adalah umat Kristiani, ini berarti hukuman mati. Sebenarnya, mereka adalah warga negara Roma yang baik dan taat hukum, kecuali satu hal: mereka menolak untuk menyembah sang Kaisar. Pemerintah Romawi percaya bahwa faktor pemersatu kekaisaran yang luas dan beragam adalah pemujaan kaisar sebagai perwujudan dari semangat Romawi. Setiap warga negara Romawi diwajibkan untuk mempersembahkan dupa dan menyatakan, “Salam, Kaisar adalah Tuhan.” Kemudian, mereka dapat menyembah dewa-dewa mereka yang lain. Umat Kristiani menolak untuk melakukan ini karena mereka sangat mengasihi Yesus sebagai Tuhan mereka, dan sebagai bukti kasih mereka, mereka siap untuk mengorbankan hidup mereka sendiri.

Sama halnya dengan kita. Tuhan sangat mengasihi kita bahwa setiap kali kita tidak mematuhi Hukum-Nya, kita menyakiti Tuhan. Jika kita tidak dapat melakukan persyaratan dasar cinta kasih, kata-kata kita kosong dan cinta kita tidak ada artinya.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Behind God’s Calling

Fifth Sunday of Ordinary Time [February 10, 2019] Luke 5:1-11

procession 2This Sunday, we listen to the vocation stories of great men in the Bible. From the first reading, we learn how Isaiah was called by God to be His prophet to Judah. In the Temple of Jerusalem, he saw the Lord God surrounded by His seraphim. Isaiah was terrified and said that he had unclean lips. An angel then placed a burning ember on his tongue to remove his wickedness. God, then said, “Whom shall I send?” Isaiah replied with confidence, “Here I am, send me!”

In the second reading, St. Paul wrote to the Church in Corinth and reminded them about the Gospel they had received. Paul assured them that he himself was the recipient of this Gospel no less from the risen Christ Himself. Though he used to be the zealous persecutor of Christians, Jesus called him. By the grace of God, Paul toiled day and night for the building up of the Church.

From today’s Gospel, we listen to the call of the first disciples: Simon, Andrew, James, and John. Luke the evangelist tells us about seasoned fishermen who failed to catch any fish, but Jesus, a carpenter, tells them to ‘go into the deep’. They hesitate, but they follow nonetheless. Lo and behold, they are able to catch a large amount of fish, to the point of destroying their nets. Eventually, Jesus calls them and makes them as fishers of men, and they follow Jesus.

Like Isaiah, Paul and the first Disciples, we are also called by God to follow Him. Some may receive a vocation to the priesthood, some others to religious life, others to build a family, and others may be single yet living a holy life. God also calls us in various ways. Like Isaiah or Paul, some receive extraordinary mystical experiences. But, many of us may be called in the most ordinary and unexpected ways. One day a young man asked whether he has a vocation to the priesthood, especially to the Dominican Order. I said to him, “Well, take the entrance exam first! If you pass you may have the vocation, if not, God may call you somewhere else.”

Sometimes, we ask the Lord a deeper question, “Why me Lord?” but often, we no longer bother to find the answer. Yet, it remains a valid question to be answered. Why did He choose Isaiah, Paul, and Peter? Why does Jesus choose you and me? The answer surprisingly is in the Bible.

When Moses made his farewell speech before the Israelites who were about to enter the Promised Land, he reminded them the reason why God chose Israel, “It was because the LORD loved you and because of his fidelity to the oath he had sworn to your ancestors (Deu 7:8).” God’s choice for Israel is because of His love and faithfulness. The same love and fidelity are the reason behind our calling. God just simply loves us and He draws us to Himself. It is not because we are good, smart and talented. It is not because we are worthy of the call. Isaiah was a man of unclean lips, Paul was a persecutor of the Church, and Peter had his own agenda. Yet, despite these imperfections, God keeps calling us and giving us what we need. How many times, when we betray Him and run away from His call, He remains patient with us and ready to accept us back. If it is not a love, what is it?

We have a God, and this God is love. This is why we are unworthy, yet called; unqualified, yet accepted; unlovable, yet loved.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Panggilan Tuhan

Minggu Kelima dalam Masa Biasa [10 Februari 2019] Lukas 5: 1-11

touching 2Minggu ini, kita mendengarkan kisah panggilan tokoh-tokoh besar dalam Alkitab. Dari bacaan pertama, kita belajar bagaimana Yesaya dipanggil oleh Allah untuk menjadi nabi-Nya bagi Kerajaan Yehuda. Di Kuil Yerusalem, ia melihat Tuhan Allah dikelilingi oleh serafim-Nya. Yesaya sangat ketakutan dan berkata bahwa dia memiliki bibir yang najis. Seorang malaikat kemudian menaruh bara api di lidahnya untuk menghilangkan dosanya. Tuhan lalu berkata, “Siapa yang akan Kuutus?” Yesaya menjawab dengan percaya diri, “Ini aku, utuslah aku!”

Dalam bacaan kedua, St. Paulus menulis kepada Gereja di Korintus dan mengingatkan mereka tentang Injil yang telah mereka terima. Paulus meyakinkan mereka bahwa ia sendiri adalah penerima Injil keselamatan ini dari Kristus yang bangkit itu. Meskipun ia dulunya adalah penganiaya yang berkobar-kobar umat Kristiani, Yesus memanggilnya. Dengan rahmat Allah, Paulus bekerja keras siang dan malam untuk membangun Gereja yang pernah ia aniaya.

Dari Injil hari ini, kami mendengarkan panggilan para murid pertama: Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes. Lukas sang penginjil bercerita tentang para nelayan berpengalaman yang gagal menangkap ikan, tetapi Yesus, seorang tukang kayu, memberi tahu mereka untuk “pergi ke kedalaman”. Mereka ragu, tetapi mereka tetap mengikuti-Nya. Namun, ternyata mereka mampu menangkap sejumlah besar ikan, sampai hampir merusak jala mereka. Akhirnya, Yesus memanggil mereka dan menjadikan mereka sebagai penjala manusia, dan mereka mengikuti Yesus.

Seperti Yesaya, Paulus dan para Murid pertama, kita juga dipanggil oleh Tuhan untuk mengikuti-Nya. Beberapa mungkin menerima panggilan menjadi seorang imam, beberapa lainnya untuk kehidupan membiara, yang lain untuk membangun keluarga, dan yang lain mungkin seorang lajang namun menjalani kehidupan yang suci. Tuhan juga memanggil kita dengan berbagai cara. Seperti Yesaya atau Paulus, beberapa menerima pengalaman mistis yang luar biasa. Tetapi, banyak dari kita mungkin dipanggil dengan cara yang paling biasa dan tidak terduga. Suatu hari seorang remaja putra bertanya apakah dia memiliki panggilan sebagai seorang imam, terutama menjadi bagian Ordo Dominikan. Saya menjawab, “Cobalah ambil ujian masuk dulu! Jika kamu lulus kamu mungkin memiliki panggilan, jika tidak, Tuhan mungkin memanggil kamu di tempat lain.”

Sayangnya setelah kita dipanggil, kita jarang bertanya lebih jauh, “Mengapa saya Tuhan?” Namun, ini tetap menjadi pertanyaan yang mendasar untuk dijawab. Mengapa Dia memilih Yesaya, Paulus, dan Petrus? Mengapa Yesus memilih kamu dan aku, dengan cara-Nya yang unik? Jawabannya secara mengejutkan ada di Alkitab.

Ketika Musa menyampaikan pesan perpisahannya di hadapan orang Israel yang akan memasuki Tanah Perjanjian, ia mengingatkan mereka alasan mengapa Allah memilih Israel, “… karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu… (Ul 7:8). ” Pilihan Allah bagi Israel adalah karena kasih dan kesetiaan-Nya. Kasih dan kesetiaan yang sama adalah alasan di balik setiap panggilan kita. Kita dipanggil bukan karena kita baik, pintar dan berbakat; bukan karena kita layak menerima panggilan itu; bukan karena kita yang paling berkwalitas. Yesaya adalah orang yang tidak bersih bibirnya, Paulus adalah seorang penganiaya Gereja, dan Petrus akan menyangkal Yesus tiga kali. Namun, terlepas dari ketidaksempurnaan ini, Tuhan terus memanggil kita dan memberi apa yang kita butuhkan untuk mengikuti-Nya. Bahkan ketika kita mengkhianati Dia dan melarikan diri dari panggilan-Nya, Dia tetap sabar dan siap menerima kita kembali. Ini adalah kasih, ini adalah kesetiaan.

Kita memiliki Tuhan, dan Tuhan ini adalah cinta kasih. Inilah sebabnya kita yang tidak layak, namun tetap dipanggil; tidak memenuhi syarat, namun diterima; tidak patut menerima kasih, namun tetap dikasihi.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus, Elijah, and Elisha

Fourth Sunday in Ordinary Time [February 3, 2019] Luke 4:21-30

elijah 1In today’s Gospel, Jesus compares Himself with the Israelite greatest prophets, Elijah and Elisha. But, who are these two prophets? For many Catholics, we are not familiar with these two prominent figures in the Old Testament, and thus, we often do not appreciate why Jesus deliberately cites their names.

Seven hundred years before Jesus, the great kingdom established by David had split into two smaller and weaker kingdoms, the Kingdom of Judah in the south, and the Kingdom of Israel in the north. The leaders of both Judah and Israel have both broken the covenant with the God of Israel, as they worshiped pagan idols, and established their temples. Not only did these leaders incur the sin of idolatry, they also committed gross injustices to the people. The worst would be the child sacrifices and slavery of the poor.

    In this terrible time in the history of Israel, God raised up prophets. Thus, God’s prophets are not the fancy guys who foretell future events, but they are God’s spokespersons to remind the people to go back to the Lord and do justice. Often, the prophets of God are also given the power to perform miracles as a sign that they were truly prophets coming from the true God. Among them, were two great names: Elijah and his disciple, Elisha.

    Elijah was a fearless prophet who confronted Ahab, the king of Israel and his wife, Jezebel. In one famous event, Elijah challenged the prophets of Baal in Mount Carmel to bring down rain and he proved them as hoax (1 Ki 18). He also rebuked Ahab who allowed Jezebel to kill Naboth and stole his vineyard (1 Ki 21). Another miracle story would be Elijah who provided food for the poor widow of Zarephath, as mentioned by Jesus in the Gospel (1 Ki 17). At the end of his ministry, he was rode on a chariot of fire going up to the sky (2 Ki 2).

    Elisha meanwhile was a disciple and successor of Elijah. As his mentor exited, Elisha requested for “double portion of Elijah’s spirit” and it was granted upon him. Thus, while Elijah was able to perform seven miracles, Elisha was able to double the number, fourteen miracles. Among his miracles was the healing of Naaman, the valiant army commander of Aram (Syria) but also a leper (2 Ki 5), and the multiplication of loaves (2 Ki 4:42-44). However, despite their strong prophesy and miracles, the Israelites did not change their hearts, and they kept worshiping idols and doing injustice.

    Like Elijah and Elisha, Jesus reveals a deeper nature of God and His relationship with creations, condemns unjust practices, and performs miracles. Surely, Jesus is much greater than Elijah and Elisha. Yet, Jesus’ lot is not far different from Elijah, Elisha and other prophets of Israel: Jesus was rejected by own people.

    When we are baptized, we are anointed as a prophet, and we share the lot of the prophet before us. Parents who do their best and want nothing but the best for their children are being misinterpreted as ‘controlling’ by their own kids. Teachers who try to inculcate the value of study life and culture of discipline, are considered to be ‘terror’. At times, however, being a prophet means nothing but total sacrifice. Many priests, religious and lay people work tirelessly and courageously in the most dangerous places around the globe, serving the poor of the poorest. Some of them eventually were abducted, tortured and killed. Special mention goes to the parishioners of Our Lady of Mount Carmel Cathedral, in Sulu, Philippines who sacrificed themselves as the bomb exploded during the liturgical service. It is really tough to become a prophet, but this is our vocation and mission to follow Elijah, Elisha, and Jesus.

    Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Elia, dan Elisa

Minggu Keempat dalam Masa Biasa [3 Februari 2019] Lukas 4: 21-30

elijah 2Yesus membandingkan diri-Nya dengan nabi-nabi besar Israel, Elia dan Elisa. Tetapi, siapakah kedua nabi ini? Bagi banyak orang Katolik, kita tidak begitu mengenal kedua tokoh terkemuka ini dalam Perjanjian Lama ini, dan karena itu, kita sering tidak menghargai mengapa Yesus dengan sengaja menyebut nama mereka.

Tujuh ratus tahun sebelum Yesus, kerajaan besar yang didirikan oleh Daud telah terpecah menjadi dua kerajaan yang lebih kecil, yakni Kerajaan Yehuda di selatan, dan Kerajaan Israel di utara. Para pemimpin baik Yehuda maupun Israel sama-sama melanggar perjanjian suci dengan Allah Israel, ketika mereka menyembah berhala-berhala, dan mendirikan kuil-kuil mereka. Tidak hanya dosa penyembahan berhala, para pemimpin Israel juga melakukan ketidakadilan yang besar kepada masyarakat yang lemah. Yang terburuk adalah penyembahan dengan mengorbankan anak kecil dan perbudakan orang miskin.

Di masa yang mengerikan dalam sejarah Israel ini, Allah telah memanggil para nabi. Dengan demikian, para nabi Allah bukanlah orang-orang aneh yang menubuatkan peristiwa masa depan, tetapi mereka adalah juru bicara Allah untuk mengingatkan orang-orang untuk kembali kepada Tuhan dan untuk melakukan keadilan. Seringkali, para nabi Allah juga diberikan kuasa untuk melakukan mukjizat sebagai tanda bahwa mereka benar-benar nabi yang datang dari Allah. Di antara mereka, ada dua nama besar: Elia dan muridnya, Elisa.

Elia adalah seorang nabi yang tak kenal takut yang menghadapi Ahab, raja Israel dan istrinya, Izebel. Salah satu peristiwa terkenal adalah ketika Elia menantang para nabi Baal di Gunung Karmel untuk menurunkan hujan dan membuktikan mereka sebagai palsu (1 Raj 18). Dia juga menegur Ahab yang mengizinkan Izebel membunuh Naboth dan merampas kebun anggurnya (1 Raj 21). Kisah mukjizat lainnya adalah Elia yang menyediakan makanan bagi janda miskin Sarfat, seperti yang disebutkan oleh Yesus dalam Injil (1 Raj 17). Pada akhir pelayanannya, ia mengendarai kereta api yang naik ke langit (2 Raj 2).

Elisa adalah seorang murid dan penerus Elia. Ketika Elia pergi, Elisa meminta “bagian ganda dari roh Elia” dan ini diberikan kepadanya. Jadi, sementara Elia dapat melakukan tujuh mukjizat, Elisa dapat menggandakan jumlahnya, empat belas mukjizat. Di antara mukjizat-mukjizatnya adalah penyembuhan Naaman, komandan tentara Aram (Suriah) tetapi juga penderita kusta (2 Raj 5), dan penggandaan roti (2 Raj 4: 42-44). Namun, terlepas dari nubuat dan mukjizat yang perkasa, orang Israel tidak mengubah hati mereka, dan mereka terus menyembah berhala dan melakukan ketidakadilan.

Seperti Elia dan Elisa, Yesus mewartakan Kerajaan Allah, mengutuk praktik-praktik yang ketidakadilan, dan melakukan mukjizat. Tentunya, Yesus jauh lebih besar daripada Elia dan Elisa. Namun, nasib Yesus tidak jauh berbeda dari Elia, Elisa dan nabi-nabi Israel lainnya: mereka ditolak oleh bangsanya sendiri.

Ketika kita dibaptis, kita diurapi sebagai seorang nabi, dan menjadi nabi tidaklah mudah. Orang tua yang melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka disalahartikan sebagai ‘mengendalikan’ oleh anak-anak mereka sendiri. Guru yang mencoba menanamkan nilai kehidupan dalam belajar dan budaya disiplin, dianggap sebagai ‘teror’. Namun, kadang-kadang, menjadi seorang nabi berarti pengorbanan total. Banyak imam, religius, dan awam bekerja tanpa lelah dan berani di tempat-tempat paling berbahaya di seluruh dunia, melayani yang paling miskin dan lemah. Beberapa dari mereka bahkan akhirnya diculik, disiksa dan dibunuh. Secara khusus, umat paroki Katedral Our Lady of Mount Carmel, Sulu, Filipina yang menjadi korban ketika bom meledak saat perayaan Misa berlangsung. Sangat sulit untuk menjadi seorang nabi, tetapi inilah panggilan dan misi kita untuk mengikuti Elia, Elisa, dan Yesus.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amen

18th Sunday in Ordinary Time [August 5, 2018] John 6:24-35

“This is the work of God, that you believe in the one he sent.” (Jn. 6:29)

amen 1To say “Amen” is something usually we do in prayer. Commonly it is used to end a prayer. Our biblical prayers like Our Father and Hail Mary are usually concluded by amen. In several occasions, amen is mentioned more often. One of my duties as a hospital chaplain is to lead a prayer of healing for the sick. I always ask the family and friends who accompany the patients to pray together. Sometimes, they will say amen at the end of the prayer. However, some others will utter several amens within the prayer, and in fact, some people will say more amens than my prayer! In several occasions, amen is utilized outside the context of prayer. Preachers with a charismatic gift will invite their listeners to say amen. Surely, it is a good technique to keep the listeners awake!

Amen is a simple and yet very powerful word. Amen indicates our strong affirmation and agreement to something. It is the most concise manifesto of our faith. Amen is a biblical language, and in fact, it is a Hebrew word, that means “surely!” or “Let it be done!”. It is interesting to note that the early usage of amen in the Bible is to affirm curses and punishments (see Num 5:22; Deu 27:15). Fortunately, the Book of Psalm teaches us to use amen to affirm God’s blessings. Jesus Himself is fond of saying Amen. He uses amen to affirm the truth and power of His words (see Mat 5:18; Mat 8:5). There is a radical shift here. Unlike the usual practice to affirm God’s blessing, Jesus says amen to His own words. This is because Jesus’ words are God’s blessing per se. Thus, learning from the Biblical tradition, we say amen to affirm God’s blessings. Moreover, learning from Jesus, we say amen to express our faith in His words, and ultimately to Jesus Himself. Surprisingly, the first person in the New Testament to proclaim the great amen to Jesus is none other than His mother, Mary. Before the angel Gabriel, she says “Be it done to me according to your words,” in short, “Amen!” (see Luk 1:38)

One of the greatest amen we proclaim is when we receive the Eucharist. For hundreds of millions of Christian Catholics who receive the Holy Communion every Sunday, to say amen seems rather usual. Yet, it is supposed to be the most difficult amen we say. To believe and affirm that a little consecrated white bread is the Body of Christ containing the fullness of Jesus’ divinity and humanity is either totally insane or a sign of extraordinary faith. Yet, I do believe this is Jesus’ invitation to believe in Him in the Eucharist. Relating to this Sunday’ Gospel, Jesus says that the work of God is to believe in Jesus, the one sent by the Father (see John 6:29). Continue reading chapter 6 of this Gospel of John, we discover that to believe in Jesus means to accept that He is the Bread of Life, and those who eat this Bread will have eternal life (see John 6:51). Thus, to say faith-filled amen to the Eucharist is the fulfillment of Jesus’ words, and leading to the fullness of acceptance of Jesus as God and Savior.

As people who go to the Church every Sunday and receive the Eucharist in a regular basis, do we say our Amen in the fullness of our faith or is it just a mechanical repetition? Does our Amen enable us to recognize the daily blessing we receive? Like Mary, does our faith manifest in our daily actions, and make a difference in lives?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amin

Minggu ke-18 Pada Masa Biasa [5 Agustus 2018] Yohanes 6: 24-35

“Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh 6:29)

amen 2Mengatakan “Amin” adalah sesuatu yang biasanya kita lakukan dalam doa. Kata ini biasanya digunakan untuk mengakhiri doa. Doa alkitabiah seperti Bapa Kami dan Salam Maria biasanya disimpulkan oleh kata amin. Namun, dalam beberapa kesempatan, amin disebut lebih sering. Salah satu tugas pastoral saya di rumah sakit adalah memimpin doa penyembuhan bagi yang sakit. Saya selalu meminta keluarga dan mereka yang menemani pasien untuk berdoa bersama. Biasanya, mereka akan mengatakan amin di akhir doa. Namun, ada juga beberapa orang akan mengucapkan beberapa amin dalam doa, dan bahkan, ada beberapa orang mengucapkan lebih banyak amin dari pada doa yang saya ucapkan! Dalam beberapa kesempatan, amin digunakan di luar konteks doa. Pengkhotbah karismatik akan mengajak pendengar mereka untuk mengatakan amin sebagai bentuk penegasan. Tentunya, ini adalah juga teknik yang bagus untuk membuat pendengar tidak tertidur!

Amin adalah kata yang sederhana namun sangat kuat. Amin menunjukkan penegasan dan persetujuan kita yang kuat terhadap sesuatu. Ini adalah manifesto paling ringkas dari iman kita. Amin adalah bahasa alkitabiah, dan sebenarnya, ini berasal dari kata Ibrani, yang berarti “Sungguh!” Atau “Terjadilah!”. Sangat menarik untuk dicatat bahwa penggunaan awal kata amin dalam Alkitab adalah untuk menegaskan kutukan dan hukuman (lihat Bil 5:22; Ul 27:15). Syukurlah, Kitab Mazmur mengajarkan kita untuk menggunakan amin untuk menegaskan berkat Tuhan. Yesus sendiri suka mengatakan Amin [walaupun dalam alkitab Bahasa Indonesia kata ‘Amin’ diganti dengan kata ‘sesungguhnya’). Ia menggunakan amin untuk menegaskan kebenaran dan kuasa firman-Nya (lihat Mat 5:18; Mat 8: 5). Ada pergeseran radikal di sini. Berbeda dengan praktik biasa untuk menegaskan berkat Tuhan, Yesus mengatakan amin pada kata-kata-Nya sendiri. Ini karena kata-kata Yesus adalah berkat Tuhan. Dengan demikian, belajar dari tradisi Alkitab, kita mengatakan amin untuk menegaskan berkat-berkat Tuhan. Lebih dari itu, belajar dari Yesus, kita mengatakan amin untuk mengekspresikan iman kita dalam Firman-Nya, dan akhirnya kepada Yesus sendiri. Tak mengejutkan bahwa orang pertama dalam Perjanjian Baru yang menyatakan amin kepada Yesus tidak lain adalah ibu-Nya, Maria. Di hapadapan malaikat Gabriel, dia berkata, “Terjadilah padaku menurut perkataanmu,” singkatnya, “Amin!” (Lihat Luk 1:38)

Salah satu amin terbesar yang kita nyatakan adalah ketika kita menerima Ekaristi. Bagi ratusan juta umat Katolik yang menerima Komuni Suci setiap hari Minggu, mengatakan amin tampaknya biasa-biasa saja. Namun, ini sebenarnya menjadi amin yang paling sulit yang kita katakan. Untuk percaya dan menegaskan bahwa hosti kecil putih adalah Tubuh Kristus yang mengandung kepenuhan keilahian dan kemanusiaan Yesus adalah tanda iman yang luar biasa besar. Saya percaya ini adalah ajakan Yesus untuk percaya kepada-Nya dalam Ekaristi. Berkaitan dengan Injil hari Minggu ini, Yesus mengatakan bahwa pekerjaan yang dikehendaki Allah adalah percaya kepada Yesus, yang diutus oleh Bapa (lihat Yoh 6:29). Membaca bab 6 dari Injil Yohanes ini, kita menemukan bahwa percaya kepada Yesus berarti menerima bahwa Dia adalah Roti Kehidupan, dan mereka yang memakan Roti ini akan memiliki hidup yang kekal (lihat Yoh 6:51). Jadi, untuk mengatakan amin yang dipenuhi oleh iman kepada Ekaristi adalah pemenuhan kata-kata Yesus, dan menuntun kita pada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Sebagai umat yang pergi ke Gereja setiap Minggu dan menerima Ekaristi secara teratur, apakah kita mengatakan Amin dalam kepenuhan iman atau ini hanya sebuah kata yang diulang-ulang? Apakah Amin kita memungkinkan kita untuk mengenali berkat harian yang kita terima? Seperti Maria, apakah iman kita terwujud dalam tindakan sehari-hari kita, dan membuat perbedaan dalam kehidupan kita?

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ascension and Mission

The Ascension of the Lord [May 13, 2018] Mark 16:15-20

“Jesus said to them, “Go into the whole world and proclaim the gospel to every creature.” (Mk. 16:15)

father and daughter at beach 2We normally do not want to part away from the people we love. The emotional bond that has grown makes it difficult and painful for us to be away from the persons whom we love. Parents do not want to be separated from their children. Couple hates when they have to be far from each other. Friends cry when they have to go separate ways.

However, Jesus does the opposite when He is ascending into heaven. The resurrected Jesus could have stayed, done more miracles and accompanied the disciples. His permanent physical presence could boost the disciples’ morale, give them comfort and protection. Yet, He chooses to go and leave His disciples on earth. Why does Jesus do that cruel thing?

When we read today’s Gospel closely, Jesus does not simply leave behind His disciples, but He sends them for the mission, “Go to the whole world and preach the Gospel to every creature.” (Mrk 16:15) In fact, the Ascension is more about sending rather than departing. He goes up so that the disciples may go forward. Jesus understands that to stay put means to infantilize the disciples and hinder the disciples to become the men they are meant to be. As they go, they grow to be the persons whom they never expect before. They have faith even more, and to gradually grow in hope and charity. Had Peter stayed behind, he would not have become a leader of the great Church. Had John gone home, he would not have become the elder of the Church in Ephesus and written the Fourth Gospel.

The story of faith begins with a mission. God called Abraham, asked him to go from in his land of Ur, and made his way to Canaan. He became the Father of great nations not in his homeland, his comfort, and his safe zone, but in the dangerous and unknown land. God called Moses and Israelites to go out from the land of Egypt, from the land that gave them cucumber, onion, and garlic. They became people free to worship their only God, not in Egypt, land of thousand gods, but in the land, God has promised them. St. Dominic de Guzman began the Order of Preachers by sending his small and fragile community into various cities. Some brothers doubted others resisted, and few objected his decision. Yet, his decision was proved to be a watershed for the Order. The mission of Order is not to be another ancient stable monastery, but a group of iterant preachers. Dominic’s faith has given birth to the Dominican family that is currently present in more than 100 countries.

I always thank my parents for allowing me to enter the seminary at the tender age of 14. I know it was a tough and painful decision, but their courage has made me a man who I am now. At first, both my parents and I were not sure what would come for me, what my particular mission in life be, but we are sure that I have been sent, from the comfort of my family into the midst of an immensely vast Church. Have we grown and become mature and courageous people? Have we allowed people we love to grow into the person they are meant to be? Have we entrusted ourselves and our loved ones into God’s mission?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP